- VIVA.co.id/Rifki Arsilan
VIVA.co.id – Wajah Henny Silalahi tertunduk lesu. Mata wanita 37 tahun itu tampak sembap. Dia menatap sendu selimut di pangkuannya. Tangannya mengelus lembut gebar yang masih terdapat bercak darah tersebut. Sesekali, dia menciumi kemul berwarna merah muda itu.
Pikiran Henny pun menerawang. Dia teringat si empunya selimut mungil itu, Tiara Debora Simanjorang. Debora merupakan putri Henny bersama suaminya, Rudianto Simanjorang (47). Bayi empat bulan itu meninggal dunia, Minggu, 3 September 2017.
Meski telah tiada, barang-barang Debora masih disimpan rapi. Bahkan, Henny minta pakaian dan selimut yang terakhir dipakai anaknya sebelum wafat tak dicuci dulu. Itu lantaran dia masih merasakan kehadiran sang bayi meski hanya lewat benda-benda peninggalannya. "Ini masih ada bau dedenya," ujar Henny saat ditemui VIVA.co.id di rumahnya, Gang Haji Jaung, Kota Tangerang, Kamis, 14 September 2017.
Henny lantas mengenang hari-harinya bersama sang buah hati. Debora lahir di RSUD Cengkareng, Jakarta Barat, pada 23 April 2017, sekitar pukul 12.15 WIB. Terlahir prematur, bayi Debora lantas mendapatkan perawatan selama dua minggu. Setelah itu dokter memperbolehkannya pulang.
Seiring berjalannya waktu, bayi Debora terus tumbuh. Namun suatu ketika, anak kelima dari lima bersaudara itu mengalami pilek dan batuk. Pada Sabtu, 2 September 2017, Henny membawa Debora ke RSUD Cengkareng. Kemudian, pada Minggu, 3 September 2017 dinihari, Debora tiba-tiba mengalami sesak napas.
Henny dan suaminya langsung membawa Debora ke RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat. Sampai di sana, Debora masuk ke ruang UGD. Dokter lantas menangani bayi tersebut. Kemudian, dokter minta agar Debora dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Henny lalu menemui petugas administrasi rumah sakit. Awalnya, dia diminta menyediakan dana Rp19,8 juta untuk uang muka perawatan di PICU. Namun kemudian, uang muka dikurangi menjadi Rp11 juta.
Ketika itu, orangtua Debora hanya memiliki uang Rp5 juta. Mereka lantas menyerahkan uang tersebut ke petugas. Namun, petugas tetap meminta Henny melunasi uang muka senilai Rp11 juta secara tunai. Henny berjanji akan melunasinya. Dia meminta agar anaknya dirawat di ruang PICU lebih dulu. Namun pihak rumah sakit kekeuh menolaknya.
Dokter lantas meminta mereka mencari rujukan ke rumah sakit lain. Henny dan suaminya pun tak tinggal diam. Mereka berusaha mencari ruang PICU di rumah sakit lainnya. Namun, gagal mendapatkannya.
Orangtua Debora lalu meminta kembali agar anaknya dapat dirawat di RS Mitra Keluarga. Tapi, petugas rumah sakit tetap tak bisa mengabulkannya. "Saya sudah minta-minta tolong, mengemis seperti itu dan tetap tidak dikasih," ujar Henny.
[Baca juga: Kala Kartu Sakti Tak Diakui]
Akhirnya, nyawa bayi Debora tak tertolong. Dia mengembuskan napas terakhir di ruang UGD. Jenazahnya lantas dimakamkan di TPU Tegal Alur, Jakarta Barat. Henny kecewa sikap rumah sakit yang tidak berusaha maksimal merawat anaknya.
"Itu yang saya sesalkan, kenapa pihak manajemen rumah sakit bisa seperti itu. Padahal saya sudah bilang pasti akan saya selesaikan sisa kekurangan DP-nya, masa mereka tidak bisa peduli sama sekali sih sama pasien yang membutuhkan pertolongan," ujar Henny.
[Lihat infografik: Deretan Penolakan Pasien Miskin]
Kematian Debora membuat Henny terpukul. Dia makin tertekan hingga jatuh sakit lantaran muncul kabar anaknya disebut kurang gizi hingga mengidap penyakit gagal jantung. Dia membantah Debora memiliki riwayat penyakit tertentu. Sesak napas yang dialami Debora pun baru terjadi di hari kematiannya. "Tidak ada (penyakit sebelumnya)," Henny menegaskan.
Kisah bayi Debora lantas mencuat ke permukaan. Itu terjadi setelah peristiwa tersebut diunggah melalui sebuah akun Facebook bernama Birgaldo Sinaga. Dia mengaku Henny meminta tolong menyampaikan jeritan hatinya. Mereka bertemu di Balai Kota ketika ingin menyampaikan keluh kesah kepada Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat.
"Dari kisahnya (Henny) saya menangis, kejam sekali rumah sakit itu," ujar Birgaldo saat wawancara di tvOne, Minggu, 10 September 2017.
Berbagai kalangan lantas menyoroti kasus ini. Perlakuan rumah sakit yang mengutamakan sisi komersial, dianggap telah menyalahi prinsip utama mereka untuk bantuan kemanusiaan. "Rumah sakit yang beroperasi di Indonesia (harus) lebih mengutamakan keselamatan pasien dalam kondisi darurat dibanding mempertimbangkan hal-hal yang bersifat komersial," kata Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani.
Suara senada dikemukakan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai. Menurut dia, orang yang datang meminta pertolongan ke rumah sakit harus dilakukan tindakan medis terlebih dulu daripada persoalan biaya. "Kan ini kelalaian menyebabkan kematian. Ketika rumah sakit menolak pelayanan apalagi bayi, itu tindakan kejam," ujarnya.
Komnas HAM mendesak pemerintah menginvestigasi pihak manajemen rumah sakit dan meminta pertanggungjawabannya. Komnas pun meminta kepolisian memproses kasus ini secara pidana, untuk memberi efek jera bagi pelayanan-pelayanan publik lainnya. "Pemerintah (harus) memastikan tidak akan terjadi hal yang sama pada masa yang akan datang," kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Maneger Nasution.
Pemerintah lantas bereaksi. Kementerian Kesehatan melakukan pertemuan dengan stakeholders, seperti Dinas Kesehatan DKI dan pihak rumah sakit. Kemenkes pun melakukan investigasi. Kesimpulannya, layanan medik sudah diberikan pihak rumah sakit, tapi untuk melihat kesesuaiannya harus melalui audit medik atau audit profesi.
Tak hanya itu. Kementerian Kesehatan juga menemukan kesalahan, yaitu layanan administrasi rumah sakit meminta pembayaran kepada pasien. Padahal, rumah sakit tahu bahwa pasien tersebut adalah peserta BPJS. Lalu, pasien memberikan pembayaran dan rumah sakit menerima uang itu.
"Dengan adanya kebijakan uang muka tadi, hal ini kami pahami tidak sejalan dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku, khususnya kewajiban sosial rumah sakit sesuai UU Nomor 44 Tahun 2009," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Oscar Primadi.
Kemenkes mengeluarkan rekomendasi, yaitu Dinas Kesehatan DKI Jakarta harus memberikan sanksi administratif, berupa teguran tertulis. Tapi sanksi tidak berhenti di sana. Sanksi lain akan ditentukan setelah audit medik rampung.
Dalam audit medik nanti, menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto, akan ditelusuri mulai dari penyakitnya. Pertolongan yang diberikan di rumah sakit juga akan diaudit. Hasil audit bisa segera didapatkan asalkan laporan tersebut lengkap. "Kalau laporannya lengkap, jelas yang dibutuhkan untuk audit satu hari juga selesai," ujarnya.
Selanjutnya, Tim Investigasi.
