- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA.co.id – Kening Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, terlihat berkerut. Wajahnya juga terlihat memerah saat ditanya soal pendataan kiai dan wacana sertifikasi ulama. Beberapa kali pria ini mengayunkan tangan untuk menjelaskan dan menegaskan perihal dua isu yang tengah ramai dibicarakan tersebut.
“Jadi, tidak ada keinginan pemerintah untuk sertifikasi ulama. Kata sertifikasi itu tidak pernah muncul dari pemerintah,” ujar Lukman saat ditemui di lobi Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Selasa, 7 Februari 2017.
Menag menjelaskan, wacana ‘sertifikasi ulama’ muncul karena ada sejumlah kalangan yang merasa resah dan risau dengan khotbah-khotbah Jumat berisi hal-hal ajakan yang provokatif. Ia mengatakan, esensi khotbah Jumat yang seharusnya berisi ajakan untuk bertakwa ternyata diisi dengan hal-hal yang sifatnya memecah belah, karena menjelek-jelekkan. Bahkan, menyebut nama orang-orang tertentu, sehingga meminta pemerintah menyikapi hal itu.
“Tentu sebagai Kementerian Agama saya tidak boleh diam terhadap hal seperti ini,” dia menambahkan.
Guna menyikapi kondisi tersebut, Kemenag mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam. Tak hanya itu, Kemenag mengundang organisasi-organisasi profesi seperti para dai, dan akademisi untuk duduk bersama.
“Kemudian, muncul wacana tentang standardisasi. Jadi, standardisasi, bukan sertifikasi, yaitu ingin memberikan batasan minimal kompetensi dan kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang khatib dalam menyampaikan khotbah Jumat,” tuturnya.
Memicu Reaksi
Wacana ini sontak memicu pro dan kontra di masyarakat. Harris Sofyan Hardwin (24) misalnya. Warga Depok, Jawa Barat, ini, mengaku tak setuju dengan rencana sertifikasi ulama tersebut. Ulama bukan sebuah profesi yang harus disertifikasi.
Jemaah Sunni mendatangi Masjid Sunni pada perayaan hari pertama Idul Adha di Baghdad, Iraq, 12 September 2016. (REUTERS/Khalid al Mousily)
“Menyertifikasi ulama lebih membuat diskriminasi, di mana nantinya akan ada ulama yang bersertifikat dan tidak. Selain itu, akan timbul masalah terhadap ulama yang tidak bersertifikat karena bisa dianggap ulama abal-abal,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 8 Februari 2017.
Dia mengatakan, tidak semua khotbah Jumat isinya cacian, celaan atau menyalahkan. Menurut Harris, hal itu terjadi karena tensi politik di Indonesia sedang memanas. Seharusnya, pemerintah berperan aktif dalam menciptakan kondisi politik yang damai tanpa menyudutkan atau mendiskreditkan kelompok agama atau aliran kepercayaan.
Penolakan juga disampaikan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nasir. Menurut dia, tidak perlu ada sertifikasi ulama, mubalig atau dai. Pertama, karena ulama dan para penyebar Islam di Indonesia tumbuh kembang di masyarakat dan tidak dibentuk oleh pemerintah.
Kedua, pemerintah tidak perlu masuk terlalu jauh pada urusan keulamaan dan kegiatan dakwah, lebih-lebih di era demokrasi. “Ulama juga bukan PNS, jadi tidak perlu diperlakukan seperti aparatur negara,” ujarnya melalui pesan singkat.
Pendapat senada disampaikan Syafi’i Maarif. Cendekiawan muslim ini setuju bahwa penceramah perlu menjaga diri. Namun tak perlu pakai sertifikasi. “Macam disangka zaman otoriter saja. Saya ndak setuju kalau itu,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 9 Februari 2017.
“Kalau harus diawasi, saya setuju. Karena kalau masjid-masjid dipakai untuk agitasi politik, itu ndak benar. Jemaah itu macam-macam, bukan hanya satu golongan. Harus yang sejuk, Islam yang cantik, Islam yang berkemajuan, Islam yang mengibarkan bendera persaudaraan. Jangan yang macam-macam,” dia menambahkan.
KH Salahuddin Wahid menilai, sertifikasi atau standardisasi ulama baru sekadar wacana. Namun, ia sepakat, khotbah harus memberikan informasi yang baik, jelas, dan benar. “Sebab katanya, ada orang yang jadi khatib membaca Alquran saja tidak bisa. Bacanya Alquran yang huruf latin,” ujar kiai yang akrab disapa Gus Solah ini kepada VIVA.co.id, Rabu 8 Februari 2017.
“Sertifikasi guru saja belum tuntas. Nah, ini mau nyari-nyari kerjaan lagi,” ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam, Selasa, 7 Februari 2017.
Ia menilai, jika niatnya adalah untuk peningkatan kapasitas, itu bagus. “Tetapi tidak dalam kerangka kontrol negara terhadap independensi ulama, independensi khotib ataupun dai,” dia menambahkan.
Asrorun mengatakan, yang diperlukan adalah peningkatan kapasitas keagamaan dengan pendidikan. Misalnya, memfasilitasi calon dai untuk diberikan beasiswa pendidikan atau sekolah lagi.
“Jangan ujug-ujug atau seolah-seolah seperti sinterklas yang datang, kemudian bilang, eh kamu nggak pantas (ceramah), kamu pantas, kaya polisi menilang orang yang melanggar lalu lintas saja nanti,” ujar Katib Syuriah PBNU ini.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), saat berkunjung ke kantor Redaksi Viva.co.id, Jakarta, Kamis, 10 September 2015. (VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi)
Menurut dia, arahnya jangan menggunakan pendekatan birokratis, tetapi partisipatif. Bagaimana menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara, meningkatkan pemahaman keagamaan dan akses terhadap ilmu pengetahuan secara berkeadilan.
Ia mengakui, ada khotib yang tidak layak. Misalnya, baru bisa ngaji sedikit saja sudah khotbah atau ceramah ke mana-mana hanya modal dalil satu ayat, atau karena dia punya kedekatan dengan media, kemudian bisa ceramah di televisi. “Nah, yang harus disadarkan sebenarnya bukan di subjeknya saja, juga harus ke user-nya,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla, mengatakan, tak mudah untuk melakukan sertifikasi ulama. “Karena masjid saja ada hampir satu juta. Jadi, mubalignya bisa dua jutaan, imam macam-macam, jadi tidak mudah,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu 8 Februari 2017.
Menurut Kalla, hanya ada dua atau tiga negara di dunia yang masjidnya dibangun sendiri oleh masyarakat dan diatur oleh masyarakat, yakni Indonesia Pakistan, dan India. Yang lainnya diatur negara, seperti Malaysia, Brunei, Timur Tengah, Saudi, Kuwait, Mesir, dan Turki.
“Jadi, dakwah di Indonesia itu adalah dakwah komunitas, masyarakat, sehingga tidak mudah untuk mengatur itu,” ujar Wakil Presiden RI ini.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid meminta pemerintah menghentikan standardisasi atau sertifikasi jika berujung kepada pembatasan hak dakwah dan kegiatan dakwah. Menurut dia, soal khotbah yang cenderung politis dari dulu selalu ada.
“Sekarang jadi ramai karena banyak pilkada. Dan itu musiman. Tidak bisa dijadikan alasan. Standardisasi hanya ada dalam konteks peningkatan mutu. Bukan alasan-alasan tadi,” ujarnya kepada VIVA.co.id di Senayan, Jakarta, Kamis 9 Februari 2017.
Standardisasi Bukan Sertifikasi
Menag menegaskan, wacana yang muncul adalah standardisasi bukan sertifikasi. Dan pemerintah hanya menjadi fasilitator. Menurut dia, apa yang harus diatur semuanya dikembalikan ke ulama.
“Pemerintah tidak punya pretensi, apalagi merasa paling ngerti tentang persoalan atau urusan ini. Karena ini urusan ulama, ini domain ulama dan pemerintah itu umaro,” menag menjelaskan.
“Jadi, lagi-lagi pemerintah itu hanya memfasilitasi. Isinya apa, lalu siapa yang memberikan, dan lain sebagainya, itu menjadi kewenangan para pemuka-pemuka agama, para ulama, para kiai, ormas-ormas Islam dan lain sebagainya,” tutur Lukman.
Menurut dia, yang diperlukan adalah pedoman bersama yang menjadi acuan bersama, bukan hanya khotib-khotib, tapi juga untuk semua.
“Agar punya pedoman dan semua bisa mematuhi, katakanlah apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Bagi para pengurus masjid untuk menentukan siapa yang boleh khotbah Jumat pada tanggal sekian dan tidak. Karena itu kan kewenangan takmir masjid,” dia menambahkan.
Gus Solah mengatakan, kalau memang ada standardisasi, bagaimana standarnya dan siapa yang berhak mengeluarkan. “Kita juga tidak ingin materi khotbah itu menimbulkan masalah. Jangan sampai dipakai untuk tujuan-tujuan yang tidak benar. Untuk pilkada atau politik,” ujarnya.
Menurut adik almarhum Gus Dur ini, orang yang layak jadi khotib itu, dia memahami agama dengan benar, bisa membaca Alquran dengan benar, dan mempunyai pengetahuan yang cukup.
“Selain itu, tentunya disampaikan dengan ucapan yang baik, bukan dengan kata-kata yang kasar. Mendidik dan memberi informasi, syukur-syukur kalau bisa mencerahkan. Intinya (isi khotbah) itu mampu memberi pengetahuan agama, menambah pengetahuan agama, atau mengingatkan kembali tentang agama,” tuturnya.
Sodik Mudjahid menilai, standardisasi bisa dipahami jika merupakan langkah awal untuk peningkatan mutu dan kapasitas ulama. Standardisasi sebagai langkah pertama peningkatan mutu bisa dilaksanakan dengan pokok-pokok sebagai berikut.
Pertama, menegaskan niat dan misinya untuk peningkatan mutu kapasitas dan bukan pembatasan dakwah. “Kedua, siapkan program yang konsepsional, peningkatan mutu ulama yang bisa jadi melebihi konsep peningkatan guru dan dosen, dan bukan sekadar reaksional atas suatu peristiwa seperti sekarang,” ujarnya.
Bukan Intervensi
Harris menilai, rencana sertifikasi ini mencerminkan intervensi pemerintah dalam syiar Islam. Ia khawatir, program ini akan menjadi alat politik bagi pemerintah untuk mengontrol para ulama yang kritis menyangkut kebijakan pemerintah.
Sertifikasi ini, dia melanjutkan, juga bisa digunakan untuk membungkam ulama yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah, dengan tidak memberikan sertifikat, padahal ulama tersebut memenuhi kriteria.
“Namun kepada mereka yang pro terhadap pemerintah diberikan keleluasaan untuk diberikan sertifikasi walaupun tidak memenuhi unsur penilaian,” ujar warga Depok ini.
Umat Islam berdoa saat menggelar tradisi "Megibung" atau makan bersama seperti halnya tradisi adat masyarakat Bali di Masjid Al Muhajirin Kepaon, Denpasar, Bali. (Antara/ Nyoman Budhiana)
Namun, hal itu dibantah menag. Menurut Lukman, Kementerian Agama hanya merespons keresahan sebagian umat Islam dengan khotbah-khotbah yang di antaranya sangat agitatif dan provokatif serta berisi ujaran-ujaran kebencian. “Semua disampaikan ke kami, dan minta kami untuk bersikap, bertindak. Tentunya kami tidak boleh diam. Kami mengundang para ulama, wakil-wakil ormas Islam untuk susun bersama,” kata dia.
Jadi, menurut Lukman, pemerintah sama sekali tidak berpretensi, mengintervensi, apalagi mengatur isi khotbah seperti di masa-masa lalu. “Ini era sudah berbeda sama sekali, jadi tidak mungkin pemerintah seperti itu, karena kita sadar betul itu bukan domain pemerintah,” Lukman menjelaskan.
Ia berharap, umat Islam di Indonesia tidak resah, risau, dan tidak mudah diprovokasi oleh pihak-pihak yang ingin membenturkan antarumat Islam, tokoh-tokoh Islam, dan pemerintah. Karena, pemerintah tidak akan melakukan intervensi materi khotbah.
Menurut Lukman, pemerintah hanya ingin memfasilitasi bagaimana agar khotbah Jumat tetap sesuai dengan syariatnya, jadi tetap terjaga syarat rukunnya. Kemudian, tetap terjaga dalam konteks keindonesiaan, dalam konteks kebangsaan.
“Jangan menggunakan forum khotbah Jumat untuk kepentingan politik, sehingga menimbulkan perpecahan di tengah-tengah kita, jadi semangat itu yang kita tekankan,” kata dia.
Harapan yang sama juga disampaikan Gus Solah. Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang ini meminta, khotbah jangan saling menyerang kelompok lain. Selain itu, khotbah tidak boleh dipakai untuk menyerang secara politik.
“Janganlah juga dipakai untuk kampanye khilafah, kampanye negara Islam. Itu ada tempatnya sendiri,” tuturnya. (art)