- ANTARA FOTO/Wira Suryantala
VIVA.co.id – Hari masih pagi. Jam di tangan masih menunjuk angka enam. Namun, keriuhan sudah terdengar di rumah Rahmat Afandi. Suara motor yang sedang dipanaskan beradu dengan kicau burung dari dua kurungan yang digantung di atas teras. Sesekali terdengar teriakan Rahmat meminta anak-anaknya segera berkemas.
Tak ada meja dan kursi di teras rumah yang berlokasi di Jalan Kampung Melayu Besar, Bukit Duri, Jakarta Selatan ini. Hanya ada rak sepatu dari papan bekas yang terlihat sudah reot dan usang.
Tak berselang lama, Rahmat ke luar dari dalam rumah dan menghampiri motornya yang masih menyala. Jaket kombinasi warna hitam dan hijau bertuliskan 'GRAB' terlihat membungkus badan pria yang sudah berusia setengah abad tersebut. Ia lalu pamit dan langsung pergi, mengantar kedua anaknya sekolah.
"Ya begini ini setiap hari. Habis mau gimana lagi. Nyari kerja kan sekarang juga enggak gampang, kebutuhan setiap hari sudah pasti ada. Mau enggak mau kita nge-Grab," ujar Rahmat Affandi usai mengantar anaknya sekolah.
Ia mengaku sudah lama menjadi driver ojek online. "Sudah hampir dua tahunan," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis 5 Oktober 2017.
Meski pendapatannya dari ojek online tak menentu, namun uang yang didapat bisa sedikit menambal kebutuhan keluarganya. "Ya Alhamdulillah-lah. Meskipun enggak tentu. Yaa kita cukup-cukupin lah," ujar bapak tiga anak ini, sambil matanya sesekali melirik layar telepon genggamnya.
Sebelum menjadi driver ojek online, Rahmat bekerja sebagai satpam di perusahaan pengiriman barang. Saat ramai-ramai ojek online, dia memutuskan keluar dari perusahaan. "Dulu kan lagi ramai-ramainya nge-Grab. Katanya sih penghasilannya lumayan, ya sudah kita masuk Grab," ujarnya mengenang. [Baca juga: Mitra Tak Setara]
Hal senada disampaikan Jajat (28). Driver Gojek ini mengaku tertarik ngojek online karena tergiur untung besar. Dulu ia bekerja di showroom mobil second, bagian mesin. “Terus lagi ramai-ramainya ojek online. Waktu itu lagi booming-boomingnya. Ya sudah saya ikutan daftar," ujarnya saat ditemui di seputaran kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, Rabu 4 Oktober 2017. [Lihat infografik: Tiga Raksasa]
"Dulu teman saya juga banyak yang sampai berhenti kerja dan masuk ke Gojek atau Grab. Karena dulu itu penghasilan masih lumayan," ujarnya menambahkan.
Seorang driver ojek online Go-Jek sedang berjalan di jalanan Jakarta. (REUTERS/Beawiharta)
Lain dulu lain sekarang. Jajat mengatakan, saat ini sudah susah mendapatkan penghasilan lumayan dari ojek online. "Awalnya sih enak. Tapi ke sininya udah enggak seenak dulu lagi," ujar bapak satu anak ini.
Jajat mengaku, tak ada kontrak saat bergabung ke Gojek. Ia hanya ditraining sebentar dan langsung kerja. "Jadi terserah mereka saja kalau kita diputus hubungan mitra kerja sama perusahaan," ujar pria yang sudah menjadi driver ojek online setahun lebih ini.
Karena tak ada kontrak, jika sewaktu-waktu perusahaan transportasi online tempat Jajat bernaung memutus kerja sama, ia tak bisa apa-apa dan tak punya hak apa-apa.
Sandy (bukan nama sebenarnya), mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta juga memilih menghabiskan waktu luang sebagai driver ojek online, Grab. Alasannya, selain bisa mendapatkan uang tambahan, ia juga bisa bertemu dengan banyak orang. "Lumayan untuk tambah uang kuliah," kata dia.
Rahmat menambahkan, meski tak banyak tiap hari ia bisa membawa pulang uang. "Enggak tentu. Kadang Rp200 ribu, kadang Rp300 ribu. Kalau lagi sepi paling Rp100 ribu," ujarnya.
Jajat juga mengaku, penghasilannya dari ojek online tak tentu. Namun ia tetap bersyukur masih ada uang yang bisa diberikan untuk istri dan anaknya.
Ia tak memasang target terkait jumlah penumpang. Namun, jika ingin mendapatkan bonus, ia harus memenuhi target yang ditetapkan perusahaan. "Targetnya 20 poin sehari. Kalau target itu tercapai bisa dapat bonus lumayan, bisa Rp90 ribu," ujarnya menjelaskan.
Menurut dia, dulu target dan bonus tak segitu. Dulu targetnya hanya 10 poin dan bonusnya mencapai Rp150 ribu. “Enggak tahu kenapa sekarang turun. Itu kebijakan perusahaan, kita mah tinggal ngikutin saja, mau gimana lagi," ujarnya pasrah.
Bagi anak kuliahan, sehari bisa mengantongi Rp175 ribu hingga Rp200 ribu, sudah cukup besar bagi Sandy. Dan, jika dia lebih rajin, ia bisa bawa pulang uang lebih.
Meski mengandalkan jalanan, rahmat menuturkan, banyak risiko yang harus dihadapi selama bekerja di jalanan. Misalnya kecelakaan. Tak hanya itu, tubuh tuanya juga tiap hari dihajar panas dan hujan. “Hujan kita juga tetap jalan. Panas, kepanasan. Belum lagi kalau dapat penumpang jauh, jalanan macet,” ujarnya menambahkan.
Sementara menurut Jajat, selain kecelakaan ia juga harus menghadapi intimidasi dari ojek pangkalan. Bahkan tak jarang ia harus bentrok dengan mereka. Ia juga harus menghadapi ancaman dibegal di jalan. “Banyak lah kejadian-kejadian di jalan. Namanya kita kerja di lapangan kan ada saja, apalagi kaya kemarin pas musim-musimnya begal,” ujarnya.
Meski demikian, ia mengaku suka menekuni pekerjaannya tersebut. Pasalnya, ia jadi lebih banyak teman. "Saya tinggal di Pondok Ranji. Tapi kalau mangkal bisa di mana-mana. Di pangkalan baru juga nambah teman baru.”
***
Minim Perlindungan
Rahmat menuturkan, memang ada asuransi dari perusahaan jika driver mengalami kecelakaan. Namun, tak ada asuransi kesehatan. Sehingga jika sakit, driver sendiri yang mengeluarkan biaya berobat.
Selain itu tak ada fasilitas lainnya dari perusahaan. Menurut Sandy, ada biaya kesehatan jika driver mau klaim ke perusahaan. Sementara terkait kecelakaan, jika tak parah tidak diganti. Perusahaan hanya memberikan asuransi jika cacat atau meninggal dunia.
"Kalau penumpang kecelakaan cuma lecet-lecet doang diganti biaya pengobatan. Tapi kalau cacat seumur hidup, meninggal dunia itu dapat," ujarnya menambahkan.
Sementara di Gojek, menurut Jajat yang baru setahun setengah bergabung, tidak ada asuransi kesehatan bagi driver. "Paling juga asuransi yang baru dikeluarin sama Gojek, namanya GO-Proteksi, misalnya kalau kita ada Laka di jalanan," ujarnya.
Sejumlah driver ojek online Go-Jek tengah menunggu pesanan di sebuah kedai makanan di Jakarta. (REUTERS/Beawiharta)
Namun, Go-Proteksi hanya untuk kecelakaan. Kalau sakit tetap driver yang menanggung biaya. Menurut dia, apa-apa yang terjadi di jalan menjadi tanggungan driver, kecuali menyangkut penumpang. "Misalnya di jalan kecelakaan, customernya komplain atau minta pertanggungjawaban dari perusahaan. Perusahaan mungkin bisa bantu, kalau buat kita mah kita tanggung sendiri," ujarnya.
Selain soal asuransi kesehatan, Jajat juga mengeluhkan soal perusahaan yang abai dengan risiko driver di jalanan. Ia mencontohkan saat ambil Go food. Untuk layanan ini driver harus keluar uang menalangi. Namun, tak jarang mereka ditipu. “Itu salah satu risikonya, kena tipu. Kecelakaan di jalan, tapi kan perusahaan masa bodo sama yang dialami driver di jalanan,” ujarnya mengeluh.
Selain itu, jika driver mengeluh respons perusahaan sangat lamban. Sementara jika penumpang yang komplain, perusahaan langsung turun tangan.
Terus Tergerus
Padahal semakin hari, Rahmat mengeluh, pendapatannya dari ojek online terus menyusut. Hal senada disampaikan Jajat. Menurut dia, pendapatannya terus berkurang. "Kalau dulu, sehari bisa dapat Rp500 ribu. Kalau sekarang, mau nyari Rp200 ribu saja seharian sudah susah,” ujarnya.
Jajat mengaku bingung dengan kondisi tersebut. Ia tidak tahu apakah itu terjadi karena driver ojek online semakin banyak atau karena permainan perusahaan. "Paling kalau ngadu, kantor cuma jawab, itu dari sistemnya," ujar dia.
Ia berharap, perusahaan bisa lebih baik dalam memperlakukan driver. "Harapan kita sih enggak muluk-muluk. Perusahaan jangan cuma perhatiin penumpang, kita juga diperhatiin."
Sandy juga menyampaikan hal yang sama. Ia berharap, ada perhatian khusus dari perusahaan. Menurut dia, sejauh ini kalau ada apa-apa di jalan yang paling aktif cuma sesama driver. "Kalau bisa harus ada komunitas resmi dari perusahaan yang memantau secara sistematis untuk perbaikan manajemen," ujarnya.