SOROT 388

Jalan Berliku Tapera

Pengesahan UU Tapera (Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat)
Sumber :
  • ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

VIVA.co.id – Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 mengamanatkan, setiap Warga Negara Indonesia berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik. Sayangnya, amanat konstitusi tersebut tak gampang terwujud.

Banyak warga belum mampu punya rumah. Bahkan, untuk berteduh dari teriknya matahari dan derasnya hujan, tidak sedikit yang masih kesulitan. Ini menjadi dasar dibuatnya Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada akhir Februari lalu.

Banyak versi mengenai selisih pasokan dan permintaan rumah (backlog) di Indonesia. Pemerintah seperti belum solid dalam menetapkan bagaimana parameter penentuannya yang jelas dan valid.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. backlog diterjemahkan berdasarkan konsep penghunian. Jika dengan penghitungan tersebut, jumlahnya data terakhir pada 2014 mencapai 7,6 juta unit, dan ditargetkan akan tergerus menjadi lima juta unit pada 2019.

Sementara itu, mengintip data Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), backlog menganut konsep kepemilikan rumah. Saat ini ada 13,5 juta unit rumah yang harus disediakan untuk masyarakan, sesuai dengan permintaan. Hingga 2019 pemerintah menargetkan dapat menekan angka tersebut dilevel 6,8 juta unit.

Selain backlog, ada juga istilah rumah tidak layak huni. Di Indonesia, pada 2014 jumlahnya mencapai 3,4 juta unit, menurut data BPS. Pemerintah berambisi untuk menekan menjadi tinggal 1,9 juta unit hingga 2019.

Rancangan undang-undang (RUU) Tapera sendiri mulai dibahas dan masuk program legislasi nasional (Prolegnas) pada 2012 lalu. Kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono masih menjabat sebagai presiden, masuk tahun kedua di periode kedua kepemimpinannya.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Tapera, Yoseph Umar Hadi, kepada VIVA.co.id menceritakan lika-liku pembahasan UU itu, yang butuh waktu empat tahun untuk bisa disahkan.

Menurut Yoseph, Tapera merupakan metamofosis dari konsep tabungan perumahan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dikelola oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapetarum). DPR menilai, seharusnya fasilitas ini tidak hanya bisa dinikmati oleh PNS tapi seluruh rakyat Indonesia, khususnya msayarakat berpenghasilan rendah (MBR).

"Semua warga negara menjadi mendapat kemudahan mendapatkan fasilitas tidak hanya PNS. Kita tidak bisa tutup mata pada saudara-saudara kita yang tidak mampu, dan membiarkan mereka sampai kapan pun tidak punya rumah," ujar Yoseph di Gedung DPR, Kamis 16 Maret 2016.

Dia menjelaskan, dengan konsep gotong royong dalam Tapera upaya untuk menekan backlog perumahan dapat dipercepat. Masyarakat mampu menolong yang  tidak mampu agar mendapatkan hunian yang layak.

Pemerintah pun memiliki ruang fiskal yang cukup untuk mengantisipasi apabila kondisi global tidak sesuai dengan harapan. "Selama ini banyak di bantu malah yang mampu. Sekarang saatnya yang mampu membantu yang kurang mampu. Makanya kita bela yang kurang mampu," lanjut Yoseph.

Dalam perjalanannya selama hampir empat tahun, ada beberapa hal dari undang-undang ini yang terus menjadi perhatian semua pemangku kepentingan, baik DPR, Pemerintah ataupun pemangku kepentingan. Pada 2013, sebanyak 484 Daftar Isian Masalah (DIM), hanya 202 yang telah disetujui oleh pemerintah. Sisanya akan dibahas kembali pada tahun berikutnya.

Ketentuan yang menjadi perhatian pemerintah SBY kala itu adalah, ketika pemerintan harus menggelontorkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai Rp1 triliun untuk dana operasional Badan Pengelola Pengerumahan Rakyat (BPPR) yang saat ini disebut Badan Pengawas (BP) Tapera. Hal lain yang menjadi fokus pembahasan adalah mengenai iuran yang akan dibebankan kepada pengusaha dan pekerja.

"Dia hanya tidak sepakat kalau iuran hanya tiga persen. Minta nya 20 persen. Pemerintah dulu menganggap terlalu kecil kalau iuran tiga persen," tambahnya.

Penolakan dari pihak-pihak terkait terus berdatangan khususnya kalangan usaha, karena beban yang ditanggung untuk membiayai pekerjanya bertambah. Terlebih lagi di saat bersamaan RUU tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga sedang dibahas dan akhirnya disahkan, kemudian sekaran dikelola oles Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Padahal menurut dia, pengusaha tidak dirugikan dengan aturan ini. Karena uang yang dibayarkan untuk kesejahteraan pegawainya tidak akan hilang dan dijamin oleh pemerintah. Para pegawai juga akan lebih semangat karena mendapatkan insentif lebih dari perusahaan.

"Ini (Tapera) Dijamin oleh negara. Karena pengusaha juga harus untung. Jangan berfikir sempitlah. Karena ini luas," ungkapnya.

Pada 2014 tantangan dalam pembahasan RUU ini kembali dihadapi, jadwal pemilihan umum presiden membuat konsentrasi baik pemerintah maupun DPR buyar. Apalagi DPR dan pemerintah memiliki formasi baru dan butuh transisi sehingga pembahasan RUU ini tidak dimulai dari awal kembali.

Setahun pemerintahaan baru berjalan dan DPR mulai bekerja, pembahasan RUU Tapera kembali dilanjutkan pada 2015. DPR pun akhirnya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah terkait penetapan besaran iuran dan mekanisme pelaksanaan UU ini di lapangan, melakui Peraturan Pemerintah (PP).

Tentu saja, harus melalui uji publik dan konsultasi dengan seluruh pemangku kepentingan khususnya pengusaha dan perwakilan pekerja. Karena itu meski RUU Tapera disahkan pada 2016, baru akan diberlakukan pada 2018.

"Sekarang kita tidak menentukan berapa persennya iuran tabungan, silakan pemerintah bersama pengusaha dan perwakilan masyarakat duduk berama menentukan. Berapa persen yang disepakati semua pihak," tegasnya.

Tabungan Perumahan Rakyat, untuk Siapa?

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/03/18/56ebf7cf8c0b4-pengesahan-uu-tapera-undang-undang-tabungan-perumahan-rakyat_663_382.JPG

Pengesahan UU Tapera (Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat). Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Potongan Gaji Pekerja Tiap Bulan

Selanjutnya...Ancaman tak berdasar

Ancaman Tak Berdasar

Pengesahan UU Tapera langsung menuai kekecewaan dari dunia usaha. Bahkan, kalangan pengusaha mengancam akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
 
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B. Sukamdani, mengaku kecewa dengan pengesahan beleid tersebut. Alasannya, mereka merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan, besaran iuran yang dibebankan kepada pengusaha jelas memberatkan.

Selain Apindo, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun mengungkapkan hal senada. Mengenai penetapan iuran harus benar-benar dibahas dengan dengan matang dengan pemangku kepentingan.

Bahkan menurut Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan P Roeslani, pengenaan iuran tersebut idealnya harus dibarengi dengan pemberian insentif dari pemerintah. Mengingat satbilitas perekonomian yang sedang mengalami guncangan saat ini.

Menanggapi hal tersebut, Yoseph menilai, alasan pengajuan uji materi itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Karena UU ini hanya payung bagi pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pelaksananya.

Dia mengibau kalangan pengusaha untuk bersikap lebih tenang, dan membahasnya secara baik-baik dengan pemerintah. Sehingga kekhawatiran yang dirasakan tidak terjadi karena telah dikoordinasikan dengan baik.

"Ini simpel kan sebenarnya, tinggal semua duduk bersama. Tentukan perentasinya. Bukan berarti UU nya ditolak. Duduk aja bersama berapa BPJS, Berapa Tapera, bahas bersama dengan asas gotong royong, simpel kok," tambahnya.

Lebih lanjut menurutnya, pemerintah memiliki waktu tiga bulan untuk mengurus mekanisme petunjuk pelaksana Tapera dan aturan turunannya. Termasuk membentuk Komite yang nantinya akan mengawasi pelaksanaan program tersebut.

Setelah itu baru keluh kesah pengusaha dan pihak terkait lainnya bisa diakomodir dengan baik. "Pemerintah belum bisa negosiasi karena badan belum belum ada," ujarnya.

Sekretaris Kabinet Pramono menegaskan, pemerintah tidak akan bergeming dengan uji materi yang akan dilakukan pengusaha. Aturan pelaksananya dan ketentuan lainnya untuk implementasi UU tersebut akan segera diselesaikan pemerintah.

"Ya tuntutan itu kan boleh-boleh saja. Kalau mau judicial review di MK ya monggo-monggo saja. Tetapi yang jelas UU Tapera telah diundangkan," tegasnya.

Pemerintah Punya Payung Hukum dengan Disahkannya UU Tapera

Selanjutnya...Genjot perekonomian



Genjot Perekonomian

Polemik penerapan Tapera di Indonesia sepertinya tidak dihindari. Tapi, hal ini dinilai sebagai bagian dari proses pembangunan ekonomi Indonesia naik tingkat menjadi negara maju.

?Pengamat Properti, Panangian Simanungkalit, ketika berbincang VIVA.co.id pada Jumat 17 Maret 2016, menjelaskan skema pendanaan jangka panjang berbasis masyarakat seperti tapera ini sebenarnya merupakan salah satu solusi untuk mendorong laju perekonomin nasional di masa depan.

"Skema (Tapera) ini penting untuk menghadapi krisis moneter. Selain itu, karena harga tanah kan terus meningkat, untuk ke arah pekerja, sulit membayangkan mereka bisa memiliki rumah yang didorong oleh sebuah pendanaan yang kuat," kata Panangian.

Dia pun memaklumi kegelisahan para pengusaha. Namun tidak bisa dipungkiri, kesejahtraan perusahaan-perusahaan di Indonesia jauh lebih cepat meningkat dibanding para pekerjanya. Karena itu, apabila perusahaan ikut menanggung beban dari iuran Tapera merupakan hal yang wajar.

"Kalau iuran kan juga iuran masyarakat lebih besar dari pada pengusahanya, jadi saya kira pengusaha tidak boleh terlalu khawatir kalau itu merugikan dia (Pengusaha), saya kira enggak rugi, justru memperkuat peran pengusaha terhadap iuran itu," ungkap Panangian.

Berkaca pada negara tetangga, di Singapura misalnya. Negara itu mulai menerapkan program jaminan sosialnnya termasuk mengenai perumahan ketika perekonomian masyarakatnya selevel dengan Indonesia saat ini.

"Mereka (Singapura dan Malaysia) dulu pada 1986 itu, daya belinya juga hampir sama dengan Indonesia saat ini, ya US$4.000 per kapita per tahun," lanjut Panangian.

Malah menurutnya, dana jangka panjang masyarakat di negara tersebut, dapat mampu menekan suku bunga pada posisi rendah, karena melimpahnya likuditas keuangan. Pada akhirnya para pekerja yang diuntungkan.

"Kalau yang sudah punya rumah mungkin tidak menguntungkan, tapi mereka bisa berkontribusi kan, tapi kan yang penting substansinya jangan sampai hilang uang itu. Jangan dipermainkan dengan pejabat, jangan dipakai untuk operasional, jadi harus pemerintah yang memberikan dana operasionalnya," kata Panangian.

Pada prinsipnya dia berpendapat, Tapera ini dapat lebih mempersolid hubungan antara perusahaan dan pekerja. Meskipun sedikit dipaksa untuk memikirkan masa depan dengan dibebankan iuran dan aturan lainnya, pada akhirnya dia meyakini kesejahteraan masyarakat akan meningkat dan permasalahan ketidakmampuan MBR untuk membeli rumah dapat teratasi.

(ren)

Ilustrasi pameran properti

Riset: 40 Persen Masyarakat Bawah Tak Mampu Beli Rumah

Distribusi penyediaan rumah di Indonesia belum merata.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2016