SOROT 465

Terjerat Candu Hallyu

Konser SMTown Live World Tour III in Jakarta
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Dara berlari secepat mungkin dari satu gate ke gate lainnya di Terminal 2F Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dia tidak sendiri. Ratusan lainnya juga ikut berlari. Mereka rupanya lagi memburu idola dari Negeri Ginseng, Korea Selatan.

Rosan Roeslani Pastikan GSN Tidak Pakai Uang APBN dan APBD

Sekian lama menunggu, massa penggemar boyband K-pop BIGBANG itu pun mudah termakan isu. Idola mereka ada di gate ini. Eh, bukan, di gate sana. Walau bikin napas tersengal-sengal bercampur sebal dengan informasi tak jelas tersebut, tapi itu pengalaman mengasyikkan bagi Dara dan sesama penggemar.

Buktinya, kejadian lima tahun lalu itu masih dia ingat jelas.  Walau habis waktu berjam-jam untuk menunggu dan berlari ke sana ke mari, massa fans K-pop itu akhirnya puas bisa menyambut datangnya supergrup BIGBANG ke Indonesia. Sekali pun mereka cuma bisa dadah dadah atau menjerit histeris demi bisa menarik perhatian idola yang lama ditunggu. Baca juga: Sejarah K-Pop di Tanah Air 

Eks Penyidik KPK Ajak Masyarakat Tak Pilih Calon Pemimpin yang Terafiliasi Dengan Koruptor

Sejak lima tahun lalu itu, 2012, BIGBANG dan sesama bintang K-pop dari Korea sudah memukau jutaan kaum remaja, maupun mereka yang masih merasa berjiwa muda, di Tanah Air. Sudah tak terhitung berapa kali mereka datang ke Indonesia, baik untuk konser maupun sekadar menyapa penggemar seperti Dara. Baca juga: Berburu Tiket Mahal Konser K-Pop

Mereka ini bagian yang paling populer dari Gelombang Hallyu - yaitu julukan bagi invasi budaya Korea Selatan ke manca negara. Namun serbuan itu bikin banyak orang terhibur dan mau merogoh banyak uang demi menyaksikan aksi panggung para bintang K-pop. Pokoknya mereka dianggap paling keren, paling cantik, dan paling ganteng sejagat.    

Polda Metro: 10 dari 11 Orang yang Ditangkap terkait Judi Online Pegawai Komdigi

Kembali ke cerita Dara. Dia mengaku, saat itu nekat ke bandara, meski tahu tak menjamin akan bertemu BIGBANG. Harap-harap cemas, dia dan sejumlah fans lain mempersiapkan segala perlengkapan tempur mereka. Poster bertuliskan pesan dibuat semenarik mungkin demi mendapat atensi dari idola. Berbuah cukup manis memang, karena Dara beruntung bisa menyambut salah satu personel BIGBANG, Daesung.

"Walau cuma Daesung doang, aku sempet lari bolak-balik ke pintu yang lainnya dari pintu yang semula kudatangi, karena ada info yang bilang dia keluar dari pintu tersebut. Dan itu orang-orang sekalinya lari kayak semut. Desek-desekan ingin yang terdepan. Makanya keamanan kadang suka kewalahan. Biasanya fans-fans itu suka ada project-project penyambutan idola mereka di bandara kan, tapi rata-rata gagal karena pas idolanya muncul, ricuh rebutan," tutur Dara saat menceritakan pengalamannya kepada VIVA.co.id.

Kehebohan fans idola Korea memang tak pernah diragukan lagi. Dari bandara hingga konser digelar, euforianya begitu membahana. Di lokasi konser, jumlah fansnya tentu berkali-kali lipat lebih banyak dari mereka yang menyambut di bandara. Area-area konser K-Pop biasanya sudah mulai dipadati sejak pagi.

Teriakan penggemar begitu menggelegar tatkala idolanya naik ke atas panggung. Dibuka dengan lagu-lagu andalan berirama cepat membuat endorfin dalam setiap tubuh fans ini meluap-luap. Mereka berpesta di antara gemerlap lampu panggung dan nyala lightstick yang dibawa. Menyanyikan lagu bersama sang idola sambil sesekali histeris memanggil-manggil namanya. Tak peduli tak didengar sang pujaan, tapi yang pasti, teriakan itu memekakkan telinga dan mereka bahagia tiada tara.

Demam K-Pop di Indonesia sebenarnya dibawa masuk oleh drama-drama yang lebih dahulu tayang di layar kaca. Sebut saja salah satunya ada Full House yang menduniakan nama Rain dan Song Hye Kyo. Soundtrack yang dianggap berhasil menyayat hati membuat banyak fans penasaran dengan para penyanyi di belakangnya. Dari sanalah, sejumlah pelantun asal negeri kimchi itu dikenal.

Di awal tahun 2000-an, fans K-Pop masih jadi kelompok penggemar marjinal yang tak banyak jumlahnya. Jika dibanding dengan negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, tentu saja Indonesia yang terakhir terkena invasi K-Pop ini.

Dahulu, para fans K-Pop selalu iri melihat fans negeri tetangga yang bisa bertemu langsung dengan idola. Namun sekira akhir tahun 2011, fans K-Pop di Indonesia mulai menghirup angin segar. Industri K-Pop mulai tes pasar di Indonesia. Hingga pada tahun 2012, Gelombang Hallyu kian kuat.

 

Konser Super Junior bertajuk Super Show 4 pada April 2012 menandai ledakan hebat demam K-Pop di Indonesia. Setelah itu, sederet artis ternama Korea berduyun-duyun gelar panggung di sini. Beberapa di antaranya ada 2PM, BIGBANG, 2NE1, SMTOWN, dan lain sebagainya. Setelah itu, Indonesia seolah telah masuk daftar negara wajib pemberhentian tur Asia mereka.

Sempat meredup dua tahun belakangan, namun siapa sangka, tahun 2017 ini Indonesia kembali dibanjiri artis Korea. Di pertengahan pertama tahun 2017, aktor dari dunia drama banyak menyapa penggemar di Indonesia. Tak mengherankan karena pecinta drama Korea di Indonesia tak bisa dianggap sebelah mata. Sejumlah drama yang sukses besar meledak di Tanah Air tahun ini antara lain Goblin, Reply 1988, Oh Oh My Venus, dan masih banyak lagi. Kesuksesan drama-drama itulah yang membawa para aktornya ke negeri ini, seperti Park Bo Gum, So Ji Sub, dan Lee Dong Wook.

Tak hanya para aktor, sederet musisi K-Pop bahkan kru produksi program TV Korea juga berbondong-bondong ke Indonesia. Sebut saja beberapa agenda Konser Korea lalu di tahun 2017 ini ada BTS dan juga CNBLUE. Belum lagi, mereka yang hadir dalam festival musik, seperti Epik High dalam We The Fest 2017, NCT 127 dalam Spotify on Stage, serta Taeyeon dan Hyoyeon SNSD untuk pembukaan Asian Games 2017.

Sementara itu, Music Bank Jakarta yang digelar 2 September 2017 kemarin dimeriahkan oleh EXO, BAP, NCT 127, BAP, GFriend, Astro, Park Bo Gum, dan Irene Red Velvet. Dilanjutkan dengan G-Dragon dalam konser solonya pada Minggu, 3 September 2017, kemudian subunit Super Junior, Donghae dan Eunhyuk dalam mini konsernya, Senin, 4 September 2017.

Serbuan artis Korea juga termasuk mereka yang datang untuk keperluan syuting program TV, seperti Law of the Jungle di Manado, Sulawesi Utara, dan Padang, Sumatera Barat. Terbaru, Lee Kwang Soo dan Jeon So Min melakukan syuting Running Man di Pantai Timang, Yogyakarta, Senin, 4 September 2017.

Mengapa konten hiburan dari Korea begitu mudah diterima di Indonesia? Apakah invasi Korea melalui K-Pop dan dramanya ini mengancam tergerusnya budaya asli Indonesia?

Selanjutnya, K-Pop dan Drama Korea.

K-Pop dan Drama Korea

Secara konten, fans K-Pop menganggap, lagu-lagu Korea memiliki beat yang catchy di telinga. Namun bicara soal industri hiburan Korea, negeri itu punya strategi pemasaran yang terbilang mengagumkan.

Sejumlah fans K-Pop mengaku, mengenal musik tersebut mulanya melalui drama dan variety show atau acara hiburan TV yang kemasannya dibuat lucu dan menarik. Selain menyanyi, para idola ini juga tampil di berbagai acara ragam, reality, dan bincang-bincang.

"Awalnya aku tuh kayak suka pertama nonton variety show-nya, terus suka lihat mereka, kayak lucu, habis gitu aku denger lagunya, liat style mereka keren banget, aku denger lagu mereka aku tuh kayak suka nonton kisah-kisah mereka," ujar Raras Prasadja, salah satu admin basis penggemar artis-artis YG Entertainment.

Sering wara-wiri di berbagai program tersebut membuat sisi lain idola Korea di balik gemerlap panggung terungkap. Karena itu, tak sedikit fanatisme K-Popers yang berkembang menjadi obsesi berlebihan.

Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmin, mengatakan, K-Pop dan drama Korea adalah produk yang dalam istilah sosiologi disebut sebagai komiditi seni populer. Artinya, segala bentuk produk dari industri hiburan Korea ini memang akan dikemas dengan strategi yang bagus, intensif, dan dipasarkan secara agresif.

"Sama saja kalau kita lihat tiba-tiba kita kebanjiran produk-produk ZARA misalnya, terus semua orang pakai ZARA. Terus ada brand baru masuk, semua orang bisa pakai. Itu bisa dilakukan karena mereka mengemas strateginya bagus, kemudian intensif, dan mereka gencar memasarkan produk seninya, popular culture-nya, di media-media YouTube yang accessible kan, kemudian dibuat konser yang dikemas dengan begitu hebatnya. Dan yang pasti mereka juga melakukan studi dengan baik untuk mendapatkan apa sih yang membuat orang Indonesia senang. Jadi ketika orang Indonesia atau anak muda saat ini mengikuti arus itu, karena itu sedang tren dan mereka terikut," paparnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 7 September 2017.

Drama Korea terbaru di tahun 2017.

Drama-drama Korea Terbaru di tahun 2017.

Hal serupa juga terjadi pada drama Korea. Alasan drama ini mudah diterima di Indonesia, antara lain karena nilai-nilai yang ditampilkan dalam drama itu sendiri. Masih sama-sama Asia, karena itulah beberapa segmen masyarakat Indonesia mudah menerima jalan ceritanya yang ringan, dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan kemasannya yang sangat menarik.

Akses menikmati komiditas seni populer ini, baik K-Pop maupun dramanya, juga menjadi perhatian. Tak hanya lewat televisi, program dari Korea Selatan itu dengan mudah bisa dinikmati masyarakat melalui jaringan internet. Sejumlah platform, mulai dari YouTube hingga aplikasi layanan penyedia konten drama dan musik Korea, seperti Spotify untuk K-Pop dan Viu untuk K-Drama, sangat memudahkan para penikmat budaya pop di Indonesia.

"Drama korea itu juga menampilkan nilai-nilai Asia. Nilai-nilai korea atau nilai-nilai Asia itu memang mudah diterima oleh masyarakat kita, karena kita juga bagian dari culture Asia. Jadi beberapa segmen masyarakat kita juga mudah menerima jalan ceritanya yang mungkin memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan dengan selama ini banyak masuk dari Hollywood atau produksi-produksi Barat. Gayanya memang berbeda, kemudian intensitas masuknya ke dunia produksi televisi, YouTube jadi memiliki peran penting juga," tambah Daisy.

Selanjutnya, Pertarungan yang Wajar.

Pertarungan yang Wajar

Demam Korea atau Hallyu yang sudah sangat menjangkit ini menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait pengaruhnya dengan budaya Indonesia itu sendiri. Lewat K-Pop, drama, dan filmnya, Korea tak hanya menjual semata-mata produk budaya popnya saja, tapi juga nilai-nilai budaya negeri tersebut atau yang menurut sosiolog Daisy disebut sebagai komodifikasi budaya.

"Lewat produk-produk popular culture-nya ini dengan proses 'komodifikasi', budaya yang masuk ke kita bukan hanya sekadar produknya saja, tapi nilai-nilai yang ditanamkan dari budaya Korea melalui K-Pop dan drama Korea juga masuk ke kita. Jadi tidak hanya film dan musik saja, mulai dari cara makan, makanannya, itulah way of life yang mau diperkenalkan ke kita," terangnya.

Ketika VIVA.co.id bertanya pada sejumlah K-Popers, apa pengaruh Hallyu bagi kehidupan mereka, jawabannya memang beragam. Sejumlah K-Popers memang mengaku ikut terpengaruh dari urusan gaya pakaian, berbahasa, hingga selera makanan. Namun, rata-rata menambahkan bahwa meski sangat menyukai budaya Korea, namun tak mengikis nasionalisme dan rasa cinta mereka akan budaya Indonesia.

"Kalau buat aku pribadi sih enggak ya, karena kayak menurut aku Korea kayak apa pun kan beda culture-nya sama kita. Aku menyesuaikan diri aku sendiri, yang aku nyaman apa. Kalau makanan sama sekali enggak ya, karena walaupun makanan Korea itu enak, tapi tetep menurut aku enak makanan Indonesia, tetap aja di rumah makannya nasi sama sambel, hahahaha," ujar Raras Prasadja penggemar YG Entertainment.

"Aduh, kalau kayak gitu enggak deh, kalau dandanan enggak sih, kalau makanan suka penasaran, nyoba-nyoba resto Korea, cuma gitu aja," tambah Savira Maharani, mahasiswi yang juga menjadi ketua basis penggemar boyband EXO di Indonesia.

Sejumlah K-Popers mengaku ikut terpengaruh dari urusan gaya pakaian, berbahasa, hingga selera makanan.

Dalam kasus Hallyu, penetrasi budaya yang terjadi masuk dalam kategori penetrasi damai atau penetration pasifique. Artinya, budaya Korea yang masuk sebenarnya tidak mengakibatkan konflik bagi budaya Indonesia itu sendiri.

"Dalam pertemuan dua budaya selalu ada dua arus. Arus pertama itu mengikut, tapi biasanya ketika aliran pengikutnya sudah besar, pasti ada arus counter culture. Jadi kalau saya percaya, sekuat-kuatnya suatu budaya yang masuk, biasanya akan ada gerakan pula dari budaya-budaya yang meng-counter atau yang melakukan perlawanan, karena budaya-budaya tandingannnya itu pasti muncul, walaupun dia mungkin jadi minoritas. Pastinya, memang budaya utama kita ikut terpengaruh juga terhadap kerasnya arus budaya Korea," tutur Daisy lagi.

Budayawan sekaligus pegiat seni perfilman, Eddie Karsito, menjelaskan, tidak ada yang salah dengan budaya apa pun di era global seperti sekarang ini, termasuk budaya Korea. Yang terpenting, budaya tersebut masih positif, sejalan, dan selaras dengan budaya Indonesia.

"Itu kan konteksnya budaya, jadi jangan juga salah memahami terminologi budaya. Budaya itu kan tidak sebatas kesenian, tapi secara terminologi budaya, itu segala daya upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup itu disebut budaya. Nah, sebenarnya kita kan sudah dikasihkan warning, ketika ada perjanjian pasar bebas (Asean Free Trade Area / AFTA), kita kan sudah sering kali diingatkan bahwa bangsa Indonesia ini seyogyanya dapat meningkatkan kompetensinya di semua aspek, karena di era perdagangan bebas itu eranya persaingan bebas, jadi kalau kita tidak siap untuk itu, maka kita dilindas," ujar Eddie kepada VIVA.co.id.

Namun tak dimungkiri, dampak negatif dari produk budaya Korea ini juga ada. Menurut Daisy, salah satunya adalah adiktif atau kecanduan.

"Sisi negatifnya tentu saja salah satu faktornya ada adiktif atau comodity fetishism. Artinya ada gejala orang tidak berfikiran secara rasional menyukai produk itu sampai tergila-gila tanpa alasan. Terus kemudian muncul juga realitas semu. Realitas semu itu jadi dia sudah tidak bisa membedakan lagi antara dunia real-nya dengan dunia film, K-Pop, atau K-Wavenya ini. Itu sebenarnya yang harus dihindari," terangnya.

Sementara itu, budayawan Eddie menambahkan, tidak ada dampak spesifik terkait masuknya budaya Korea ini, karena sebenarnya sama saja kasusnya dengan budaya asing yang lain.

"Jadi budaya-budaya liberal mereka itu semua mengusung capitalism, patrialism, itu semua dampaknya yaa hedonisme. Jadi orang itu hubbud (cinta) dunia, makanya orang akan lebih cendrung pragmatisme dan itu tidak salah juga sebenarnya. Salahnya dimana? Salahnya karena kita tidak membuat keseimbangan," katanya.

Fenomena pertarungan budaya memang diniliainya wajar saja. Eddie menegaskan, jika salah satu di antara pertarungan budaya itu ada yang kalah, berarti dia tidak kompetitif.

Selanjutnya, Mengglobalkan Budaya Lokal.

Mengglobalkan Budaya Lokal

Gempuran budaya asing, termasuk Korea, yang masuk ke Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku industri kreatif dan pemerintah. Strategi Korea dalam mengemas dan memasarkan budaya popnya dalam bentuk seni, mini seri, film, dan lain sebagainya hingga membuat orang ketagihan seharusnya bisa jadi kaca perbandingan bagi Indonesia.

Lebih dari itu, keberpihakan para pemangku kepentingan, seperti pelaku usaha dan pemerintah atas industri kreatif lokal juga sangat diperlukan. Menurut Eddie, menjadi ironi ketika pengusaha televisi dan media seperti menganaktirikan berita-berita budaya lokal dibanding budaya pop.

"Di televisi coba lihat, semua isinya hiburan, kesenian-kesenian yang murni justru dianggap lebih pusing. Pemerintah dalam hal ini harus mendukung para pegiat seni, industri perfilman dengan kebijakan-kebijakannya tentunya ya, dan juga yang terpenting adalah implementasinya di lapangan," ujarnya.

Fungsi kontrol dari pemerintah pun diharap bisa terus dilakukan. Badan independen yang mengawasi penyaluran dana untuk menambah infrastruktur penopang budaya-budaya lokal juga penting dalam hal ini.

Melanjuti peran pemerintah dalam menghadapi gempuran Hallyu, Daisy juga menjelaskan bahwa apresiasi, dukungan pada industri kreatif juga harus bisa mendorong hadirnya pilihan alternatif yang berkualitas, baik itu musik, film, atau apa pun, untuk masyarakat atau penikmat budaya di Indonesia.

