- Antara/ Arief Priyono
VIVA.co.id – Batin wanita paruh baya itu terkoyak pada awal 2009. Ibunya sakit dan menunggu cuci darah.
Saat menunggu sang ibunda, wanita itu menyaksikan ada seorang ibu lain mengalami pendarahan dan akhirnya tak tertolong. Sang wanita itu tak kenal siapa ibu tersebut.
Kalbunya tergetar, sedih, saat tangis pecah dari anak-anak sang ibu yang meninggal tersebut.
Sang wanita paruh baya itu, Valencia Mieke Rianda, sedih lantaran ibu yang meninggal itu seharusnya bisa tertolong oleh pendonor yang banyak di luar sana.
Kemudian ia bercurah kepada ibunya. Andai saja ada orang yang mau menjadi jembatan pendonor dan terdonor, maka akan menjadi kisah yang indah bagi ibu yang meninggal dan ibunya sendiri.
Mendengar ujaran Valencia, sang ibu memintanya untuk memulai langkah atas angan-angannya. Sang ibu meminta Valencia memulai aksi dari lingkungan teman sekitarnya.
Jawaban ibunya menyadarkan Valencia untuk melangkah dan akhirnya lahirlah organisasi sosial khusus donor darah, Blood For Life (BFL) pada April 2009.
Setahun menjalankan BFL, batin Valencia kembali merasa sakit. Dia mendapatkan dua momentum yang membuat kalbunya makin bergolak.
Saat masih awal menggerakkan BFL, Valencia masih bekerja di sebuah perusahaan logistik. Saat rapat dalam pekerjaannya, ada orang meneleponnya berkali-kali minta bantuan, mengirim SMS untuk donor darah ibunya.
Tapi karena masih rapat, ia tak meresponsnya, Ponsel dia matikan.
Usai rapat, Valencia langsung menyambar ponselnya dan ingin mengetahui perkembangan kondisi donor pada penelepon yang menghubunginya berkali-kali. Lantas, dia mendapatkan jawaban yang getir dan mengagetkan.
"Telat, udah mati!" kata penelepon kepada Valencia.
Valencia mengaku jawaban itu membekas di kepalanya dan membuatnya shock. Batinnya makin terkoyak saat dua bulan kemudian, ibunya menyusul meninggal dunia.
"Ini pula yang kemudian membuat saya menyadari sakit yang dirasakan orang itu, ketika dia juga harus kehilangan ibunya," tulis Valencia dalam blog-nya.
Momen itu membulatkan tekad Valencia untuk total terjun dalam aksi sosial BFL. Dia akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaannya dan mengabdikan hidupnya dalam aksi sosial tersebut.
Selanjutnya: Darah dan Kesenjangan
Darah dan Kesenjangan
Valencia mengatakan, beberapa tahun lalu, misalnya pada 2009, untuk mendapatkan darah bisa dibilang susah, butuh waktu 3-4 hari. Padahal, ia yakin ada jutaan orang yang mau mendonorkan darahnya.
"Itu kan semacam gap. Maka dari itu saya berpikir menghubungkan yang butuh darah dan para pendonor," ujarnya kepada Viva.co.id, beberapa waktu lalu.
Memulai langkah sendirian, Valencia berupaya mencari orang yang peduli dengan aksinya melalui internet dan platform media sosial. Dia mengaku untuk mengenalkan BFL ke publik, ia menggunakan cara "jemput bola", aktif menjelajah internet dan akun media sosial dengan menggunakan kata kunci "donor darah", "butuh donor", sampai "butuh darah buat transfusi".
Pada 2009, untuk mendapatkan darah bisa dibilang susah, butuh waktu 3-4 hari. Padahal, ia yakin ada jutaan orang yang mau mendonorkan darahnya.
Dalam perjalanannya, BFL menggunakan beragam saluran, di antaranya Twitter, Path, Instagram, sampai Facebook, untuk menjalin dan menyebarkan koneksi orang untuk urusan darah.
Saluran media sosial itu dipakai untuk menyebarkan semua informasi kepada jaringan akun BFL di daerah dan menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.
Valencia yang merupakan pendiri BFL mengaku pengaruh platform media sosial sangat besar bagi aksi sosial kelompoknya tersebut. Salah satunya jejaring mereka kini sudah mencapai seluruh wilayah Indonesia.
Jejaring itu pun, kata dia, mampu menyokong operasional BFL yang sejak didirikan memposisikan bukan untuk tujuan profit. "Kami tidak punya dana berlebih, dana kami terbatas dan itu dari volunter. Dengan info yang dikelola di media sosial jadi terkoneksi," ujarnya.
Pemanfaatan media sosial, menurut dia, juga menimbulkan efek gerakan menular yang berbeda dibandingkan dengan donor melalui skema konvensional. Dengan media sosial, darah yang dibutuhkan bisa diketahui dengan cepat.
Kemudian, kehadiran BFL juga mendorong orang makin tertarik untuk melibatkan dalam donor darah. Valencia melihat saat ini orang cenderung kurang tergerak saat melihat acara donor.
Alasannya, kata dia, karena mereka tidak mengetahui sasarannya. Sementara itu, jika donor digerakkan melalui saluran media sosial, maka orang akan langsung tergerak karena mengetahui sasarannya.
"Jadi, media sosial itu lebih menyentuh pendonor. Bisa menjembatani kebutuhan," tutur Valencia.
Selanjutnya: IGD Dunia Maya
IGD Dunia Maya
BFL hadir juga untuk membantu lembaga donor darah, Palang Merah Indonesia (PMI). Dia mengatakan, biasanya dua pekan sebelum dan sesudah Lebaran, stok darah di PMI menipis.
BFL pun mendukung agar pada momen tersebut PMI tidak kosong pasokan darah. Untuk yang berminat, nantinya pendonor harus dilakukan di PMI secara langsung.
Biasanya dua pekan sebelum dan sesudah Lebaran, stok darah di PMI menipis.
Tapi, mereka tidak langsung mentransfusi, karena harus dicek dulu, bersih atau tidak darahnya. Pengecekan juga untuk memastikan apakah darah pendonor cocok atau tidak dengan yang didonor.
BFL bergerak tak lepas dari kontribusi relawannya. Saat awal pembentukan, BFL disokong oleh 44 orang standby donor dan sekarang sudah ada 110 ribu standby donor.
Istilah standby donor merupakan sebutan bagi pendonor yang menyumbangkan darahnya melalui BFL. Dalam badan sosial ini, tidak mengenal istilah anggota.
Dengan menggunakan media sosial, BFL tiap harinya mengerahkan 12 admin yang bergantian berjaga. Admin yang berjaga ini disebut dengan Instalasi Gawat Darurat (IGD) dunia maya.
"Semua orang ke IGD karena urgent ingin dibantu. Kami informasi verifikasi kebutuhannya dan darahnya apa, berapa kantong dan sebagainya," dia menjelaskan.
Begitu mendapatkan informasi yang butuh donor, BFL akan menyebarkan informasi dengan penanda enam tanda pagar (tagar) yaitu, Red Alert yang berarti sangat membutuhkan darah, White Update yang menandakan meninggal, Urgent yang berarti membutuhkan darah, dan Green berarti sudah terpenuhi kebutuhan darahnya.
Meski penggunaan media sosial dan admin yang siap siaga sangat membantu, Valencia mengakui masih terdapat kendala dalam penggunaan saluran di internet tersebut.
Dia mengatakan, semua informasi yang masuk akan langsung diverifikasi, tidak langsung disebarkan. Tapi, meski sudah disampaikan berulang-ulang, masih saja pengguna media sosial yang terus me-mention akun jaringan BFL berkali-kali.
Tantangan lain dalam menggerakkan BFL ini yaitu sokongan dana. Valencia bersyukur, meski BFL tidak komersial dan profit, tapi sampai hari ini masih terus berjalan. Relawan masih terus rela meluangkan waktu untuk melayani sesama melalui organisasi tersebut.
Berkat aksinya, bantuan dengan sendirinya berdatangan. Valencia mengatakan, sebelumnya BFL pernah dibantu oleh operator telekomunikasi selama setahun. Tapi, sayangnya bantuan untuk para relawan untuk menyebarkan informasi kebutuhan darah kemudian berhenti.
Ke depan, BFL ingin menjalin operator untuk mendukung admin dalam penggunaan paket data. "Dana memang jadi kendala karena mengandalkan dari volunter, admin kami sering bongkar pasang, tapi mereka tidak berhenti untuk melayani," ujarnya.
Meski dengan dukungan sumber daya yang terbatas, Valencia mengatakan, saat hari biasa dalam sebulan, rata-rata permintaan donor darah mencapai 10-20 permintaan. Sementara itu, saat Ramadan, rata-rata permintaan darah melalui saluran BFL mencapai 50-60 permintaan.
Untuk sebaran, kini BFL sudah hadir perwakilan dan jaringan di 10 kota.
Selanjutnya, Valencia berharap dengan adanya BFL dan gerakan sukarela donor darah, tak ada lagi cerita orang sakit yang kekurangan darah. BFL juga ingin agar nantinya ada kantor khusus.
Valencia berharap, BFL nantinya tak hanya mengurusi donor darah urgent, tapi juga punya divisi yang bergerak membantu orang sakit kurang mampu dan mendidik generasi muda menjadikan donor darah sebagai gaya hidup mereka.
“Darah kita dikasih Tuhan secara cuma-cuma, mari belajar untuk berbagi. Karena sekantong darah kita, tidak akan membuat kita kehilangan apa pun. Tetapi bisa berarti sebuah nyawa buat orang lain, dan bisa berarti senyuman dan masa depan bagi anak-anak mereka," tulis Valencia dalam blog-nya.