- VIVA.co.id/Endah Lismartini
VIVA.co.id – Remaja berkacamata itu serius menatap layar komputer. Sesekali membuat coretan di atas kertas, tangannya lalu kembali bergerak-gerak diantara keyboard dan mouse.
Miska, nama remaja itu, sedang memprogram sebuah game yang akan diluncurkan menjelang ramadhan mendatang. Menggunakan apple iMac berlayar 21 inch, dengan core i5, dan memori 8 gigabyte, Miska tekun mengotak-atik xcode, sebuah software untuk mengembangkan program.
Dia siswa kelas 11 di Madrasah TechnoNatura. Kepada VIVA.co.id, yang menemuinya pada Rabu, 2 Maret 2016, remaja yang ingin menguasai fisika ini mengaku memilih sekolah TechnoNatura atas kemauan sendiri. “Saya sejak SD sudah di sekolah ini, dan memang tertarik dengan teknologi. Saya masuk ke sini atas permintaan sendiri karena menyukai sains dan komputer. Orang tua nggak masalah, karena ini pilihan saya,” kata Miska.
Madrasah TechnoNatura yang berlokasi di Jalan RTM, Kelapa Dua, Cimanggis, Depok, didirikan tahun 2004 oleh Ahmad Riza Wahono. Doktor Mechanical Engineering lulusan University of Manchester ini mengaku awalnya hanya ingin mendirikan homeschooling karena tak bisa menerima metode belajar sekolah umum saat itu.
Menurut Ahmad, metode belajar konvensional yang banyak berjalan saat ini mematikan kreatifitas. Anak hanya dicecoki pengetahuan dengan guru sebagai sumber rujukan utama. Nyaris tak ada diskusi, dan tak ada kesempatan memilih atau mengembangkan imajinasi mereka.
Ahmad Riza Wahono, pendiri Madrasah TechnoNatura.
Saat awal mendirikan TechnoNatura, Riza hanya membayangkan home schooling untuk anak-anaknya. Ia menceritakan niatnya itu pada teman-temannya. Tak diduga, dukungan mengalir dari teman-temannya.
Tanggal 22 Juli 2004, mereka sepakat mendirikan Yayasan Centre for Research Education, Arts, Technology, and Entrepreneurship (CREATE). Mereka mengeluarkan anak dari sekolah umum, lalu mempercayakan Riza untuk melakukan sesuatu yang berbeda agar anak-anak bisa mengembangkan kemampuan dengan maksimal.
“Kami memulainya dengan 26 anak. Garasi rumah saya langsung berubah menjadi tempat belajar,” kata Riza kepada VIVA.co.id. Merasa menguasai ilmu sains, Riza memilih fokus mengarahkan anak-anak itu pada dunia sains. Ia mengajak anak-anak berkreasi dan menciptakan sesuatu melalui penguasaan teknologi.
Nama TechnoNatura dipilih dengan alasan khusus. “Techno untuk menunjukan kami berbasis teknologi. Natura menunjukkan kedekatan dengan alam. TechnoNatura, teknologi yang akan mendekatkan kita pada alam,” kata Riza memberi penjelasan. “Teknologi menjadi basis kami, karena kami meyakini, perkembangan peradaban tak pernah bisa lepas dari perkembangan teknologi. Terutama masa pertanian, industri, dan sekarang ICT,” lanjut Riza.
Nafas teknologi yang dihembuskan Yayasan CREATE diseriusi dengan menggunakan gawai sebagai pendukung belajar. Sekolah ini membiasakan anak menggunakan teknologi sejak usia dasar.
Di TechnoNatura, anak-anak belajar menggunakan metode project. Ada lima project yang dilakukan satu kali dalam satu bulan, yaitu kewirausahaan, sains, rekayasa teknologi, sosial, dan seni.
Mereka bekerja dalam satu kelompok, dan wajib mempresentasikan hasil project mereka satu kali dalam sepekan. Berbeda dengan sekolah konvensional, Techno Natura memposisikan guru sebagai mentor dan fasilitator.
“Anak-anak memanggil guru dengan sebutan kakak, supaya tak ada jarak dan mereka merasa nyaman untuk berkomentar dan bercerita,” kata Riza. Di situ, kreatifitas siswa lebih terasah karena anak-anak itu bisa saling bertanya dan mengkritisi.
Sementara untuk pembangunan karakter siswa, TechnoNatura menerapkan prinsip empat sifat Nabi Muhammad SAW (Sidiq, amanah, tabligh, fathonah, istiqomah) dan delapan sifat dasar yang diutamakan dalam ajaran Islam. Sejak usia SD, anak dibiasakan melakukan presentasi dengan menggunakan semua alat teknologi yang bisa digunakan. Laptop, proyektor, gawai jadi teman akrab anak-anak tersebut.
Semakin tinggi jenjang pendidikan, Techno Natura semakin spesifik. Di jenjang SMA, mereka hanya menerima siswa dengan kriteria penyuka sains dan IPA. “Kami tak bisa menerima siswa IPS. Pertama, karena saya lebih menguasai sains dan IPA, dan kedua karena kami kekurangan sumber daya untuk mencari orang-orang yang menguasai IPS,” ujar dia.
Di kelas SMA, anak-anak ditantang untuk membuat project-project yang serius. “Kami pernah membuat project seperti mobil google. Sebelum google meluncurkan mobilnya, anak-anak kami sudah pernah membuat percobaan itu. Mobil-mobilan yang biasa ditumpangi anak-anak dipasangi semacam radar, dan diluncurkan di jalan hingga mampu memberikan tampilan melalui layar monitor.
Persis seperti mobil google sekarang. Saat ini mereka juga sedang membuat project rompi anti peluru. Mereka menghitung semua dengan detail, termasuk pantulan peluru,” ujar Riza dengan penuh semangat.
Usaha Rizal dan Yayasan CREATE berbuah penghargaan. Nyaris setiap tahun mereka membawa pulang penghargaan dari Kominfo. “Kami beberapa kali mendapat kunjungan dari pihak NASA, dan mendapat undangan dari Kedutaan Besar Amerika,” kata Riza. Bahkan ketika akhirnya sekolah ini menjadi lembaga pendidikan resmi di tahun 2012, dengan Menjadi madrasah di bawah Kemenag, Riza tegas meminta agar metode belajar yang sudah ia jalankan sejak 2004 tak diotak-atik. “Biarlah kami tetap seperti ini, sudah terbukti kan hasilnya,” ujarnya.
Sekolah Alam
Lain TechnoNatura, lain pula Sekolah Citra Alam. Sekolah yang berdiri sejak tahun 2001 dan berlokasi di Ciganjur, Jakarta Selatan, ini lebih memilih mendekatkan siswa dengan alam sekitar. Siswa diajarkan untuk menjaga dan mencintai alam dan seisinya.
“Kami memilih menyiapkan anak-anak untuk menjadi sahabat alam. Mereka akan menjadi generasi yang selalu menjaga keseimbangan alam,” ujar Muhammad Jamilun, 38 tahun. Pria alumnus sebuah universitas negeri di Jakarta tersebut mengungkapkan sekolahnya mengajak anak-anak berkembang sesuai usia mereka dengan memunculkan karakter positif untuk membentuk akhlakul karimah (akhlak yang baik).
“Kami masih mengikuti kurikulum yang ditetapkan Diknas, namun kami meniadakan buku paket . Kami memilih menggunakan alam sebagai sumber eksplorasi dan eksperimen,” ujar Jamil.
Sekolah Citra Alam fokus untuk mempersiapkan anak-anak kelak menjadi khalifah yang berakhlak karimah, jujur, bertanggung jawab, dan menebar kasih sayang. Sekolah ini juga ingin menciptakan anak-anak yang mampu survive dengan tetap menjaga nilai-nilai kebaikan.
“Salah satu metode yang kami lakukan adalah dengan mengajak mereka kemping di alam terbuka, juga ada program live in/tinggal bareng dengan keluarga yang hidupnya dibawah garis kesejahteraan,” kata Jamil. .
Melalui pendekatan pada alam, sekolah ini mengembangkan empat karakter yaitu pembiasaan yang baik dan positif, kemampuan memimpin, logika berpikir kritis, dan entrepreneurship. Keempat karakter ini terus dilakukan secara konsisten sejak anak usia dini hingga jenjang menengah.
“Kami membiasakan anak untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, tak ada penghakiman. Tak ada stigma atau labeling tentang anak nakal, anak bodoh, dan sejenisnya. Setiap anak akan bebas menjadi dirinya sendiri dan mengembangkan bakat dan minatnya. Setiap anak di sini adalah juara,” ujarnya menegaskan.
Keresahan pada nasib anak atas metode belajar yang konvensional juga dirasakan Sri Wahyaningsih, seorang wanita asal Yogyakarta. Berbeda denganTechnoNatura dan Citra Alam yang berada dekat dengan pusat ibu kota, Sri Wahyaningsih memilih mendirikan Sanggar Anak Alam (SALAM) di Lawen, Pandan Arum, Banjarnegara, Jawa Tengah.
Sanggar Alam (Salam) di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Aktivitas Salam lebih memperbanyak eksplorasi, riset, dan eksperimen.
Semangat alumnus Akademi Keuangan dan Perbankan Yogyakarta ini muncul setelah menyadari di Lawen, ia melihat kemiskinan yang menetap karena pendidikan yang tak terstruktur. Wahya memutuskan mengajak anak-anak kampung berkumpul dan belajar.
Pertama kali berjalan, hanya 15 anak yang tertarik. Tapi dalam hitungan hari, jumlah anak mencapai 160 orang, 40 diantaranya tidur bersama Wahya. “Saya katakan pada meraka bahwa kalau kita ingin punya sesuatu, kita pasti bisa membuat sesuatu,” pesan Wahya.
Aktivitas SALAM lebih memperbanyak eksplorasi, riset dan eksperimen. Mereka juga terjun langsung merasakan hidup sebagai anak alam dengan tetap memelihara kambing, kelinci, sampai ngarit atau memotong rumput.
Melalui pendidikan anak di SALAM, Wahya juga mendidik orang tua mereka. Bahkan, Wahya adalah pelopor yang mengajak warga kampung membuat sapu yang dijual keluar kampung.
“Saat itu, belum ada aliran listrik. Kami pakai diesel yang dihidupkan jam 6 sore hingga 11 malam. Masyarakat memanfaatkan penerangan itu untuk membuat sapu. Otomatis, pada jam itu mereka produktif dan berhenti sejenak merokok. Lama kelamaan, ekonomi masyarakat membaik,” tutur Wahya.
Tahun 1996, SALAM sempat vakum selama empat tahun karena Wahya kembali ke Yogya. Namun murid-murid dan orang tua mereka terus mengirim surat, meminta Wahya meneruskan SALAM. Tahun 2000 wanita ini lalu melanjutkan SALAM di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Dan dia menjalankan kembali SALAM di Banjarnegara.
Tahun Ajaran 2008/2009, SALAM memberanikan diri membuka sekolah dasar dengan model pendidikan yang memanusiakan peserta didik. Kini SALAM memiliki 120 siswa, dari tingkat SD hingga SMP. SALAM juga membangun perpustakaan, memberikan pendidikan lingkungan, dan pertanian organik untuk anak-anak.
Wahya membangun depot pertanian organik disamping rumahnya. Ia juga mendirikan warung sebagai pasar kecil yang menjual hasil karya anak-anak, mulai dari beras organik, teh, kopi, madu, dan sebagainya. Wahya juga melakukan pendampingan remaja, membuat program jurnalistik agar mereka tahu dunia nyata dengan mewawancarai petani, pedagang, pemulung.
Ia menarik remaja untuk membumi dan mendekat ke alam. Wahya menyebut pendidikan yang ia lakukan sebagai otokritiknya terhadap pendidikan konvensional dengan kurikulum serba menuntut.
"Mendirikan SALAM ini pada awalnya tidak mudah, apalagi berhadapan dengan regulasi dari pemerintah. Namun itu tak menyurutkan saya karena apa yang diberikan SALAM kepada muridnya tidak beda dengan seolah umumnya. Bahkan lulusan SD SALAM bisa berprestasi di sekolah umum," ujar Wahya.
Berbeda dengan sekolah-sekolah alternatif yang mengusung konsep keislaman, Wahya memilih menjalankan sekolahnya dengan mengedepankan kearifan lokal. “Ngerti, ngroso, nglakoni,” atau mengerti, memahami, dan menjalankan, menjadi prinsip dasar Wahya dalam mendidik siswanya.
Perempuan berkacamata ini memilih menekankan pendidikan pada hati nurani, bukan hanya bisa membaca huruf abjad. Tapi juga moco kahanan atau membaca suasana.
Rangsang Kreativitas
Ketiga sekolah alternatif ini sama-sama beranjak dari keinginan yang sama, tak ingin terpaku pada pola sekolah konvensional dan memberikan kesempatan siswa berkembang sesuai potensinya. Mereka membebaskan siswa dari seragam dan buku paket. Mengajak siswa untuk melakukan eksplorasi dan eksperimen, termasuk melibatkan siswa langsung dalam setiap proses pembelajaran.
Pilihan sekolah alternatif juga diakomodir oleh pemerintah, melalui Peraturan Menteri Nomor 99 tahun 2004. Menurut Direktur Direktorat Pendidikan Keaksaraan dan Pendidikan Kesetaraan Depdiknas, Erman Syamsudin, keberadaan sekolah alternatif diberi ruang yang luas. Bahkan jika bentuknya home schooling, dimana anak-anak hanya akan menghadapi ujian kesetaraan Paket A, B, atau C, maka negara tetap mengakuinya.
Aktivitas remaja di Sanggar Alam (Salam) di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Mengedepankan sekolah pada kearifan lokal. “Ngerti, ngroso, nglakoni,” atau mengerti, memahami, dan menjalankan.
Bambang Wisudo, pengamat sekolah alternatif menyambut tumbuhnya sekolah-sekolah alternatif sebagai pilihan agar orang tua bisa menemukan basis pendidikan yang pas bagi anak-anaknya. “Desain konvensional menjadikan satu sekolah seolah cocok dengan semua jenis anak. Padahal anak punya karakteristik yang berbeda-beda,” kata dia.
Bambang menyarankan agar sekolah alternatif diberi ruang sebesar-besarnya untuk terus tumbuh. Namun ia menekankan agar sekolah alternatif menjadi sekolah yang memerdekakan. “Nilai-nilai yang ditanamkan bukan kompetisi tapi kebersamaan, sekolah alternatif tapi mengajarkan anaknya berkompetisi, dengan diberi bintang, hadiah, dan mengajarkan agama fundamentalis, juga mudah mendoktrin anak-anaknya secara gagasan, itu bukan sekolah alternatif,” ujar Bambang.
Menurut dia, tidak bisa dikatakan anak-anak di sekolah alternatif akan lebih pintar, tapi mereka lebih merdeka. “Kalau pintar kan kepintaran macam-macam, tidak bisa diseragamkan. Anak pintar di matematika, tapi kurang di kesenian, sifatnya manusia macam-macam. Biarkan anak tumbuh sesuai kepribadiannya,” lanjut Bambang.
Bagi orang tua yang mendambakan pendidikan yang memerdekakan anak mereka, lanjut Bambang, sekolah-sekolah alternatif seperti ini layak menjadi pilihan. Prinsipnya, biarkan anak menjadi dirinya sendiri, dan merdeka dari tekanan pendidikan yang serba menuntut, membandingkan, dan membebani. (ren)