"Dengan begitu masyarakat juga kan memiliki alternatif, jadi tidak seperti konsumen yang lemah tanpa mempunyai pilihan. Kalau konsumen itu kan sebenarnya cerdas, kalau ada pilihan tentu dia akan memilih, tapi kalau tidak ada pilihan, mau gimana? Yaudah, mau tidak mau masyarakat kita memilih K-Wave ini," katanya.

Namun, sayangnya, tugas untuk menghasilkan produk alternatif yang tak kalah saing bukan perkara mudah. Pasalnya, budaya tiru-meniru di Indonesia masih sangat kuat. Demi tren pasar, dimunculkan produk-produk serupa yang justru, dianggap Daisy, bisa melemahkan industri kreatif dalam negeri sendiri.

"Pemerintah harus memberi peluang untuk industri pop culture kita. Misalnya, membuat semacam sayembara membuat mini seri lokal dengan membawa nilai-nilai keindonesiaan yang berkualitas tetapi juga kekinian, bukan sekadar normatif gitu loh. Berikan anak-anak muda panggung-panggung, ruang-ruang apresiasi agar mereka bisa berkiprah baik di lokal, nasional, maupun internasional. Jadi jangan sekedar men-support para pengusaha saja," tambah Daisy.

Wakil Ketua Badan Ekonomi Kreatif, Ricky Pesik, pun setuju. Menurutnya, kecermatan Korea dalam memasuki pasar global memang layak dijadikan referensi.

"Demam K-Pop sebenarnya sudah lama. K-Pop ini bisa jadi sebuah contoh bagaimana produk kreatif budaya populer Korea bisa dipasarkan dengan sangat baik. K-Pop ini kan sudah dirintis sejak 15 tahun lalu dan dikenal di pasar Indonesia bahkan dunia. Nah itu cara yang mesti diadopsi untuk menaklukan dunia, mesti belajar dari situ," ujarnya.

Gempuran artis Korea yang datang ke Indonesia pun ditanggapi positif oleh Bekraf. Menurutnya, hal itu bisa membuka kerja sama Indonesia-Korea lebih luas lagi. Saat ini, Bekraf mengaku sedang melakukan pendekatan agar pasar industri kreatif Indonesia juga bisa dibuka di Korea.

"Kita tidak mendukunglah adanya perluasan pasar kreatif mereka di sini. Tapi, strategi yang kita ambil, kita ajak mereka (Korea) kerja sama. Selain itu, tingkatkan konsumsi dalam negeri, dikemas dengan baik, dan tingkatkan kualitasnya. Apalagi dari kuliner, konstribusinya besar di ekonomi kreatif sebesar 40 persen. Kami juga sudah upayakan memfasilitasi dengan ratusan program kami terkait upaya meningkatkan ekonomi kreatif itu," tambah Ricky.

Konser G-Dragon di ICE BSD.

K-Pop adalah produk dari para produsen aktif yang akan terus berusaha menangkap dan mengembangkan kebutuhan pasar. Industri ini akan terus berkembang selagi masih banyak peminatnya. Indonesia, harus bisa menjadi pesaing yang seimbang agar tidak melulu menjadi konsumen dan penikmat saja. Indonesia pun harus bisa menghadirkan pilihan-pilihan alternatif yang berkualitas dalam persaingan global yang akan semakin sengit ini.

Sah-sah saja menikmati produk seni, seperti K-Pop, drama Korea, dan lainnya. Namun, yang perlu diingat adalah pentingnya refleksi. Refleksi terhadap potensi budaya kita yang bisa dikembangkan. Menikmati budaya lain, wajarnya, juga memicu kreativitas kita untuk terus mengembangkan industri populer budaya sendiri.

Bukan membentengi diri dari gempuran budaya asing, tapi menerima secara terbuka tanpa mengikis kebanggaan atas budaya asli. Seperti halnya Bekraf yang optimis dengan kemajuan industri kreatif Tanah Air, kita pun demikian. Indonesia, satu dekade ke depan, bisa menggebrak dunia dengan karya lokalnya, seperti Korea dengan K-Popnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya