- Zulkarnaini Muchtar
VIVA.co.id - Bencana tsunami 11 tahun silam masih menyisakan trauma pada sebagian warga Aceh. Ratusan ribu nyawa melayang, dan jutaan rumah rata dengan tanah. Meski pilu, warga ‘Tanah Rencong’ tak ingin terpuruk dalam duka. Mereka bangkit melawan trauma.
Sebuah museum sebagai monumen simbolis pun dibangun. Tak hanya untuk mengenang dahsyatnya bencana saat itu, tetapi juga sekaligus pusat pendidikan dan tempat perlindungan darurat andai tsunami terjadi lagi.
Terletak di pusat Kota Banda Aceh, museum empat lantai ini menjulang megah di atas lahan seluas 2.500 meter persegi. Bangunan tersebut dirancang arsitek yang kini menjabat sebagai Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil.
Mereka datang untuk mengagumi kemegahan seni arsitekturnya. FOTO: VIVA.co.id/Zulkarnaini Muchtar
Museum itu kini menjadi salah satu alternatif mengisi waktu libur, tidak hanya bagi warga local, tapi juga wisatawan dari daerah lain dan asing. Mereka datang untuk mengagumi kemegahan seni arsitekturnya.
Pengunjung juga menjadikan kunjungan ke museum ini sebagai upaya merenung kembali musibah maha dahsyat yang pernah terjadi di abad modern.
Dengan luas 2.500 meter persegi, dinding lengkungnya ditutupi relief geometris. Di dalamnya, pengunjung masuk melalui lorong sempit dan gelap di antara dua dinding air yang tinggi.
Desain ini dibuat untuk menciptakan kembali suasana dan kepanikan yang dirasakan saat tsunami.
Dinding museum juga dihiasi gambar orang-orang menari Saman, sebuah makna simbolis terhadap kekuatan, disiplin, dan kepercayaan religius suku Aceh. Jika dilihat dari atas, atap museum ini membentuk gelombang laut.
Sementara lantai dasarnya dirancang mirip rumah panggung tradisional Aceh yang selamat dari terjangan tsunami.
Sebelum memasuki pintu museum, pengunjung bisa melihat langsung bangkai helikopter yang rusak parah dipajang di halaman depan sebelah kiri jalan masuk menuju lobi pendaftaran.
“Helikopter ini milik Polda Aceh yang diparkir di halaman Polda. Saat tsunami helikopter ini dibawa arus gelombang tsunami,” ujar Alfian, salah seorang petugas museum kepada VIVA.co.id, Rabu 16 Desember 2015 di Banda Aceh.
Saat melangkah ke dalam bangunan ini, pengunjung akan merasakan sensasi melewati lorong gelap dan sempit. Nama-nama korban dicantumkan di dinding yang dialiri air yang sesekali percikannya mengenai para pengunjung saat sedang melintas.
Di ujung lorong itu ada ruang Memorial Room, di sini ada 26 monitor sesuai dengan tanggal kejadian tsunami pada Desember 2004, yang menampilkan gambar-gambar kejadian pada saat tragedi itu berlangsung.
Setelah itu, ada jalur perjalanan yang membawa pengunjung ke arah Sumur Doa yang gelap. Di sini pengunjung juga bisa melihat nama-nama korban ditempel menggunakan huruf timbul. Di bagian atap sumur ini tertulis lafaz Allah dengan menggunakan bahasa Arab.
Ada dokumentasi disertai pengetahuan dasar mengenai bagaimana gelombang tsunami bisa terjadi. FOTO: VIVA.co.id/Zulkarnaini Muchtar
Setelah Sumur Doa, pengunjung akan melintasi Jembatan Perdamaian. Di atas jembatan itu terdapat 53 bendera negara yang terlibat membantu Aceh pasca Tsunami.
Di bawah jembatan itu terdapat kolam yang dihiasi dengan ikan hias. Jembatan itu menanjak, membawa pengunjung ke ruang audio visual.
Ruang ini seperti bioskop mini, di dalamnya pengunjung diminta duduk dan menyaksikan dokumentasi pada saat gelombang air yang membawa lumpur menyapu Banda Aceh.
Ada banyak ruang-ruang lain yang berisi dokumentasi disertai pengetahuan dasar mengenai bagaimana gelombang tsunami bisa terjadi, dan juga ruang khusus yang menyajikan informasi terkait upaya mempersiapkan diri dan bereaksi ketika ada gelombang besar datang.
***
Situs PLTD Apung dan Boat
Selain museum tsunami, bukti lain bencana dahsyat akibat gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter itu adalah PLTD Apung dan Boat di Atas Rumah. Situs ini salah satu bukti keajaiban tsunami di ibu kota Provinsi Aceh. Kini kedua situs tsunami ini menjadi objek wisata yang paling mengundang daya tarik wisatawan di Kota Banda Aceh.
Wisatawan yang berkunjung ke sini dominannya dari Malaysia. FOTO: VIVA.co.id/Zulkarnaini Muchtar
Objek wisata PLTD Apung yang terletak di Gampong Punge Blang Cut, dikunjungi 45 ribu hingga 50 ribu turis lebih setiap bulannya. Yang berkunjung ke situs ini bukan hanya wisatawan nusantara tapi juga mancanegara.
“Wisatawan yang berkunjung ke sini dominannya dari Malaysia, hampir setiap hari ada wisatawan asing yang datang ke lokasi ini,” kata Saiful Bahri salah seorang pemandu di PLTD Apung, saat dijumpai VIVA.co.id, Sabtu 19 Desember 2015 di Banda Aceh.
PLTD Apung merupakan kapal pembangkit listrik milik PLN yang dulunya bersandar di Ulee Lheu. Saat tsunami menerjang Aceh 24 Desember 2004 lalu, kapal berbobot 2.600 ton terseret gelombang sejauh 5 kilometer, kapal itu kemudian terdampar ke tengah pemukiman penduduk di Punge Blang Cut.
Biasanya, kata Saiful Bahri, wisatawan yang berkunjung ke Museum Tsunami yang letaknya di Jalan Iskandar Muda juga menyempatkan diri ke PLTD Apung. Tidak heran jika jumlah wisatawan yang berkunjung ke PLTD Apung sebanding dengan Museum Tsunami.
Dari atas kapal ini pengunjung bisa menikmati keindahan laut Ule Lhee. FOTO: VIVA.co.id/Zulkarnaini Muchtar
PLTD Apung ini sangat mudah dijangkau oleh para wisatawan, lokasinya hanya satu kilometer dari gedung Museum Tsunami. Dari atas kapal ini pengunjung bisa menikmati keindahan laut Ule Lhee dan rumah warga yang tertata rapi.
Objek tsunami lainnya yang sering dikunjungi wisatawan adalah Boat di Atas Rumah, di Gampong Lampulo, Banda Aceh. Setiap bulan diperkirakan 15 sampai 20 ribu orang dari dalam maupun luar negeri mendatangi tempat ini.
Situs ini juga punya cerita menarik, saat gelombang tsunami datang, boat ini menyelamatkan 59 warga Lampulo. Saat tsunami surut, boat nelayan itu parkir di atas rumah berlantai dua milik seorang warga setempat.
Kini objek wisata yang berlokasi dipermukiman warga itu dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh.