- ANTARA//Adeng Bustomi
VIVA.co.id – Latar permukaan air Jakarta itu terlihat mentereng. Deretan gedung menjulang. Saat malam, pemandangan teluk makin menawan bermandikan cahaya lampu.
Namun, lanskap itu berubah total di siang hari. Tatkala diamati dari jarak hitungan meter dengan garis Teluk Jakarta. Seketika yang tampak ialah lautan sampah.
Jenisnya bermacam-macam. Mulai dari sampah kayu, makanan, hingga kantong plastik, dan kemasan minuman. Tumpukan sampah dan permukaan air yang menghitam menguatkan atmosfer kumuh ibu kota. Gamblang kesenjangannya dengan gedung-gedung pencakar langit di sisi lain.
Tumpukan sampah dan gundukan limbah di dataran sekitar Teluk Jakarta secara kasat mata menjadi bukti bahwa buangan rumah tangga menjadi persoalan serius.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Adji, menyatakan, total sampah Jakarta mencapai 6.500-6.700 ton per hari. Sampah plastik bisa 400 ton setiap harinya. Seandainya sampah dari jenis yang mudah terurai, barangkali problem ini tidak terlalu pelik.
Total sampah Jakarta mencapai 6.500-6.700 ton per hari.
Namun, sampah plastik kenyataannya menggunung. Dengan estimasi baru bisa terhancurkan sekitar 50 tahun, pemerintah wajar harus waspada dengan persoalan jangka panjang ini. Masyarakat yang turut andil lalu dirasa perlu dilibatkan menanganinya.
Gambaran sampah Jakarta yang membeludak hanya salah satu sisi wajah Indonesia soal pencemaran. Sebagai salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia, Indonesia dituding sebagai penyumpang sampah plastik kedua terbesar setelah Tiongkok. Itu menurut sebuah penelitian di Georgia University pada 2014.
Tercatat ada 187 juta ton sampah Indonesia yang mencemari lautan. Sedikitnya 14 persen adalah sampah plastik. Temuan ini didukung pula oleh rilis World Economic Forum yang bekerja sama dengan Ellen Mc Arthur Foundation dan Mc Kinsey yang menafsir bahwa pada 2050, jika sampah tak segera ditanggulangi, jumlahnya akan lebih banyak ketimbang ikan di perairan.
Kondisi itu diamini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang ingin segera menekan output sampah plastik melalui kebijakan kantong plastik berbayar.
Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK lalu megeluarkan surat edaran perihal harga dan penerapan kantong plastik berbayar yang dikeluarkan pada 17 Februari 2016. Dengan aturan ini, pemerintah daerah di 22 kabupaten dan kota diminta menerapkan sekaligus mengawasi aturan kantong plastik yang dipungut biaya.
Namun, regulasi tersebut sementara waktu hanya berlaku di toko-toko ritel yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
Dalam surat itu ada enam poin yang diterakan. Beberapa hal krusial adalah bahwa kebijakan kantong plastik berbayar disepakati atas pertemuan kementerian dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Aprindo yang berlangsung ternyata hanya sehari sebelum surat edaran dikeluarkan, yakni 16 Februari 2016.
Lalu, uji coba kantong plastik akan dilakukan sekitar enam bulan dengan mematok harga setiap helai kantong kresek minimal Rp200. Yang juga menarik adalah diterakan bahwa pengusaha ritel menyetujui bahwa plastik yang disediakan adalah yang mudah dihancurkan atau dengan istilah lingkungannya, degradable.
Pula soal pengenaan biaya kantong plastik oleh para peritel diminta disalurkan ke masyarakat melalui dana CSR.
Ditemui VIVA.co.id, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK, Tuti Hendrawati Mintarsih mengakui kebijakan ini memang sedikit terlambat. Karena, kuantitas sampah plastik sudah cukup besar.
Indonesia termasuk yang terbelakang dalam hal penanggulangan sampah. Paling tidak kata dia, pemerintah sudah memulainya.
”Kita di Indonesia harus berbuat sesuatu. Dan plastik berbayar itu sudah lumrah dilaksanakan di negara-negara lain. Ada 31 negara yang sudah melakukan,” kata Tuti.
Sekilas, kebijakan itu memang tepat adanya. Dengan tujuan mulia dan demi penanggulangan sampah plastik untuk keberlangsungan lingkungan hidup.
Kendati demikian, tak lalu aturan mudah diterapkan seideal penjabaran dalam surat edaran. Masyarakat bereaksi pro dan kontra terhadap aturan kantong plastik berbayar.
Beragam alasannya, mulai dari kurang sosialisasi hingga pemerintah yang dianggap lebih berpihak kepada pebisnis, karena kepingan receh dari ratusan juta rakyat akhirnya bakal masuk ke pundi-pundi peritel.
Ismi Rahmawati (41) karyawan swasta pelanggan Alfamart di kawasan Pulogadung keberatan harus membayar kantong plastik saat berbelanja. Kendati demikian, mau tidak mau dia tetap membeli kantong kresek tersebut.
Selain harganya minimalis, Ismi belum membiasakan diri membawa kantong belanja sendiri. Oleh karenanya, warga Jatinegara Kaum ini meragukan bahwa kebijakan itu bakal menghalangi konsumen menggunakan plastik saat berbelanja.
“Sosialisasinya kurang karena banyak yang belum tahu juga kalau plastik ini bayar. Plastik berbayar ini cuma akal-akalan saja biar pabrik plastik tambah maju,” kata Ismi Rahmawati di Jakarta.
Ajat Sutarja yang merupakan warga Ujung Berung, Bandung juga meragukan kebijakan kantong plastik berbayar akan efektif. Sebab, kebiasaan masyarakat kata dia tidak akan berubah hanya karena uang Rp200.
Dia bahkan mengusulkan yang sebenarnya harus dibereskan pemerintah adalah perihal pemilahan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), sehingga limbah plastik tidak berserak ke mana-mana.
“Percuma kebijakan itu diberlakukan karena kebiasaan warga Indonesia masih belum bisa diubah,” kata Ajat kepada VIVA.co.id di Bandung.
Asumsi Ismi dan Ajat soal tak efektifnya kebijakan itu makin ditegaskan oleh seorang pramuniaga ritel. Rita (20) salah seorang karyawan Indomaret di Jalan Cipinang Bali, Jakarta mengatakan, sejak diberlakukannya kantong plastik berbayar, konsumen bukan lantas menolak menggunakan kantong kresek. Mereka kebanyakan memilih mengeluarkan uang untuk sekantong plastik belanja.
“Sejauh ini tidak (berpengaruh) karena mungkin hanya Rp200. Jadi tidak mempermasalahkannya,” kata Rita.
***
Daerah Merespons
Merujuk pada surat edaran, aturan ini sudah mulai diberlakukan mulai 21 Februari 2016. Meskipun respons pemerintah daerah kemudian tak senada. Wali Kota Jambi, Sy Fasha misalnya. Ia menilai kebijakan ini setengah-setengah, namun cenderung menguntungkan pebisnis.
Menurut Fasha, jika pemerintah ingin total menekan jumlah sampah plastik, peritel tak perlu menyediakan kantong kresek dengan harga murah. Hal itu tidak akan mengubah perilaku masyarakat.
Sebaliknya, warga akan tetap menggunakan plastik karena harga yang tak “terasa”. Alhasil keuntungan lagi-lagi di pihak pengusaha.
"Kalau mau menekan jumlah penggunaan kantong plastik di tengah masyarakat seharusnya tidak disediakan kantong plastik di supermarket. Jadi, masyarakat bisa membawa kantong sendiri dari rumah," kata Fasha kepada awak media di Jambi, Senin 22 Februari 2016.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Bantul juga tak sepakat dengan aturan itu. Tiga kabupaten dan satu kota di Yogyakarta sudah melakukannya, namun Bantul memilih tak buru-buru memberlakukan. Alasannya berbeda dengan Jambi.
Menurut pemerintah setempat, warganya bakal terbebani secara ekonomi meskipun harga satu kantong plastik itu hanya Rp200.
"Hingga saat ini instruksi tersebut masih belum dibahas. Pemkab berhati-hati dalam melaksanakan instruksi tersebut," kata Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Pemkab Bantul, Sulistiyanto di Bantul, Yogyakarta, Rabu 24 Februari 2016.
Kontras dengan dua daerah itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bandung malah ingin agar kebijakan tak lagi pada level kantong plastik berbayar.
Namun, pedagang hanya menyediakan kemasan kantong yang berbahan ramah lingkungan. Bahkan, sudah terbit aturan beberapa tahun lalu bahwa jika tetap menggunakan plastik, peritel akan diberikan sanksi.
DKI Jakarta sudah memiliki Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Dengan demikian, menurut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, surat edaran tak perlu diberlakukan lagi di ibu kota.
Aturan itu memuat sanksi bagi toko ritel modern denda Rp5-25 juta jika tidak menyediakan kantong berbahan ramah lingkungan. Ahok mengatakan, dalam tiga bulan ini, sewaktu-waktu Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) akan melakukan razia ke toko-toko dan sanksi itu tegas jika tidak dijalankan.
Ahok menilai, jika peritel menyediakan kantong ramah lingkungan, tak masalah jika dihargai di atas Rp1.000.
Dalam kesempatan berbeda, Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil mengatakan, tak terlalu ambil pusing soal aturan dari Kementerian LHK itu. Justru Bandung sedang dalam upaya beberapa langkah lebih maju dari cara itu.
“Saat ini, yang Pemkot Bandung kampanyekan adalah bukan lagi kantong plastik berbayar, tapi bawalah kantong belanja sendiri,” kata Ridwan Kamil kepada VIVA.co.id.
Penanggulangan sampah sudah diatur pemerintah kota melalui Perda Nomor 17 Tahun 2012 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Sekalipun tak terlalu mementingkan aturan kantong plastik berbayar, namun uji coba kebijakan itu tetap diluncurkan di salah satu pasar swalayan di Kawasan Dago, Bandung.
“Masyarakat yang keren itu tidak membawa kantong plastik, mereka membawa kantong belanja sendiri. Kalau sudah kepepet bisa beli dengan nilai yang nanti kami tetapkan,” kata Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil.
Tatkala pelaksana dan objek kebijakan menimbang surat edaran kantong plastik berbayar dengan beragam, berbagai pemangku kepentingan tampaknya pula tak sepenuhnya setuju dengan cara ini. Penanggulangan sampah plastik dinilai harus disasar mulai dari hulu hingga hilir. Jika tidak, hasilnya tak bakal optimal.
***
Kebijakan Setengah Jalan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang dalam surat edaran diklaim KLHK menyepakati kebijakan ini, justru menilai bahwa yang perlu disoroti bukan soal siapa yang diuntungkan, masyarakat atau pengusaha. Pemerintah harus sadar bahwa Rp200 bukan harga yang cukup untuk mengubah perilaku masyarakat.
Selain itu, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menilai, yang perlu diubah bukan hanya perilaku masyarakat. Namun, kultur perdagangan yang harus menyediakan kantong belanja yang ramah lingkungan. Sementara itu, saat ini yang masih diedarkan, tetap kantong kresek yang kerap ditemui di tumpukan sampah.
”Justru angka itu terlalu kecil jika tujuannya agar masyarakat tidak membuang plastik. Dengan Rp200 itu tetap masih boros plastik,” kata Tulus.
Walhi, LSM yang berorientasi pada lingkungan hidup menilai kebijakan pemerintah ini masih setengah jalan dari yang sesungguhnya. Persoalannya, otoritas hanya membidik hilir dan tak menyelesaikan perihal produksi kantong plastik.
“Walhi juga menyoroti soal hulu. Hulunya itu soal produksi, karena kalau produksi tidak dikontrol, kebijakan ini tidak efektif juga, karena tetap tersedia di pasaran. Jadi, pemerintah jangan hanya main di hilir, tapi di hulunya juga,” kata Kepala Departemen Kajian Walhi, Khalisah Khalid.
Berbahaya bagi lingkungan, mencemari tanah, dan air menjadi alasan mendesak bahwa sampah plastik memang menjadi masalah prioritas pemerintah. Sampah di laut, menurut Walhi, jelas membahayakan ekosistem biota laut. LSM itu menilai pemerintah secara terintegrasi perlu memiliki peta jalan perubahan kemasan dan pembatasan produksi kantong plastik.
Indonesia Solid Waste Association (InSWA) menyarankan opsi lain, agar kebijakan yang sedikit terlambat ini tidak sia-sia. Ketua Umum InSWA, Sri Bebassar mengatakan bahwa konsumen perlu diberikan penghargaan jika tak menggunakan kantong plastik.
Misalnya, di toko-toko ritel ditawarkan diskon atau reward bagi pembeli yang belanja dengan harga tertentu. Syaratnya, mereka berbelanja tanpa kantong plastik. Hal tersebut diyakini InSWA bakal menajamkan kebijakan kantong plastik yang sedang diujicoba sejak 21 Februari hingga 5 Juni 2016.
Sri mengakui bahwa kondisi bebas sampah bukan jalan singkat, tak juga mudah. Singapura, negara yang luas geografisnya jauh lebih kecil dibanding Indonesia butuh 40 tahun untuk menjadi sebuah negara yang hampir zero waste.
***
Tak Terukur
Suara pembuat legislasi juga terdengar menyoal kebijakan baru ini. Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat, Herman Khaeron, cenderung pesimistis jika kantong plastik yang dihargai serta-merta mengurangi penggunaan plastik. Justru, menurut dia, dengan dilabel harga akan mendorong pengusaha menyediakan kantong plastik bagi para konsumen.
Dia juga mengkritisi surat edaran yang mendorong dana kantong plastik disalurkan melalui CSR. Hal itu, kata politikus Demokrat ini, tak bisa diukur dengan pasti. Aturan ini dianggap belum memadai.
“Justru para pemilik gerai dan kulakan yang sebelumnya gratis memberikan plastik, sekarang dibayar oleh pembeli. Semakin banyak mengeluarkan plastik, semakin banyak pemasukan dan pembeli tidak akan terasa bebannya,” kata Herman.
Legislator itu menimbang surat edaran KLHK dengan sejumlah celah. Masalahnya, evaluasi yang dilakukan belum dipastikan bentuknya. Selain itu, perusahaan ritel tidak diwajibkan mengenai bentuk dan kepastian waktu untuk CSR hasil kantong plastik.
Kebijakan ini ditengarai pula akan minus pertanggungjawaban. Herman bahkan menyarankan pemerintah tak mengeluarkan kebijakan yang masih banyak kekurangan itu.
“Ini model pungutan yang harus diaudit dan dipertanggungjawabkan penggunaannya. Kalau tidak, segera cabut kebijakan ini,” tuturnya.
Soal diuntungkan tidaknya pengusaha ritel memang masih sumir, lantaran aturan tersebut tak pula menerakan kewajiban hingga sanksi bagi gerai-gerai ritel.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Srie Agustina menilai aturan itu cenderung dituruti dengan nuansa sukarela. Para peritel melakukannya atas dorongan pelestarian lingkungan. Dengan sifat sukarela, selayaknya, menurut Srie, tidak diberlakukan sanksi.
“Ini sifatnya voluntary, lebih kepada komitmen para peritel secara sukarela dan kemauan mendukung kebijakan pemerintah,” kata Srie.
Sementara itu, Aprindo melalui Wakil Ketua Umum, Tutum Rahanta, menyatakan bahwa pihaknya bakal menjalankan kebijakan ini dengan efisien. Walaupun diakui ada kesulitan dengan perbedaaan harga kantong plastik di berbagai daerah.
Aprindo mengharapkan bahwa peritel yang menjalankan program ini bisa memperoleh sejumlah insentif dari pemerintah, antara lain gratis biaya reklame hingga pemotongan pajak bumi dan bangunan (PBB).
***
Masalah Pemilahan
Hitungan hari setelah aturan kantong plastik diedarkan di 22 daerah, masih jamak adanya pelanggan yang tidak terima jika harus mengeluarkan fulus untuk beberapa lembar kantong kresek. Pula kebijakan ini baru bisa dilihat hasilnya paling cepat setelah evaluasi tiga bulan mendatang.
Selain kebijakan yang setengah jalan karena tak menyasar hulu, persoalan sampah juga harus disikapi dalam pemilahannya.
KLHK juga mengakui juga buruknya pengelolaan pemilahan, mulai dari masyarakat hingga tempat pembuangan akhir berkontribusi terhadap menyebarnya sampah plastik. Bahkan, sekalipun ada warga yang sudah memilah sampahnya dalam kantong berbeda, pada akhirnya akan berujung pada pembuangan yang sama.
Sementara itu, para pemulung di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) juga tak berniat memungut kantong kresek, karena harus dijual kembali dengan harga sepele.
Gundukan-gundukan sampah di TPS Bantargebang menjadi pemandangan sehari-hari.
Gundukan-gundukan sampah di TPS Bantargebang menjadi pemandangan sehari-hari. Menjelang sore aroma busuk sampah sebagian besar "kiriman" warga Jakarta menyengat.
Gito (56), lelaki yang mendirikan warung di antara lautan sampah mengatakan, meskipun dipenuhi lalat, pria itu tak sungkan menawarkan dagangannya ke orang-orang yang juga singgah sesekali.
Kepada VIVA.co.id, Gito mengatakan sudah mendengar kebijakan baru soal kantong plastik berbayar. Kadang ikut memulung di Bantargebang, Gito mengatakan, sampah plastik masih bakal terus ada. Sebab, kantong kresek itu bisa dijual kembali ke produsennya. Sayangnya hanya Rp700 per kilogram sehingga tak terlalu diminati para pemulung.
“Tidak semua juga sih pemulung mau kumpulin sampah plastik kayak itu, karena murah. Makanya, masih banyak sampah plastik yang dibiarkan soalnya pemulung juga milih-milih yang lebih-bersih,” kata Gito di Bantargebang, Bekasi.
Nilai memastikan, jika akan dipungut, pemulung bervariasi harganya. Sampah jenis plastik PE yang tebal ditimbang Rp8.000 perkilogram, jenis kemasan minuman seperti air mineral Rp3.500-4.000 per kilogram. Sementara itu, kresek plastik adalah yang paling murah, hanya Rp700 per kilogram..
Bagio, rekan Gito sesama pemulung bahkan mengatakan tak mau memulung kantong kresek. Menurutnya, untuk mengumpulkan hingga 1 kilogram kresek membutuhkan tenaga, namun tak dihargai dengan pantas. Gito dan Bagio serta pemulung lainnya, ogah memungut plastik murah.
Lantas tak mengherankan jika sampah-sampah plastik kresek itu kini masih teronggok di tempat pembuangannya. Pemandangan tampak tak jauh berbeda dengan di Teluk Jakarta, hanya kantong plastik kresek di sini tak sedang mengambang di perairan. (art)