***
Tim Investigasi
Dinkes DKI lantas membentuk Tim Investigasi Kasus Debora. Tim yang diketuai Tienke Maria Margaretha tersebut mulai bekerja, Jumat, 15 September 2017. Tim bertugas melakukan investigasi terhadap kasus kematian bayi Debora secara komprehensif, baik dari segi medis, manajemen, maupun administrasi. Hasil investigasi tersebut akan disampaikan kepada kepala Dinkes DKI dan Pemprov DKI.
Tim investigasi terdiri dari 19 orang, ditambah dengan dua orang tim ahli. Tim investigasi ini terdiri dari dua kelompok. Pertama, tim yang fokus terhadap kesehatan diketuai oleh ketua IDI. Kedua, tim yang dibawahi dinas kesehatan untuk fokus pada aspek administrasi.
Untuk tahapan sanksi, mulai dari sanksi teguran lisan, tertulis sampai dicabut izin. Adapun pencabutan izin dapat dilakukan apabila terbukti melakukan pelanggaran. "Jadi kalau ditemukan kami akan cabut izinnya, tentunya sesuai investigasi medik," kata Maria.
Bukan hanya pemerintah daerah yang menginvestigasi kasus ini. Polda Metro Jaya pun menyelidiki kematian Debora. Kepolisian masih mendalami apakah ada unsur pidana dalam kasus meninggalnya Debora.
"Kami melihatnya berdasarkan hasil laporan dari kepolisian, ada informasi yang beredar dari masyarakat kemudian rumah sakit tidak memberikan layanan kepada pihak korban," ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Adi Deriyan.
Humas RS Mitra Keluarga Kalideres mengklaim, tindakan medis yang dilakukan tim medis di RS Mitra Keluarga Kalideres sudah sesuai prosedur.
Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat mengaku siap menghadapi penyelidikan dari kepolisian dan instansi terkait. Pihak rumah sakit juga akan bersikap kooperatif. "Apabila memang itu (penyelidikan) terjadi dan itu diperlukan, yang pasti kami akan mengikuti prosedur hukum yang berlaku," kata Humas RS Mitra Keluarga Kalideres, Nendya Libriyani, saat konferensi pers di RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, Senin, 11 September 2017.
Pihak rumah sakit pun menyampaikan permohonan maaf kepada orangtua Debora atas meninggalnya bayi mereka. Nendya mengklaim, tindakan medis yang dilakukan tim medis di RS Mitra Keluarga Kalideres sudah sesuai prosedur dan tidak ada perbedaan dengan pasien lainnya. "Kami telah melakukan tindakan medis yang optimal untuk menyelamatkan nyawa. Tidak dibedakan," ujarnya.
Selanjutnya, Gunung Es.
***
Gunung Es
Kasus seperti yang dialami bayi Debora disinyalir bukan yang pertama terjadi. Dinas Kesehatan DKI mencatat, beberapa waktu lalu ada kasus warga yang kesulitan mendapatkan rumah sakit untuk berobat. Namun, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto tak merinci kejadian itu.
Bahkan, Komnas HAM menyebutkan, kasus seperti Debora merupakan gejala gunung es.
"Komnas HAM prihatin atas kembali terjadinya kematian bayi Debora akibat kemiskinan. Kasus bayi Debora adalah gejala gunung es," ujar Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay pun sependapat. Menurut dia, kasus Debora kemungkinan gambaran bahwa di luar sana ada kasus-kasus lain yang tidak terungkap di publik. "Karena itulah sekarang ini kebetulan ada yang berani bicara dari keluarga Ibu Henny, tentu kita harus seriusi," ujarnya.
Saat ini, Henny belum terpikir untuk membawa masalah ini ke jalur hukum. "Saya ini orang kecil, saya orang lemah, saya juga masih belum tahu ke arah sana," ujarnya. Henny sadar Debora sudah dipanggil Tuhan dan tak mungkin kembali lagi.
Dia pun yakin, kejadian yang dialaminya adalah cobaan besar buatnya. Dia hanya berharap kasus yang dialaminya dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak. "Terutama pemerintah, rumah sakit agar lebih mengutamakan orang yang membutuhkan perawatan," ia berharap.