- VIVA.co.id/Mustakim
VIVA.co.id – Remaja itu terlihat sibuk. Matanya menatap tajam layar komputer jinjing di atas meja kayu yang tak seberapa besar.
Perempuan usia belasan itu tampak khusyu memperhatikan gambar-gambar yang terpampang di layar komputer jinjingnya. Sementara itu, jemarinya sibuk menari di atas keyboard.
Sesekali, tangannya berpindah ke buku gambar dan pensil yang terletak di meja, tak jauh dari komputer jinjing yang sedang menyajikan gambar sejumlah pola busana wanita. Tak jarang, ia menunduk saat menggoreskan pensil di kertas putih untuk meniru gambar dan pola pakaian wanita yang ada di layanan video milik Google, Youtube.
Kedua matanya berpindah-pindah antara layar komputer jinjing dan buku gambarnya yang tak seberapa lebar.
Nama remaja itu, Zahratul Fauziah (17). Pagi itu, ia sedang belajar membuat pola pakaian di rumahnya, di bilangan Limo, Depok, Jawa Barat. Tak ada guru atau mentor yang mengarahkan atau memberinya pelajaran.
Ia belajar secara mandiri, hanya ditemani komputer jinjing, buku gambar, dan kedua orangtuanya. “Saya ingin jadi business women mas,” ujar Rara, demikian ia biasa disapa, saat VIVA.co.id berkunjung ke rumahnya, Kamis, 3 Maret 2016.
Dua tahun sudah Zahratul Fauziah menjalani pendidikan mandiri agar lebih leluasa menggali potensi yang ada di dirinya.
Rara merupakan salah satu siswi homeschooling. Sudah dua tahun ia menjalani pendidikan secara mandiri. Jika dihitung, saat ini, ia menginjak kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA).
Selain fashion, sulung pasangan Achmad Fauzi dan Liem Kusyani ini juga belajar sejumlah pelajaran laiknya anak SMA. Namun, ia tak belajar di sekolah dan memilih belajar secara mandiri di rumahnya. Caranya, lewat bimbingan belajar di dunia maya. “Saya belajar sejumlah pelajaran melalui online,” dia menambahkan.
Meski homeschooling, bukan berarti Rara menghabiskan waktunya di rumah. Sebab, selain belajar fashion dan sejumlah mata pelajaran, ia juga les Bahasa Inggris dan piano di luar. Tak hanya itu, ia sempat aktif di komunitas public speaking.
Remaja berhijab ini mengaku, homeschooling merupakan pilihannya, bukan permintaan atau perintah orangtuanya. Alasannya, dengan homeschooling, ia bisa lebih leluasa menggali potensinya. “Saya takut sekolah formal akan membatasi kreativitas,” ujarnya.
Ia menilai, sekolah formal hanya mengajarkan sesuatu yang bersifat akademis dan kognitif. Sementara itu, ia ingin fokus dan menggali potensi diri dengan meningkatkan keterampilan dan bakatnya.
Rara mengatakan, selama dua tahun menjalani homeschooling, banyak hal yang sudah ia pelajari. Tak hanya itu, ia bisa terus mengasah kemampuannya dalam bidang fashion, bahasa asing, dan kemahirannya bermain piano.
Selain itu, ia tetap bisa membantu orangtuanya, baik untuk mengurus rumah maupun bisnis. “Saya juga mengajar bahasa Inggris dan mengaji untuk anak-anak,” ujarnya bangga.
***
Memilih Berbeda
Rara tak sendiri. Adiknya, Itsna Suksma Sakinah juga mengikuti jejaknya. Alih-alih sekolah di SMA, lulusan Sekolah Alam Indonesia ini memilih mengikuti pilihan kakaknya, belajar secara mandiri dengan model homeschooling.
Bedanya, jika Rara sudah dua tahun menjalani sistem belajar mandiri, adiknya baru satu tahun menjadi siswi homeschooling.
Achmad Fauzi (46) mengatakan, ia mendidik anak-anaknya dengan sistem homeschooling bukan tanpa alasan. Menurut dia, cara itu sengaja dipilih karena ingin anak-anaknya memiliki karakter dan akhlak yang baik.
Selain itu, ia ingin anak-anaknya berkembang sesuai bakat dan minatnya masing-masing. “Saya tidak ingin anak-anak hanya belajar akademis dan kognitif,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 Maret 2016.
Dia menilai, sekolah formal hanya sibuk menjejali anak-anak dengan beragam pelajaran. Namun, tidak intens dalam mengembangkan karakter, budi pekerti, dan potensi anak.
“Secara akademis mungkin bagus, tapi untuk pengembangan karakter kurang,” ujar fotografer di salah satu media nasional ini menambahkan.
Selain itu, dengan homeschooling, ia dan istrinya bisa memantau perkembangan anak-anaknya setiap saat.
Ia mengatakan, homeschooling bukan memindahkan sekolah ke rumah. Namun, memberi kebebasan dan keleluasaan anak-anaknya untuk menggali bakat dan potensinya. “Mereka bebas untuk belajar apa saja,” ujarnya.
Selain les, anak-anaknya juga sering ikut berbagai diskusi dan seminar. Ia juga tak melarang saat anaknya aktif di sejumlah komunitas dan organisasi.
Ia berharap, dengan berbagai kegiatan itu anaknya tak hanya paham beragam pelajaran. Namun, juga memiliki berbagai keterampilan dan bisa berinteraksi di masyarakat dengan baik.
Ungkapan senada disampaikan istri Achmad Fauzi, Liem Kusyani (44). Ibu tiga anak ini mengatakan, ia sengaja mendidik anak-anaknya dengan sistem homeschooling karena kecewa dengan sekolah formal. “Sekolah negeri belum bisa memenuhi keinginan saya,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 Maret 2016.
Ia mengatakan, sebagian besar guru-guru yang mengajar di sekolah formal sebatas mengajar dan menyampaikan pelajaran semata. Mereka abai dengan pengembangan karakter dan budi pekerti siswa, apalagi menggali potensi dan pengembangan siswa.
Selain itu, ia menilai pendidikan agama di sekolah formal kurang. “Hanya bagus dari sisi metode pembelajaran,” dia menambahkan.
Selain belajar secara mandiri, Rara juga sempat aktif dalam komunitas public speaking.
Pengusaha katering ini menuturkan, saat ini anak-anaknya lebih aktif dan kreatif. Selain itu, anak-anaknya yang notabene masih remaja itu bisa lebih mandiri, baik dalam belajar, mengurus rumah maupun membantu bisnis kateringnya.
“Rara sering membantu saya memasak. Sementara Itsna yang mengantar pesanan ke pelanggan,” ujarnya seraya tertawa.
Liem mengatakan, ia dan suaminya tak pernah mendikte anak-anaknya dalam belajar. Ia dan suaminya hanya memposisikan diri sebagai fasilitator. “Anak-anak punya jadwal sendiri. Kami hanya menfasilitasi kebutuhannya untuk belajar dan mengembangkan diri.”
***
Tak Sendiri
Rara dan Itsna tak sendiri. Sejumlah remaja lain juga memilih homeschooling untuk belajar dan mengembangkan diri. Citra Scholastika misalnya. Alih-alih belajar di sekolah formal, artis ini memilih sistem pendidikan homeschooling.
Ia belajar di Homeschooling Kak Seto (HSKS). Ia memilih belajar di homeschooling karena bisa menyesuaikan dengan pekerjaan. “HS mempermudah sistem belajar yang available kapan dan di mana saja,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 Maret 2016.
Ia mengaku belajar homeschooling atas kemauan sendiri. “Karena melihat proses belajar di sekolah umum tidak efisien, karena kelelahan bekerja,” tuturnya.
Meski di homeschooling, finalis Indonesian Idol ini mengaku belajar semua pelajaran yang dibutuhkan, sama seperti yang dipelajari di sekolah umum. Selain di HSKS, Citra juga belajar di luar seperti les kepribadian, public speaking juga kursus Bahasa Inggris.
Citra merupakan salah satu dari ratusan siswa HSKS. Pendiri HSKS, Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto mengatakan, HSKS berdiri sejak 4 April 2008. Ia sengaja mendirikan lembaga tersebut karena setiap anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan, banyak anak mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama bersekolah. Misalnya kasus bullying, bentakan, dan kekerasan dari guru bahkan pemasungan kreativitas anak.
“Pengalaman-pengalaman yang kurang berkesan tersebut menimbulkan phobia terhadap sekolah bagi anak dan orangtua,” ujarnya.
Selain itu, upaya penyeragaman kemampuan dan keterampilan anak di segala bidang turut mematikan minat dan bakat anak yang berbeda-beda. Karena, menurut Kak Seto, setiap anak unik.
Kurikulum yang terlalu padat dan tugas-tugas rumah yang menumpuk juga membuat kegiatan belajar menjadi beban bagi sebagian anak.
“Melihat kondisi ini, maka perlu dicarikan solusi alternatif bagi anak-anak yang kurang cocok dengan sistem pendidikan formal. Salah satu bentuknya adalah homeschooling (sekolah rumah),” ujarnya.
Meski tak belajar di sekolah formal, bukan berarti anak didik homeschooling tak memiliki daya saing. Kak Seto menuturkan, siswanya banyak yang jebolan dari sekolah internasional.
