- ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
VIVA.co.id – Bulir-bulir air masih menempel di badan mobil Mercedes berkelir hitam yang masuk ke gerbang Tol Bawean-Salatiga Jawa Tengah. Mulai dari atap hingga kacanya bisa terlihat jelas bulir-bulir itu bertebaran.
Tak lama, perlahan kaca di sebelah kanan belakang terlihat bergeser turun. Dari balik kaca pekat yang konon tahan dari peluru itu muncul wajah semringah Jokowi.
Dengan kemeja putih khasnya, presiden Indonesia ketujuh ini terlihat mengacungkan sebuah benda berupa kartu berbentuk persegi panjang kecil berwarna hitam keabu-abuan.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya terlihat terulur. Kartu kecil itu dijepitnya dengan bantuan jempol dan kemudian ditempelkannya ke sebuah mesin.
Kepala Jokowi sampai menunduk buat memastikan kartu yang ditempelnya tepat di mesin pembaca. Tak butuh waktu lama, Jokowi bersama sopirnya segera bergegas lagi.
Ya, sore di akhir September itu, Jokowi bak memberi 'peringatan'. Tanpa harus mengucap sepatah kata pun, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mencoba menyampaikan pesan bahwa kelak terhitung tanggal 31 Oktober, tak ada lagi penggunaan uang tunai di tol.
Singkat pesannya, presiden saja bayar pakai kartu, mengapa warga tidak. Jadi mesti siap-siap. Kurang lebih begitu isyarat yang ingin disampaikan mantan Wali Kota Surakarta itu.
Memotong Waktu
Merujuk data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), sejak pertama kali Indonesia memiliki tol, yakni tol Jagorawi pada tahun 1973, lonjakan pengguna tol kini berkembang sangat cepat.
Bagaimana tidak, kini ada 5 juta transaksi di tol setiap hari atau mencapai 150 juta dalam sebulan. Maklum, dalam satu jam kini di tol paling sedikit ada 2.000 kendaraan yang melintas. Bisa dibayangkan ini artinya ada 48 ribu kendaraan setiap hari. Bukan main sibuknya.
Karena itu, jelas ini menuntut pelayanan yang lebih besar. Apalagi secara teknis sebuah gardu tol cuma mampu melayani 250 kendaraan saja per jamnya. Sementara menambah gardu tol sangat tidak mungkin dilakukan.
"Akhirnya yang harus kita lakukan adalah meningkatkan kapasitasnya. Meningkatkan kapasitas ini kita lakukan dengan cara apa, dengan cara mempercepat transaksinya," kata Kepala BPJT Hery Trisaputra Zuna, Rabu, 11 Oktober 2017.
Kata Hery, selama ini dengan penggunaan gardu tol pembayaran manual, waktu proses pembayaran sebuah kendaraan angka tercepatnya hanya berkisar antara 6-9 detik. "Ini kita coba potong," kata Hery.
Gagasannya, seperti yang telah dipraktikkan Jokowi di Tol Bawean-Salatiga adalah dengan menggunakan kartu elektronik. Jadi, setiap pengendara tak perlu pakai uang tunai lagi. Cukup tempel kartu lalu pergi.
Sejumlah kendaraan melintas di gerbang tol Cibubur Utama, Jakarta Timur. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
Dari uji coba yang dilakukan, didapatlah waktu tercepat layanan menjadi berkurang lima detik, yakni antara empat detik dan lebih cepatnya lagi cukup tiga detik. "Hitungan kita itu nanti bisa (melayani) sekitar 400 kendaraan per jam," klaim Hery.
Karena itu, lewat bantuan mesin, kini tol-tol dipercaya tidak akan lagi mengular. Selain itu tentunya petugas tak perlu repot lagi menyediakan uang kembalian dan lain tetek bengek lainnya.
Dan pastinya, berkat 'mesin ajaib' di tol itu tak perlu lagi kehadiran manusia. Semua berjalan otomatis tanpa ada interaksi apa pun kecuali menempel kartu yang berisi uang.
"Standard kita cashless transaction itu adalah 3 detik," tambah AVP Corporate Communication PT Jasa Marga, Tbk Dwimawan Heru Santoso.
"(Karena itu) Kami berharap semua sekarang beralih. Begitu nanti 31 Oktober, sudah tidak boleh lagi. Kalau ada yang tidak bawa, kami paksa beli," tambah Assistant Vice President Corporate Communication PT Jasa Marga Dwimawan Heru.
Selanjutnya, Menyulut Ribut
Menyulut Ribut
Di luar itu, gagasan pemerintah memotong waktu lima detik di tol memendam masalah. Mimpi praktis lewat mesin ajaib rupanya membuat mereka yang sehari-hari bekerja di gardu tol berteriak.
Lima detik ini menyulut keributan. Ribuan pekerja tol kini cemas, sebab bisa dipastikan kehadiran mereka tak lagi diperlukan.
"Ada lebih 20 ribuan pekerja tol terancam (pekerjaannya)," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Mirah Sumirat.
Menurut perempuan yang mengaku telah 17 tahun bekerja di ruas tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) ini, konsep praktis ala kartu tol itu memang meresahkan pekerja.
Maklum, kebijakan itulah yang akan merenggut lima orang pekerja tol di setiap gardunya. "Saya kira sudah bisa dipastikan akan ada PHK (pemutusan hubungan kerja)," kata Mirah.
Mirah tak menampik jika memang ada alternatif tawaran dari BPJT soal nasib para pekerja tol yang terancam 'terbuang'. Tawaran itu berupa pengalihan profesi mereka ke sektor pekerjaan lain di BPJT.
Namun demikian, bagi Mirah, itu bak peluru hampa. Apa yang dilontarkan BPJT tak mampu menjawab masalah pelik di balik dampak lima detik yang telah dipangkas.
Posisi pekerjaan baru yang tersedia, kata Mirah, konon cuma 200 saja. Jumlah ini sangat tak masuk akal dibanding ribuan pekerja yang terancam menganggur.
Petugas Jasa Marga membantu pengendara melakukan transaksi nontunai menggunakan e-toll di Gerbang Tol Citeureup 2, Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)
Tak cuma itu peliknya lagi, posisi pekerjaan yang akan dibuka itu belum tentu akan mudah didapat. Sebabnya, BPJT harus menyeleksi ulang para pekerjanya lantaran kualifikasi yang ditawarkan sudah tak seragam dengan pekerjaan yang dilakoni para pekerja tol sebelumnya.
"Bayangkan, kami yang sudah bekerja tahunan di gerbang tol, kami akan dialihkerjakan di tiga sektor lain, yaitu di rest area, potong rumput, dan ngurusin jembatan penyeberangan. Ini kan tidak masuk akal."
Atas itu, Mirah berkeyakinan pasti ada PHK, dan celakanya lagi hingga kini belum ada arah pembicaraan yang menuju ke isu soal pesangon. Jika pun ada, maka itu tak lebih sebagai kompensasi belaka yang cuma menjadi masalah baru bagi pekerja setelah tak lagi bekerja kedepannya.
"Ini bukan nominal pesangon! Para pekerja itu membutuhkan kepastian untuk mendapatkan kebutuhan dengan layak dan berkesinambungan," sergah Mirah.
Simpang Siur
Apa yang diteriakkan Mirah mungkin saja benar. Peniadaan petugas di gardu tol harus diakui tak terbantahkan. Namun demikian, muncul kejanggalan di balik jumlah pekerja yang terancam.
Jika sebelumnya Mirah di bawah bendera ASPEK menyebut ada 20 ribu pekerja tol yang akan terbuang. Namun jumlah ini tak sinkron dengan jumlah pekerja yang disebut Jasa Marga. "Total pegawai Jasa Marga 9.900 karyawan," ujar Direktur Utama Jasa Marga Desi Arryani.
Desi menyebut, saat ini jumlah panjang tol yang dikelola PT Jasa Marga secara keseluruhan baru mencapai 625 kilometer dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 1.260 kilometer hingga 2019.
Dari angka itu, diketahui jumlah gardu tol yang tersebar di seluruh Indonesia mencapai 1.150 gardu. Dan ini artinya jika dikalikan dengan rata-rata lima orang pekerja di gardu tol, maka hanya ada 5.750 pekerja saja.
Cukup pelik juga mencari angka pasti berapa jelasnya pekerja yang berpotensi dirugikan dari penerapan kartu elektronik. Apalagi sumber di Jasa Marga menegaskan, para pekerja yang mengeluh itu tidak ada kaitannya dengan mereka. Sebabnya, sejak gagasan tol otomatis digulirkan pada tahun lalu, seluruh pekerja yang terkait Jasa Marga justru tak mempersoalkannya.
Sementara itu, Assistant Vice President Corporate Communication PT Jasa Marga Dwimawan Heru, tak menampik jika memang akan ada pengurangan pekerja di tol. Namun demikian jumlahnya tak sebanyak yang ditakutkan. Itu pun masih bersifat pengalihan profesi, atau dengan kata lain tidak ada PHK.
"Nanti ada pengawas GTO (gerbang tol otomatis). Jumlahnya memang tak sebanyak dulu. Yang tidak jadi pengawas nanti ada alih profesi," ujar Dwimawan.
Petugas mengoperasikan mesin anjungan kartu non tunai jalan tol Trans Sumatera, di pintu tol Helvetia Medan, Sumatera Utara. (ANTARA FOTO/Septianda Perdana)
Simpang siurnya jumlah pekerja ini, bisa jadi lantaran mayoritas pekerja tol adalah pekerja kontrak dari perusahaan rekanan. Memang benar adanya 9.900 karyawan Jasa Marga, namun itu adalah jumlah pekerja tetapnya.
Jumlah pekerja tak tetapnya yang disediakan rekanan itulah yang hingga kini masih kabur. Karena itu jika ASPEK menyebut ada 20 ribu pekerja terancam, mungkin bisa jadi tak ada salahnya juga.
Apa pun itu, yang pasti saat ini secara prinsip sosialisasi tol otomatis memang telah bergulir sejak tahun 2016. Di awal kebijakan itu disampaikan, pengguna kartu tol otomatis meningkat 25 persen.
Kemudian melonjak lagi, seperti klaim Jasa Marga yakni 79 persen hingga September 2017. Ini artinya tersisa 21 persen lagi pengguna jalan tol yang belum menggunakan kartu tol otomatis. Jika memang ini fakta murni lonjakan pengguna kartu tol otomatis, maka bisa dipastikan secara prinsip tidak ada penolakan dari pengguna jalan tol.
Ini sepertinya juga terjawab dari pernyataan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang boleh dikatakan tidak menyoroti adanya penolakan dari pengguna.
Selanjutnya, Proyek Ambisius?
Proyek Ambisius?
Yang jelas kini, mimpi serba otomatis lewat tol ini, diakui cukup ambisius. Meski klaim kesiapan pengguna kartu telah mencapai 79 persen, lalu kesiapan alat yang sudah 100 persen dan kartu-kartu dalam proses percetakan. Namun, proyek ini tetap terlihat terburu-buru. PT Jasa Marga sendiri bahkan terkesan belum mendalami kesiapan teknis secara detail.
Contohnya dalam jumlah kartu yang akan disiapkan di gerbang tol. "Lagi kita hitung. Saya belum ingin bicara jumlah," dalih AVP Corporate Communication PT Jasa Marga, Tbk Dwimawan Heru Santoso.
Dwimawan juga enggan menyebut tegas apakah kebijakan kartu tol elektronik bisa mengurai kemacetan yang selama ini kerap menjadi masalah di ruas tol.
Ia hanya bisa memastikan tol otomatis hanya akan mengurangi kepadatan di area masuk gardu tol. Dalihnya, melihat kemacetan di tol harus dikaji dari berbagai faktor. Yakni, ketidaksiplinan pengguna jalan, bertambahnya jumlah kendaraan angkutan besar, perbaikan jalan, atau pun kecepatan akibat musim libur baik itu di jalan maupun di rest area.
"Cashless ini iya (mengurangi kemacetan). (Tapi) Itu untuk kemacetan di gerbang. Kalau di jalan tol kan penyebabnya banyak," ujarnya.
Tak jauh berbeda dengan dikatakan Kepala BPJT Hery TZ. Dalam pernyataannya ia sempat mengklaim penggunaan kartu tol elektronik akan membantu efisiensi. Namun demikian, Hery tak bisa menjawab perihal target efisiensi.
"Kalau efisiensi dari sisi anggaran kita belum sampai ke sana, tapi pastinya kita akan hitung setelah ini semua berjalan, berapa efisiensi yang diperoleh badan usaha dengan kebijakan ini," ujarnya.
Antrian kendaraan saat transaksi di Gerbang Tol Cibubur, Jakarta TImur. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)
Atas itu, mahfum kemudian kebijakan gerbang tol otomatis ini diserempetkan ke keterburu-buruan. Meski sejumlah elemen rencana ini ada yang telah disiapkan. Namun, masalah sekecil apa pun tetaplah masalah. Ia menuntut diselesaikan bukan untuk diabaikan. Keluhan soal ancaman hilangnya pekerjaan wajib diselesaikan.
Sebab fakta hingga hari ini, di gardu-gardu tol kini sudah tak ada lagi petugas jaga adalah nyata. Berapa jumlah mereka yang berpotensi dirugikan dari kebijakan ini mesti dipetakan jelas.
"Memang di era digital ini, mau tidak mau memang kita harus menghadapi. Ada positif dan negatif, dari segi negatif terjadilah pengurangan pekerja. Berkaitan dengan Jasa Marga, e-money ini, tidak bisa dihindarkan lagi," kata Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Hubungan Industri Kemenaker RI Aswansyah .
Ia pun mengingatkan agar ada komunikasi yang baik antara pengelola tol dengan pekerjanya. "Kami harap antara pekerja dan pengelola jangan sampai ke pengadilan, diusahakan-lah jangan sampai ke pengadilan," katanya.
Singkatnya jangan sampai cuma gara-gara memotong waktu lima detik lalu masalah pelik setelah itu justru mengusik. Yang perlu diingat adalah masalah tol itu bukan cuma soal proses pembayaran di tol. Namun juga soal kapasitas tampung dan jangkauan tol yang lebih baik. "Jangan menghilangkan pekerjaan, enggak benar itu, GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai) menghilangkan pekerjaan orang," kata Mirah Sumirat. (umi)