- VIVA.co.id/Nur Faishal
VIVA.co.id – Mujianto dan Suprapto mungkin tidak menyangka, Minggu pagi, 29 November 2015, akan menjadi hari yang sial. Saat Mujianto tengah menjajakan dagangannya di Jalan Manyar Kertoarjo, Surabaya, tiba-tiba datang mobil mewah Lamborghini dengan kecepatan tinggi menuju warungnya.
Dalam hitungan detik, mobil bertenaga besar tersebut menabrak gerobak dan juga salah seorang konsumen Mujianto, Kuswarjo. Akibat kerasnya tabrakan tersebut, Kuswarjo tewas di tempat.
"Bruuummmm, lalu bruaaakk," kata Suprapto saat bersaksi di persidangan, yang saat kejadian tengah memarkir becaknya di dekat lokasi. Sementara, menurut kesaksian Mujianto, Lamborghini terlihat seperti meloncat dua meter, lalu oleng dan arahnya terbanting ke kiri. "Kemudian menabrak warung saya," katanya.
Akibat dari peristiwa tersebut, pengemudi Lamborghini, Wiyang Lautner, divonis lima bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, 30 Maret 2016. Dan mobil Lamborghini yang sempat disita kejaksaan, akhirnya dikembalikan. Menurut kuasa hukum Lautner, Ronald Napitupulu, mobil tersebut akan dibawa ke Jakarta untuk diperbaiki.
Menurut salah satu pakar otomotif, I Komang Ferry, butuh dana tidak sedikit untuk memperbaiki mobil tersebut. "Bisa habis Rp3 miliar memperbaiki itu," kata Ferry.
Dia tidak menjelaskan, apakah mobil seharga Rp5 miliar tersebut akan layak untuk dipakai kembali, setelah sebelumnya terlibat kecelakaan yang cukup parah. Kasus Lamborghini itu hanya satu contoh dari sekian banyak mobil-mobil yang mengalami kecelakaan dan kemudian direkondisi.
Sayangnya, tidak semua mobil bekas tabrakan tersebut diperbaiki di bengkel resmi. Parahnya lagi, mobil tersebut kemudian dijual ke konsumen, tanpa disertai keterangan mengenai riwayat mobil tersebut.
Menurut pengakuan pemilik showroom mobil bekas Tama Motor, Angga, bisnis menjual mobil bekas rekondisi sebenarnya sudah lama marak di Tanah Air.
“Sudah banyak pemainnya. Ada yang jujur, ada pula yang tidak,” ujar Angga. Hal yang sama dikatakan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono.
“Sangat tahu (soal mobil bekas rekondisi). Kita tidak lakukan investigasi di situ, tapi kita tahu tentang hal itu. Kita tidak melakukan investigasi, karena tidak punya kewenangan,” jelas Soerjanto.
Selanjutnya...bisnis mobil bekas rekondisi, legal atau tidak?
Legal atau Tidak?
Peredaran mobil-mobil bekas rekondisi membuat masyarakat resah.
Tidak seperti penjualan komponen palsu, peredaran mobil bekas rekondisi masih belum jelas aspek legalitasnya. Beberapa mengatakan, hal tersebut sah-sah saja dilakukan. Namun, mereka yang membeli pasti merasa tertipu dan dirugikan.
“Ya itu sah-sah saja. Asalkan dia (penjual) mengatakan bahwa yang ditawarkan mobil bekas dan bekas tabrakan. Tapi saya kira, konsumen harus lebih jeli ketika membeli mobil bekas,” ungkap Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi.
Menurut dia, berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, sebuah kendaraan bisa dikatakan legal apabila dilengkapi dengan surat-surat pendukung, seperti Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
Sementara soal layak pakai, hanya mobil yang dijual dalam kondisi baru saja yang ada aturannya. Sedangkan mobil bekas, bahkan rekondisi sekali pun, belum ada regulasinya.
Intinya, Tulus mengimbau kepada pembeli mobil bekas untuk memeriksa kondisi kendaraan secara menyeluruh. “ Kadang-kadang, mobil tidak bekas tabrakan pun bisa jadi tidak aman, karena konsumen tidak merawatnya dengan baik,” ujar dia.
Terkait kepemilikan mobil bekas kecelakaan, Kepala Subdit Pembinaan dan Penegakan Hukum (Bin Gakkum) Ditlantas dari Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Budiyanto, mengatakan, mobil-mobil yang mengalami kecelakaan akan dikembalikan ke pemiliknya, tentu setelah proses persidangan selesai.
“Barang bukti kita simpan. Dikembalikan ke pemiliknya, tapi setelah sidang. Untuk masalah nanti dijual atau tidak, itu hak pemilik,” ujarnya.
Lalu, apakah itu berarti penjual mobil bekas rekondisi bisa lepas tangan, jika suatu saat mobil yang dijualnya mengalami kecelakaan akibat tidak layak pakai?
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani, mengatakan, transaksi jual beli sering dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa terjadi, tanpa perlu melibatkan notaris atau semacamnya.
“Hanya beberapa saja yang memiliki kesadaran untuk melakukan itu. Padahal, ini penting dilakukan, agar penjual dan pembeli sama-sama tidak dirugikan,” jelasnya.
Menurut dia, transaksi semacam ini diatur dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam UU itu disebutkan, penjual wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang. Bila penjual diketahui menyembunyikan sebuah informasi yang merugikan pembeli, maka penjual bisa dituntut oleh pembeli.
Selanjutnya...membuat mobil bekas tabrakan menjadi layak pakai
Layak Pakai
Peredaran mobil-mobil bekas rekondisi memang membuat masyarakat resah. Banyak yang mengatakan, mobil-mobil tersebut sebaiknya tidak digunakan, karena tidak ada jaminan dalam hal kualitas perbaikannya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pembinaan Keselamatan, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Eddi menjelaskan, bahwa untuk kasus-kasus tertentu, kondisi layak atau tidaknya sebuah kendaraan bisa dilihat saat pemeriksaan cek fisik di kepolisian.
“Oleh polisi dicek fisiknya, seperti nomor rangka dan nomor mesin. Misalnya rangka sudah rusak, atau nomor mesinnya rusak, ini pasti polisi akan lihat,” ungkapnya.
Namun secara umum, Eddi juga setuju bahwa mobil bekas rekondisi diragukan kualitasnya. “Pasti membahayakan konsumen, karena tidak standar lagi, karena laik jalannya sudah meragukan,” jelasnya.
Lalu, apakah semua mobil bekas tabrakan yang diperbaiki dan dijual kembali tidak layak untuk dibeli? Sekretaris Umum Gabungan Industri Otomotif Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara menjelaskan, mobil yang mengalami kecelakaan bisa saja diperbaiki dan dipakai kembali.
Bisnis rekondisi mobil tidak perlu dilarang, asalkan ada aturan khusus yang menjamin kualitasnya.
“Bengkel perbaikan mobil sudah sejak lama ada, dengan berbagai tingkatan dan kualitas. Banyak juga yang direkomendasikan oleh perusahaan yang berkepentingan dengan usaha itu. Tentu, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi, agar bengkel-bengkel tersebut bisa dikatakan kompeten untuk melakukan perbaikan,” jelasnya.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie D Sugiarto, menambahkan jika perbaikan dilakukan secara profesional oleh bengkel resmi (authorized workshop), maka kualitasnya akan terjamin.
“Sayangnya, pemilik mobil pribadi di Indonesia belum diharuskan untuk mengikuti uji kelayakan secara berkala,” kata Jongkie. Hal senada diungkapkan Soerjanto. Menurutnya, bisnis rekondisi mobil tidak perlu dilarang, asalkan ada aturan khusus yang menjamin kualitasnya.
“Waktu tinggal di Belanda, saya tidak pernah beli suku cadang baru. Katakan suspensi saya rusak, saya ambil dari mobil-mobil rongsokan. Saya pasang di mobil, kemudian ke bengkel untuk diuji. Di negara-negara maju, uji kelayakan kendaraan pribadi wajib dilakukan,” jelas dia.
Ia juga mengatakan, di negara-negara tersebut, peredaran suku cadang bekas tidak dilarang, sepanjang itu memenuhi syarat yang ditentukan. “Kalau kita tidak berpikir seperti itu, maka mobil-mobil bekas tabrakan hanya akan menjadi limbah,” ujar Jongkie.
(ren)