SOROT 474

Senandung Bait Perjuangan

Warga yang tergabung dalam Persatuan Gabungan Lintas Masyarakat (Panglima) bersama TNI dan Polri menggelar upacara pengibaran bendera Merah Putih di Bukit Piramida, Desa Lampanah Leungah, Seulimum, Kabupaten Aceh Besar.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ampelsa

VIVA – Jarum jam masih menunjukkan pukul 8 pagi. Namun, mulut Alifah Raisya sudah komat-kamit membaca suatu teks. Sambil duduk, di tangan kanan bocah sembilan tahun itu memegang sehelai kertas yang bertuliskan lirik sebuah lagu nasional perjuangan.

Pagi itu, Kamis, 9 November 2017, Raisya akan tampil di depan kelas untuk pengambilan nilai mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Sorot mata siswi kelas 4 sekolah dasar negeri di Batuampar, Jakarta Timur itu tak bisa pindah dari kertas putih yang dipegangnya. 

Wajahnya terlihat serius coba menghafal. Sesekali ia melirik ke arah temannya yang hampir semuanya sudah tampil. Hardikan teman sebangkunya tak digubrisnya.

Giliran Raisya pun tiba. Anak dengan kuncir model rambut kepang itu dapat urutan terakhir. Dengan seragam putih merah dan sepatu hitam, ia agak canggung tampil di depan kelasnya. Tepukan teman-temannya mengiringi penampilannya. 

Dengan sedikit gugup, lantunan suara lantang keluar dari mulutnya. Raisya memilih lagu perjuangan bernada heroik, Maju Tak Gentar, karya komponis Cornel Simbolon. Meski gugup di awal, namun suara melengking Raisya mampu membuat satu ruangan kelas bersemangat.

Hentakan sepatu ke lantai diiringi kepalan tangan ke atas memperlihatkan semangat para murid. Sorak dan tepuk tangan seorang guru menambah gemuruh kelas berukuran 6 x 9 meter tersebut.

Momentum di Hari Pahlawan, lagu nasional seperti Maju Tak Gentar karya pejuang Cornel Simanjuntak sering dilantunkan murid-murid di sekolah-sekolah. Maju Tak Gentar diyakini merupakan salah satu lagu yang dapat memunculkan semangat para pejuang melawan Belanda. 

Sorot Kebangsaan Indonesia - NKRI - Kesatuan Bangsa

Pelajar mengibarkan bendera Merah Putih saat acara Pesta Bendera di Kadipiro, Solo, Jawa Tengah, menyambut HUT ke-72 Republik Indonesia. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Di era sekarang, tak hanya Hari Pahlawan, lagu ini juga didengungkan saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Pesannya agar para murid mengingat perjuangan para pahlawan.

Nama Cornel Simanjuntak mungkin kurang dikenal. Sebagai pencipta lagu, karyanya Maju Tak Gentar lebih mudah diingat sebagai lagu wajib yang dihafal kategori murid sekolah dasar.

Sejarah mencatat, Cornel merupakan komponis yang juga pejuang. Sebagai seniman, pria kelahiran Pematangsiantar tersebut menciptakan Maju Tak Gentar karena situasi perjuangan melawan Belanda dan sekutu. Setiap bait lagu itu memberikan semangat dan jangan mundur melawan penindasan pasukan penjajah.

Lirik Maju Tak Gentar awalnya sebagai lagu propaganda yang memberikan spirit patriotisme pada tahun 1945. Baru pasca proklamasi kemerdekaan, lagu ini memiliki fungsi yang sebenarnya dalam membangkitkan perjuangan nasional (Wisnu Mintargo, Humaniora Volume XV, Lagu Propaganda Dalam Revolusi Indonesia: 1945-1949, 2003:110).

Dalam biografinya, Cornel Simanjuntak ingin rekan-rekannya yang sesama pejuang dengan gigih tak gentar mengangkat senjata melawan penjajah. Meskipun dalam pertempuran, tentara Indonesia yang diisi mayoritas pelajar dan pemuda tak seimbang dari segi peralatan senjata melawan Belanda dan sekutu.

Pengalaman Cornel sebagai pejuang pada 1945-1946 turut menginspirasi bait Maju Tak Gentar. Nadanya heroik. Pengalaman menjadi tentara dan ikut berperang di Jakarta dan Yogyakarta pada 1945-1946 menjadi latar belakangnya. Di Kota Yogyakarta pula, Cornel menemukan inspirasi menciptakan Maju Tak Gentar.

Di era kolonialisme, Maju Tak Gentar lebih sering didengungkan pasca proklamasi kemerdekaan RI. Inti pesan dari lagu tersebut, perjuangan kemerdekaan belum berakhir meski proklamasi kemerdekaan sudah dibacakan. Sebab, Indonesia harus menghadapi perang melawan Belanda dan sekutu.  

Sejak Jepang kalah, Belanda yang belum rela mengakui kemerdekaan Indonesia kembali datang ke Tanah Air dengan membawa pasukan sekutu. Kedatangan Belanda dan sekutu mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. 

Keberanian perlawanan ini ditandai dengan kekompakan mengumandangkan lagu perjuangan. Salah satunya Maju Tak Gentar yang dilantunkan di seluruh penjuru daerah. Tak hanya di Yogyakarta, di daerah lain terutama Pulau Jawa yang merupakan pusat perjuangan, lagu ini terus dilantunkan para pejuang.

Saat menciptakan Maju Tak Gentar, Cornel menjabat pimpinan Angkatan Pemuda Indonesia (API) cabang Tanah Tinggi yang bermarkas di Menteng 31 sebagai pusat koordinasi dan komando. 

Bersama beberapa rekan pejuang, Cornel sering mengendarai mobil pikap tua dengan iringan sebuah gitar mengumandangkan Maju Tak Gentar. Bahkan, lagu ini terus dilantunkan sambil melambaikan bendera merah putih untuk membangkitkan semangat rakyat di sepanjang jalan yang dilalui (Binsar Sitompul, Cornel Simanjuntak: komponis, penyanyi, pejuang, 1987:51). 

Selanjutnya, Gelora Bandung Lautan Api

Gelora Bandung Lautan Api

Rakyat Indonesia pasti mengetahui peristiwa Bandung Lautan Api. Sejarah mencatat, peristiwa ini terjadi 23 Maret 1946 atau tujuh bulan sekitar proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan. 

Saat itu, ratusan ribu penduduk Bandung yang dibantu para pejuang sengaja membakar rumah dan gedung. Upaya ini sebagai taktik perlawanan menghadapi Belanda dan tentara sekutu yang ingin menggunakan Bandung untuk lokasi pusat berperang dengan Indonesia. 

Peristiwa Bandung Lautan Api erat kaitanya dengan munculnya lagu Halo-halo Bandung. Terlepas dari kontroversi penciptanya, lagu ini juga diyakini sebagai spirit rakyat dan Tentara Republik Indonesia untuk bertempur melawan Belanda serta sekutunya.

"Dari beberapa sumber, ini salah satu lagu yang dibanggakan pada 1946 karena sering dinyanyikan bersama-sama oleh pejuang. Ada semangat patriotisme yang muncul ketika itu," kata sejarawan sekaligus Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Djoko Marihandono kepada VIVA, Kamis, 9 November 2017.

Ismail Marzuki, sang maestro musik Indonesia, pengarang lagu.

Ismail Marzuki, sang maestro musik Indonesia dan pengarang lagu. (www.U-Report.in)

Seniman yang juga komponis Ismail Marzuki disebut-sebut sebagai penciptanya. Alasannya cukup kuat. Seniman Betawi lulusan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Jakarta ini dianggap saksi peristiwa Bandung Lautan Api.

Ismail juga pernah tinggal di Bandung dan berkarya. Di Kota Kembang, pria asal Kwitang, Jakarta ini juga berkarya dengan membentuk grup orkestra. Dari sinilah, dia menemukan perempuan yang menjadi jodohnya, Eulis Zuraidah.

Latar belakang terciptanya lagu Halo-halo Bandung juga disebut karena kenangan Ismail terhadap Kota Kembang tersebut. Terciptanya lagu ini saat Ismail memimpin Studio Orkes (Nederlandsch-Indische Radio-omroepmaatschappij) NIROM II Bandung. Tapi, disebut juga ada perubahan dalam beberapa bait lagu terakhir untuk mengaitkan peristiwa Bandung Lautan Api.

Sudah banyak lagu yang dihasilkan komponis seangkatan dengan Cornel Simanjuntak ini. Salah satu lagu karya Ismail di era kolonialisme adalah Beta dan Ayunda. Lagu ini menggambarkan rakyat sipil yang tak gentar melawan kekuatan kolonial. 

Karena karyanya, pria kelahiran Jakarta, 11 Mei 1914 ini ditakdirkan menjadi bagian dari sejarah Indonesia (Ninok Leksono, Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman, 2014:159).

Ada sumber lain yang menyatakan lagu Halo-halo Bandung diciptakan para pejuang Bandung Selatan yang berasal dari beberapa daerah. Tiga bait terakhir menjadi acuannya. Bait ketiga mendefinisikan pejuang daerah ikut merefleksikan karya lagu tersebut. Kemudian bait ke empat dan ke lima terkait peristiwa Bandung Lautan Api.

Kemensos Gelar Rangkaian Acara Peringati Hari Pahlawan 2024, Berikut Daftarnya!

Anggota Pasukan Istimewa bernama Pestaraja Humala Sadungan Marpaung mengatakan lagu Halo-halo Bandung sengaja diciptakan pejuang bersama-sama. Menurutnya, bukan seorang individu yang menciptakan lagu tersebut. Marpaung juga merupakan salah seorang saksi dalam peristiwa Bandung Lautan Api (Ratnayu Sitaresmi, dkk., Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan, 2002:95).

Selanjutnya, Transformasi Bait Patriotisme 

Peringati Hari Pahlawan, Tiket Masuk Museum Nasional Hanya Rp1.000

Transformasi Bait Patriotisme

Era kolonialisme, komponen lagu dipergunakan sebagai propaganda yang berfungsi memberikan penerangan informasi pada masyarakat. Upaya ini untuk melawan propaganda Belanda dan sekutu yang saat itu selalu memutarbalikkan fakta. Selain penerangan informasi, lagu karya komponis juga untuk memberikan spirit patriotisme perjuangan kepada rakyat.

Gibran Pimpin Upacara Hari Pahlawan 10 November di TMP Kalibata

Dalam jurnalnya, Humaniora Volume XV, Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatera Barat, Wisnu Mintargo mengatakan, dalam sejarah, lagu perjuangan membangkitkan semangat patriotisme yang konstruktif.

Saat era kolonialisme, terjadi kekosongan dalam dunia pendidikan terutama pelajaran kesenian. Pemerintah RI yang masih berusia bayi tak mampu berbuat banyak mengisi kekosongan itu.

Maju Tak Gentar awalnya lagu propaganda berjudul Maju Putra-putri Indonesia yang diciptakan Cornel Simanjuntak pada 1944. Lagu ini belum memiliki arti perjuangan kemerdekaan. Namun, sang pencipta mengubah judul lagu dan syair hingga ke bait menjadi Maju Tak Gentar. 

Perubahan saat itu juga mengikuti aturan Keimin Bunka Shidosho (lembaga kebudayaan bentukan pemerintah kolonial Jepang). Artinya, perubahan bagian bait mesti menyesuaikan keinginan penciptanya yaitu Cornel karena pengalamannya sebagai pejuang. Dalam biografinya, Cornel menginginkan perubahan bait menyesuaikan pengalaman perangnya pada 1945-1946.

"Lagu itu dapat diklasifikasikan sebagai lagu perjuangan bersifat konstruktif untuk membangkitkan semangat revolusi Indonesia 1945-1949," kata Wisnu dikutip VIVA dari jurnal Humaniora Volume XV, Jumat, 10 November 2017.

Maju tak gentar, membela yang benar.
Maju tak gentar, hak kita diserang.

Maju serentak, mengusir penyerang.
Maju serentak, tentu kita menang.

Reff :
Bergerak bergerak, serentak serentak
Menerjang Menerkam Terjang.

Tak gentar, tak gentar.
Menyerang, menyerang.
Majulah, majulah menang.

Peran kalangan komponis dalam politik perjuangan diakui memberikan pengaruh di era kolonialisme. Negara sekutu yang ingin menguasai Indonesia membuat rezim kolonial masih bertahan pasca kekalahan Jepang. Baik sekutu yang memenangi perang dunia maupun memenangi perang pasifik mengincar Indonesia (Ninok Leksono, Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman, 2014:160).

Lagu Halo-halo Bandung juga disebut mengalami perubahan demi perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Beberapa bait diubah menyesuaikan kondisi perjuangan saat itu. Di versi awal, ada bait lirik dengan bahasa Sunda. Kemudian, diubah lagi ke dalam bahasa Indonesia. Terkait peristiwa Bandung Lautan Api, beberapa bait kembali diubah.

Lirik Halo-halo Bandung Versi lama: 

Hallo-hallo Bandung, ibukota Pasundan

Hallo-hallo Bandung, kota kenang-kenangan

Lama sudah beta, ingin berjumpa pada mu

S'lagi hayat dan hasrat masih dikandung badan

Kita 'kan jumpa pula

Lirik Halo-halo Bandung setelah diubah:

Halo, halo Bandung, ibukota Periangan

Halo, halo Bandung, kota kenang-kenangan

Sudah lama beta tidak berjumpa dengan kau

Sekarang telah menjadi lautan api

Mari bung rebut kembali

Wartawan senior Ninok Leksono dalam bukunya Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman, mengingatkan kemerdekaan RI memerlukan perjuangan berat. Kemerdekaan yang diperoleh para pejuang harus dipertahankan generasi muda era sekarang.

Dia mencontohkan perjuangan yang dilakukan Ismail Marzuki. Tak hanya lewat lagu, bila memang pengorbanan jiwa diperlukan untuk negara, maka figur Ismail rela melaksanakannya.

"Jika Ismail Marzuki menghayati perjuangan bersenjata, itulah tandanya sebagai warga sipil pun ia tak gentar dengan pengorbanan jiwa raga," kata Ninok.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya