SOROT 433

Alutsista Indonesia 'Go International'

Presiden Jokowi menjajal Panser Anoa 2 6x6 Amphibious di Mabes TNI Cilangkap
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho

VIVA.co.id – Penjagaan ketat terlihat ketika VIVA.co.id masuk gerbang pertama industri strategis bidang persenjataan PT Pindad, di Jalan Terusan Gatot Subroto, Kota Bandung, Jawa Barat. Ini tidak seperti masuk ke gedung perkantoran, apalagi ke pusat perbelanjaan.

Top Trending: Habib Umar Ungkap Kemunculan Imam Mahdi Hingga 14 Jenderal Bintang 4 di Era Jokowi

Pemeriksaan menyeluruh langsung dilakukan penjaga gerbang. Setiap pengunjung pasti ditanya identitas, keperluan dan ingin bertemu siapa.

Jarak gerbang utama dengan tempat parkir para tamu dan pegawai cukup jauh, sekitar 100 meter. Tampak kendaraan roda dua dan empat terparkir di lapangan Pindad. Kondisinya sepi, mungkin karena para pegawai masih sibuk dengan urusan masing-masing.

DPR Apresiasi Pindad-Tata Bikin Kendaraan Perang di RI

Sekitar pukul 15:30 WIB, alarm tanda berakhirnya jam kerja berbunyi. Bertahap, karyawan dengan berbagai seragam keluar dari gerbang kedua menuju kendaraan masing-masing kendaraan. Beberapa terlihat menyempatkan diri berbincang sambil tertawa.

Namun, penjagaan ketat tetap terlihat di gerbang kedua, yang merupakan akses menuju hanggar pembuatan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Berawal dari pembuatan senjata dan amunisi, Pindad kini sudah berkembang menjadi perusahaan besar yang dipercaya untuk memproduksi kendaraan perang.

Demokrat Desak Biden Sanksi Dua Menteri Israel Pendukung Kekerasan pada Palestina

Salah satu produk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu yang sempat menjadi buah bibir di masyarakat Indonesia adalah Anoa. Kendaraan panser amfibi ini adalah hasil pengembangan Pindad yang dilakukan sejak 1993 silam.

Dari data yang ada di laman resmi Pindad, jumlah Anoa yang berhasil dijual hingga saat ini adalah 260 unit, dengan berbagai model serta spesifikasi. Untuk membuat Anoa, Pindad menggandeng Renault sebagai pemasok mesin dan transmisinya.

Renault bukan satu-satunya perusahaan luar yang bekerja sama dengan Pindad. Baru-baru ini, Direktur Umum Pindad, Abraham Mose, meneken nota kesepahaman dengan Tata Motors, pada November tahun lalu.

Tak tanggung-tanggung, kolaborasi ini langsung membidik sasaran besar. Rencananya, Pindad akan menjadi basis produksi untuk kendaraan tempur, dengan skala ekspor. kolaborasi Untuk awalnya, kolaborasi ini akan fokus pada menciptakan kendaraan perang jenis amfibi.

Abraham mengatakan, ada tiga pertimbangan utama yang membuat Pindad tertarik berkolaborasi dengan Tata Motors.

"Yang paling spesifik karena Tata Motors punya satu sasis yang bisa digunakan untuk berbagai macam kendaraan. Kedua, mereka mau berinvestasi. Dan ketiga, mau melakukan pengembangan bersama," kata Abraham kepada VIVA.co.id.

Kerja sama ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Salah satunya yakni Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta. Ia menuturkan, kolaborasi dengan Tata perlu dilakukan, jika Pindad ingin sukses merambah pasar dunia.

“Kalau mau besar, ya harus berani kerja sama strategis dengan pemain dunia. India, menurut Global Fire Power, berada pada posisi keempat kekuatan militer terbesar di dunia. Tata Motors telah memiliki pengalaman dalam memproduksi kendaraan militer,” ungkapnya kepada VIVA.co.id.

Melalui kerja sama itu, Sukamta berharap adanya transfer teknologi. Sehingga, Pindad dapat menguasai semua hal yang dibutuhkan oleh negara-negara penggunanya.

“Selain itu, kami harapkan dengan kerja sama ini, Indonesia bisa memperluas pasar alutsista buatan dalam negerinya,” tuturnya.

Bisnis Alutsista

Perusahaan milik negara yang bergerak dalam bidang industri strategis tidak hanya Pindad. Ada PT Dirgantara Indonesia (DI) yang merakit pesawat dan helikopter dan PT PAL Indonesia yang melayani pembuatan kapal perang.

Selain itu, ada juga PT Dahana sebagai penyedia bahan peledak dan PT INTI serta PT LEN yang bergerak dalam bidang elektronika. Menurut data yang ada di Kementerian BUMN, nilai ekspor alutsista yang didapat dari PAL Indonesia tahun lalu yakni Rp524 miliar. Angka itu didapat dari penjualan kapal perang Strategic Sealift Vessel (SSV) sebanyak satu unit.

Pembelinya adalah angkatan bersenjata Filipina. Secara total, Filipina memesan sebanyak dua kapal, dengan nilai penjualan lebih dari Rp1 triliun.

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, mengatakan salah satu nilai tambah dari SSV yang dijual PAL adalah materialnya.

“Bajanya seratus persen Indonesia, dari PT Krakatau Steel,” ujarnya saat berbincang dengan VIVA.co.id.

Sementara itu, DI dikabarkan akan menutup 2016 dengan total penjualan senilai Rp1,1 triliun. Angka itu berasal dari penjualan pesawat ke Thailand, Korea Selatan dan Senegal, serta penjualan komponen pesawat ke beberapa negara lainnya.

Sayangnya, disebutkan oleh Fajar, penjualan itu adalah dalam bentuk pesawat biasa, bukan untuk kepentingan militer. Sejauh ini, DI baru menjual alutsista berupa helikopter ke tiga matra di TNI.

Jika ditotal, nilai penjualan alutsista dari semua industri strategis BUMN diprediksi mencapai Rp1,8 triliun. Angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar Rp1,2 triliun.

Meski demikian, bila dibandingkan dengan nilai ekspor nonmigas sepanjang 2016, angka itu masih sangat kecil. Dilansir dari Badan Pusat Statistik, ekspor nonmigas 2016 mencapai US$144,43 miliar.

Kecilnya angka ekspor alutsista itu juga diakui oleh Fajar. Ia menuturkan, nilai ekspor yang didapat dari Pindad saat masih sangat rendah. “Masih kurang dari 15 persen dari total penjualan Pindad,” ungkapnya.

Persoalan seretnya penjualan alutsista ke luar negeri mendapat perhatian dari pengamat militer Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Kusnanto Anggoro. Ia mengatakan, salah satu penyebabnya adalah masalah kerja sama dengan pihak lain.

Parade alutsista HUT TNI ke-70

KRI John Lie (358) dan KRI Usman-Harun (359) milik TNI AL melintas saat parade Alutsista Peringatan HUT ke-70 TN di Merak, 5 Oktober 2015. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Ia mencontohkan, pada 2012 ada kesepakatan antara PAL Indonesia dengan Korea Selatan untuk membuat kapal selam di Indonesia. Sebanyak tiga unit.

Unit pertama akan dibuat di Korea Selatan, unit kedua dikerjakan bersama-sama dan unit ketiga digarap di Surabaya. “Namun ketika dilakukan assesment, PAL Surabaya tidak mempunyai kemampuan untuk itu, tidak memenuhi syarat dan seterusnya,” jelasnya.

Hal yang tidak jauh berbeda, diungkapkannya, juga terjadi saat kerja sama pembuatan peluru kendali dengan China. “Sampai sekarang macet dan tidak jalan. Karena China sudah menuntut, nanti kalau sudah jadi, kita (Indonesia) diminta ikut bantu jualan,” tuturnya.

Terkait kerja sama Pindad dengan Tata Motors, Kusnanto mewanti-wanti agar perjanjiannya diperjelas. Salah satunya berkaitan dengan transfer teknologi.

Menurutnya, transfer teknologi itu bukan hanya sekedar tenaga ahli Indonesia yang hanya dilatih dan dididik. Tetapi juga berapa banyak komponen lokal yang akan digunakan.

“Karena dalam banyak kasus, kita kerja sama dengan suatu negara, tapi kita hanya dipakai sebagai batu loncatan untuk menjual saja. Pada akhirnya, hanya profit sharing saja,” ujarnya.

Kemampuan Alutsista Lokal

Meski sudah memiliki beberapa BUMN yang bergerak dalam bidang industri strategis, nyatanya hingga saat ini Indonesia masih menjajaki kerja sama impor alutsista dengan negara-negara lain. Pada Maret 2015 lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bertemu Menhan Jepang, Gen Nakatani, di Tokyo. Pertemuan itu menghasilkan nota kesepahaman (MoU).

"Kedua negara sudah bertemu dua kali, bahkan sudah terbentuk MoU kerja sama pertahanan. Salah satu isi dari MoU ini mengenai kerja sama pembelian alutsista," ungkap Konselor Bidang Politik Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Takonai Susumu, pada Juni 2016.

Presiden Lihat Alutsista TNI AD

Presiden Joko Widodo didampingi KSAD Jenderal TNI Gatot Nurmantyo berjalan menuju tank Leopard pada Pameran Alutsista TNI AD, kawasan Silang Monas, Jakarta, 17 Desember 2014. (ANTARA/Widodo S. Jusuf)

Dalam lawatannya ke Rusia tahun lalu, Presiden Jokowi juga sempat membahas mengenai kerja sama bidang pertahanan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Sebelumnya, Indonesia pernah membeli senjata dan peralatan militer seperti tank dan pesawat tempur. "Kami harap, ada pembelian alutsista lainnya di lain kesempatan," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia,  Mikail Y Galuzin, Mei 2016 silam.

Hal ini tentu memicu pertanyaan, apakah alutsista yang dimiliki Indonesia saat ini masih kurang? Dan mengapa kita masih mengandalkan produk luar negeri untuk mempertahankan negara?
Menurut Kusnanto, alutsista Indonesia bisa dikatakan meningkat. Namun, hal itu berdasarkan jumlah, bukan kemampuan operasionalnya.

“Misalnya, kita punya mobil 10. Padahal, tidak semuanya itu bisa jalan,” tuturnya. Terkait kemampuan operasional, ia mencontohkan patroli sesuai dengan jadwal tertentu di tempat-tempat strategis. “Bisa enggak kita melakukan penangkapan terhadap pelaku illegal fishing dan seterusnya? Nyatanya masih sedikit juga,” ungkapnya.

“Kalau mau dikaitkan dengan potensi terjadinya konflik, sebenarnya kekuatan yang kita miliki itu masih minim,” ujarnya menambahkan.

Soal menggunakan produk alutsista dalam negeri, Kusnanto mengaku ragu. “Memang, ada Anoa, amfibi dan lain sebagainya. Tapi, itu jumlahnya masih sedikit. Dan belum tentu akan digunakan,” kata dia

Selain itu, kata dia, pasar ekspor alutsista juga tidak sebesar yang dibayangkan. “Kalau produk militer, tidak semua negara bisa beli dari Indonesia. Baik karena negara itu berteman dengan negara lain, maupun karena sudah ada supplier dari negara lain,” tuturnya.

Itu sebabnya, ia menyarankan agar industri strategis lebih memilih produk yang dikembangkan dengan teknologi tertentu. Contohnya pesawat nirawak atau drone. Pesawat jenis itu bisa digunakan untuk mengawasi perbatasan dan pencurian ikan.

“Misalnya, Dirgantara Indonesia mau ngapain? Bikin drone apa bikin pesawat? Kalau bikin pesawat, kalah. Kalau bikin drone, bisa menang (bersaing),” jelasnya.

Menurutnya, dengan mengembangkan teknologi yang dibuat spesifik untuk fungsi tertentu, maka penggunaannya bisa diperluas. Tidak hanya terbatas pada militer saja, namun juga sipil. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya