- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Hari masih pagi. Jam di tangan menunjukkan pukul 08.00 WIB. Lobi utama sebuah rumah sakit besar di kawasan Jakarta Barat itu mulai ramai.
Petugas layanan dan kasir terlihat sibuk. Pasien makin banyak berdatangan. Beberapa di antaranya tampak membawa perbekalan cukup banyak.
Rosnani, 58 tahun, salah satu pasien Rumah Sakit Kanker Dharmais itu, juga sudah mengantre. Perempuan paruh baya itu didiagnosis menderita kanker payudara pada 2012.
Kepada VIVA.co.id, dia bercerita, satu-satunya penanganan penyakitnya dengan jalan operasi. Sebab, sudah stadium tinggi sehingga penanganan harus cepat.
"Awalnya setelah dicek semua. Laboratorium, radiologi, hasilnya positif (kanker)," ujarnya, Kamis, 20 Juli 2017.
Operasi pengangkatan payudara pun sudah dilakukan dua kali di dua rumah sakit berbeda. Pertama di Rumah Sakit Dharmais dan kedua Rumah Sakit Pelni.
Pascaoperasi, perempuan yang tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat ini, rutin melakukan kemoterapi selama enam bulan.
Rosnani mengaku, sejak didiagnosis kanker, dia tidak berpikiran untuk berobat ke luar negeri. Alasannya simpel, karena sekarang rumah sakit di Indonesia teknologinya sudah canggih. Kualitas dokternya pun diakuinya tidak kalah dengan luar negeri.
"Enggak lah (berobat ke luar negeri). Orang (dokter) kita sudah pintar-pintar kok. Saya percaya," tutur dia, sembari melempar senyum tipis.
Selesai kemoterapi, Rosnani melanjutkan, kondisi tubuhnya biasanya lemah. Ini lumrah karena metode itu menguras sekali tenaga, sehingga pasien wajib makan tiap usai melakukan kemoterapi.
Ia mengatakan, metode kemoterapi ini tergantung berat badan pasien. Apabila berat badan rendah, dosisnya kecil. Begitu pula sebaliknya.
"Seminggu satu kali kemo. Kalau berat badan stabil di atas 50 kilogram, biasanya per tiga minggu selama 6 bulan," papar dia.
Mengenai total biaya yang dikeluarkan, Rosnani menjawab sekitar Rp300 juta. Begitu besarnya biaya penyembuhan kanker tidak membuat Rosnani mencari pengobatan alternatif.
Ia rutin melakukan check-up, baik ke RS Pelni maupun Dharmais, untuk memastikan tubuhnya bebas kanker.
"Itu (biaya) lima tahun lalu, sebelum ada BPJS Kesehatan. Karena sekarang sudah ada BPJS, biaya pengobatan untuk segala jenis kanker hampir di-cover semua," ujar Rosnani.
Untuk beberapa jenis obat, mengharuskan pasien seperti dirinya membeli sendiri. "Memang ada kelebihan biaya. Tapi itu tidak besar," ucap dia, yang enggan menyebut angkanya.
Petugas medis dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Gorontalo menyiapkan tempat pemeriksaan IVA/Pap Smear di Kota Gorontalo, Gorontalo. (ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)
Kendati demikian, Rosnani memiliki harapan besar kepada pemerintah. Ia mengatakan, pemerintah harus menyediakan fasilitas untuk penderita kanker di seluruh daerah di Indonesia.
Sebab, RS Dharmais satu-satunya rumah sakit khusus kanker, sehingga pasien dari Sabang sampai Merauke ramai-ramai berobat ke rumah sakit yang ditunjuk sebagai Pusat Kanker Nasional itu.
"Teman saya dari Ambon, Sumatera, dan Papua, semua dikirim ke Dharmais," tuturnya. "Memang peralatannya komplet, canggih, dan gratis bagi pemakai BPJS Kesehatan. Tapi kan ongkosnya sangat mahal. Kasihan kalau yang pas-pasan," ujarnya.
Ia lalu membandingkan jumlah dokter onkologi atau spesialis kanker di rumah sakit kawasan Jakarta. Paling banyak jumlahnya di RS Dharmais dan RS Cipto Mangunkusumo.
"Di rumah sakit lainnya paling banyak dua orang dokter onkologi. Bayangkan kalau pasiennya banyak. Jadi, pemerintah harus sediakan tenaga medis, spesialis penyakit kanker dan fasilitas seperti laboratorium, radiologi," tutur dia.
Selanjutnya, Terobosan Pengobatan Kanker
Terobosan Pengobatan Kanker
Seiring perkembangan medis, teknologi pengobatan kanker juga terus membuat terobosan. Kali ini, anak bangsa bernama Warsito Purwo Taruna, 50 tahun, berhasil menciptakan alat pendeteksi kanker.
Alat itu bernama Electrical Capacitance Volume Tomography (ECTV), dan alat terapi penderita kanker bernama Electro Capacitive Cancer Treatment (ECCT).
Upaya itu berawal dari rasa prihatin melihat kondisi kakaknya, Suwarni, yang divonis kanker payudara pada 2010. Saat itu, ia tengah belajar fungsi gelombang listrik untuk diagnosis dan terapi.
Ia tahu, sebuah sel punya gelombang listrik tertentu bisa berinteraksi dengan gelombang listrik yang dipaparkan padanya. Alumnus Teknik Kimia dan Teknik Elektro di Shizuoka University Jepang itu juga sudah membuktikan, medan listrik bisa menghambat sel kanker.
Gelombang listrik berdaya tinggi akan menimbulkan reaksi tertentu pada sel kanker. Itu sudah menjadi terapi di luar negeri. Tapi, daya listriknya mencapai 70 volt. Ia lalu memutar otak.
“Berarti gelombang listrik berdaya rendah juga bisa menghasilkan efek jika dipaparkan secara terus-menerus pada sel-sel kanker yang sedang membelah diri,” pikir Warsito, kala itu.
Ia sebenarnya sudah mencoba pikirannya itu. Gelombang listrik dipaparkan pada sel kanker in vitro, sel kanker yang ditumbuhkan di laboratorium.
Hasilnya, perkembangan sel kanker tertahan. Rupanya, gelombang listrik mengacaukan pembelahan sel kanker. Mereka bisa kacau, bahkan hancur.
Warsito lalu nekat mengujicobakan alatnya pada Suwarni. Dalam kondisi mendesak, ia tak tega melihat kakaknya menderita. “Paling juga enggak ngaruh. Syukur-syukur kalau ngaruh,” ujarnya.
Gelombang listrik disetelnya sangat rendah, sekitar tiga volt. Warsito pun terkejut. Hasilnya di luar dugaan. Suwarni membaik setelah alat serupa rompi bergelombang listrik itu dipakai selama sebulan penuh.
Warsito Purwo Taruna (50) menciptakan alat pendeteksi kanker. (VIVA.co.id/Muhamad Solihin)
Suwarni lalu memeriksakan sel-sel kankernya ke dokter, dan hasilnya normal. Padahal, ia didiagnosis menderita kanker payudara stadium 4.
Awalnya Warsito tak percaya. Lantas, ia meminta Suwarni kembali memakai rompi ciptaannya. Pemindaian sel kanker kali kedua, dilakukan sebulan kemudian. Sel-sel kanker Suwarni menghilang.
“Saya antara percaya dan tidak percaya,” kata Warsito tercengang. Kini, rompi buatan sang adik hanya sesekali dipakai Suwarni sebagai tindakan preventif.
Temuan Warsito itu lalu makin berkembang. Dari mulut ke mulut, rompi buatan pria asal Karanganyar, Solo itu mulai tenar. Hingga pertengahan 2011, sudah ada empat orang yang memakainya.
Masing-masing mengeluhkan sakit kanker rahim, kanker serviks, kanker payudara, dan kanker paru-paru. Dengan pemakaian alat secara teratur, benjolan mereka mengempis.
Sakit pun diklaim hilang. Alat terapi Warsito juga dipakai di sejumlah negara seperti Taiwan, China, Malaysia, India, dan Singapura.
Selanjutnya, Perlu Pembuktian
Perlu Pembuktian
Temuan alat terapi Warsito itu pun mendapat tanggapan kalangan medis. Dokter spesialis penyakit dalam, dr. Nugroho Prayogo Sp.PD. KHOM, dari RS Dharmais, berkomentar soal temuan rompi terapi kanker Warsito itu.
Menurut Nugroho, pengobatan kanker itu bisa dilakukan, tapi dengan bukti yang jelas dan bagaimana mekanismenya.
"Kalau sudah dicoba ke hewan, lalu manusia, maka hasilnya harus fair. Kalau memang betul bisa mengobati, ya enggak apa-apa, selama ada bukti," katanya kepada VIVA.co.id, Kamis, 20 Juli 2017.
Nugroho menegaskan, obat kanker sejatinya dibuat dengan serius. Tidak mungkin langsung jadi dalam setahun. Artinya, harus bertahun-tahun dan diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masing-masing negara.
Selain itu, biayanya tidak sedikit. "Kami (tim medis) bukannya anti dengan penemuan itu. Asal ada bukti jelasnya," ucapnya.
Senada, spesialis bedah dan konsultan onkologi, dr. Sonar Soni Spb. (K) Onk., dari Yayasan Kanker Indonesia, menegaskan, rompi milik Warsito belum ada bukti konkret.
Soni menyebut, Warsito bukanlah seorang dokter, dan hanya lulusan fisika. Sementara itu, pengobatan kanker harus ada penelitian, uji coba, serta hasilnya.
"Kalau sudah dites, apakah lebih baik atau minimal sama dengan pengobatan sebelumnya. Dia kan enggak ada penelitian dan enggak ada izin penjualan," tuturnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 20 Juli 2017.
Alat ECCT (Electro-Capacitive Cancer Theraphy) Brain dan alat scan untuk mendeteksi penyakit kanker milik Dr. Warsito di Alam Sutera, Tangerang Selatan, Banten. (VIVA.co.id/Muhamad Solihin)
Dari sisi riset, Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Imam Paryanto, memiliki pendapat sendiri. Ia melihat alat "antikanker" temuan Warsito sebagai inovasi yang luar biasa.
Sosok Warsito, di mata Imam, seharusnya diapresiasi sebagai ilmuwan. Terlebih, Warsito pernah dianugerahi BPPT sebagai penerima BJ Habibie Teknologi Award.
"Kami mengakui bahwa beliau adalah orang yang mempunyai pemikiran yang luar biasa," ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 19 Juli 2017.
Hanya saja, Imam melanjutkan, sisi lain, BPPT juga punya regulasi. Setiap alat yang diciptakan perlu pembuktian, salah satunya, uji klinis.
Imam menjelaskan, Warsito harus memperkuat data-data sebagai penguatan ilmiah kepada regulator, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Dengan begitu, ia bisa mengomersialkan produknya untuk digunakan masyarakat.
"Logikanya, kalau suatu produk sudah di masyarakat, otomatis izinnya sudah keluar dari regulator," kata dia.
"Untuk mendapatkan izin butuh syarat-syarat. Nah, syarat itulah yang harus dipenuhi. Salah satunya uji klinis mendeteksi atau menyembuhkan," tutur Imam.
Dari BPPT, menurut Imam, sangat mendukung. Namun, lagi-lagi, harus mengikuti regulasi, dan itu dikembalikan kepada Warsito. Apalagi, meriset alat antikanker miliknya membutuhkan dana besar.
Ia pun berharap kementerian terkait, seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, memberikan insentif untuk mendukung pengembangannya.
Terkait alat temuan Warsito sudah diakui oleh beberapa lembaga asing, Imam menyebut itu sah-sah saja. Meskipun, belum jelas pengakuannya dalam bentuk apa.
"Ini harus dipahami juga, maksudnya diakui ini seperti apa? Yang pasti, untuk Indonesia produk ini tergolong baru," kata dia.
"Seperti dulu ada inkubator dari mahasiswa UI. Walau pernah dibuat, kemudian digunakan, tetap saja harus ada registrasinya. Sama halnya dengan alat antikanker itu (Warsito)," ujar Imam.
Saat ini, menurut informasi yang diperoleh VIVA.co.id, alat antikanker Warsito ini sedang dilakukan riset yang melibatkan fakultas kedokteran beberapa perguruan tinggi di dalam negeri.
Menanggapi hal itu, Imam mengapresiasinya, dan menyebut alat tersebut memang butuh banyak pengujian.
"Itu bagus, karena nanti akan ada masukan dari hasil risetnya untuk menyempurnakan prototipe. Ini juga untuk benar-benar meyakinkan regulator," tutur dia.