- REUTERS/Beawiharta
VIVA – Setelah tertunda sekitar dua bulan, Presiden Joko Widodo akhirnya meneken Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2017 soal penundaan dan penyempurnaan tata kelola pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut. Inpres ini diteken pada 17 Juli 2017. Aturan ini merupakan perpanjangan penundaan sementara (moratorium) izin hutan dan lahan yang sudah berjalan enam tahun, dengan perpanjangan setiap dua tahun.
Selain soal perpanjangan moratorium, Inpres No 6 tahun 2017 memuat hal yang sama dengan inpres moratorium sebelumnya. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai, beleid ini sesungguhnya belum memiliki semangat menyelamatkan hutan. Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Hukum Lingkungan Walhi, Zenzi Suhadi mengatakan, kebijakan Moratorium Penerbitan Izin Baru itu awalnya diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011.
Targetnya adalah perlindungan berbasis Peta Indikatif Penundaan izin Baru (PIPIB) seluas 69.144.073 hektare. “Kebijakan ini sempat disambut antusias oleh berbagai kalangan yang menginginkan penghentian pengrusakan hutan di Indonesia,” ujarnya kepada VIVA, Jumat 3 November 2017.
Sebuah gubuk berada di tengah area hutan yang telah ditebang dan dibakar untuk kebun kalapa sawit di Provinsi Riau. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)
Sayangnya, enam bulan usai kebijakan ini keluar, ada evaluasi wilayah target perlindungan seluas 3,769.821 hektare. Alasannya, pengurangan PIPIB karena kawasan yang dimaksud tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang telah diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Padahal harapannya, moratorium bukan hanya menghentikan penerbitan izin baru, tetapi digunakan pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola dan review terhadap kesalahan kebijakan sebelumnya,” ujarnya menambahkan.
Selama moratorium periode pertama terjadi pengurangan luas target perlindungan hingga 4.348.655 hektare. Dan kembali dikurangi pada periode ke-2 moratorium 2013-2015 seluas 707.510 hektare. Pada masa moratorium periode ke-3 tahun 2015-2017 tren perubahan peta moratorium mengarah ke penambahan kawasan moratorium seluas 2.353.151 hektare.
Selanjutnya, Tak Bertaji
Tak Bertaji
Zenzi mengatakan, meski ada moratorium, penghentian izin baru sesungguhnya tidak terjadi. Pasalnya, penerbitan izin masih terjadi di wilayah moratorium dan wilayah di luar moratorium. Juga penebangan pada hutan alam dan pembukaan lahan gambut.
Ia menilai, kebijakan ini tidak efektif. Karena, moratorium dilakukan sebenarnya sebagai upaya pembenahan dan perbaikan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang membutuhkan waktu lama. Menurut dia, selama masa moratorium perubahan peruntukan kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) justru mengalami peningkatan.
“Tahun 2011 terjadi pelepasan kawasan hutan 159.300 hektare. Tahun 2012 mengalami peningkatan lebih dari 10 kali lipat atau sebesar 1,8 juta hektare. Tahun 2013 dilepaskan 2,4 juta hektare. Dan puncaknya tahun 2014 terjadi pelepasan hingga 3,2 juta hektare,” ujar Zenzi.
Foto udara perkebunan sawit di Kab Ogan Ilir (OI), Sumatra Selatan. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Ia menjelaskan, hingga tahun 2016 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melepasakan kawasan hutan hingga 6.772.633 hektare untuk tujuh ratus lebih perusahaan perkebunan yang didominasi sawit. “Selama masa moratorium, pemerintah telah melepaskan kawasan hutan secara parsial untuk perkebunan seluas 1.277.996 hektare. Selain untuk perkebunan kelapa sawit, pelepasan kawasan hutan secara parsial ini juga untuk komoditas tebu,” ujarnya menambahkan.
Selama masa moratorium terjadi pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 1.677.217,52 hektare, dengan rincian 944.071 hektare pada masa moratorium 2011-2013. Pada masa moratorium 2013 – 2015 seluas 645.005 hektare. Dan tetap terjadi pelepasan 88.140 hektare pada masa moratorium Inpres 2015 – 2017.
Penerbitan izin juga tetap terjadi selama masa moratorium seperti di sektor kebun kayu melalui skema perizinan IUPHHK-HT hingga 1.725.467 hektare. Di sektor pertambangan pun tetap terjadi proses deforestasi dengan izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 193.896 hektare.
“Moratorium sesungguhnya dapat dikatakan kamuflase bagi kejahatan kehutanan. Karena selama masa moratoium total penerbitan izin untuk HTI, tambang, pelepasan kawasan hutan mencapai 11.362.981 hektare.”
Ahli Kehutanan Bidang Kebijakan dari Fakultas Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, Dr.Ir Sudarsono Soedomo, MS., menilai moratorium sudah dijalankan. Misalnya di taman nasional tidak boleh. Di hutan lindung seharusnya juga tidak boleh. “Tapi sekarang didesain di daerah yang dikembangkan,” ujarnya kepada VIVA, Jumat, 3 November 2017.
Namun, Sudarsono tak menampik meski ada moratorium tetap ada pembukaan lahan perkebunan. “Saya yakin ada dan tidak salah itu,” ujarnya.
Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), imbas dari perpanjangan moratorium adalah tidak adanya perluasan area perkebunan kelapa sawit. “Moratorium itu tidak bisa ekspansi. Terutama gak ada izin baru yang dikeluarkan. Jadi gak ada area ekspansi, kecuali petani kecil,” ujar Direktur Eksekutif GAPKI, Fadhil Hasan, kepada VIVA, Kamis, 2 November 2017.
Selanjutnya, Tak Hanya Sawit
Tak Hanya Sawit
Menurut Zenzi Suhadi, perkebunan sawit banyak menggunakan kawasan hutan. Walhi menghitung, sampai 2014 itu ada 7.8 juta hektare kawasaan hutan sudah dilepaskan menjadi perkebunan. “Dan sampai sekarang itu masih banyak perkebunan kelapa sawit itu beroperasi di kawasan hutan,” ujarnya.
Menurut Zenzi, data lama terkait luas perkebunan sawit sekitar 11 juta hektare. Sementara menurut GAPKI 11.500 juta hektare. Namun menurut data Sawit Watch, luas perkebunan sawit di Indonesia sudah mencapai 17 juta hektare. Lokasinya tersebar di 17 Provinsi, di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Tak hanya untuk perkebunan, pelepasan kawasan hutan juga dilakukan untuk transmigrasi. Hingga 2015 diberikan kepada 277 unit koperasi dengan luas 890.560 hektare. “Yang mana lokasi transmigrasi ini di beberapa tempat seperti Kalimantan Tengah, Jambi, Sulawesi tengah menjadi perkebunan kelapa sawit,” lanjut dia.
Paket kebijakan ekonomi di sektor infrastruktur yang diklasifikasikan sebagai Proyek Strategis Nasional dan mendapat fasiltas kebijakan berupa kemudahan perizinan juga berdampak langsung pada deforestasi dan degradasi hutan.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Ahmad Surambo, mengatakan saat ini perkebunan kelapa sawit skala besar telah menimbulkan dampak negatif yang serius, sehingga perlu dilakukan moratorium, terutama perijinannya. Menurut dia, hal itu bertujuan untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit. “Ketika dilakukan penilaian bahwa sistem pembangunan perkebunan telah baik maka moratorium bisa dicabut. Intinya bukan soal anti sawit, tapi bagaimana sistem pembangunannya lebih adil dan lebih baik,” ujarnya kepada VIVA, Kamis, 2 November 2017.
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, mengatakan, sejak pemberlakuan UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota mempunyai wewenang terkait pemberian izin aktivitas penambangan di daerah. Hal ini membuat aktivitas penambangan begitu masif di daerah. Dan banyak izin-izin tambang yang posisi izinnya itu masuk di kawasan hutan.
“Tidak hanya hutan lindung ya, tapi juga masuk ke kawasan hutan konservasi yang sebetulnya tidak boleh dieksploitasi, tetapi pertambangan tetap masuk,” ujarnya kepada VIVA, Jumat, 3 November 2017.
Menurut dia, kebijakan itu membuat penetapan sebuah kawasan sebagai kawasan hutan lindung akhirnya tidak jelas. “Jadi, menurut saya ada ketidakpastian dari pendefinisian terhadap fungsi hutan lindung maupun hutan konservasi yang dimiliki oleh pemerintah,” ujarnya.
“Ada satu peraturan yang menyatakan bahwa setiap hutan itu harus memiliki wilayah tutupan hutan sekian persen dari luas wilayah. Tapi sejak pertambangan masuk, perkebunan sawit masuk, dan seluruh investasi penggunaan lahan skala besar itu masuk, itu menjadi salah satu pemicu atau penyebab jumlah luasan hutan kita di seluruh Indonesia itu menyusut. Dan itu terjadi secara signifikan.”
Sebuah rumah berada di tengah hutan yang telah ditebang di Provinsi Riau. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) enggan berkomentar saat dimintai tanggapan terkait kerusakan hutan akibat ekspansi perkebunan dan tambang. Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), Putera Prathama, hanya mengatakan kaitan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan sawit hanya soal penyediaan lahan dan Analisis Dampak Lingkungan atau AMDAL.
“Keduanya adalah fungsi Planologi. Sedangkan kita nggak ada sama sekali urusan sama sawit,” ujarnya ketika dikonfirmasi VIVA. “Maksimum interaksinya berupa adanya sawit-sawit ilegal di dalam konsesi. Itu pun sekarang jadi urusan penegak hukum. Jadi Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari memang benar-benar lepas dari urusan sawit.”
Sementara, Kepala Biro Humas KLHK, Djati Witjaksono Hadi, cuma merespons bahwa semua kegiatan pasti memiliki dampak. “Tinggal dampak pentingnya atau tidak, seberapa besarnya, berdasarkan pengkajian,” ujarnya kepada VIVA, Jumat, 3 November 2017.
Ia mencontohkan, kalau lahan kosong jadi kebun sawit itu positif. Tapi kalau ada lahan hutan primer yang diubah jadi agrikultur pasti ada dampak negatifnya. Sementara, saat diminta tanggapan terkait tudingan bahwa perkebunan sawit merusak hutan dan lingkungan, Fadhil Hasan hanya menjawab singkat bahwa itu adalah isu lama. “Isu lama itu bikin lagi yang baru,” ujar Direktur Eksekutif GAPKI ini.
Selanjutnya, Evaluasi dan Penegakan Hukum
Evaluasi dan Penegakan Hukum
Walhi pun meminta pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh. Mulai dari evaluasi ijin penggunaan lahan, evaluasi dampak kerusakan lahan akibat izin penggunaan lahan, termasuk evaluasi moratorium. “Kami mengusulkan moratorium harus dilakukan 25 tahun bukan dua tahunan, “ujar Zenzi.
Menurut dia, dalam waktu 25 tahun itu semuanya harus dievaluasi. Dan yang paling penting adalah penegakan hukum di sektor kehutanan. “Itu PR pemerintah saat ini.”
Penambang sedang bekerja di sebuah pertambangan timah tradisional di Desa Damar, Belitung Timur. (VIVA/Nurcholis Anhari Lubis)
Senada dengan Walhi, Melky Nahar juga mengusulkan agar pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh berkaitan dengan ijin usaha pertambangan. Ia mengatakan, saat ini ada sekitar sembilan ribuan perusahaan pemegang IUP. Menurut dia, harus dilakukan audit atau evaluasi secara menyeluruh terhadap izin-izin tersebut.
“Audit secara menyeluruh ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana eksisting hutan kita ini rusak akibat hadirnya investasi pertambangan,” ujar Kepala Kampanye Jatam ini. Ia menambahkan, setelah dilakukan evaluasi kemudian dilakukan penegakan hukum yang berkaitan dengan pengrusakan lingkungan akibat pertambangan.
Karena, kalau hal itu tidak dilakukan, hutan di Indonesia akan semakin rusak. “Banyak sekali investasi yang masuk ke kawasan hutan itu tadi,” ujarnya.
Menurut Melky, pemerintah harus mulai mengevaluasi dan mengaudit seluruh izin tambang yang ada. Mana yang masuk kawasan hutan lindung, mana yang masuk kawasan konservasi. Kemudian dari sekian banyak perusahaan tambang yang sudah beroperasi, mana perusahaan yang sudah melanggar dan lain sebagainya. “Kalau tidak dievaluasi secara menyeluruh ya repot juga nantinya. Hutan pasti akan habis,” lanjut dia.
Sementara menurut Ahmad Surambo, sebagai sebuah kebijakan, moratorium butuh penegakan dan pengawasan agar efektif. “Kami berharap moratorium berdasarkan capaian hasil bukan waktu. Sehingga kita semua dapat melihat dan mengukur tingkat efektivitasnya.” (ren)