- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Semua riuh. Hingar bingar dalam satu ruang besar. Tak sabar menanti selubung yang tak lama lagi dibuka.
Satu di antaranya mengeluarkan kamera. Bersiap membidik isi yang bikin penasaran pengunjung Gaikindo Indonesia International Auto Show 2017 Agustus lalu.
Sebuah obrolan ringan samar-samar terdengar. Pemuda berusia dua puluhan itu bertanya pada temannya, apa mobil besutan Mitsubishi ini bakal sukses menenggelamkan pamor Avanza.
Pertanyaan itu cukup beralasan, karena dikaitkan dengan diksi yang acap digunakan media massa dalam tiap artikel yang berkaitan dengan Xpander, 'calon pembunuh Avanza'."Ya kita lihat saja, yang dulu-dulu juga disebut calon pembunuh Avanza, nyatanya sampai sekarang enggak terbunuh-bunuh," sahut teman di sebelahnya. Tanpa membalas, pemuda itu hanya mengangguk.
Percakapan itu memberi tafsir tersendiri. Bagaimana memori di kepala seseorang memberi gambaran betapa sulitnya 'sang petahana' tergeser dari singgasana mobil multi guna level bawah.
Sebagai modal menantang, Xpander memang hadir dengan wujud yang ngeri-ngeri sedap, hingga dianggap jadi lawan yang setimpal bagi Avanza. Desainnya futuristik, kaki-kaki badak, dan fitur berlimpah. Banyak yang memperkirakan kreasi terbaru Mitsubishi ini cukup menjadi pilihan menarik bagi masyarakat pasca lenyapnya Mitsubishi Kuda dan Maven.
Mobil terbaru Mitsubishi Xpander saat dipamerkan dalam ajang Pameran Otomotif GIIAS 2017 di ICE, BSD, Tangerang, Kamis, 10 Agustus 2017. (VIVA.co.id/M Ali Wafa)
Isyarat bahaya dari Xpander sudah terlihat dari membeludaknya pengunjung gerai Mitsubishi di ajang GIIAS 2017. Banyak orang penasaran.
"Intinya Mitsubishi Xpander cukup sukses di launching-nya, ini membuat kita tetap optimistis," kata Direktur Penjualan dan Marketing PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia Irwan Kuncoro.
Setali tiga uang, perusahaan otomotif pendatang baru dari China, Wuling, juga memberi gelagat bila pertarungan mobil kelas keluarga di Tanah Air bakal dibuat makin beringsang. Wuling memboyong dua gacoan, Confero dan Confero S, yang sama-sama dihadirkan sebagai kuda hitam peperangan di segmen mobil keluarga. Apalagi mereka menawarkan harga murah di produk sekelas low MPV yang sudah disesaki Avanza, Xenia, Ertiga, Mobilio, hingga Grand Livina. [Baca juga: Lincahnya Mobil Keluarga Indonesia]
Invasi bisnis produsen asal China itu sudah ditandai dengan guyuran investasi lebih dari Rp9 triliun untuk membangun markas di Cikarang. Langkahnya bahkan jauh lebih progresif ketimbang pemain mobil sekaliber Korea Selatan yang masih mengandalkan impor, sekalipun sudah hadir selama lebih dari dua dekade.
Brand Manager Wuling Motors, Dian Asmahani, mengaku sebelum masuk Indonesia sudah melakukan riset mendalam mengenai masyarakat Indonesia. “Kami memahami bahwa masyarakat Indonesia sangat memegang nilai kekeluargaan dan mereka selalu mendahulukan kebersamaan keluarga, itulah yang menjadi salah satu latar belakang mengapa kami hadirkan MPV di Tanah Air," kata Dian. [Lihat: Infografik Membunuh atau Terbunuh]
Selanjutnya, Membunuh atau Terbunuh
Membunuh atau Terbunuh
Ada yang menarik jika melihat manuver berbagai produsen otomotif yang selama ini berada di posisi pinggir untuk menjadi pertama di kelas Low MPV. Tantangan besar pernah dilontarkan Suzuki melalui Ertiga pada 2012 lalu. Untuk mencuri perhatian, saat itu Ertiga ditawarkan dengan fitur dan kenyamanan yang lengkap. Kelahirannya memang sempat membuat waswas Toyota, namun sayang 'bulan madu' itu tak berlangsung lama.
Di awal kemunculan, Ertiga sempat menggeser Avanza dan Xenia dalam hal volume penjualan, namun hanya terjadi dalam beberapa bulan saja. Selanjutnya kembali melorot di urutan ketiga. Fakta ini terkonfirmasi dari data pasar yang dilansir Gaikindo.
Data menunjukkan, sejak 2010 hingga 2017, Avanza tetap yang teratas dalam penjualan otomotif jenis low MPV. Setiap bulan kendaraan produksi usaha patungan Jepang-Indonesia tercatat mampu menjual rata-rata 10.000-an unit. Baru disusul Xenia 3.000-an unit, Suzuki Ertiga 2.800-an unit, dan lainnya.
Meski demikian, kini Suzuki mengaku dalam tahap penjualan yang stabil. Walau mengakui pasar Low MPV ke depan bakal makin sengit. Suzuki optimistis Ertiga tetap menjadi salah satu pilihan pemburu mobil multi guna level bawah di Indonesia.
"Persaingan makin tinggi karena ada LCGC tiga baris dan produk-produk baru yang baru diperkenalkan kompetitor,” kata Direktur Marketing Roda Empat PT Suzuki Indomobil Sales Dony Saputra. Karenanya, Suzuki memusatkan strategi pada kepuasan pelanggan.
Di 2012 pula, Nissan sempat mencoba peruntungan dengan memboyong model global dan dijual di Indonesia, Evalia, untuk menggerogoti pasar mobil keluarga. Tetapi di tahun pertamanya saja, mobil itu hanya mampu terjual 10.691 unit. Di tahun berikutnya melorot 5.934 unit, dan terus menyusut hingga tak ada kabar selanjutnya.
Nissan juga sebelumnya menghadirkan Grand Livina, Small MPV pertama yang mengusung cita rasa sedan. Tetapi sepanjang 10 tahun kehadirannya, tumpul. Total hanya 216 ribuan unit yang terjual. Dan saat ini penjualan Grand Livina kurang menggembirakan. "Kalau untuk penjualan Livina di 2017 ini fluktuatif, rata-rata 800-an per bulan, dari 25 ribu unit (penjualan MPV nasional), Livina hanya menjual ratusan unit," kata Genaral Manajer Marketing dan Strategi Nissan Motor Indonesia Budi Nur Mukmin.
Chevrolet Spin saat dipamerkan di ajang Indonesia International Motor Show (IIMS) 2013 di Jakarta. (VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar)
Paling sial dialami Chevrolet Spin yang sempat gembar-gembor siap mengkudeta Avanza dalam waktu singkat. Saat kali pertama kemunculannya pada 2013, mobil itu mampu terjual di atas 10 ribu unit. Tapi setelahnya melempem hingga semaput, dan memilih menutup pabriknya di Bekasi, pada awal 2015.
Honda masuk dalam daftar merek yang pernah menskenariokan pembunuhan Avanza. Pada 2014 Honda merilis Mobilio. Produk ini juga sempat membuat gempar publik di Tanah Air. Bahkan di tahun pertama kemunculannya, Mobilio mencatat angka penjualan 79 ribuan unit. Namun di tahun kedua, menurun menjadi 42 ribuan unit, dan di tahun ketiga menjadi 39 ribuan unit. Dalam dua tahun terakhir, Mobilio redup dan tak mampu klimaks.
"Kami akan perkuat jaringan, kemudian bikin mobil dengan mesin yang lebih bagus supaya efisien bahan bakar, emisi rendah, dan power besar," kata Direktur Pemasaran dan Layanan Purnajual PT Honda Prospect Motor Jonfis Fandy.
Selanjutnya, Segmen Seksi
Segmen Seksi
Misi banyak produsen otomotif membunuh Avanza tentu melahirkan pertanyaan sendiri, sedemikian seksikah pasar yang dikuasainya hingga semua ngotot ingin berkuasa?
Melihat fakta, ternyata memang benar adanya. Mobil keluarga selalu dilirik karena menjadi selera jamak yang telah lama dinikmati masyarakat dalam negeri. Volume penjualan jenis low MPV mencapai 310 ribuan unit, atau lebih dari 40 persen dari total pangsa pasar otomotif nasional yang ada saat ini.
Sementara Avanza selalu bercokol di atas. Tak cuma jawara di kelas Low MPV, namun juga kampiun mobil terlaris di Nusantara. Selama berkiprah selama 14 tahun, sudah lebih 1,6 juta unit Avanza yang berkeliaran di seantero negeri. Karena itu pulalah mobil itu dijuluki mobil sejuta umat.
Sampai-sampai muncul lelucon populer, Avanza adalah mobil tercepat di jalan raya, yang tak mungkin disalip Ferrari sekali pun. Ketika Anda berhasil menyalip satu, maka akan ada Avanza lagi di depan Anda. Anda menyalipnya lagi, ada Avanza lagi. Tak pernah habis.
Mobil terbaru Next Generation MPV dari Mitsubishi saat acara peluncuran perdana di Jakarta, 24 Juli 2017. (VIVA.co.id/M Ali Wafa)
Ketua Gaikindo Jongkie D Sugiarto mengatakan, MPV menjadi idola masyarakat Indonesia karena sejumlah hal. Di antaranya sesuai dengan budaya orang Timur yang senang guyub atau bersama ke suatu tempat. Potensi inilah yang lalu ditangkap matang para produsen otomotif untuk menghadirkan beragam mobil keluarga dan bermain di level Rp150 juta sampai Rp200 juta, lalu dipoles sedemikian rupa agar terus memikat konsumen.
Pengamat Otomotif Bebin Djuana, mengatakan, sudah menjadi hal yang mahfum bagi merek-merek lain untuk mencoba mendapatkan porsi dari pasar mobil keluarga yang selama ini digenggam Avanza. Yang paling diuntungkan dari banyaknya model baru, tentu saja konsumen, karena mereka bebas memilih.
Tetapi, kata dia, ada catatan yang perlu digaris bawahi soal sepak terjang Avanza dan menjadi alasan mengapa langkahnya sulit dijatuhkan para lawan. "Avanza sesuai kebutuhan kendaraan keluarga, dan luasnya jaringan bisa menjamin pemeliharaan sehingga harga bekasnya tidak jatuh," kata Bebin.
Andai pun ada yang beralih ke merek lain karena pertimbangan desain atau fitur, sah-sah saja. Kenyataannya, kata dia, justru lebih banyak yang memilih "jalur aman" dengan tetap memilih mobil yang menguasai pangsa pasar. "Karena alasan nanti mudah menjualnya kembali,” katanya
Selanjutnya, Tak Bergeming
Tak Bergeming
Kendati kembali mendapat tantangan baru dari dua rival paling gres, Toyota terlihat tak bergeming. Mereka mengklaim masih bisa menjual rata – rata sekitar 10.000 unit Avanza tiap bulannya, dan itu masih konstan. Pengalaman seringnya dihadang, namun selalu gagal, menjadikannya selalu bersikap tenang dalam segala kondisi.
"Kami belum bisa lihat dampak nyatanya,” kata Executive General Manager PT Toyota Astra Motor Fransiscus Soerjopranoto.
“Karena orang mau beli mobil itu bukan hanya gembar-gembor di awal saja, tapi melihat seberapa banyak mobil itu di jalan raya."
Selama ini Avanza merajai pasar karena terkenal lebih mudah dipelihara. Didukung pula gerai pemasaran dan layanan purnajual yang berjubel. Jika Suzuki punya 292 gerai, Honda 139 gerai, dan Mitsubishi 90 gerai, Toyota punya 305 gerai.
Uji performa mobil Avanza di Cirebon. (VIVA.co.id/Dian Tami)
Menurut sejumlah pakar pemasaran, merek kuat saja memang sudah memberi kontribusi peluang bisnis dan menang di pasar sekitar 70 persen, karena ditunjang berbagai hal yang prima. Sisanya sebesar 30 persen tinggal urusan mesin yang prima dan kenyamanan dari penumpang.
Pabrikan mampu memberi kepastian dan jaminan kepada konsumen untuk mengendarai di jalan tanpa ada kekhawatiran mogok dan gangguan. Hingga akhirnya muncul slogan, “Anda tinggal mengendarai, di jalan biar kami yang urus”.
"Hanya yang mampu menciptakan dan memasarkan produk yang betul-betul diinginkan konsumenlah yang laku," kata Pengamat Otomotif Institut Teknologi Bandung Yannes Martinus.
“Banyak yang sekadar menjual MPV, tapi tidak memperhatikan aspek user experience dari pasar low MPV Indonesia,” katanya, menambahkan.
Berbagai faktor juga mendukung performanya. Seperti lebih murah biaya pemeliharaan karena dukungan bengkel resmi dan mekaniknya lebih friendly, sehingga bisa dilakukan di mana saja jika dalam kondisi darurat di mana pun kendaraan ini bermasalah. (hd)