Dan ketika lulus, mereka diterima di sejumlah perguruan tinggi negeri, seperti di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Institut Teknologi Bandung, dan sejumlah perguruan tinggi di luar negeri.
“Misalnya di Australia, Inggris, dan Amerika. Bahkan ada juga satu murid kami yang diterima di Harvard University,” tuturnya bangga.
Menurut dia, homeschooling membuat anak lebih dekat dengan keluarga. Menurut dia, tak sedikit anak di sekolah formal yang stres, mau bunuh diri, dan ribut terus dengan orangtuanya. “Nah, setelah homeschooling, mereka jadi lebih dekat dengan keluarganya, akrab begitu. Kelebihan lain bisa mengembangkan bakatnya,” kata dia.
Solusi alternatif bagi anak-anak yang kurang cocok dengan sistem pendidikan formal, salah satu bentuknya adalah homeschooling
***
Kritik Sistem Pendidikan
Maraknya homeschooling dan pendidikan alternatif merupakan bagian dari kritik masyarakat terkait pendidikan formal. Sebab, pendidikan formal masih terlalu kaku, guru otoriter, main paksa, mendidik dengan cara-cara kekerasan. ”Ini justru menjadikan robot-robot belajar, kehilangan kreativitas jadinya,” ujar Kak Seto.
Pemerhati anak ini menambahkan, ia sengaja memilih homeschooling karena tak semua anak cocok dengan sekolah formal. Menurut dia, jika mereka dipaksa belajar di sekolah formal, berarti melanggar hak anak. Sama halnya anak yang lebih senang sekolah formal dipaksa sekolah homeschooling itu juga pelanggaran hak anak.
“Jadi, ini membuka lebih luas mengenai sistem belajar anak. Karena, itu dijamin di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional bahwa belajar untuk anak-anak itu bisa formal dan informal,” dia menerangkan.
Menurut dia, anak-anak tak bisa dipaksa belajar di sekolah formal. “Mereka banyak yang stres. Sekarang, kalau sekolah formal ada bullying, ada pengaruh narkoba, tawuran, dan segala macam, jadi tidak semua anak cocok,” ujar Kak Seto.
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, mengatakan, masyarakat memilih homeschooling karena kalau sekolah di rumah tak ada bullying. Selain itu, homeschooling merupakan ekspresi ketidakpuasan orangtua terhadap sistem pendidikan di sekolah.
Ketidakpuasan itu bisa dari model pembelajarannya, kurikulumnya, atau gurunya. “Intinya orangtua tidak puas,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 Maret 2016.
Sementara itu, homeschooling bisa dilakukan sesuai kebutuhan anak. Jadwal belajar juga disusun sendiri sesuai dengan minat anak.
“Kalau di sekolah formal kan tidak bisa, Kamu senang atau tidak senang dengan pelajaran, ya tetap harus belajar,” kata Darmaningtyas.
Senada, Bambang Wisudo juga menilai, maraknya homeschooling karena masyarakat tidak puas dengan sekolah konvensional yang mengikuti aturan pemerintah. Misalnya, anak dibebani dengan beban belajar yang sangat banyak, kemudian dipaksa untuk harus bisa semua bidang studi.
“Kalau mereka tak puas dengan sekolah mainstream, mereka bisa ke sekolah alternatif,” ujar aktivis Pendidikan Tanpa Batas ini.
Direktur Direktorat Pendidikan Keaksaraan dan Pendidikan Kesetaraan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Erman Syamsudin membantah, menjamurnya homeschooling dan pendidikan alternatif karena sistem pendidikan di sekolah formal buruk.
“Tidak, bukan itu. Pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk memberikan peluang, mendidik dengan berbagai cara. Pemerintah memberikan peluang. Tidak kritik terhadap pendidikan konvensional,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 2 Maret 2016.
Menurut dia, homeschooling merupakan sistem pendidikan yang bisa dipilih oleh masyarakat. Undang undang membolehkan hal itu. Selain itu, diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 99 Tahun 2014.
“Kalau dengan berbagai halangan, hambatan, tidak masuk sekolah normal atau formal, maka disediakan dia sekolah informal,” ujarnya menambahkan.
Ia mengatakan, pemerintah hanya mengawasi keberadaan homeschooling dan pendidikan alternatif yang dilakukan masyarakat. “Pengawasan secara ketat dengan mengedepankan kepentingan anak,” katanya.
Hari beranjak sore. Rara segera mematikan komputer jinjingnya. Ia juga merapikan buku gambar dan sejumlah pensil serta peralatan menggambarnya yang berserakan. Ia bergegas dan berkemas.
Sore itu, ia ada jadwal les piano. Buru-buru meraih tasnya dan menghidupkan motornya. Setelah berpamitan dengan orangtuanya, ia pun berangkat karena tak ingin terlambat. (art)