- VIVA.co.id/ Danar Dono
VIVA.co.id – Gundukan pasir terlihat menyembul di tengah Teluk Jakarta. Kapal keruk dan crane hilir mudik di dekatnya. Berlokasi sekitar ratusan meter dari bibir pantai di kawasan Muara Angke, Pluit, Jakarta Utara, warga sekitar menyebut tempat itu sebagai Pulau G.
Aktivitas itu membuat warga kampung nelayan Muara Angke kini tak lagi bebas memandang lautan. Biasanya, warga yang kebanyakan keluarga nelayan menghabiskan sore di tepi pantai seraya melepaskan pandangan jauh ke tengah laut.
“Sekarang lihat (laut) malas. Jadi nggak leluasa lagi,” ujar Imaniar, warga Muara Angke kepada VIVA.co.id, Rabu, 30 Maret 2016.
Imaniar dan warga Muara Angke lainnya mengaku rindu laut yang menjadi napas hidup mereka. Pengurukan laut demi memodernisasi Jakarta membuat mereka gamang akan masa depan.
Pulau G sejatinya salah satu bagian dari reklamasi pantai utara Jakarta yang digodok sejak 21 tahun lalu, saat Orde Baru masih berkuasa. Megaproyek bernilai triliunan rupiah itu digarap berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI lantas menindaklanjuti Keppres itu dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta.
Reklamasi itu termasuk dalam Masterplan Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD), yang mencakup 17 pulau dengan luas total 5.100 hektare. Pulau-pulau itu dinamakan berurutan sesuai alfabet, yakni Pulau A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, dan Q.
Alasan pengurukan, menurut gubernur DKI Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama, agar laut menjadi lebih baik. Laut rusak akibat pencemaran diuruk, dan konsep ini diakui dunia.
Pemprov DKI ingin membuat sebuah perencanaan terpadu yang niatnya membangun sebuah kawasan modern. FOTO: Ikhwan Yanuar
Apalagi, kondisi lingkungan di pantai utara Jakarta telah mengalami degradasi, baik di darat maupun di perairan. Laut telah tercemar sehingga biota laut sudah tidak sehat lagi. Permukiman pun tampak kumuh dan tidak tertata.
"Itu sebabnya, kami ingin membuat sebuah perencanaan terpadu yang niatnya ingin membangun sebuah kawasan modern," ujar Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta, Tuty Kusumawati.
Dalam Keppres yang dikeluarkan di zaman Presiden Soeharto, disebutkan pembangunan kawasan reklamasi harus berjarak 300 meter dari darat. Nantinya, sertifikat hak pengelolaan seluruh pulau yang direklamasi menjadi milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Itu sudah diatur di Keppres, bukan saya yang atur,” ujar Gubernur Ahok.
DKI memang paling diuntungkan dari reklamasi ini. Selain ribuan hektare lahan yang telah direklamasi itu bakal jadi milik Pemerintah Provinsi, Jakarta juga mendapatkan pemasukan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Bumi dan Bangunan, serta Pajak Penghasilan.
Sebanyak 45 persen tanah di pulau reklamasi itu juga tidak bisa dikomersialkan. Sebab, harus digunakan sebagai lahan hijau. Sementara itu, dari 55 persen lahan tersisa, lima persennya bisa digunakan Pemprov DKI.
Jakarta juga mendapat tambahan kompensasi dari pengembang yang kecipratan megaproyek ini. Mereka diminta membantu membeli pompa untuk penanganan banjir Jakarta, membenahi jalan inspeksi, membangun rusun, hingga membangun gedung kantor polisi.
Berdasarkan data Bappeda dan NCICD, ada 10 perusahaan yang dilibatkan dalam reklamasi ini, di antaranya PT Kapuk Naga Indah, PT Jakarta Propertindo, PT Muara Wisesa Samudra, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Intiland, PT Manggala Krida Yudha, PT Pelindo II, PT Kawasan Berikat Nusantara, PT Jaladri Kartika Ekapaksi, dan PT Pembangunan Jaya Ancol.
Selanjutnya… Pengembang dan Pulau Reklamasi
***
Sepuluh perusahaan itu diberikan izin membangun 17 pulau. Masing-masing pulau memiliki luas dan peruntukan berbeda. Pulau A (79 hektare), B (380 hektare), C (276 hektare), D (312 hektare) dan E (284 hektare) misalnya, diserahkan kepada pengembang PT Kapuk Naga Indah. Pulau A hingga D diperuntukkan bagi usaha perikanan, hutan lindung, dan hutan bakau. Sedangkan Pulau E untuk perdagangan, jasa, dan rekreasi.
Sementara itu, Pulau F diserahkan kepada PT Jakarta Propertindo. Pulau seluas 190 hektare itu bakal diperuntukkan sebagai dermaga penyeberangan ke Kepulauan Seribu. Kemudian, Pulau G seluas 161 hektare, pembangunannya diberikan kepada PT Muara Wisesa Samudra, untuk dijadikan hunian, komersial, rekreasi.
Pulau H seluas 63 hektare diserahkan kepada PT Intiland untuk dijadikan kawasan hunian, perkantoran dan area komersial. Kemudian Pulau J seluas 316 hektare yang ditangani PT Pembangunan Jaya Ancol. Pulau ini akan menjadi pusat kegiatan primer, perdagangan, jasa, lembaga keuangan, dan Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE).
Lain lagi peruntukkan Pulau M yang luasnya 587 hektare. Pulau itu bakal dikembangkan oleh PT Manggala Krida Yudha sebagai pusat perdagangan, jasa dan rekreasi. Lalu Pulau N, seluas 311 hektare diserahkan kepada PT Pelindo II untuk menjadi kawasan pendukung Pelabuhan Tanjung Priok.
Berbeda dengan Pulau O seluas 344 hektare. Pulau itu bakal dibangun PT Kawasan Berikat Nasional sebagai kawasan pelayanan umum dan sosial, pengolahan limbah, pengolahan sampah, dan pembangkitan listrik. Sedangkan Pulau P seluas 463 hektare dan Pulau Q seluas 369 hektare, akan ditangani PT Kawasan Berikat Nusantara sebagai kawasan pendukung Pelabuhan Marunda.
Namun, ada sejumlah pulau yang belum ditetapkan peruntukkannya, yakni Pulau I seluas 450 hektare yang bakal dibangun PT Jaladri Kartika Ekapaksi dan PT Pembangunan Jaya Ancol. Begitu juga pulau K seluas 32 hektare yang dikembangkan PT Pembangunan Jaya Ancol, serta Pulau L seluas 481 hektare yang bakal ditangani PT Manggala Krida Yudha, dan PT Pembangunan Jaya Ancol, belum ditetapkan peruntukkannya.
Kini, DPRD DKI Jakarta masih menggodok rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang rencana tata ruang kawasan strategis pantai utara Jakarta. Raperda tersebut disusun sebagai payung hukum untuk pengaturan pengembang dalam mereklamasi.
Untuk reklamasi pantai utara itu, belum semua perusahaan mengantongi izin prinsip dari Pemprov DKI Jakarta. Salah satu perusahaan yang beruntung adalah PT Jakarta Propertindo yang akan mengelola Pulau F. Perusahaan ini sudah mengantongi izin sejak Jakarta dipimpin Gubernur Fauzi Bowo.
Dengan izin prinsip ini, Sekretaris Perusahaan PT Jakarta Propertindo Achmad Hidayat mengungkapkan, perseroan memiliki hak mengelola dan mengembangkan kawasan seluas 190 haktare.
Puluhan triliun dana disiapkan untuk pengelolaan dermaga penyeberangan ke Kepulauan Seribu. Namun Hidayat mengakui, meski izin sudah dikantongi, bertahun-tahun, konsep pelabuhan yang akan dibangun belum final. “Secara konkret memang belum ada, tapi arahan sudah ada untuk membuat pelabuhan,” ujar Achmad.
PT Jakarta Propertindo memiliki hak mengelola dan mengembangkan kawasan seluas 190 hektare. FOTO: Ikhwan Yanuar.
Theresia Rustandi, sekretaris perusahaan PT Intiland Development Tbk, mengemukakan hal senada. Perusahaannya kini sedang dalam persiapan proses reklamasi sesuai izin yang telah didapatkan. “Untuk masterplan pulau masih dalam proses finalisasi, yang dikoordinasikan bersama dengan Pemprov DKI," kata dia.
Perhitungan nilai investasinya pun belum rampung lantaran masterplan belum selesai. Pembangunannya dirancang untuk mixed-use dari rumah tapak, apartemen, kantor. Namun belum final juga.
Sekretaris Perusahaan Pelindo II Banu Astrini mengemukakan, pihaknya merencanakan reklamasi untuk pembangunan terminal petikemas dan oil/product, sehingga mendukung kelancaran arus kapal dan barang melalui penambahan kapasitas di lokasi baru.
Adapun Sekretaris Perusahaan PT Agung Podomoro, Justini, yang merupakan induk PT Muara Wisesa Samudra, enggan berkomentar banyak soal reklamasi ini. “Untuk semua proyek kami setiap kali bangun proyek pasti ada proses perizinan yang dilalui dan harus ada kewajiban yang diikuti. Kami ikuti peraturannya aja,” ujar dia.
Selanjutnya… Reklamasi Digugat
***
Reklamasi pantai utara ini tidak berjalan mulus. Sekretaris Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta Mulaimin Pardi Dahlan menilai reklamasi sebagai perampasan hak nelayan.
Dia pun mempertanyakan keluarnya izin reklamasi, padahal peraturan daerah belum rampung. "Seharusnya ada perdanya dulu. Ini perdanya belum dibuat. Bahkan lima kali hendak digodok tapi gagal karena banyak penolakan,” ujarnya.
Izin reklamasi itu diterbitkan melalui Surat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238/2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, tertanggal 23 Desember 2014. Izin juga dikeluarkan untuk Pulau F dan Pulau I pada 22 Oktober 2015. Sementara Pulau K, izinnya diberikan pada 17 November 2015.
Pemberian izin itu pun digugat sekelompok nelayan. Mereka menggugat Ahok ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, Kamis, 21 Januari 2016. Gugatan dilayangkan lantaran keluarnya izin reklamasi Pulau F, I, dan K. “Karena diam-diam tanpa ada sosialisasi keluarkan izin,” kata nelayan Teluk Jakarta, M Taher, yang juga Ketua DPW Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia.
Menurut Taher, gubernur DKI lebih condong pada pengusaha dibanding para nelayan tradisional yang telah hidup turun-temurun di Teluk Jakarta. Ia mengatakan, dengan adanya reklamasi di Pulau G saja, nelayan sudah sulit mendapatkan ikan.
Ahok menampik sulitnya mendapat ikan karena reklamasi. Menurut dia, analisa dampak lingkungan telah ada saat Keppres dikeluarkan. Ahok juga menegaskan, tidak ada nelayan yang mencari ikan di lokasi 17 pulau reklamasi itu lantaran sudah biota laut perairan itu sudah terkontaminasi berat sebelum reklamasi dilakukan.
Mantan bupati Belitung Timur itu pun tak gentar digugat. Dia berkukuh tetap melakukan reklamasi itu. Sebab, jika membatalkannya, dia bisa dituntut. “Saya bisa digugat ganti rugi. Keppresnya kan sudah ada dari zaman Pak Harto,” ujarnya.
Soal analisis dampak lingkungan, Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan San Afri Awang menuturkan, harus ada sebelum sebuah proyek dijalankan. Dan, dalam proyek reklamasi ini, penilaian amdal dikerjakan oleh daerah. Sistem amdalnya per pulau. "Jadi masing-masing pulau diamdal sendiri," ujarnya.
Hal terpenting dalam proses pembuatan amdal adalah transparansi. Selain itu, harus ada kajian dampak hipotetik dan strategisnya, bernama rencana kegiatan amdal (RKA).
Amdal harus ada sebelum sebuah proyek dijalankan. Dalam proyek reklamasi ini, penilaian amdal dikerjakan oleh daerah. FOTO: Danar Dono
Pada saat membuat RKA, sumber dampak dan dampak potensial atau orang yang akan terkena dampak potensial itu harus dilibatkan. "Kalau misalnya sekarang ada banyak rakyat ribut, pertanyaannya apakah proses pembuatan amdal melibatkan sumber-sumber terdampak?” kata Awang.