- ANTARA/M Agung Rajasa
VIVA.co.id – Puluhan bus tampak berjejer rapi di lahan seluas lima kali lapangan sepakbola. Sepanjang mata memandang, hanya terlihat warna biru dari deretan bus yang masih terlihat mulus. Sementara di lokasi terpisah, lima bus yang sudah menua dan karatan tampak teronggok tak jauh dari bengkel.
Tak ada suara bising yang terdengar laiknya pool bus. Hanya ada suara lalu lalang kendaraan yang melintas di depan pool Perusahaan Umum Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) yang terletak di Jl. Mayjen D.I. Panjaitan, Cawang, Jakarta Timur ini.
Selain deretan bus dan bengkel, berdiri sebuah bangunan beratap seng yang ditopang tiang penyangga setinggi 10 meter. Di dalamnya, terdapat tiga unit bus bertuliskan Bus Pariwisata berlogo PPD. Seorang pria terlihat sibuk mengecat salah satu bus tersebut dengan warna biru.
"Semua dikasih warna biru biar sama dengan warna bis-bis baru kita," kata Damanik, salah satu mekanik di pool bus ini kepada VIVA.co.id, Kamis, 15 September 2016.
“Perubahan warna dilakukan khusus untuk bus pariwisata,” ujarnya sambil menunjuk ke arah deretan bus PPD yang terparkir di depan halaman pool.
Damanik mengatakan, saat ini PPD sudah tak memiliki bus tua dan bobrok lagi seperti dulu. "Peraturannya kan memang begitu. Bis-bis yang sudah tua sudah dilarang beroperasi,” ujar pria yang mengaku sudah belasan tahun bekerja sebagai mekanik di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.
Suasana di pool Perusahaan Umum Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) yang terletak di Jl. Mayjen D.I. Panjaitan, Cawang, Jakarta Timur. Foto: VIVA.co.id/Dusep Malik
Bangkit dari Krisis
Kondisi pool PPD ini jauh dari image yang selama ini ada di benak warga Jakarta. Pasalnya, sebelumnya PPD dikenal sebagai perusahaan yang ‘jorok’. Sebagian besar armadanya sudah tua dan kerap ‘sakit-sakitan’ saat di jalan. Sementara, awak busnya jarang pakai seragam, penampilannya berantakan dan jauh dari kesan sopan. Tak hanya itu, BUMN yang bergerak di bidang transportasi yang didirikan sejak jaman kolonial Belanda ini juga belum pernah menghasilkan laba selama 92 tahun sejak beroperasi.
Namun, nasib baik menghampiri. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menggelontorkan bantuan untuk perusahaan pelat merah yang nyaris mati ini. Tak tanggung-tanggung, Perum PPD dipercaya untuk mengoperasikan seribu bus bantuan Kemenhub. 600 di antaranya dioperasikan di Jakarta.
Tak hanya itu, PT TransJakarta yang sedang kekurangan bus pada 2015 menggandeng PPD untuk menjadi operator TransJakarta di sejumlah koridor busway. Hasilnya, pendapatan PPD yang dulu seret karena hanya mengandalkan setoran, kini bisa meningkat dengan sistem kerja sama.
Selain armada dan sistem baru, PPD juga mulai melakukan beragam pembenahan. Salah satunya dari sisi manajemen dan perawatan armada.
“Sekarang maintenance mesin bis-bis baru juga tidak kaya dulu. Sekarang ada tim khusus dari pusat. Kita mekanik cuma mengerjakan hal yang sifatnya teknis saja. Dan yang namanya kanibal-kanibal sekarang sudah tidak main. Selain mobilnya baru-baru semua, pengawasannya juga tidak hanya dilakukan oleh orang bengkel saja,” ujar Damanik bangga.
Pendapat senada disampaikan oleh Diki, salah satu petugas keamanan di perusahaan ini. Ia mengatakan, perubahan manajemen terjadi sekitar 2014. Mulai dari mutu pelayanan, kualitas armada, hingga peningkatan kedisiplinan awak busnya.
“Lihat saja. Itu sopir-sopir mana ada yang tidak berseragam, mana ada yang pakai sandal. Kalau dulu, parah. Yang narik cuma pakai celana pendek, narik pakai sandal jepit, yang kancing bajunya dibuka lah, parah. Tapi sekarang Alhamdulillah semua sudah berubah. Ngga ada lagi sopir yang seenaknya sekarang,” kata pria yang sudah mengabdi di PPD sejak delapan tahun ini kepada VIVA.co.id.
Direktur Utama Perum PPD, Pande Putu Yasa mengatakan, dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan, manajemen telah melakukan revolusi Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut dia, saat ini para pengemudi adalah lulusan dari sekolah milik Kemenhub yang bersertifikat.
Perum PPD juga merekrut anak-anak muda yang memiliki energi lebih, kompeten dan memiliki semangat untuk maju. “Seluruh konsep ini, sedikit-sedikit mulai terbukti dan terlihat hasilnya dengan secara perlahan perusahaan dapat memperoleh laba,” ujarnya saat VIVA.co.id menyambangi kantornya, Kamis, 15 September 2016.
Menurut dia, Perum yang berdiri sejak 1925 ini memang belum sekali pun mencatatkan laba. Hingga pada akhir 2013 di bawah kepemimpinannya, perusahaan ini bisa meraih laba untuk pertama kalinya. Tak besar, hanya Rp156 juta. Kemudian pada 2015 meningkat dan mencatatkan keuntungan di atas Rp200 juta.
Sejumlah bus Transjakarta milik PPD melaju di kawasan Pasar Baru, Jakarta. Foto: ANTARA/Wahyu Putro A
Nyaris Ditutup
Dulu, pemerintah nyaris menutup BUMN ini. Pemerintah melalui Kementerian BUMN memberikan dua opsi yang harus dipilih manajemen, melakukan restrukturisasi atau di likuidasi. Bahkan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, sempat meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk diizinkan melikuidasi PPD. Pasalnya, perusahaan ini dinilai telah mati tapi sulit untuk dikubur. Karena, biaya yang dikeluarkan untuk menutup PPD jauh lebih besar dari utang-utangnya.
Perum PPD mengalami pendarahan keuangan sejak 1991. Kendala utama yang dihadapi BUMN transportasi ini adalah minimnya bantuan pengadaan armada bus oleh pemerintah. Sehingga, rasio antara armada dan karyawan tak seimbang. Selain itu, jumlah armada yang dimiliki Perum PPD juga memiliki masalah serius yang sangat berat untuk diselesaikan di tengah minimnya dana operasional, seperti kenaikan harga suku cadang hingga 400 persen. Hal itu diperparah dengan pencabutan subsidi. Sementara, Perum PPD tak bisa menaikkan tarif.
Dampaknya, armada yang dimiliki Perum PPD semakin sedikit yang beroperasi di Ibu Kota. Bahkan, berbagai langkah seperti kanibalisasi (mengambil bagian) spare part bus yang sudah tidak beroperasi pun dilakukan untuk melakukan efisiensi biaya operasional.
Namun, kala Perum PPD ditukangi oleh Pande Putu Yasa yang menjadi Plt Dirut pada 2012 sedikit demi sedikit kondisi PPD berubah. Pria ini banyak melakukan gebrakan untuk membenahi dan menyelamatkan perusahaan. Pande mengatakan, pada awal kepemimpinannya, banyak program quick wins yang dilakukan secara cepat agar pendarahan keuangan tidak lebih parah. Salah satunya melakukan efisiensi dan memaksimalkan aset-aset yang ada seperti menyewakan lahan perusahaan kepada pihak ketiga.
Selain itu, Pande juga fokus pada pembentukan manajemen perusahaan yang sehat, transparan dan melakukan rotasi atau mutasi bagi pejabat satu level di bawah direksi. Ia juga menyusun ulang Standar Operasional Proseduk (SOP) disertai aturan tegas terhadap penyimpangan aturan. Ia juga memberikan promosi jabatan pada karyawan yang berprestasi.
Tercatat dalam perubahan manajemen Perum PPD di era Pande, sistem pengoperasian armada adalah yang paling jitu dilakukan. Setiap armada Perum PPD tidak lagi menggunakan sistem setoran melainkan berubah ke sistem per kilometer. Ini dilakukan mengingat banyaknya kebocoran yang terjadi dengan sistem setoran ketimbang sistem per kilometer. Sistem yang diterapkan Pande ini sejalan dengan langkah Pemerintah DKI Jakarta yang ingin memperlebar jaringan Transjakarta.
Perum PPD mengalami pendarahan keuangan sejak 1991. Kendala utama yang dihadapi BUMN transportasi ini adalah minimnya bantuan pengadaan armada bus oleh pemerintah. Foto: VIVA.co.id/Maryadi
Digandeng Transjakarta
Sejak melakukan pembenahan pada 2015, Perum PPD kembali dipercaya pemerintah untuk mengoperasikan bantuan armada bus dari Kemenhub sebanyak seribu unit. Bantuan itu kemudian menjadi momentum kebangkitan Perum PPD.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko mengatakan, dari seribu unit bus, 600 unit akan dioperasikan di Jakarta. Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendorong TransJakarta segera menggandeng Perum PPD untuk menambah armadanya.
Pasalnya, di tahun yang sama konsorsium perusahaan penyedia Bus TransJakarta dinyatakan bubar. Sementara, Pemerintah Provinsi DKI membutuhkan banyak armada untuk beroperasi di jalur khusus TransJakarta. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Perum PPD langsung mengambil peluang ini.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggandeng Perum PPD masuk ke TransJakarta juga disebabkan oleh bermasalahnya pengoperasian bus PPD TransJabodetabek yang dulu bekerjasama dengan TransJakarta.
Menurut dia, dalam prakteknya bus TransJabodetabek dianggap bermasalah oleh Kemenhub di lapangan, seperti masuk ke dalam jalur busway dengan menarik bayaran tambahan pada penumpang dari halte TransJakarta dan juga dengan seenaknya berhenti di tengah jalan mengangkut penumpang.
Karena itu, Ahok panggilan akrab Basuki akhirnya memanggil Perum PPD untuk menawarkan berberapa tawaran. Salah satunya adalah tetap memberikan rute yang ada. Namun, tidak perlu memikirkan penumpang dan menggunakan tarif per kilometer ditambah PSO dengan tarif per penumpang Rp3.500.
Dengan disepakatinya kerja sama tersebut, Ahok berharap keduanya saling memberikan keuntungan atau simbiosis mutualisme. "Agar dia (PPD) tidak berhenti sembarangan lagi ya kita tawarkan aja gabung dengan rute yang sama tapi harga sama dengan TransJakarta, tapi mereka keberatan dan kita tambah dengan PSO," ujar Ahok kepada VIVA.co.id, Kamis, 15 September 2016.
Berdasarkan data Perum PPD yang berhasil dihimpun VIVA.co.id, hingga saat ini PPD telah memiliki 680 bus. Dari jumlah itu 400 bus yang juga milik Kemenhub dioperasikan oleh Perum PPD sebagai bus TransJakarta. Bus tersebut diawaki kurang lebih sebanyak 600 orang dan akan terus bertambah hingga semester II 2016.
Sigit mengungkapkan, untuk mendukung pengoperasian bus tersebut Pemprov DKI Jakarta juga telah memberikan public service obligation (PSO) tahun ini yang nilainya Rp1,6 triliun. Dana tersebut tahun depan akan terus ditingkatkan menjadi Rp3,2 triliun untuk memberikan layanan maksimal dan mendukung perpindahan para pengendara kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Ekspansi PPD
Pande mengatakan, selain dipercaya bergabung dengan TransJakarta, PPD juga memiliki rencana untuk mengembangkan bisnis lainnya, yaitu membentuk beberapa strategy business unit (SBU) seperti pengembangan bus pariwisata atau superlux.
Selain itu, Perum PPD juga memiliki impian besar untuk memiliki bisnis pemeliharaan bus, tak hanya bus milik PPD, melainkan ekspansi kepada kendaran-kendaraan operasional milik Kementerian/Lembaga, sekaligus memanfaatkan aset yang telah dimiliki cukup besar.
"Banyak yang bisa dimanfaatkan oleh Perum PPD yaitu pemanfaatan aset yang dimiliki, bahkan juga bisnis periklanan yang bisa dipasang di 680 bus PPD. Dan dari berbagai macam kegiatan tersebut untuk tahun ini Perum PPD memasang target laba mencapai Rp19,7 miliar," ujarnya.
PT TransJakarta yang sedang kekurangan bus pada 2015 menggandeng PPD untuk menjadi operator TransJakarta di sejumlah koridor busway. Foto: ANTARA/Risky Andrianto
Role Model
Direktur Utama TransJakarta, Budi Kaliwono mengatakan, pola kerja sama yang dilakukan pihaknya dengan Perum PPD bisa menjadi role model bisnis. Sebab, kedua perusahaan memang saling membutuhkan satu sama lain, di mana PPD memiliki armada dan TransJakarta membutuhkannya.
Selain itu, TransJakarta juga melihat ada peluang yang bisa dimanfaatkan dari kerja sama itu, yakni membantu Perum PPD membiayai seluruh operasional. Sebab, dengan adanya 600 bus tapi tak memiliki pendanaan tentu menyulitkan, terlebih PPD sedang dalam masa pemulihan dari krisis.
"Bayangkan dari 600 bus itu, untuk bayar sopir yang gajinya sekitar lima juta perbulan mereka (PPD) butuh dana Rp3 miliar per bulan, belum lagi solar Rp5 miliar, tentu ini akan memberatkan. Jadi kerja sama ini yang kami pertimbangkan," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 15 September 2016.
Mantan bos Cipaganti tersebut itu juga menilai, pola seperti ini tentu bisa diterapkan di tempat lain, karena konsep ini memang win-win solution. Di mana Perum PPD yang mendapat bantuan armada, TransJakarta yang membutuhkan, lalu PPD tak bisa operasikan dan TransJakarta punya PSO untuk itu.
Namun pendapat berbeda disampaikan Danang Parikesit. Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini mengatakan, berbagai langkah yang dilakukan Perum PPD harus lebih maksimal untuk meningkatkan kapasitas perusahaan. Dan dalam kaitan kerja sama dengan TransJakarta, Perum PPD tentu harus membuat SBU lain.
Menurut dia, langkah membuat SBU harus dilakukan guna memisahkan layanan baru dengan balance sheet perusahaan yang masih perlu disehatkan. Pemisahan ini ke depannya diharapkan bisa mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan ketika bergabung dengan TransJakarta dan tidak membebani masalah yang sudah dialami Perum PPD.
Ia menilai, kerja sama antara TransJakarta dan Perum PPD belum bisa menjadi role model perbaikan bisnis perusahan transportasi yang hampir mati. Danang melihat, kerja sama tersebut belum bisa jadi contoh, sehingga masih butuh model bisnis yang lebih baik lagi. Pasalnya, peran TransJakarta yang menjadi konsolidator masih perlu diuji dan diperbaiki.
(mus)