- theverge.com
VIVA.co.id – Empat penyidik dan satu tenaga teknologi informasi Direktorat Jenderal Pajak menyambangi kantor Google Indonesia di bilangan Senayan, Jakarta. Tim penyidik naik ke lantai 28, hendak meminta penjelasan perusahaan yang induknya berbasis di Amerika Serikat itu soal pengembalian Surat Pemeriksaan Bukti Permulaan (preliminary investigation) data transaksi keuangan Google di Indonesia.
Staf Google yang meladeni tim menjelaskan, transaksi keuangan tidaklah dilakukan di Indonesia, melainkan di Singapura. Google yang berkantor di Senayan tersebut menolak disebut sebagai badan usaha tetap (BUT) sehingga punya kewajiban membayar pajak seperti badan usaha dalam negeri lainnya.
Setelah berdebat selama lebih dari dua jam pada Senin siang, 19 September 2016, itu, lima orang pajak itupun harus pulang tanpa membawa data satu bita pun untuk bisa dijadikan acuan menetapkan besaran pajak Google.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Haniv, menyatakan, itu kali kedua mereka menyambangi kantor Google di Senayan. Dia mengaku sangat terkejut dengan respons Google Indonesia hari itu, sebab sempat ada negosiasi dengan Google terkait hal ini sebelumnya. Haniv mulai merasa tak beres dan merasa harus mengirimkan tim penyidik setelah Google mengembalikan surat permintaan audit keuangan Google pada April 2016 lalu.
Google telah berkantor di Indonesia sejak 2011 meskipun sinyal keberadaan mereka telah ada sejak diluncurkannya Google.co.id tahun 2004. Jika mengacu pada keberadaan kantor Google, itu artinya sudah lima tahun mereka ‘mengeruk’ uang dari Indonesia. Tidak heran jika Haniv mengatakan akan menagih pajak ke Google sampai lima tahun ke belakang.
“Hitungan kasarnya, Rp5 triliun hanya di 2015. Itu jika dinyatakan bersalah dan harus membayar empat kali dari pajak yang tidak mereka bayarkan,” tutur Haniv.
Pertanyaan yang masih mengganjal, Google mengaku telah mematuhi aturan di Indonesia dan membayar pajaknya. Haniv mengatakan jika Google selama ini menganggap kantor di Indonesia hanyalah perwakilan sehingga hanya ditetapkan nilai pajak yang kecil, tidak setara dengan nilai Badan Usaha Tetap (BUT). Jadi pajak itulah yang dibayarkan oleh Google Indonesia.
Melalui sambungan telepon, Industry Head Google Inc, Henky Prihatna, menolak berkomentar soal itu ketika dihubungi viva.co.id. Dia malah meminta viva.co.id menghubungi Jason Tedjasukmana, Kepala Komunikasi Google Indonesia.
Namun sebelum menghubungi Jason, viva.co.id bertemu Country Director Google Indonesia, Tony Keusgen, di perhelatan Mobile Marketing Award di Ritz Carlton, Kamis, 22 September lalu. Usai menjadi pembicara bertemakan tren pemasaran dan iklan digital di Indonesia, viva.co.id menanyakan isu serupa. Keusgen menolak diwawancara.
“Maaf, maaf. Tidak ada wawancara,” kata Tony sambil berjalan menuju pintu keluar. Meski terus didesak, dia pun kukuh tak menjawab. Malah memainkan ponselnya seolah sedang menelepon. Sampai akhirnya dia masuk ke dalam mobil yang menjemputnya tanpa memberikan pernyataan sekalimat pun.
Sementara Jason Tedjasukmana merespons melalui pesan instan. Pernyataan mantan penyiar itu ternyata sama dengan pernyataan yang diberikannya ke publik beberapa hari sebelumnya.
“PT Google Indonesia telah beroperasi sebagai perusahaan di Indonesia sejak tahun 2011. Kami telah dan akan bekerja sama dengan pemerintah Republik Indonesia dan telah dengan taat membayar semua pajak yang berlaku di Indonesia,” tulis Jason.
Ditanya lebih detil soal penolakan pemeriksaan pajak, “Itu (sesuai pesan instan) saja,” katanya.
Disedot Google
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, menyampaikan status kantor perwakilan hanya dikenakan pajak sekitar 0,44 persen dari nilai ekspor bruto dan bersifat final. Ini sesuai pasal 15 Undang-undang Pajak Penghasilan. Sedangkan jika berstatus BUT, potensi pajak yang bisa ditarik, sama seperti wajib pajak badan dalam negeri, sektar 25 persen, belum termasuk kewajiban-kewajiban lain terkait.
“Google itu kan operasi penuhnya di Singapura. Berarti dia itu tidak ada di Indonesia, karena harus BUT. Artinya, fisiknya ada di Indonesia. Tetapi, bisnis virtual place belum terakomodir sebagai BUT. Ini nanti bisa kena sengketa, dan kita pasti akan kalah karena memaksakan BUT,” ujar Yustinus kepada Viva.co.id.
Hitungan Rp5 triliun itu ternyata difokuskan Ditjen Pajak pada bisnis iklan digital Google. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan, untuk belanja iklan digital di Indonesia saja nilainya sudah mencapai angka US$800 juta di tahun lalu, atau setara dengan Rp10,5 triliun. Di tahun ini diperkirakan angka itu naik sampai US$1 miliar atau Rp13 triliun. Dari angka tersebut, sekitar 75 persennya masuk ke kantong Google dan Facebook.
Laporan eMarketer menyebut, secara global, tahun ini kemungkinan Google akan meraup pendapatan dari iklan digital sebesar US$57,8 miliar, atau setara dengan 30,9 persen dari total pendapatan pasar iklan digital di seluruh dunia. Kontribusi dari iklan di mesin pencarian akan mencapai US$47,57 miliar atau sekitar 55,2 persen dari total pendapatan iklan di seluruh platform mesin pencarian.
Sedangkan di iklan display, tahun ini Google akan mendapatkan penghasilan US$10,23 miliar. Iklan di YouTube pun akan memberikan kontribusi cukup besar, sekitar US$5,18 miliar. Belum lagi pendapatan iklan mobile (mobile search, apps, playstore) sekitar US$34,11 miliar. Terkait valuasi, secara global, menurut data Forbes, sampai Mei 2016, nilai perusahaan Google mencapai US$82,5 miliar.
Untuk urusan iklan digital, Direktur Konsumer Insight PT Nielsen, Rusdi Sumantri, menyebut jika hampir semua perusahaan menggunakan Google untuk menyasar pengguna digital. Sebagian lainnya mengarah ke Facebook dan Twitter. Sayangnya, kata dia, Nielsen tidak memiliki data dan di Indonesia pun belum ada sistem ukur yang valid untuk menunjukkan ketergantungan industri iklan terhadap Google dan kawan-kawan.
“Yang jelas, memang tren iklan digital terus naik di Indonesia dari tahun ke tahun karena makin banyak orang yang akses internet,” kata Rusdi. “Biasanya untuk mempromosikan bisnis, kita harus beriklan di digital. Dari total belanja iklan perusahaan, 20 persen biasanya dialokasikan ke digital, sisanya ke TV dan media lain. Kalau iklan digital saat ini yang besar ada dua, Facebook dan Google. Hanya mereka yang tahu berapa penghasilannya karena belum ada sistem ukurnya.”
Facebook dan Twitter, serta perusahaan over the top (OTT) luar negeri lainnya, ternyata tak luput dari kejaran Ditjen Pajak. Haniv memang tidak memberikan detil berapa nilai pajak Facebook dan Twitter yang akan ditagih. Namun dia mengakui kedua platform itu lebih mau bekerja sama ketimbang Google.
Sayangnya, saat kami melakukan konfirmasi ke pihak Facebook, ditemui di acara Mobile Marketing Award (MMA) di Ritz Carlton, sama seperti Google, bos Facebook Indonesia Sri Widowati enggan mengomentari mengenai masalah itu. Dia lebih suka membahas mengenai tema seminar MMA hari itu.
Puasa Google
Banyak pihak yang mendorong pemerintah dan instansi pajak untuk terus menekan Google agar mau membayar pajak. Hal ini semata-mata untuk membuktikan kedaulatan negara, tidak diinjak-injak oleh Google yang sudah kadung menyedot duit rakyat sejak lebih dari lima tahun belakangan.
“Mestinya Ditjen pajak kan sudah punya aturan undang-undang. Mereka terapkan saja aturan itu," ujar Anggota DPR Komisi XIX, Melchias Marcus Mekeng. "Jadi tak perlu ragu mau siapapun itu, kalau itu memang subjek dan objek pajak ya dikenakan. Jadi tak ada diskriminasi siapapun itu. Bisa diblokir kegiatannya di sini. Disegel. Kalau ada yang bertanggungjawab bisa dimintai pertanggungjawabannya secara hukum. Kalau menolak akan menjadi contoh jelek. Orang lain akan ikut yang sama nanti,” ujar politikus Golkar itu.
Meski mendorong Google untuk membayar pajak, Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebagai pihak yang cukup dekat dan kerap berurusan dengan Google, seolah memaklumi hal ini. Rudiantara mengaku jika pemerintah telah meminta Google Indonesia untuk BUT namun hal itu tidak bisa dipaksa.
“Harus ada pertimbangan lagi, seperti tax treaty, perjanjian pajak negara-negara yang masuk pada ekuasi. Dan tax treaty bisa berbeda-beda, jadi memang tidak straight forward istilahnya,” kata Rudiantara.
Bahkan, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Noor Iza, malah menyerahkan hal tersebut kepada Dirjen Pajak dan Kementerian keuangan. Dua instansi ini sempat bertemu Sergey Brin, sampai dua kali. Bukannya menjelaskan mengenai BUT malah mengajak Google bekerja sama dalam Project Loon. Sampai-sampai menyebut Google dan Indonesia sebagai ‘Suami – Istri’.
“Pajak itu tetap (kementerian ) keuangan, dirjen pajak,” kata Noor Iza. “Cara pengenaan pajaknya bagaimana, nanti Kominfo mendukung kebijakan dari kementerian keuangan. Kita selalu komunikasi dengan (kementerian) keuangan polanya seperti apa. Kita kan harus mendukung. Pendekatan komunikasi pasti dilakukan, kebijakan perpajakan itu (ranah) keuangan. Semoga ada titik terang,” kata Noor Iza.
Mendengar pendapat Rudiantara dan Noor Iza ini, tidak heran jika anggota Dewan menganggap Google sebagai perusahaan yang licik. Dengan mengalihkan transaksi ke Singapura, mendirikan hanya kantor perwakilan di Indonesia, dan mendapatkan bertriliun-triliun rupiah penghasilan dari tanah air, namun menolak dimintai pajak.
“Inilah kelicikan multinational company, yang dijalankan pakai remote dari luar negeri. Semua orang tahu Google adalah badan usaha. Bisa dikenai tindak pidana sesuai peraturan tentang komunikasi dan IT,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR, Achmad Hafisz Tohir.
Haniv pun kukuh untuk menagih pajak Google. Bahkan dia menantang untuk memanggil sampai 10 eksekutif Google. Tidak hanya Google Singapura tapi juga Amerika. Dia pun menyanggupi jika memang dalam prosesnya mereka harus menyambangi ke Amerika hanya untuk mengambil data.
Langkah selanjutnya, jika Google masih mangkir, tidak ada jalan lain, kata Haniv, selain membawa kasus ini ke pengadilan. Ini agar publik, pengguna Google di Indonesia, bisa melihat dan menyadari arogansi Google.
“Jadi saya berpandangan, kalau mereka melakukan tax planning boleh, tapi jangan terlalu agresif sampai mengakibatkan tidak ada pajak yang terutang,” ujar Hanive. “Nah, ini kan merupakan bias terhadap suatu negara. Kalau terlalu agresif memanfaatkan lubang peraturan sehingga pajaknya tidak terbayar sama sekali, itu bias namanya. Artinya dari sisi keadilan tidak baik, dari sisi moral tidak bagus,” tutur Haniv.
Selain itu ada juga usulan agar pemerintah memblokir semua layanan Google, atau berhenti sama sekali menggunakan layanan tersebut, seperti yang dilakukan oleh China. Namun sayang, Indonesia terkesan terlambat jika harus memblokir layanan Google karena masyarakat kadung merasakan ketergantungan dengan semua layanan Google yang dianggap mempermudah hidup mereka dalam bersosialisasi dan mendapatkan hiburan.
“Pemerintah China itu melek teknologi dan peduli tren ke depan. Sedangkan Indonesia buta dan tidak peduli perubahan,” ujar pengamat siber Nonot Harsono. ”Buktinya bikin Badan Cyber Nasional saja bertahun-tahun tidak kelar. Jangankan memblokir, membangun gerbang internet saya tidak ada rencana. Indonesia ini terbuka tanpa batas negara di ranah cyber. Sudah 10 tahun, sejak Google Earth, Maps. Lalu Street View, Google panen data Indonesia. Ditambah Android di jutaan gadget. Google sudah kumpulkan dan simpan data orang Indonesia,” ujar Nonot Harsono.
Menurut Nonot, bisa saja seluruh Indonesia melakukan ‘Puasa Google’, namun butuh waktu bertahap yang notabene akan memakan waktu lama, sekaligus komitmen dari banyak pihak, tidak hanya masyarakat tapi juga kekompakan instansi pemerintah untuk berpuasa, tidak menggunakan layanan Google. Namun seiring dengan itu, pemerintah harus mau mendorong aplikasi lokal untuk menjadi tuan rumah di jaringan sendiri. Artinya, mendorong startup untuk membuat layanan tandingan Google.
“Minimal ada win-win solution. Lagipula, harus ada peran aktif juga dari anggota dewan seperti Parlemen Inggris waktu menangani Google itu melakukan investigasi langsung. Jadi parlemen juga harus bergerak aktif dalam hal ini karena sebenarnya mereka itu representasi dari publik juga. Sedang dari sisi publik juga harus diberikan pengertian. Apakah sudah siap kalau nanti misalnya Google tidak ada. Sementara kita juga sebenarnya masih membutuhkan Google,” ujar Yustinus.
Yustinus menyebut, cara terbaik untuk memajaki Google adalah dengan pendekatan negosiasi G to G. Selain itu juga membuat regulasi terkait ekonomi dan kegiatan transaksi digital dengan segala aplikasinya. Langkah berikutnya adalah melakukan revisi perundang-undangan pajak yang berlaku saat ini, sehingga bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman, termasuk adanya bisnis digital yang memungkinkan remote transaksi.
“Regulasi yang terkait ekonomi atau kegiatan digital dengan segala aplikasinya memang belum memadai. Dalam revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) akan diberi bab khusus soal tersebut,” ujar anggota DPR Komisi XIX, Hendrawan Supratikno.
Jika melakukan perluasan cakupan BUT dalam regulasi, dikatakan Yustinus, tidak bisa buru-buru karena standar internasional untuk BUT memang belum mencakup virtual presence. Sementara opsi lainnya, dipaparkan Yustinus adalah membuat skema baru perpajakan, seperti yang pernah dilakukan di beberapa negara. Seperti di Inggris yang mengenalkan Diverted Profit Tax, atau India dengan Equalisation Tax. Sedangkan di Australia ada MAAL.
“Semuanya dalam rangka melawan Google. Soalnya kalau pakai solusi perluasan BUT, kita pasti kalah dalam sengketa pajak,” kata Yustinus.
Oleh karena itu, yang terbaik adalah menggunakan skena baru perpajakan, meskipun dalam prosesnya dibutuhkan otoritas pajak seperti HMRC (Her Majesty’s Revenue and Customs) di Inggris, yang dianggap solid dan konsisten.
“Intinya mereka harus bayar pajak yang fair, tapi kita harus rumuskan cara dan strategi yang tepat,” kata Yustinus.
[aba]
Baca Juga: