- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Seorang perempuan yang sudah hamil tua tampak berlari. Dia harus berpacu bersama seorang anak balita yang digendongnya. Rasa takut tersirat di wajah.
Motor yang dia kendarai ditinggalkan begitu saja di tengah jalan. Tangisnya pecah. Dalam keadaan panik, dia mencari perlindungan. Perempuan ini tak sendiri. Sejumlah orang, yang sore itu melintas Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, pun berlarian.
Macet dan kepanikan akhirnya tak terhindarkan. Cerahnya petang usai Ashar pada Kamis, 12 Januari 2017, dalam sekejap berubah menjadi selimut ketakutan bagi setiap orang.
Tak jauh dari kepanikan itu, di ujung jalan menuju Cibiru Bandung, dua kelompok massa dengan raut emosi masing-masing rupanya sedang bertikai. Masing-masing sudah memegang senjata. Ada kayu yang telah ditancapi paku, sampai batu sekepalan tinju.
Gelagat tawuran itu pun tercium polisi. Dengan tergopoh-gopoh sepasukan polisi mendekat. Namun terlambat, batu-batu sekepalan tinju melayang tak karuan dan mengenai apa pun yang ada di dekat mereka. Sebuah mobil jadi tumbal. Kacanya pecah lantaran dihujani batu. Sejumlah orang terluka dan seorang diantaranya dilaporkan bersimbah darah terkena bacokan pisau.
Nun jauh beberapa jam sebelumnya. Ribuan orang berseragam putih yang menyebut dirinya pendukung Habib Rizieq Shihab, imam besar Front Pembela Islam (FPI) – yang sedang menjalani pemeriksaan di Polda Jawa Barat-memang sudah berkerumun di gerbang barat Polda Jawa Barat.
Sementara di gerbang lainnya, sekelompok orang dari berbagai organisasi kemasyarakatan juga berkumpul. Salah satu yang dikenali adalah kelompok dari Gerakan Masyarakat bawah Indonesia (GMBI).
Sejak pagi, sahut-sahutan keras sudah mewarnai pertemuan dua kelompok yang cuma dipisahkan barikade polisi dan pagar kawat tajam itu. "Kalau imam besar sampai ditahan kami siap mati," teriak massa pendukung Habib Rizieq. "Kami juga siap mati untuk NKRI [Negara Kesatuan Republik Indonesia] dan toleransi," timpal kelompok yang berseberangan.
Ketegangan-ketegangan itulah yang diduga mengakumulasi kedua kelompok tersebut. Karena itu, usai Rizieq Shihab keluar dari pemeriksaan atau sejalan dengan bubarnya para pendukung imam besar FPI itu, kelengahan terjadi.
Tak diketahui persis siapa yang mendahului. Namun keributan itu terbukti pecah tak jauh dari barikade polisi yang berjaga. Diawali ribut-ribu mulut, muncullah aksi saling lempar batu.
Massa Front Pembela Islam (FPI) saat melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD DKI Jakarta, 24 Maret 2015. (VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi)
Situasi selanjutnya berkembang hingga penyerangan atas kelompok FPI di sebuah rumah makan yang menyebabkan sejumlah orang terluka. Dan terakhir muncul aksi balas dendam dengan perusakan disertai pembakaran atas dua sekretariat GMBI di Bogor dan Ciamis.
Alhasil seteru dua kubu, FPI dan GMBI, mengemuka. Masing-masing pihak pun kukuh membantah menjadi penyebab awal mula bentrok. "Yang pertama menyerang GMBI. Di lapangan itu, (GMBI) sudah membawa yang namanya senjata tajam, balok dan lain sebagainya," kata Sekretaris Dewan Syuro FPI Jakarta Novel Bamukmin, Kamis, 19 Januari 2017.
"FPI yang memulai. Ini harus dibuka fakta karena kita terfitnah terus. Kalau kita benar pelaku, saya siap bertanggungjawab penuh," sanggah Ketua Umum GMBI, Muhamad Fauzan.
Apa pun itu, bentrok antar ormas di Bandung hari itu telah memperpanjang catatan kelam praktik ormas yang kerap berulah. Gaya arogan dan tindak tanduk bak preman itu kembali dipertontonkan secara terbuka ke masyarakat.
Jejak Paramiliter
Sejak lampau kehadiran ormas di Indonesia bukanlah cerita baru. Harus diakui kelompok-kelompok sipil telah lahir jauh lebih tua dari Indonesia.
Mereka tumbuh untuk membantu proses kemerdekaan lewat ikatan keinginan terbebas dari penjajahan. Negara yang masih kekurangan pasukan militer akhirnya menerima kelompok-kelompok ormas ini. Implikasinya adalah militer mendapatkan pasukan cadangan lewat kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Salah satu contoh yang bisa dirujuk adalah Barisan Ansor Serbaguna atau Banser. Ormas yang lahir dari Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ini sudah ada sejak tahun 1937. Dan tentunya, kehadiran kelompok ini tak bisa luput dari sentuhan kebutuhan militer saat itu.
"Tujuan Banser berdiri tidak lepas dari tujuan Gerakan Pemuda Ansor, yakni dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI," kata Komandan Satuan Koordinasi Wilayah Banser Jawa Timur Abid Umar.
Sepak terjang kelompok ini membantu proses kemerdekaan memang tidak diragukan. Karena itu, maklum penguasa kolonial saat itu pernah menutup kelompok paramiliter ini lantaran dianggap membahayakan.
Lalu apakah cuma Banser NU yang ikut dalam perjuangan kemerdekaan? Tentu tidak, cukup banyak organisasi masyarakat yang terlibat. Hanya memang namanya tak tertuliskan.
Lalu, seiring waktu, usai Indonesia merdeka. Ormas yang dulu dikenal untuk kebutuhan militer itu memudar. Kelompok-kelompok ini kembali melebur ke publik dan kemudian beberapa berubah menjadi organisasi buruh, petani, keagamaan, pemuda, mahasiswa dan lain sebagainya.
Anggota Banser NU menghormat kepada Prabowo Subianto saat apel di Mojokerto, Jawa Timur. (REUTERS/Sigit Pamungkas)
Meski begitu, beberapa fakta menunjukkan bahwa ormas-ormas pascakemerdekaan ini ruhnya tetap militer. Seluruh anggotanya yang masuk hingga ke proses pembentukannya, semuanya memiliki sentuhan militer.
Entah itu dalam bentuk pelatihan kepada anggota atau pun yang bersifat organisasi kader seperti mereka yang keturunan putra-putra anggota TNI atau Polri.
Bahkan, sekelas Banser NU saja, di era kekinian, citarasa militer itu masih ada. Bentuknya lewat penggembelengan anggota mereka dengan bantuan militer. Baik itu dalam pengembangan wawasan kebangsaan sampai dengan kemampuan fisik ala militer.
"Itu kami lakukan sejak rekrutmen kader (Pendidikan dan latihan bersama TNI-Polri)," kata Komandan Banser NU Jawa Timur Abid Umar.
Dari Politik ke Perut
Kembali ke tahun 1960-an atau tepatnya di kepemimpinan Presiden Soeharto. Di era orde baru ini, diakui menjadi awal mula kembali maraknya penggunaan ormas-ormas paramiliter setelah sempat redup usai proklamasi kemerdekaan.
Diketahui, pada orde ini beberapa ormas-ormas mulai dikelola pemerintah atau setidaknya oleh orang-orang yang berhubungan dengan penguasa saat itu.
Bentuknya begitu beragam. Ada yang berupa Satuan Tugas (Satgas)-umumnya di bawah partai politik-, ada pula Hansip (Pertahanan Sipil) dan ada juga Resimen Mahasiswa (Menwa). Yang jelas, sejak itu, sudah menjadi hal yang mahfum ormas-ormas ala paramiliter bangkit lagi.
Beberapa ormas yang dikenal seperti, Pemuda Pancasila (PP) yang sebelumnya lahir pada tahun 1959 oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, kemudian diformat ulang lagi dengan nama yang sama pada tahun 1981 oleh Benny Moerdani dan Japto Soelistyo Soerjosoemarno.
Lalu ada juga ormas FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI yang lahir pada tahun 1978 oleh Surya Paloh. Dan selanjutnya ada juga Pemuda Panca Marga yang lahir pada tahun 1981 lewat tangan Sarwo Edhi Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang tak lain ayah dari Ani Yudhoyono.
Lalu apakah hanya itu? Tentu tidak. Sekali lagi, ragam ormas paramiliter ini begitu banyak dan hadir dengan beragam nama. Kesamaan mereka adalah adanya afiliasi dengan pemerintah, dan garisnya jelas, paramiliter, serta diciptakan untuk menjaga kelanggengan politik penguasa, contohnya seperti kabar pembantaian anggota PKI oleh Pemuda Pancasila di beberapa wilayah.
"Makanya jangan heran kalau PPM itu seragamnya kaya tentara, karena yang mendirikan adalah tentara dan pembinanya ya tentara," kata Sekjen Pemuda Panca Marga Saharudin Arsyad menjelaskan ciri singkat organisasi mereka.
Hingga kemudian waktu bergulir dalam era reformasi. Masa keemasan Soeharto dan kroninya pun runtuh. Diakui, gejolak ini ikut mempengaruhi konstelasi mereka yang tergabung dalam ormas paramiliter. Beberapa memilih menutup diri dan selebihnya memmbentuk ormas lain.
Entah itu mengatasnamakan agama, masyarakat, himpunan tertentu dan lain sebagainya. Namun demikian, kini konsep alat politik yang dulu menjadi bibit awal lahirnya ormas justru kini mengalami sedikit pergeseran.
Pergeseran itu berkaitan dengan kebutuhan perut. Sebab, beberapa ormas yang membumi di masyarakat, justru menjadi ruang wadah bagi kelompok yang tertindas, terabaikan dan mungkin tidak diterima di masyarakat. Sebab itu, maklum kemudian, beberapa beranggapan kelompok-kelompok ini tak ubahnya kumpulan preman.
Bedanya mereka tertata, terorganisir dan lebih memiliki posisi tawar ketika hendak dijadikan alat politik oleh penguasa atau oknum tertentu. Namun memang intinya, kelompok-kelompok ini ada tak lebih karena urusan perut awalnya.
Karena itu, jika pun terjadi bentrokan, penelusuran akan mengungkapkan bahwa masalah kelompok ini adalah masalah kebutuhan perut. Seperti berebut lahan parkir, pengamanan wilayah, upeti kendaraan dan lain sebagainya.
"Masalahnya adalah perut. Bagaimana cara mereka mengisi perutnya yang lapar. Cuma itu penyebabnya kok, tidak ada yang lain," kata Sekjen Pemuda Panca Marga Saharuddin Arsyad.
Lantas, benarkah itu cuma berkutat di soal perut. Tentu ini masih bisa diragukan. Sebab di era politis kekinian, ormas-ormas ini juga memiliki baju yang kental dengan politik. Meski ketika ditanya seluruhnya membantah berafiliasi dengan kepentingan politik. Namun benang merah itu kadang tak bisa ditutupi.
Muhamad Fauzan Rachman, pendiri sekaligus Ketua GMBI, ormas yang berdiri sejak tahun 2002 di Bandung, menyebutkan bahwa ormas ini lahir dari permasalahan yang ada di tingkat masyarakat.
Karena itu, ormas yang kini diklaim memiliki lebih dari 50 ribu anggota di Jawa Barat ini pun terlihat kerap menggelar demonstrasi untuk memprotes hal-hal yang dianggap mereka bertentangan.
Meski begitu, nuansa politik akhirnya tentu tak bisa lepas dari GMBI. Terbukti pada tahun 2014, GMBI mendeklarasikan diri mendukung Presiden Joko Widodo, dan Rachman juga pernah menjadi caleg DPRD dari PDIP.
Namun demikian, berdasarkan pengakuan Rachman, GMBI memastikan diri tidak pernah menerima bantuan pendanaan apapun dari pemerintah atau penguasa. Ia mengklaim bahwa operasional organisasinya adalah murni dari usaha anggota mereka.
"Boleh dicek, semua usaha sendiri. Kita mengajarkan untuk menjadi enterpreneur sejak 2009. Seperti Bekasi, mereka join usaha limbah pabrik. Semua daerah itu ada," kata Rachman.
Novel Bamukmin, Sekretaris Dewan Syuro DPD FPI DKI Jakarta, juga membantah keras bahwa FPI lahir untuk kepentingan politik. Ormas keagamaan yang lahir pada 17 Agustus 1998 ini, diklaim ada sebagai bentuk protes atas banyak kasus kriminalisasi sejumlah ulama oleh penguasa saat itu.
Hanya saja, terkait pendanaan diakui Novel, pihaknya menerima dana dari siapapun dengan catatan hal itu adalah bantuan sukarela dan tidak bisa mengikat FPI dengan dalih apa pun.
"Sumbangan boleh dari siapa saja, tapi kalau pun ada sekali lagi tidak ada sumbangan mengikat disitu. Sumbangan sapi dari gereja Bethel aja kita terima, artinya dari non muslim pun yang ingin menyumbang kita persilakan juga," kata Novel.
Sapu Bersih Ormas
Tahun ini, seiring dengan kondisi politik yang berkembang di Indonesia, pemerintahan era Presiden Joko Widodo kembali mengembuskan wacana untuk menertibkan ormas yang ada di Indonesia.
Data menyebutkan dengan lebih dari 250 ribu ormas yang ada, sepertinya justru berimplikasi tidak memberi kontribusi apapun kepda publik. Bahkan cenderung menimbulkan gesekan-gesekan kepada toleransi.
Sementara di sisi lain, pemerintah terbatas wewenang untuk melakukan penindakan secara segera kepada para ormas yang berulah.
"Perlu kiranya ada penertiban kepada ormas-ormas yang dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan undang-undang," kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.
Dasar utamanya aksi sapu bersih ormas ini adalah kehendak untuk menyamakan visi. Bahwa ormas apa pun nama dan pergerakannya wajib berlandas Pancasila.
Dan tentunya, seiring sapu bersih ini, pemerintah hendak menegaskan diri bahwa ke depan negara memiliki hak cukup untuk menindak ormas yang keblinger atau biang kerusuhan.
Lalu bagaimana respons para ormas terkait rencana ini? Sejauh ini, wacana ini masih menuai pendapat beragam. Beberapa menyetujui dan sisanya mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini akan mengakibatkan friksi lain.
Massa dari Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Kota Bandung melakukan aksi unjuk rasa terkait kasus pelecehan Pancasila dan pelecehan budaya Sunda di depan Mapolda Jabar, di Bandung, Jawa Barat, Rabu, 11 Januari 2017. (ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra)
Muhamad Fauzan Rachman, Ketua Umum GMBI, mengaku mendukung penertiban itu. Menurutnya Pancasila adalah dasar penting bagi sebuah ormas. "Saya setuju. Wajib hukumnya ber-plat Pancasila. Pemerintah harus sering mengevaluasi," katanya di Bandung.
Bahkan Fauzan mengapresiasi salah satu usulan penertiban ini untuk menindak ormas yang anarkis. "Ini sosial kontrol. Kita (GMBI) tetap belajar beradab, saya senang, bagus, selama di koridor hukum, bagi GMBI tidak masalah," katanya.
Sekjen GM FKPPI Nurseto Budi Santoso pun mempunyai pendapat serupa. Namun ia menekankan bahwa penertiban ormas tidak bisa secara rata. Pemerintah harus membuat parameter jelas tentang sebuah ormas yang dianggap bermasalah.
Misalnya, tidak cuma terkait legalitas. Namun juga sebuah ormas harus memiliki kepengurusan berjenjang dari tingkat pusat hingga daerah. "Biar jelas kepengurusannya, jadi tidak asal-asalan membuat ormas," kata Budi.
Hal senada diucapkan Sekjen Pemuda Panca Marga (PPM) Saharuddin Arsyad. Sebagai pemilik kewenangan, katanya, pemerintah sudah sepatutnya memiliki hak untuk membubarkan ormas yang tidak berlandaskan Pancasila.
Dan salah satu alat ukur yang bisa juga digunakan adalah kepengurusan ormas. Menurut Saharuddin, sebuah ormas harus terstruktur hingga ke daerah, bukan cuma sebatas ada akte notaris dan pendiri.
"Yang begitu-begitu itu gak jelas, Cuma ngerecokin doang itu, mereka bikin Cuma mencari dana hibah, Cuma mencari anggaran, tapi gak jelas kepengurusannya, jadi lebih baik yang seperti itu hapus," katanya.
Politikus PDIP Perjuangan Masinton Pasaribu, juga mendukung langkah penertiban ormas yang kini digagas oleh pemerintah. Namun ia mengingatkan bahwa Pancasila bukan cuma poin penting yang harus dimaktubkan dalam sebuah ormas.
Hal seperti kebhinekaan, serta pemberian sanksi kepada ormas mesti juga diatur oleh pemerintah kepada ormas yang bermasalah. Jadi tidak semata pembubaran. "Harus ada sanksi. Sanksi minimum dari mulai sanksi administrasi hingga sanksi dibekukan atau dibubarkan," kata Anggota Komisi III DPR tersebut.
Lalu bagaimana dengan FPI? Organisasi yang baru-baru ini fenomenal dengan beragam geraknya, secara faktuil juga mendukung langkah penertiban ormas di Indonesia. Hanya saja ormas yang telah berdiri sejak tahun 1998 ini, menegaskan bahw akonsep profesional harus dikedepankan oleh pemerintah.
Artinya, jangan karena FPI baru-baru ini menjadi sorotan publik lantas didorong untuk dibubarkan atas dasar desakan politik tertentu.
"Kalau di godok boleh saja, tapi jangan berdasarkan kepentingan politik, jangan sampai sentimen partai yang menyebabkan revisi UU ormas itu dilakukan. Jangan hanya ingin menyudutkan organisasi FPI," kata Sekretaris Dewan Syuro DPD FPI DKI Jakarta Novel Bamukmin
Sejauh ini, konsepsi revisi UU Ormas yang hendak ditelurkan oleh pemerintah kini masih terus dalam pembahasan. Mendagri Tjahjo Kumolo mengakui jika baru Desember 2016, Presiden Jokowi telah mengeluarkan peraturan pemerintah dari penjabaran UU Ormas.
Sementara ini, konsep yang ditekankan adalah proses penyaringan lebih ketat terhadap pengajuan pendirian ormas. "Untuk lebih selektif, tidak langsung menerima pendaftaran dari masyarakat. Tapi lebih selektif," kata Tjahjo.
Lantas apakah nanti revisi UU Ormas ini akan bisa menekan praktik intoleran dan anarkis ormas yang ada di Indonesia? Tentu hal ini menjadi hal besar yang harus dijawab oleh pemerintah.
Sosiolog Universitas Nasional Nia Elviana berpendapat, dari kacamatanya bahwa mayoritas ormas di Indonesia ini masih secara spontanitas atau belum mandiri secara utuh. Basis utama mereka adalah kesukarelaan.
"Ini kan organisasi sukarela, yang misi utamanya adalah memperjuangkan kepentingan anggotanya supaya diakomodir pemerintah," kata Elviana.
Atas itu, ia menilai bahwa belum ada kemendesakan bagi pemerintah untuk melakukan sapu bersih ormas-ormas yang ada di Indonesia. "Yang paling penting adalah bagaimana melakukan atau melaksanakan UU Ormas terutama mengenai pemberdayaan ormasnya," kata Elvian.
Apalagi, kata Elviana, ia mencurigai ada kecenderungan pemerintah kini justru tidak memiliki data tetap tentang ormas yang ada di Indonesia. Terutama tentang dasar mereka mendirikan sebuah ormas.
Apakah itu bertentangan dengan Pancasila, mengancam keamanan, atau yang lainnya seperti ormas yang justru bergerak dalam bidang pelayanan terhadap masyarakat. "Misalnya ormas yang bergerak dalam bidang pengembangan masyarakat petani dan nelayan, yang kadang malah luput dari concern kita," kata dia menutup percakapan. (ren)
Baca juga: