- VIVA.co.id / Nur Faishal
VIVA.co.id – "DI SINI AKAN DIBANGUN RUMAH TINGGAL TEMPO DOELOE." Demikian tulisan dalam sebuah plakat putih yang dilekatkan di pagar seng berwarna hijau, di Jalan Mawar 10 Surabaya, Jawa Timur.
Di bawah plakat itu, terentang pita kuning khas polisi yang tertulis "Dilarang Melintas Garis Polisi." Pita plastik itu ikut direkatkan di sebuah pegangan yang tertaut sebuah gembok besi.
Kondisi bangunan itu memprihatinkan. Bidang tanah yang tersembunyi di belakang pagar tinggi itu telah rata dengan tanah. Hanya debu yang muncul dari sisa-sisa puing yang tertiup angin.
Padahal belum genap setahun, tepatnya pada bulan Mei 2016, bidang tanah seluas 2.000 meter persegi yang berada persis di belakang seng berwarna hijau itu pernah berdiri sebuah rumah dengan luas bangunan 15x30 meter.
Hampir delapan dekade lalu, rumah yang bercorak putih dengan atap genting kehitaman yang membumbung itu adalah sebuah stasiun radio lokal yang digunakan sebagai alat pengabar informasi.
Di rumah itulah, Sutomo atau Bung Tomo - pahlawan Surabaya kelahiran tahun 1920 - bekerja sebagai jurnalis di studio pemancar Radio Barisan Pemberontak Republik Indonesia (RBPRI).
Dia dikenal dengan gaya khas suaranya yang menggelegar dan membuat darah siapa pun mendidih ketika membicarakan perlawanan terhadap penjajah.
Bung Tomo menjadi sosok yang cukup berpengaruh dalam perjuangan warga Surabaya menentang kehadiran pasukan Inggris pada tahun 1945. Kehadiran pasukan Inggris itu mulanya untuk melucuti dan memulangkan pasukan pendudukan Jepang yang kalah dalam Perang Dunia Kedua. Namun kehadiran pasukan Inggris itu jadi gelagat membuka lagi penjajahan asing di Indonesia, yang baru memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945.
Rakyat Surabaya pun melawan. Gelegar suara Bung Tomo lah yang menjadi sumbu semangat para pejuang Surabaya.
Pekiknya dianggap mampu menularkan semangat pantang mundur bagi Arek-arek Suroboyo. Itu terbukti ketika mereka mampu memukul Inggris dengan menewaskan seorang komandan mereka, Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby pada 30 Oktober 1945.
Sejak itu, rumah radio sederhana di Jalan Mawar 10 ini pun ikut menjadi aset penting untuk perjuangan kemerdekaan di Surabaya. Kokoh tembok di setiap inci bangunan itu menjadi saksi siapa Bung Tomo dan bagaimana orang Surabaya berjuang melawan penjajahan.
Kini, cerita itu tinggal kenangan. Saksi sejarah berupa bangunan yang pernah menjadi ruang gema Bung Tomo telah rata dengan tanah. Tak ada yang tersisa.
Rumah yang pernah tercatat menjadi Bangunan Cagar Budaya sejak tahun 1996 itu pun luruh ketika excavator menghantam temboknya. Tak butuh lama, rumah seluas 15x30 meter itu pun rata dengan tanah.
Sang pemilik lahan, PT Jayanata, rupanya sudah berencana akan menjadikan bangunan itu sebagai lahan parkir untuk sebuah plaza, meski kemudian rencana itu batal.
Namun, rumah radio Bung Tomo itu terlanjur lenyap. Keberadaan Benda Cagar Budaya itu justru baru disadari publik ketika ia telah “dihilangkan.”
Pemerintah setempat pun bahkan kelimpungan, dan menuai kritik tajam karena mengisyaratkan ketidakpedulian mereka ketika bangunan yang semestinya dijaga itu telah beralih kepemilikan.
"Itu pelanggaran berat. Padahal, sudah tertulis bahwa gedung itu merupakan cagar budaya. Tapi, ya sudahlah, kalau sudah dibongkar, tidak akan bisa diapa-apakan lagi," kata Ketua DPRD Surabaya Armudji, Rabu, 4 Mei 2016.
Sejauh ini, meski polemik penghancuran rumah radio itu akhirnya berujung pada kesepakatan akan dibangun ulang oleh PT Jayanata selaku pemilik lahan.
Namun kenyataan pahit bahwa bangunan bersejarah ini telah tercerabut sebagai bangunan cagar budaya menjadi fakta menyakitkan.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya telah memutuskan pada 15 Desember 2016 atau tujuh bulan usai rumah itu diratakan bahwa bangunan itu bukanlah benda cagar budaya.
"Bangunan sudah tidak ada, syarat terhapus sebagai cagar budaya sudah terpenuhi," kata Ketua PTUN Surabaya Liliek Eko Poerwanti, Rabu, 11 Januari 2017.
Selanjutnya, Tak Terawat
Tak Terawat
Nasib Rumah Radio Bung Tomo bisa jadi merupakan salah satu contoh ketidakpedulian soal benda cagar budaya dan sejarah yang tersebar di Tanah Air. Sangat mungkin banyak yang tak terungkap atau mungkin tidak diketahui.
Di Semarang, misalnya. Berdasarkan catatan pemerintah setempat, kota ini memiliki sedikitnya 16 kawasan cagar budaya yang memiliki 365 bangunan yang tersebar di permukiman.
Dari jumlah itu, setengahnya diketahui dalam kondisi terawat dan sisanya lagi dalam kondisi rusak dan tidak termanfaatkan.
Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, mengaku sudah berupaya untuk menjaga sejumlah bangunan cagar budaya tersebut. Salah satunya adalah dengan memberikan insentif pajak bagi mereka yang mendiami bangunan cagar budaya.
Namun, Hendrar mengaku tetap belum bisa maksimal. Sebabnya, hampir 90 persen bangunan seperti di kawasan Kota Lama Semarang justru dimiliki oleh swasta.
"Kita enggak bisa intervensi ke bangunan privasi, artinya yang dimiliki orang. Meskipun sudah kita support dengan kemudahan aturan," katanya, Kamis, 9 Maret 2017.
Salah satu bangunan yang kini terancam tergerus adalah sisa-sisa bangunan surat kabar pertama Semarang, De Locomotif, di Jalan Kepodang Nomor 22-24 Kota Semarang. (VIVA.co.id/Dwi Royanto)
Bangunan sepanjang 20 meter dengan tinggi empat meter itu sebagiannya sudah dalam kondisi memprihatinkan. Alhasil, gedung yang pernah menjadi rumah produksi bacaan bagi RA Kartini sejak abad 18 itu menua dan menyedihkan.
Yunantyo Adi, anggota Komunitas Pegiat Sejarah Semarang mencatat setidaknya ada 20-an cagar budaya di daerah itu yang kini rusak dan hancur.
Menurutnya, setidaknya ada empat penyebabnya, pertama karena banyaknya cagar budaya adalah milik pribadi sehingga sulit diawasi, kedua karena lemahnya perhatian pemerintah, ketiga ketidaktahuan pemerintah dan keempat karena faktor alam. "Anggaran merawat juga cukup besar," katanya.
Selanjutnya, Tanggung Jawab Siapa?
Tanggung Jawab Siapa?
Benda Cagar Budaya, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan tanggung jawab negara untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan.
Bentuknya bisa berupa benda, bangunan struktur, situs dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah. Sejauh ini, sebagaiman dilansir dalam laman Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Total cagar budaya hingga tahun 2017 yang telah tercatat dan diakui di seluruh Indonesia ada sebanyak 1.386 buah. Dengan rincian dalam bentuk kawasan 20 buah, situs 299 buah, struktur 104 buah, benda 48 buah dan bangunan sebanyak 915 unit.
Berikut secara rinci laporan registrasi cagar budaya di Indonesia dalam periode 2013-2017:
Pendaftaran Cagar Budaya
2013 510
2014 2.831
2015 23.029
2016 26.208
2017 665
Total 52.243
Verifikasi Cagar Budaya
2013 487
2014 458
2015 1.406
2016 1.715
2017 280
Rekomendasi Cagar Budaya
2011 1
2013 8
2014 5
2015 72
2016 1.257
2017 80
Total 1.423
Penetapan Cagar Budaya
2014 1
2015 2
2016 1.315
2017 68
Total 1.386
(Sumber: Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
Menurut Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya, Jhohanes Marbun, di Indonesia secara praktik memang masih sangat lemah dalam upaya perlindungan sebuah benda cagar budaya. (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
Meski tahun 2010 telah diterbitkan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, fakta menunjukkan bahwa peraturan turunan soal UU tersebut tak kunjung diterbitkan.
Akibatnya, proses perlindungan bagi cagar budaya akhirnya menjadi lemah. Karena itu mahfum kemudian benda cagar budaya yang sedang diajukan atau pun mungkin sudah ditetapkan, masih sangat mungkin untuk disentuh atau dirusak.
"Di sinilah pihak lain ingin main-main, karena memang tidak ada sanksi hukum," kata Jhohanes.
Mengutip dari UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dalam Bab IX Ketentuan Pidana dari Pasal 101 sampai 112, ketentuan ini mengatur ada sanksi pidana penjara dan denda mulai dari Rp10 juta hingga Rp 10 miliar bagi setiap orang, badan usaha berbadan hukum atau tidak yang melakukan mengalihkan kepemilikan, tidak melaporkan temuan, mencari cagar budaya tanpa izin.
Lalu menghalangi pelestarian cagar budaya, merusak, mencuri, menadah, memindahkan, memisahkan, membawa cagar budaya ke luar negeri atau pun memasukkannya tanpa izin. Dan kemudian merubah fungsi, mendokumentasikan tanpa izin hingga ke memanfaatkan cagar budaya tanpa izin.
Apa pun itu, pelestarian dan perlindungan benda bersejarah apa pun bentuknya, sudah menjadi kewajiban bersama. Pemerintah memang memiliki peran besar soal ini. Begitu pun publik wajib sedia menjaga apa yang sudah menjadi bagian dari sejarah.
Jangan sampai, ada kejadian lagi seperti rumah radio Bung Tomo di Semarang, penghancuran Bioskop Banteng Hebe di Pangkal Pinang, perusakan Balai Mardioto di Yogyakarta atau di tempat-tempat lain yang mungkin belum terungkap.
Seperti kata mendiang Presiden Sukarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri." (ren)