- VIVA.co.id/Purna Karyanto
VIVA.co.id – Puluhan orang menggerompok salah satu gerai kendaraan di Jakarta Fair, Kemayoran, Minggu malam, 11 Juni 2017. Mata mereka tertuju pada sebuah mobil kelir merah dengan wujud yang tak 'familiar'.
Meski kompak memandangi ‘barang baru’ itu, mereka juga sibuk dengan tingkah masing-masing. Ada yang sambil bercengkerama dengan teman, berbincang dengan wiraniaga, melihat-lihat mobil, sibuk memfoto, hingga menikmati kudapan.
Rupanya, yang dikerubungi adalah salah satu jenama mobil tak terkenal di Tanah Air, Wuling. Dari penuturan seorang tenaga penjual, diperoleh informasi kalau mereka tengah memamerkan sebuah mobil keluarga terbaru dengan banderol murah.
Mendengar ucapan ini, suasana makin ‘beringsang’, banyak pengunjung yang penasaran dengan mobil gerangan.
"Namanya Wuling Confero S, di sini sudah bisa dipesan, cukup siapkan uang tanda jadi Rp5 juta. Kami juga siapkan berbagai promo menarik termasuk cashback jika melakukan pemesanan di Jakarta Fair," demikian 'jurus kecap' seorang tenaga penjual meyakinkan para pengunjung.
"Harga sementara kami jual Rp130 juta untuk tipe terendah, dan termahal Rp165 juta. Kapasitas penumpang tujuh orang, fitur lebih baik dari merek-merek Jepang," tuturnya.
Mobil MPV Wuling Confero S buatan Cina yang dipamerkan di Jakarta. (VIVA.co.id/Pius Yosep Mali)
Wuling merupakan jenama pendatang baru dunia otomotif nasional yang gencar menancapkan kuku bisnis di Indonesia. Genderang bisnis produsen asal China ini sudah ditandai dengan guyuran investasi mencapai US$700 juta atau lebih dari Rp9 triliun untuk membangun markas di Cikarang.
Setidaknya langkah mereka sudah lebih progresif ketimbang pemain mobil sekaliber Korea Selatan yang masih mengandalkan impor, kendati sudah hadir selama lebih dari dua dekade.
Apa yang dilakoni Wuling terbilang wajar melihat fakta moncernya penjualan mobil penumpang di Indonesia. Lebih dari 40 persen penjualan mobil di Tanah Air memang didominasi segmen MPV, seperti yang diusung Wuling.
Maka jangan heran bila segmen ini jadi sesak dengan banyaknya ragam produk dari berbagai merek. Sementara itu, jenama-jenama yang berkuasa hampir semua dari Jepang, seperti Toyota, Daihatsu, Honda, Nissan hingga Mitsubishi.
MPV merupakan kendaraan multiguna. MPV adalah klasifikasi mobil "multifungsi" yang dapat digunakan sebagai pengangkut penumpang sekaligus kendaraan pembawa barang. Kendaraan bertipe ini cenderung memiliki klasifikasi "minibus" (bus kecil) dilihat dari bentuknya.
Produksi kendaraan yang bertipe MPV biasanya terdapat dua varian yaitu untuk membawa penumpang (dengan kursi penumpang belakang) dan untuk membawa kargo (tanpa jendela dan kursi penumpang belakang), yang hanya dikhususkan untuk membawa barang.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, mengatakan, masyarakat Indonesia memang cukup unik. Mereka memiliki preferensi produk mobil berbeda dengan selera masyarakat dunia. Apabila tren global mengarah ke model sedan dan Sport Utility Vehicle (SUV), masyarakat justru memfavoritkan mobil MPV untuk segala kebutuhan.
"Pasar kita memang unik. Tren permintaan domestik masih lebih banyak meminati MPV. Tren ini masih akan terjadi dua sampai tiga tahun ke depan," ujar Kukuh Kumara.
Ada satu faktor pendukung mengapa MPV dapat menjadi idola jamak masyarakat. Kata Kukuh, selain dapat memuat lebih banyak penumpang hingga tujuh orang, struktur pajak MPV beda dengan jenis sedan yang merupakan primadona di pasar global. Mobil sedan dikenakan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) hingga 30 persen, sedang MPV hanya 10 persen.
Selanjutnya, Sejarah Panjang
Sejarah Panjang
Hegemoni mobil keluarga di Indonesia rupanya tak terlepas dari sejarah panjang kiprah mobil Jepang di Tanah Air. Mobil-mobil dari Negeri Sakura tercatat mulai masuk ke Indonesia pada 1960 dalam jumlah terbatas. Sebarannya di beberapa kota besar.
Berdasarkan keterangan James Luhulima dalam "Sejarah Mobil dan Kisah Kehadiran Mobil di Negeri Ini (2012)", saat pertama kali masuk ke Tanah Air, mobil Jepang menuai banyak ejekan. Banyak masyarakat yang tak percaya dengan kualitas mobil-mobil Jepang.
Mereka lebih percaya mobil-mobil racikan Eropa dan Amerika yang sudah menemani aktivitas masyarakat selama puluhan tahun.
Mobil-mobil Eropa dan Amerika terkenal berbodi kokoh, sedangkan buatan Jepang dianggap ringkih karena dibalut pelat bodi tipis. “Mereka menyebut bodi mobil Jepang yang tipis itu terbuat dari blek atau kaleng kerupuk yang menggunakan seng sebagai bahan dasar,” kata James Luhulima dalam bukunya.
Tetapi ada keunggulan yang ditawarkan Jepang pada mobil-mobilnya. Atas itu pula masyarakat Indonesia beringsut mulai pindah ke lain hati. Apalagi kalau bukan soal harga.
Ya, Jepang menjual mobil-mobilnya lebih murah. Di awal 1960-an saja, ketika jip Willys buatan Amerika dijual dengan harga Rp350 ribu, dan jip Land Rover dijual Rp450 ribu, Jepang menawarkan Toyota Canvas alias Land Cruiser dengan harga hanya Rp112 ribu.
Ratusan mobil dan truk baru pabrikan dari perusahaan otomotif di Jepang yang siap untuk ekspor, saat berada Pelabuhan Yokohama, Jepang. (REUTERS/Toru Hanai)
Pengamat otomotif Bebin Djuana mengatakan, merek-merek Jepang melakukan perjuangan panjang untuk dapat dipercaya masyarakat. Usai puluhan tahun menanam kepercayaan, keberuntungan pun mengikuti dan mengalahkan tren mobil Eropa-Amerika di Indonesia.
"Yang ada di pikiran masyarakat akhirnya berubah, produk Jepang itu awet, enggak rewel, irit, dan lebih murah," kata Bebin.
Produk-produk Jepang juga disebut sukses mengisi kebutuhan masyarakat Indonesia. Berbagai terobosan terus dilakukan hingga seperti sekarang ini, di mana menciptakan MPV hingga menjadi model terlaris hingga kini.
"Jepang kalau bicara risetnya jago, detail. Orang Indonesia sukanya apa, disesuaikan selera dan kebutuhan. Awalnya produk Jepang belum dipercaya karena rewel, tapi lama-lama mereka membuat perubahan," ujarnya.
Selain itu, menurut dia, produk Jepang maju dengan terobosan-terobosan. "Karena sudah sekian tahun itu, jaringan suku cadang ada di mana-mana, layanan servis di Indonesia jadi banyak. Jadi semakin unggul," katanya.
Selanjutnya, Era Kejayaan MPV
Era Kejayaan MPV
Lahirnya MPV di Indonesia ternyata tidak bisa lepas dari peran Toyota Kijang. Di Jakarta Fair 1975, Kijang dengan bodi pikap pertama kali diperkenalkan. Lantas pada 1977, model yang lebih akrab disapa Kijang Buaya itu diproduksi di Indonesia.
Pada 1986, Toyota melahirkan Kijang Doyok yang merupakan generasi kedua. Pada model inilah pertama kalinya Toyota memperkenalkan bodi minibus dipasang di atas pikap Kijang.
"Kalau disebut sebagai menciptakan tren mobil keluarga, rasanya ya mobil Kijang itu. Ketika Kijang diperkenalkan, saya menilai itu adalah cikal bakal dari MPV," kata Bebin.
Sebenarnya jika ditarik mundur ke belakang, awal munculnya mobil keluarga buat masyarakat Indonesia adalah Station Wagon, impor dari Amerika. Tapi belakangan Station Wagon sudah tidak populer. Karena sewaktu itu banyak yang gengsi dan merasa lebih baik naik sedan.
Kelahiran Kijang juga nyaris bersamaan dengan produk Nissan-Datsun, namun mereka tidak bertahan hingga membuat imej Kijang kuat sekali. Terlebih masyarakat menerimanya sebagai kendaraan keluarga.
Dalam buku "Indonesian Customer Satisfaction: Membedah Strategi Kepuasan Pelanggan Merek" tulisan Handi Irawan, pada 1980-an Toyota Kijang menjelma menjadi mobil keluarga yang punya banyak peminat. Gempuran iklan yang menggambarkan bahwa mobil ini sebagai mobil keluarga yang memuat banyak orang di dalamnya sukses memosisikan diri.
Usai kemunculan Toyota Kijang, banyak pemain lain yang lalu berlomba untuk menghadirkan mobil dalam bentuk van, MPV atau family car. Persaingan pun lantas makin ketat hingga bergulir ke era reformasi.
Persaingan makin tinggi terutama dipicu oleh kebijakan pemerintah era reformasi yang membuka keran persaingan industri mobil Indonesia. Kebijakan ini telah membuat hadirnya berbagai merek-merek mobil non sedan baru di pasaran Indonesia.
Mobil-mobil baru tersebut di antaranya adalah Mitsubishi Kuda, Daihatsu Taruna, KIA Carnival, Hyundai Trajet, dan lainnya. Belakangan mobil-mobil keluaran baru ini mulai dilirik oleh konsumen selain Toyota Kijang atau bahkan Isuzu Panther.
Munculnya beberapa mobil baru dengan jenis yang sama, tentu merupakan ancaman bagi Toyota Kijang sebagai pemimpin pasar atau market leader di kelasnya. Ancaman ini bukan saja dari rival sejenis seperti Kuda dan Panther, tetapi juga datang dari bawah, semisal Karimun, serta dari atas seperti Hyundai Trajet atau KIA Carnival.
Tak ketinggalan Honda Stream turut 'berbecek' ria mengambil pangsa pasar Kijang Krista dan LGX. Saat itu, konsumennya datang dari kalangan yang membutuhkan mobil keluarga tetapi senyaman sedan.
Hantaman yang berasal dari samping, bawah dan atas menyebabkan pangsa pasar Kijang sedikit goyah. Akibatnya terjadi penurunan pangsa pasar atau market share Toyota jenis non sedan dari 26,7 persen pada 2001 menjadi 25,2 persen pada 2002.
Selanjutnya, Tantangan Model Baru
Tantangan Model Baru
Seiring perkembangan zaman dan kebutuhan, wujud MPV terus mengalami transformasi. Kini deretan MPV di Indonesia dihiasi dengan model-model dari Avanza, Xenia, Mobilio, APV, Ertiga, dan lainnya. Meski sesak, tetap saja masing-masing dari mereka memberi kontribusi positif bagi jenama yang diusungnya.
Toyota adalah merek yang paling banyak menjual mobil keluarga. Melihat data Gaikindo per 2016, dari 388.204 unit penjualan mereka sepanjang tahun itu, sebanyak 249.253 unit disumbang dari model MPV segala level Toyota.
Avanza menjadi mobil level low MPV yang merajai segmen ini dengan total penjualan 131.842 unit, disusul mobil medium MPV Innova dengan penjualan 59.881 unit. Calya sebagai mobil kategori entry level MPV juga membukukan penjualan cukup tinggi sebanyak 41.543 unit.
Petugas memeriksa mobil sedan pabrikan Toyota yang akan di ekspor ke sejumlah negara saat tiba di Indonesia Kendaraan Terminal (IKT), Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. (VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar)
Total penjualan sedan Toyota hanya 5.930 unit. Namun, penjualan SUV Toyota tercatat cukup tinggi yakni 51.583 unit, sedangkan hatchback Toyota terjual 66.819 unit dengan kontribusi terbesar dari Agya dengan penjualan 48.189 unit.
Menurut Ketua I Gaikindo, Jongkie D Sugiarto, besarnya penjualan mobil keluarga di Indonesia juga berdampak positif bagi perekonomian. Mulai dari industri suku cadang, ban, rental, hingga tukang tambal ban.
"Dikarenakan volume kendaraan bermotor jenis ini besar, maka pemakaian komponen lokalnya pun sangat tinggi, ada yang sudah 80 persen. Dampaknya sangat bagus bagi industri komponen, investasi masuk, lapangan kerja bertambah, dan lain sebagainya," kata Jongkie.
MPV diprediksi masih akan jadi favorit masyarakat Indonesia. Apalagi kini sudah banyak jenama yang menawarkan model-model berharga terjangkau. Selain Wuling, terbaru ada pula rencana Mitsubishi yang bakal hadirkan XM Concept versi produksi pada tahun ini.
Harga yang ditawarkan juga dijanjikan kompetitif dengan para rival-rival yang sudah lebih dulu mencari peruntungan.
"Kendaraan bermotor ini masih akan jadi favorit. Jika pendapatan per kapita kita meningkat (sekarang U$3.600), maka jenis MPV yang lebih lux (mahal) yang akan laku, sesuai dengan daya beli masyarakat," tuturnya.
Kendaraan jenis lain seperti LCGC juga akan berkembang. "Sekarang saja LCGC sudah mencapai pangsa pasar 20 persen dari total penjualan KBM di Indonesia," kata Jongkie.
Namun, ada tantangan ke depan yang perlu dijawab para produsen mobil Jepang. Sebab, Jepang terkenal dengan desainnya yang lemah. Inilah yang bisa menjadi ceruk baru bagi para pendatang baru segmen MPV.
“Jepang lemah didesain, dulu Jepang desain sendiri. Menurut saya sekarang desain lebih bagus, lebih mengarah ke Eropa. Eropa lebih ke arah trendsetter soal desain,” kata Bebin Djuana.
Ada salah satu kebiasaan menarik masyarakat Indonesia yang selalu ditangkap para produsen mobil. Yakni cepat mengikuti perkembangan dan tren yang tengah berkembang.
Sebagai contoh, apabila mobil Jepang masih bertahan dengan lampu besar, namun Eropa sudah menawarkan lampu sipit. “Sementara orang Indonesia dalam hal desain cepat sekali ikuti perkembangan. Kalau trennya lebih kecil, maunya seperti itu,” kata dia. (art)