- www.france24.com
VIVA.co.id – Nohemi Gonzalez, seorang mahasiswi asal California, Amerika Serikat, sedang berada di Paris saat serangkaian ledakan terjadi pada Jumat, 13 November 2015. Mahasiswi berambut coklat panjang dan baru berusia 23 tahun itu menjadi salah satu korban yang tewas dalam rangkaian teror yang saat itu mengguncang ibu kota Prancis tersebut.
Ungkap USA Today, sejak Juli 2016, keluarga Nohemi mengajukan gugatan pada Facebook, Google, dan Twitter. Keluarga Nohemi menganggap, ketiga media sosial itu memiliki peran besar dalam penyediaan dukungan material pada kelompok militan ISIS, dan kelompok ekstremis lainnya.
Bulan ini, satu tahun yang lalu, ketenangan dan kenyamanan di Paris – kota yang menjadi pusat mode dunia – terganggu. Warga Paris mendadak tercekam ancaman teror. Lima titik di kota tersebut menjadi sasaran serangan bom.
Saat itu – dalam sehari – lebih dari 100 orang diketahui tewas, salah satunya adalah Nohemi, dan ratusan lainnya luka-luka. Tiga hari kemudian, pemerintah Prancis mengumumkan, total korban tewas berjumlah 153 orang, sedangkan korban luka-luka mencapai lebih dari 200 orang. Hari berikutnya Pemerintah Prancis menegaskan, kelompok radikal ISIS yang melakukan aksi teror tersebut.
Itu bukan teror pertama, karena sebelumnya Paris sudah lebih dulu menjadi sasaran teror ketika kantor majalah satire Charlie Hebdo diserang pada Januari 2015. Namun, serangan di kantor Charlie Hebdo tak meluas, dan hanya terjadi di kantor tersebut. Berbeda dengan serangan pada 13 November, dimana bom meledak justru di area publik, di saat massa sedang berkumpul.
Jika Paris baru tersadarkan oleh ancaman terorisme yang nyata sejak awal 2015, Amerika Serikat sudah lebih dulu merasakan ketidaknyamanan atas serangan terorisme. Puncak ketakutan rakyat AS terhadap terorisme terjadi sejak tragedi 9 September 2001, yang terkenal dengan sebutan Tragedi 911.
Saat itu dua buah pesawat yang dibajak menabrakkan diri pada gedung kembar menara World Trade Centre. Serangan itu menewaskan sekitar 2.996 orang, melukai lebih dari 6.000 orang, dan menyebabkan kerusakan bangunan dan infrastruktur dengan kerugian mencapai US$3 triliun. Kelompok militan Al Qaida dituding berada dibelakang serangan tersebut.
Serangan terorisme juga menyeruak di negara Eropa lain seperti Jerman dan Belgia. Di Timur Tengah, serangan terorisme sempat menggila di Turki, yang harus mengalami lebih dari enam kali ledakan dalam waktu kurang dari dua bulan. Penduduk Australia juga sempat mengalami ketakutan saat pengunjung Café Lindt, di Sydney, disandera selama 16 jam, hanya beberapa hari menjelang natal 2014. Meski pelaku hanya satu orang, namun ia bersenjata dan memajang bendera ISIS selama proses penyanderaan terjadi.
Lebih Beruntung
Terorisme, di mana saja terjadi, akan menyebabkan jatuhnya korban tewas dan luka-luka, bahkan mungkin cacat. Luka, cacat, dan trauma menjadi hal yang biasanya menghantui korban aksi kekerasan terorisme.
Korban terorisme di negara maju bisa jadi “lebih beruntung” dibanding yang di negara berkembang. Pemerintah negara maju sudah menyiapkan penanganan korban. Mulai dari pengobatan, hingga santunan dan monitoring. Kondisi ini belum terjadi di negara berkembang seperti di Indonesia.
Warga Amerika Serikat, yang menjadi korban terorisme, bahkan meski mereka berada di luar negeri, bisa segera melaporkan diri. Melalui laman justice.gov, pemerintah AS menyediakan saluran resmi kemana korban bisa mengadukan nasib mereka.
Di laman itu, warga AS yang menjadi korban terorisme bahkan disediakan saluran untuk meminta penggantian biaya, mengetahui hak yang mereka dapatkan jika mereka menjadi korban, termasuk mendapat penanganan untuk mengatasi trauma yang dialami korban setelah kejadian.
Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Australia. Warga Australia yang menjadi korban terorisme di seluruh dunia bisa segera melaporkan diri melalui laman resmi pemerintah di Australian Government Department of Human Services. Melalui laman humanservices.gov.au, pemerintah Australia memberikan penjelasan dengan detail, bagaimana proses klaim bisa diajukan. Pemerintah juga menjelaskan periode waktu yang ditetapkan bagi korban untuk melapor.
Pemerintah Australia membagi korban teroris menjadi dua, primer dan sekunder. Korban primer diberi waktu maksimal dua tahun untuk mengajukan klaim. Sedangkan korban sekunder diberikan waktu maksimal satu tahun. Waktu satu dan dua tahun itu dihitung dari saat kejadian.
Kompensasi juga diberikan untuk warga negara Australia yang menjadi korban terorisme di seluruh dunia. Korban bisa mendapatkan penggantian hingga AUS$75.000 atau sekitar 77juta rupiah, tergantung kondisi korban. Melalui situsnya, bahkan pemerintah menyebut kapan dan dimana peristiwa pemboman atau aksi terorisme terjadi. Warga Inggris yang menjadi korban tinggal memberitahu, kapan, dimana dan dalam peristiwa apa mereka menjadi korban.
Kerajaan Inggris juga melakukan hal yang sama. Melalui penjelasan yang bisa dicari di gov.uk, seluruh warga Inggris yang menjadi korban serangan teroris, sejak 27 November 2012 berhak mendapatkan kompensasi. Tak hanya korban, keluarga korban juga bisa mengajukan kompensasi.
Petugas pemadam kebakaran mengevakuasi korban penembakan di kantor media satir Charlie Hebdo di Paris, Prancis, Rabu 7 Januari 2015. Foto: REUTERS/Jacky Naegelen
Proses klaim diijinkan untuk dilakukan oleh korban fisik maupun korban mental akibat aksi terorisme. Melalui website, pemerintah Inggris menyediakan lembar aplikasi. Warga Inggris di berbagai belahan dunia tinggal mengisi formulir tersebut, lalu pemerintah akan melakukan verifikasi data, termasuk mendatangi keluarga korban.
Gerak Cepat
Sigapnya pemerintah negara maju memberi perhatian dan bantuan pada korban dibenarkan oleh Sucipto, Ketua Yayasan Penyintas Indonesia. Sucipto yang juga pernah menjadi korban aksi terorisme ini mengaku pemerintah Indonesia tak semudah pemerintah di negara maju dalam memberikan kompensasi.
“Saya belum lama ini ikut pelatihan soal penanganan korban aksi terorisme. Ada pembicara dari UNDP. Menurut dia, ada dua negara yang paling baik perhatiannya pada korban teroris, yaitu Prancis dan Belgia. Pemerintahnya bergerak sangat cepat dan menjemput bola. Seluruh kementerian langsung turun tangan,” ujar Sucipto pada VIVA.co.id yang mewawancarainya via sambungan telpon, Jumat, 25 November 2016.
Ia juga mengatakan, bahwa di dua negara tersebut bahkan ada program monitoring. “Misalnya, korban diberikan santunan untuk hidup selama 10 tahun. Nanti 10 tahun kemudian, pemerintah akan meninjau korban dan mencari tahu, apakah santunan yang diberikan cukup, dan bagaimana kehidupan korban saat ini,” tuturnya.
Menurutnya, kondisi di Indonesia masih jauh dari harapan. Meski saat kejadian korban bisa bebas dari biaya rumah sakit atau pengobatan, namun sisanya korban masih perlu berjuang. Apalagi porsi UU Terorisme lebih banyak ke pelaku, bukan korban.
“Di sini, untuk bisa mendapatkan kompensasi, harus menunggu amar putusan dari pengadilan,” ujar Sucipto. Akibatnya, kata Sucipto, dari ratusan korban bom Bali, baru sekitar 26 orang yang mendapat dana kompensasi. Sementara dari korban bom Marriot atau bom lain di Jakarta, baru empat orang yang bisa mendapatkan dana kompensasi.
“Kalau di luar negeri, korban diperlakukan cepat. Seluruh kementerian turun membantu korban. Proses status korban dipersingkat, tanpa melalui pengadilan. Jadi korban juga segera tertangani tanpa menunggu putusan pengadilan,” kata Sucipto.
Ia pun mengaku bingung, mengapa pelaku teror kini malah bisa tampil seperti selebriti, sementara korban justru berjuang menghadapi hidupnya sendiri. “Mungkin ini bukan sekedar kompensasi ya, tapi perlakuan yang adil dan manusiawi,” katanya menambahkan.
Namun Hasibullah Satrawi, Direktur Aliansi Indonesia Damai atau AIDA, sebuah LSM yang bergerak dalam bidang penanganan dan pendampingan korban terorisme, memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Sucipto. Saat diwawancara oleh VIVA.co.id melalui telpon, Hasibullah mengatakan, saat ini penanganan korban terorisme adalah isu global karena nyaris semua negara masih memiliki nilai minus untuk menangani korban.
“Kalaupun ada negara yang terlihat sudah bagus, itu lebih karena sistem jaminan sosial di negara tersebut sudah berjalan dengan baik,” ujar Hasibullah. Ia lalu mencontohkan bagaimana Amerika Serikat saat ini juga berjuang untuk keberpihakan pada korban.
“UU Amerika yang baru soal terorisme itu ditolak Obama, namun disetujui Kongres. Dalam UU itu, warga Amerika yang merasa dirugikan oleh kasus terorisme boleh mengajukan gugatan hukum dan menuntut negara yang warganya terbukti paling banyak jadi teroris.
Dalam kasus 9 September, warga AS boleh menggugat pemerintah Saudi karena para pendiri Al Qaeda berasal dari negara tersebut. Jika itu dilakukan, jelas berpotensi mengganggu hubungan AS dan Saudi. Itu sebabnya Obama tak setuju. Namun jika dilihat dari sisi korban, sikap itu jelas menguntungkan korban,” ujarnya.
Penanganan korban bom di negara maju memang layak membuat iri korban dari negara lain. Namun seperti yang disampaikan oleh Hasibullah, sistem dalam negara maju sudah stabil, termasuk sistem jaminan sosial. Meski menerima kompensasi layak dan perlakuan yang manusiawi, bukan berarti para penyintas atau korban yang berjuang hidup itu bisa menjalani kehidupannya seperti sebelum terjadi ledakan.
Karena, jika itu terjadi, mungkin keluarga Nohemi Gonzalez tak perlu menuntut Facebook, Twitter, dan Google. Hentikan sebaran pemikiran radikal, sehingga terorisme dan ledakan bom itu juga berhenti. Itu saja harapan mereka.
(ren)