- PT Dirgantara Indonesia
VIVA.co.id – Pria bertubuh kurus termangu memandangi gelas kopi di hadapannya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah berusaha keras mengingat kilasan masa lalu, masa yang sebenarnya tidak ingin dikenang kembali.
“Saya sudah mendengar tentang N219. Tapi, saya belum tahu banyak soal kemampuannya. Kalau N250, saya cukup tahu,” ujar pria bernama Paul itu kepada VIVA.co.id.
Saat masih menetap di Bandung, Jawa Barat, Paul pernah dikontrak untuk bekerja di PT Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Menengah pada 1995, Paul diajak kenalannya untuk bekerja di Badan Usaha Milik Negara tersebut.
Setiap hari, pria yang saat ini memiliki dua anak itu berangkat dari rumahnya di kawasan Bandung Barat menuju Jalan Pajajaran. Di perusahaan yang kini telah berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia itu, Paul bertugas memeriksa panel elektronik yang dipasang pada kokpit pesawat.
“Tugas saya memeriksa kabel-kabel panel yang dipasang di kokpit. N250 kan pesawat canggih, jadi banyak komponen elektroniknya. Setiap kali uji coba, saya selalu disuruh periksa-periksa itu,” tuturnya.
Paul tidak bisa menyembunyikan kesedihannya saat berbicara soal N250. Sebab, burung besi itu tidak bisa meluncur bebas di angkasa. Proyek N250 dihentikan oleh pemerintah, usai krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998 silam.
Pesawat Gatotkaca N-250 (www.airliners.net/Peter Vercruijsse)
Kini, PT DI memiliki gacoan baru untuk mengorbitkan nama Indonesia di kancah dunia dirgantara. Pesawat dengan kode N219 resmi memulai penerbangan perdana pada Rabu 16 Agustus 2017 kemarin.
N219 merupakan hasil kerja sama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dengan PT DI sebagai pihak yang memproduksi. Selain menumbuhkan industri pesawat dalam negeri, Lapan juga ingin membangkitkan kembali perusahaan produsen pesawat kebanggaan Indonesia tersebut.
"Ini sebetulnya pesawat yang jauh lebih sederhana. Misi kami sesungguhnya adalah menghidupkan kembali PT DI. Murni tidak ada campur tangan asing. Tidak seperti N250 yang masih menggunakan konsultan asing, N219 murni Indonesia,” ujar Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, Gunawan Setyo Prabowo.
Ide awal mengenai pesawat N219 ini muncul pertama kali pada 2004 silam. Namun, karena proses pembuatan kendaraan yang mampu terbang di angkasa butuh dana yang tidak sedikit, maka proyek N219 baru rampung digarap tahun ini.
“N219 tercetus sekitar 2004. Kami bisa melakukan pembuatan setelah mendapat dana, kira-kira 2013,” ungkap Asisten Khusus Pengembangan Pesawat PT DI, Andi Alisjahbana, kepada VIVA.co.id.
"Seluruh badan lokal, nanti landing gear juga akan lokal. Sekarang yang depan masih pakai produk Spanyol. 42 persen konten lokal. Kami nanti ingin 60 persen, karena yang mahal itu mesin. Mesin dan avionik saja sekarang hampir 30 persen kami beli dari Kanada. Dua hal itu kami enggak berkutik," Andi menambahkan.
Menurut data yang diterima VIVA.co.id dari Kepala Lapan, Thomas Djamaluddin, dari anggaran Lapan 2011-2017, dana yang disisihkan untuk proyek N219 sebesar Rp527 miliar.
“Sampai tuntas untuk siap produksi, diperkirakan akan menghabiskan Rp800 miliar hingga Rp1 triliun (termasuk anggaran dari PT DI). Itu kira-kira setara dengan harga jual 15 pesawat N219. Sampai saat ini, pesanan sudah lebih dari 100 unit,” tuturnya kepada VIVA.co.id.
Selanjutnya, Ibarat Mobil LCGC
Ibarat Mobil LCGC
N219 didesain untuk bisa lepas landas dan mendarat di area yang panjangnya terbatas.
PT DI membuat desain N219 dengan konsep minimalis. Jika bisa diibaratkan dengan industri otomotif, maka N219 adalah produk mobil yang masuk dalam kategori low cost green car atau LCGC.
"Ini adalah yang termurah. Tapi, ada segmen pasarnya,” ujar Direktur Utama PT DI, Budi Santoso kepada VIVA.co.id beberapa waktu lalu.
Bicara soal biaya, N219 memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan proyek N250. Dilansir dari Globalsecurity, anggaran N250 mencapai US$2 miliar atau setara Rp26 triliun, 26 kali lipat dari N219.
N219 didesain untuk bisa lepas landas dan mendarat di area yang panjangnya terbatas. Target pembeli pesawat ini adalah operator penyedia transportasi udara di kawasan-kawasan yang terpencil dan sukar untuk diakses oleh pesawat berbadan besar.
Pesawat ini memiliki dimensi panjang 16,4 meter, lebar sayap 19,5 meter dan tinggi 6,18 meter. Berat kosong sekitar 4,3 ton, sedangkan beban maksimum yang diperbolehkan untuk bisa lepas landas (maximum take-off weight atau MTOW) yakni tujuh ton.
Karena MTOW N219 melebihi 5,7 ton, berarti pesawat ini wajib diterbangkan oleh dua pilot. Tidak seperti Beechcraft Super King Air edisi lawas yang bisa diterbangkan oleh hanya satu pilot saja, karena MTOW-nya persis di angka 5,7 ton.
Namun, mesin yang digunakan sama seperti King Air, yakni dua Pratt and Whitney PT6A-42. Mesin ini berjenis turbo propeller atau biasa disebut turboprop. Jadi, meski cara kerjanya sama dengan mesin jet biasa, namun putaran turbin digunakan untuk memutar baling-baling yang ada di depannya.
Keuntungan memakai mesin turboprop adalah dapat lepas landas dan mendarat di area yang panjangnya terbatas. Menurut data dari laman resmi PT DI, N219 mampu lepas landas di landasan sepanjang 455 meter dan mendarat di landasan sepanjang 493 meter.
Jarak tersebut pendek untuk ukuran pesawat terbang, sehingga ideal digunakan di landasan yang banyak tersebar di kawasan timur Indonesia. Apalagi, pesawat ini tidak memerlukan aspal halus untuk mendarat.
"Pesawat ini didesain sebagai pesawat perintis, penghubung daerah terpencil dan pulau-pulau kecil. Bisa mendarat di landasan tanah, berumput atau berkerikil," kata Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) Lapan, Syarif Budhiman.
Bicara soal mendarat, N219 memiliki angka stall speed sebesar 59 knot atau 109 kilometer per jam. Stall speed adalah angka yang digunakan pilot sebagai patokan kecepatan minimum pesawat, sebelum sayap kehilangan daya angkat.
PT DI memasang tangki bahan bakar N219 berukuran 1.600 kilogram. Dengan kapasitas tersebut, pesawat bisa menempuh jarak 1.500 kilometer. Kurang lebih sama dengan jarak terbang dari Jakarta ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Dengan mesin berkekuatan masing-masing 850 daya kuda, N219 dapat melaju hingga kecepatan jelajah 210 knot, atau setara dengan 388 km per jam. Lebih cepat dari motor balap MotoGP dan mobil balap Formula 1.
Selanjutnya, Murah, Tapi Tidak Murahan
Murah, Tapi Tidak Murahan
N219 dibuat secara khusus untuk memenuhi kebutuhan operator pesawat terbang yang membutuhkan efisiensi dalam hal biaya operasional. Contohnya, N219 tidak dibekali dengan fitur untuk menjaga tekanan udara dalam kabin.
Alhasil, pesawat tidak bisa terbang lebih tinggi dari 10 ribu kaki (sekitar 3.000 meter). Jika dipaksakan, maka penumpang bisa mengalami gangguan pernapasan.
Selain itu, pesawat ini juga hanya memiliki roda yang tidak bisa dilipat. Kerugiannya adalah kecepatan pesawat tidak bisa maksimal, terutama saat harus berhadapan dengan angin kencang dari depan (upwind).
Seperti N250, kokpit N219 juga dilengkapi dengan teknologi terbaru, guna menjamin pilot dapat memandu pesawat ke tempat tujuan dengan aman dan nyaman.
Salah satu fitur canggih yang ada di kokpit adalah penerapan Glass Cockpit, yakni panel instrumen klasik digantikan oleh layar LCD berukuran besar. Layar ini dapat menampilkan semua indikator yang diperlukan pilot, mulai dari ketinggian, kecepatan, arah kompas, jarak ke tujuan, frekuensi radio, peta navigasi, hingga status mesin.
Adanya Glass Cockpit ini membuat pilot lebih mudah menentukan indikator apa yang dibutuhkan selama perjalanan, mulai dari saat lepas landas hingga mendarat.
"Teknologi avionik N219 adalah teknologi modern. Menggunakan Glass Cockpit dengan fitur synthetic vision untuk membantu pilot mendapatkan informasi navigasi yang akurat, meskipun cuaca buruk,” kata Andi.
Satu-satunya kelemahan pesawat ini, menurut Andi, adalah urusan psikologis. PT DI bukan lagi IPTN. Dia dan tim merasa perlu mempopulerkan nama dan reputasi PT DI di kalangan masyarakat luas.
Menurutnya, hingga 20 tahun ke depan, kebutuhan pasar pesawat kelas 9-20 kursi di dunia mencapai ribuan unit. Itu sebabnya, diperlukan komitmen jangka panjang. Jangan berpikir bikin hari ini, besok untung.
Program membangun pesawat bukanlah program tiga tahun. “Tetapi, 20 tahun lebih hingga pesawat itu diproduksi,” kata Andi.
Di negara mana pun, program pesawat terbang adalah usaha yang besar. Perlu dukungan pemerintah. Juga masyarakat.