SOROT 405

Apa Kabar PRD?

Ulang tahun PRD ke-17 pada 22 Juli 2013. Foto: Dokumentasi PRD
Sumber :
  • Dokumentasi PRD

VIVA.co.id – Pria itu tepekur di ruang tunggu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Terlihat gelisah.

Matanya sesekali menatap pintu laboratorium yang terletak di lantai lima rumah sakit milik pemerintah itu. Ia pun duduk tak jauh dari meja perawat. Tak ada teman atau keluarga, hanya tongkat dan ransel yang tampak sudah tua tergeletak di sampingnya.

Petrus Hari Hariyanto, demikian nama pria yang tampak tak lagi muda ini. Siang itu, ia sengaja datang ke Poli Hepatologi RSCM guna mengambil hasil cek lab.

“Aku kena hepatitis. Kata dokter, terjadi pembengkakan di leverku,” ujar dia saat membuka percakapan kepada VIVA.co.id, Selasa 14 Juni 2016.

Hepatitis merupakan penyakit kesekian yang menghampiri mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) pertama Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini. Sebelumnya, sejumlah penyakit sudah menggerogoti tubuh pria yang akrab disapa Petrus itu.

Sebut saja stroke, gagal ginjal, diabetes, tekanan darah tinggi, katarak juga jantung. “Wes macem-macem penyakitku mas,” ujar pria kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, ini gundah. 

Percakapan kami langsung terhenti saat seorang perawat memanggil namanya. Dengan susah payah Petrus berdiri. Dengan dibantu tongkat, ia pun beringsut mendekati meja pria yang mengenakan pakaian serba putih tersebut.

Perawat langsung menyerahkan secarik kertas. Dari jauh, Petrus terlihat menanyakan sesuatu. Setelah itu, ia kembali ke kursi, mengambil tasnya dan beranjak menuju lift yang berada persis di samping ruang tunggu. “Kita ke apotek dulu, nebus obat,” ujar dia sambil menyeret kakinya menuju lift yang sudah terbuka.

Baca juga:

Petrus Hari Hariyanto

Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) pertama Partai Rakyat Demokratik (PRD) , Petrus Hari Hariyanto. Foto: VIVA.co.id/Mustakim

Berawal dari Pers Mahasiswa  

“Saya sudah tidak aktif di PRD sejak terjadi penyempitan pembuluh darah di kepala,” ujar Petrus usai menebus obat di apotek yang terletak di lantai satu. Hal itu membuat pria yang sempat belajar di Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro, Semarang ini tak boleh berdebat dan berpikir terlalu keras.

Sebelum didera sakit, Petrus merupakan salah satu pentolan yang cukup berpengaruh di PRD. Ia tercatat sebagai Sekjen pertama PRD. Selain itu, ia juga pernah menduduki posisi Sekjen Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), salah satu organisasi yang menyokong lahirnya PRD.

“Kariernya” di dunia gerakan diawali saat ia menjadi salah satu jurnalis di Lembaga Pers Mahasiswa Hayam Wuruk, Fakultas Sastra, Undip. Berawal dari kerja-kerja jurnallistik, ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh gerakan mahasiswa, buruh, petani, dan sektor lain.

Aktivitasnya berlanjut di Solidaritas Mahasiswa Semarang (SMS), sebuah organisasi mahasiswa yang didirikan untuk melawan Orde Baru (Orba). “Dari situ terjalin lah komunikasi dengan organisasi lain,” ujar ayah dua anak ini mengenang.

Kala itu, selain SMS, sejumlah organisasi di tingkat kampus dan kota banyak bermunculan. Namun, organ-organ itu cenderung sangat sektoral dan kerap berubah-ubah nama dan komite. “Waktu itu cukup banyak gerakan tapi tidak ada satu kesatuan, tidak solid. Jadi setelah aksi ini itu, bubar,” ujar koordinator SMS ini.

Berangkat dari kondisi itu, SMS dan sejumlah organisasi lain memiliki keinginan untuk membentuk sebuah organisasi payung di level nasional dan lintas sektor. Sebelum ke sana, sektor mahasiswa lebih dulu disatukan. Dari sini lah gagasan membentuk SMID berawal.

Hal yang sama disampaikan Ketua Umum PRD Agus ‘Jabo’ Priyono. Menurut dia, jika di Semarang ada SMS, maka di Solo ada Ikatan Mahasiswa Surakarta. “Dalam prosesnya, ikatan-ikatan mahasiswa lokal ini kemudian berinteraksi dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan lainnya dari Semarang, Salatiga, Jogja dalam mengadvokasi kasus-kasus rakyat,” ujar salah satu pendiri PRD ini saat VIVA.co.id berkunjung ke sekretariat PRD di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 8 Juni 2016.

Berawal dari kerja-kerja advokasi tersebut, akhirnya mereka sepakat untuk menyatukan kekuatan dan membentuk sebuah organisasi yang lebih besar. “Kita membangun satu jaringan organisasi mahasiswa di tingkat nasional. Kemudian ada konsolidasi-konsolidasi, itu yang kemudian jadi SMID,” ujar mantan pimpinan SMID Solo itu.

Organisasi gerakan mahasiswa ini tak hanya bergerak di lingkungan kampus, namun juga terlibat dalam pengorganisasian petani dan advokasi buruh. Dari proses tersebut, organisasi-organisasi ini kemudian menjadi satu organisasi multi sektor di tingkat kota.

Hal ini memperkuat jaringan nasional, karena tidak hanya melibatkan mahasiswa di tingkat lokal tapi juga mahasiswa di kota lain. “Nah itulah yang kemudian kita sepakat membangun PRD, yang pertama kita namakan Persatuan Rakyat Demokratik.”

Rahardja Waluyo Djati membenarkan. Aliansi gerakan ini berkembang tidak hanya dengan petani tetapi juga dengan buruh dan sektor lain seperti seniman.

Kongres PRD ke-8 di Jakarta pada Maret 2015

Kongres PRD ke-8 di Jakarta pada Maret 2015. Foto: Dokumentasi PRD

Munculnya organisasi sektoral ini menimbulkan suatu kebutuhan baru untuk melakukan konsolidasi politik agar lebih efektif dan jadi lebih besar dan tidak berjalan sendiri-sendiri. “Jadi dari situ kemudian dibentuklah Persatuan Rakyat Demokratik,” ujar mantan aktivis PRD yang pernah menjadi korban penculikan ini.

Selain mahasiswa, sejumlah sektor terlibat dalam pendirian PRD.  Mereka di antaranya, Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan SMID.

“Kalau bisa dibilang pendirinya dari kalangan organ-organ itu. Namun personel utamanya kebanyakan SMID,” ujar Sekjen PRD, Dominggus Oktavianus kepada VIVA.co.id, Rabu, 8 Juni 2016.

Lilik HS, salah satu mantan aktivis PRD mengatakan, Persatuan Rakyat Demokratik didirikan pada 2 Mei 1994. Namun, organisasi ini tak berumur lama.

Peringati 26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kekejaman Orba Tak Boleh Dilupakan

Karena hanya berselang dua tahun, organisasi ini berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik. “Sebelumnya pakai nama Persatuan Rakyat Demokratik, terus kemudian dilihat bahwa arah organisasi tak sesuai amanah kongres, maka dibentuk Presidium Sementara Persatuan Rakyat Demokratik. Tugasnya merumuskan membawa kembali ke mandat semula,” ujar wanita yang pernah belajar di Fakultas Hukum, UNS ini.

Menjadi Partai

Aktivis 98 Soroti Tantangan Geopolitik Dunia yang Makin Penuh Friksi

“PRD mengalami moderasi, bahkan sudah dimulai sejak deklarasi,” ujar Petrus terkait perubahan nama dari persatuan menjadi partai. Ia mencontohkan terkait program Persatuan Rakyat Demokratik soal Timor Leste. Menurut dia, mandat kongres adalah mendorong referendum. Namun kebijakan yang muncul hanya soal penghormatan terhadap HAM.

Selain itu, ada kekecewaan kepada pimpinan Persatuan Rakyat Demokratik yang menolak untuk melakukan mogok makan sebagai salah satu cara untuk penguatan isu dan radikalisasi gerakan. Jabo membenarkan. Tak lama setelah Persatuan Rakyat Demokratik dideklarasikan, sejumlah media dibredel oleh Orba.

Rampai Nusantara: Ramadan Bisa Jadi Momentum Rawat Persatuan Pasca-pemilu

PRD berada di garis depan dalam melawan pembredelan Tempo, Editor, dan Detik tersebut. Tindakan politik yang pertama kali dilakukan adalah mogok makan, untuk memprotes pembredelan tiga media itu. “Waktu itu yang mogok makan saya. Pertimbangan yang diminta kawan-kawan supaya efek politiknya kuat itu sebenarnya pimpinan. Tapi dia ga mau karena mungkin punya pertimbangan lain,” ujarnya.

Dari situ kemudian muncul krisis internal. Karena tidak mau memimpin protes pembredelan, kawan-kawan mulai tidak percaya dengan pimpinan Persatuan Rakyat Demokratik. Selain karena kecewa dengan pimpinan, alasan lain pembentukan Partai Rakyat Demokratik adalah sebagai bentuk perlawanan atas sistem politik yang ada. “Kebutuhan objektif membikin satu organisasi politik baru di luar tiga partai, Golkar, PDI, PPP, itu lebih dibutuhkan,” lanjut dia.

Petrus mengungkapkan, di tengah ancaman dan intaian intel, akhirnya kongres Partai Rakyat Demokratik perdana berhasil diselenggarakan. “Akhirnya dalam situasi panas kita bisa membentuknya tanggal 15 April 1996. Jadi seharusnya kalau mau memperingati PRD itu tanggal 15 itu. Tapi oleh kawan-kawan diperingati saat deklarasi, padahal perubahan menjadi partai pada saat itu,” ujar dia. “Kita melakukan deklarasi tanggal 22 atau 23 saat itu.”

Namun, usia partai ini tak lama. Pasca insiden 27 Juli 1996 di kantor PDI di Jalan Diponegoro, organisasi ini dinyatakan terlarang dan para pengurusnya diburu oleh Orde Baru. “Agustus saya ditangkap. Saya dipenjara selama 3,5 tahun. Selama di penjara masih berkomunikasi menggunakan metode bawah tanah dan tetap melakukan perlawanan.”

Lilik HS mengatakan, pasca 27 Juli, PRD sibuk melakukan evakuasi. “Itu tahap evakuasi dan penyelamatan diri. Fase itu kita sering lihat statemen Mirah Mahardika dan dikatakan pimpinan kolektif PRD. Itu nama kolektif. Artinya dalam situasi itu kita lakukan menyelamatkan roda organisasi dengan format yang berbeda, bergerak di bawah tanah.”

Ikut Pemilu

Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur setelah berhari-hari menghadapi badai unjuk rasa secara simultan oleh para mahasiswa dan kelompok-kelompok pegiat di penjuru Tanah Air. Runtuh pula rezim Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa. Setahun kemudian, Pemilihan Umum (Pemilu) pun digelar. PRD berada di simpang jalan, antara mau ikut merayakan demokrasi elektoral tersebut atau akan tetap bertahan di ‘gerakan jalanan’.

“Dulu kita sangat bermimpi jadi partai, legal, bisa punya panggung politik. Sekarang riil di depan mata kita bisa daftar ikut Pemilu. Masalahnya, kita berani ambil atau tidak,” ujar Lilik HS.

Ia menjelaskan, keputusan untuk ikut Pemilu melalui proses panjang yang melelahkan. “Seingat saya kenapa kita ambil ini adalah kita selalu bermimpi kalau mengubah harus ubah sistem politiknya. Ikut Pemilu, jadi partai itu bagian dari mengubah sistem politik,” lanjut Lilik.

Saat itu target PRD hanya menjadikan Pemilu sebagai panggung. “Kita sangat tahu dengan kekuatan yang sangat kecil agak bermimpi bisa menang Pemilu. Tapi target kita adalah mengisi ruang ruang untuk berbicara pada rakyat,” ujar dia.

“Fase yang cukup berat. Karena antara transisi organisasi yang semula dididik untuk menghancurkan atau melawan Orde Baru tiba tiba reformasi, tiba tiba ikut parlemen, terus politik elektoral. Ada percepatan situasi di luar yang mungkin kita gak bisa memahaminya. Di situlah dinamika organisasi muncul.” 

Dominggus mengamini. Saat itu ada dua pendapat terkait Pemilu. Pertama, PRD sudah harus lepas dengan pola berpolitik yang lama dan harus masuk sistem elektoral. Kedua, situasinya rakyat masih berlawan, masih ada gejolak-gejolak ketidakpuasan terhadap pemerintah. “Ada sebagian kawan yang agak keras, Jogja saat itu paling keras, tidak akan ikuti Pemilu borjuis,” ujar dia.

Kubu yang setuju ikut Pemilu yakin, dengan Pemilu, PRD bisa mengampanyekan program-program PRD seluas-luasnya. Aspek kesadaran dan propaganda lebih penting ketimbang memperoleh kursi. “Oke lah nggak apa-apa kita nggak dapat kursi, tapi bisa propaganda seluas-luasnya,” lanjut Jabo.

Gagal di 1999, PRD mencoba bangkit pada Pemilu 2004 dengan membentuk Popor. “Pada 2004 kita pakai Popor. Karena kita sudah ada kesimpulan, bahwa ini satu-satunya cara, dengan jalan elektoral,” ujar Dominggus.

Meski demikian, keputusan itu masih menyisakan perdebatan. Saat itu mulai muncul gagasan untuk membentuk partai persatuan, dengan front. Popor tidak hanya PRD namun ada serikat buruh, organisasi massa lokal yang yang ambil bagian. “Masalahnya kita memutuskan itu saat sudah mepet, jadi waktu untuk mengonsolidasikan itu terbatas,” ujarnya beralasan.

Kemudian pada Pemilu 2009, PRD mencoba bereksperimen dengan membentuk Papernas. Menurut Dominggus, kali ini persiapannya jauh lebih panjang, yakni mulai sebelum tahun 2007. “Kita sudah adakan pertemuan dengan kawan-kawan organisasi pergerakan. Kita undang banyak organisasi untuk sama-sama menghadapi 2009,” dia menerangkan.

Aksi demonstrasi PRD di Mahkamah Konstitusi pada 10 Desember 2011

Aksi demonstrasi PRD di Mahkamah Konstitusi pada 10 Desember 2011. Foto: Dokumentasi PRD

Konsolidasi itu berbuah aliansi bernama Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat (KPGR). Awalnya, Dominggus yakin aliansi ini akan jadi partai front. Namun, koalisi tersebut kemudian goyah dan akhirnya hanya menyisakan PRD. Akhirnya PRD membentuk Komite Persiapan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (KP-Papernas). “Dalam hal gagasan sudah mulai solid. Tetapi soal bagaimana pilihan taktik masih ada perbedaan,” lanjut Dominggus.

Sayangnya, mereka tak bisa lolos verifikasi. Akhirnya muncul gagasan untuk menggunakan partai yang sudah ada, partai yang sudah lolos verifikasi.

Waktu itu sudah ada gagasan untuk menyatukan tiga partai, yaitu PRD, Partai Pelopor dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Namun, dalam perjalanannya, Pelopor menarik diri, tinggal PRD dan PBR.

“Kader-kader PRD diakomodasi ke dalam PBR dan nyaleg dari PBR. Karena PBR nggak lolos “electoral threshold” dan juga perhitungan kita banyak yang meleset, proses dengan PBR pun berakhir setelah Pemilu.”

Namun, keputusan berkoalisi dengan PBR ini menyisakan konflik di internal organisasi. “Ya cukup besar. Karena beberapa tokoh pendiri keluar, tidak mau memimpin lagi. Setelah Persatuan, ini bisa dibilang satu perpecahan besar,” ujar Jabo.

Sementara pada Pemilu 2014, sesuai amanat kongres ke-7, PRD memilih tak ikut Pemilu secara mandiri namun mendelegasikan kader-kadernya untuk ikut Pemilu melalui partai-partai yang sudah mapan. “Keputusannya PRD bergabung dengan partai nonSetgab, waktu itu ada Hanura, PDIP dan Gerindra. Makanya kita bergabung dengan ketiga parpol itu, dengan mengirim kader-kader ke sana.”

Perubahan Asas

Selain memutuskan untuk ikut Pemilu melalui partai yang sudah mapan, kongres ke-7 juga memutuskan untuk mengubah asas organisasi dari Sosialis menjadi Pancasila. “Sebelumnya kan Sosdemkra, sosial demokrasi kerakyatan, kemudian Pancasila. Keputusan itu sekitar tahun 2010, itu melalui perdebatan situasi riil Indonesia,” ujar Dominggus.

Jabo menambahkan, selama ini bangsa Indonesia mengidentifikasi Pancasila dengan Orba. Menurut dia, Pancasila itu yang menggali Presiden Soekarno. “Kalau kita tidak menggali konteks sejarahnya, kita tidak akan mengerti. Kalau kita tidak memahami pandangan-pandangan tokoh yang menggali Pancasila, Pancasila itu tidak akan ketemu,” dia menjelaskan.

Menurut dia, Pancasila itu satu filosofi bangsa Indonesia yang tinggi untuk menghadapi imperialisme dan membangun bangsa. “Kita harus menggunakan spirit tokoh bangsa kita sendiri untuk melawan imperialisme. Seperti Chavez menggunakan Simon Bolivar sebagai simbol untuk menghadapi imperialis. Kira-kira pandangan PRD seperti itu,” ujarnya.

Jabo membantah perubahan asas tersebut memicu perpecahan di PRD. Ia berdalih, perubahan asas ada di Kongres 2010, sementara perpecahan terjadi pasca Kongres ke-6.

Wakil Ketua Umum PRD Bidang Kebudayaan, Antun Joko Susmono menambahkan, perubahan asas itu adalah bagaimana memandang alat revolusi dari dalam. “Kita punya bahan banyak dari dalam. Sebelumnya, kita banyak belajar dari luar, dari China, Rusia. Kita kurang pelajari tradisi perjuangan revolusioner di Indonesia sendiri, kita punya Pancasila, Soekarno, tradisi kerakyatan. Kita mau menggali, supaya ada internalisasi di kalangan rakyat sendiri,” ujar aktivis Jaker ini.

Sebaran Kader

Peneliti PRD, Dimpos Manalu mengatakan, PRD merupakan organisasi pergerakan yang berisi anak-anak muda yang progresif pada masa Orba. Mereka yang memperkenalkan kembali gagasan-gagasan sosialisme demokrasi secara terbuka saat Orba masih kuat. Bahkan, mereka berani meneriakkan cabut dwi-fungsi ABRI ketika semua orang masih takut mengatakannya.

Namun ia menyayangkan, karena PRD tidak pernah lolos ‘parliamentary threshold’ sehingga cita-cita mereka tak bisa diwujudkan dalam kebijakan formal. Menurut dia, kegagalan itu terjadi karena sejak awal PRD tak dipersiapkan sebagai partai politik peserta Pemilu, melainkan organisasi perlawanan, organisasi gerakan. Sehingga ketika Soeharto lengser, mereka sulit menyesuaikan diri dengan situasi politik baru.

“Karena gagal masuk parlemen itu pula akhirnya mereka jadi berserak ke mana-mana,” ujar mahasiswa S-3 Ilmu Politik UGM ini.

Dimpos menilai, sampai sekarang PRD masih eksis. Meski peran mereka tak lagi sekuat pada masa Orba. “Tapi sejarah politik keruntuhan Orde Baru harus mencatat bahwa PRD merupakan aktor penting yang tak bisa dilupakan,” dia menambahkan.

Menurut dia, alumni dan aktivis PRD sampai sekarang aktif dalam pergerakan. “Mereka berserak ke mana-mana, di partai politik, NGO, gerakan buruh, gerakan petani, gerakan rakyat Papua dan yang lain. Sehingga, saya melihat, walaupun organisasi mereka tidak sesolid pada masa Orde Baru, tapi kini tetap berperan dalam berbagai lini. Bahkan di relawan Jokowi dan pendukung Prabowo waktu Pilpres 2014 mereka ada.”

Hal itu diakui Dominggus. Menurut dia, jebolan dan alumni PRD sudah tersebar di mana-mana, baik di politik maupun nonpolitik. “Ada yang jadi pengusaha, ada yang di akademisi, ada yang akuntan publik, kemudian jurnalis. Sempet ada yang petinju. Ada juga yang ustaz, ceramah-ceramah,” ujarnya seraya tertawa.

Lilik HS misalnya. Aktivis PRD yang lebih banyak berinteraksi dengan buruh dan mengurus media PRD tersebut saat ini aktif di NGO. Ia menjadi Program Officer untuk isu HAM di Indonesia untuk Kemanusiaan. Sebelumnya, Sekretaris SMID Solo ini pernah bekerja di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Di Barisan NGO juga ada nama Mugiyanto. Aktivis yang memutuskan keluar dari PRD ini tercatat sebagai Program Manager di The International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Sebelumnya dia aktif di Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). “Saya memilih untuk bersama dengan korban dan tidak mau bergabung dengan garis politik atau partai,” ujar ayah dua anak ini.

Lain lagi dengan Rahardja Waluyo Djati. Aktivis PRD yang lebih banyak bergerak di bawah tanah ini memilih bergabung di PDI Perjuangan dan menjadi pengusaha. Selain itu, pria asal Jepara ini terlibat dalam Gugus Tugas Kedaulatan Pangan, Kementerian Pertanian. Ia juga pernah menjadi direktur radio VHR setelah sebelumnya bersama sejumlah eks aktivis PRD mendirikan Indonesia Berdikari. Pada Pilpres 2014 lalu, bersama sejumlah aktivis ia mendirikan Seknas Jokowi.

Di deretan pengusaha, juga ada nama Ajianto Nugroho. Jebolan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini mendirikan Sinergi, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang public relation politik. “Saya memilih jalur itu karena pengen bisa mandiri dan melakukan usaha sendiri tanpa keterikatan dengan partai lain atau kelompok lain,” ujarnya.

Menurut dia, kawan-kawannya di PRD sudah tersebar di mana-mana. Ada yang masih aktif di politik di parpol, ada yang di LSM, ada yang bikin usaha. “Tapi yang saya tahu alumni PRD punya pengaruh di kelompoknya masing masing, seperti partai dan LSM.”

Meski didera banyak penyakit, Petrus juga masih terus berkarya. Ia menjadi Tenaga Ahli anggota DPR RI, Ribka Tjiptaning untuk bidang media. Selain itu, ia juga mengorganisasi para penderita gagal ginjal dengan membentuk Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia. Ia menjadi Sekjen di komunitas ini. Ia sengaja membentuk komunitas tersebut karena selama ini pasien gagal ginjal dengan cuci darah sering diperlakukan diskriminatif, khususnya saat akan menjalani cuci darah.

Petrus mengatakan, dalam sepekan ia bisa dua sampai tiga kali cuci darah. Untuk itu, ia harus menghemat pengeluaran, khususnya saat membeli obat untuk keperluan cuci darah. Karena itu, setelah urusan di RSCM selesai, ia minta diantar ke Pasar Pramuka, Jakarta Timur guna membeli obat cuci darah. “Di sini lebih murah mas,” ujarnya sambil menaiki tangga pasar dengan susah payah.

Selang satu jam, suara tongkat beradu aspal terdengar mendekat. “Bisa minta tolong pesankan ojek online mas. Aku mau langsung ke rumah sakit untuk mengurus jadwal cuci darah besok pagi.”

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya