- VIVA.co.id\Daru Waskita
VIVA.co.id - Siang itu, jarum jam menunjuk pukul 13.30 WIB. Balai Desa Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, tampak sepi. Tak ada aktivitas mencolok. Beberapa mobil dan sepeda motor milik perangkat desa terparkir di halaman.
Gedung serbaguna yang biasa digunakan untuk pertemuan warga juga sunyi. Pintu tertutup rapat. Diapit musala di sisi barat dan ruangan kantor perangkat desa di sisi timur.
Namun, ada pemandangan tak biasa. Di bagian depan gedung, di sisi kanan dan kiri serambi terdapat dua jalan masuk khusus. Dengan pembatas besi, jalur khusus ini dibuat landai. Di selasar lain, juga tampak akses serupa. Landai dengan pembatas besi.
Ya, balai desa yang terlokasi di Jalan Yogya-Wonosari KM 8,5 itu dirancang ramah untuk kaum disabilitas. Penyandang difabel diberikan kemudahan akses atau jalur khusus setiap kali ingin mendapatkan pelayanan publik.
Fasilitas yang diberikan kepada difabel itu diinisiasi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab). Sendangtirto dipilih sebagai salah satu desa percontohan inklusi.
Menurut Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Desa Sendangtirto, Amir Jumawan, awalnya perangkat desa tidak berpikir desanya akan menjadi percontohan penanganan difabel. Meskipun, ada anggaran yang diberikan kepada masyarakat penyandang masalah sosial dan difabel.
"Pada 2014, Sigab berkomunikasi dengan pemerintah desa. Mereka menanyakan apakah sudah ada data difabel, program untuk para difabel, hingga anggaran yang bisa digunakan," kata Amir.
Menurut dia, karena komunikasi cukup intens dan kantor Sigab juga hanya 300 meter dari balai desa, akhirnya kegiatan pertama berupa workshop untuk difabel pun digelar pada 2014.
Dari workshop tersebut, Amir menjelaskan, pemerintah desa dibantu Sigab menyiapkan infrastruktur yang ramah difabel. Mulai dari membuat akses atau jalan masuk balai desa, hingga kamar mandi yang ramah dengan difabel.
Keberhasilan pemerintah desa menggelar workshop tersebut yang kemudian mendorong Sigab untuk menjadikan Desa Sendangtirto sebagai desa percontohan inklusi. Pemerintah desa juga sangat terbuka dan punya keinginan untuk memberdayakan para difabel di desanya yang kini mencapai 40-60 orang.
"Bahkan, saat ini sudah ada kelompok difabel dan sedang diusahakan berbadan hukum," ujarnya.
Â
Â
Amir menjelaskan, kegiatan bagi kaum difabel pun kian berkembang. Aktivitas rutin terus dilakukan. Termasuk pada Minggu 20 Desember 2015 yang digelar jalan sehat untuk para difabel.
Tina Hastani, Camat Berbah, Kabupaten Sleman, mengatakan, Sendangtirto diakuinya merupakan desa rintisan inklusi, selain Desa Sendangadi, Mlati, Sleman. Penetapan ini mengacu pada nota kesepahaman (MoU) yang dilakukan Pemda Sleman dengan Sigab.
"Sudah ada kesamaan pengertian antara Pemda dan Sigab untuk membuat desa rintisan inklusi, sehingga berbagai kebijakan nantinya juga harus memperhatikan difabel," katanya.
Di Desa Sendangtirto misalnya, berbagai pembangunan infrastruktur juga harus ramah difabel. Dari kemudahan akses ke gedung dan ruangan perangkat desa untuk mengurus keperluan administrasi para difabel, hingga dalam setiap kegiatan pertemuan.
"Nantinya, bangunan di kecamatan, puskesmas, dan kantor-kantor pemerintah lainya juga harus ramah bagi difabel," katanya.
Tina juga menjelaskan, untuk mengetahui anak-anak berkebutuhan khusus, pengamatan sudah harus dilakukan pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD). Nantinya, para guru dapat bekerja sama dengan Sigab untuk menangani anak berkebutuhan khusus.
"Secara dini kami mengantisipasi jika ada anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka dapat tertangani dan memperoleh pendidikan yang layak," ujarnya.
Bahkan, Tina melanjutkan, rencana pembangunan embung di Desa Sendangtirto juga harus ramah terhadap difabel. Jauh-jauh hari, pemerintah desa sudah berkomunikasi dengan pengembang untuk menyediakan fasilitas bagi difabel.
"Ada konsekuensi khusus ketika daerah tersebut dijadikan pilot project desa inklusi dan hal ini sangat baik, karena menempatkan difabel sejajar dengan orang lain," tuturnya.
***
Delapan desa inklusi
Perlindungan dan hak yang sama bagi para difabel terus dilakukan. Sigab Yogyakarta hingga Desember 2015 setidaknya sudah menginisiasi delapan desa sebagai percontohan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dua desa di Kabupaten Sleman, di antaranya Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, dan Desa Sendangtirto, Kecamatan Berbah.
Sementara itu, di Kabupaten Kulonprogo terdapat enam desa di Kecamatan Lendah, yakni Desa Sidorejo, Ngentakrejo, Gulurejo, Jatirejo, Wahyurejo, dan Bumirejo.
"Implementasi Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Desa Inklusi, serta khusus di DIY juga memiliki Perda No 4 Tahun 2012 tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas dilakukan dari pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah di tingkat desa," kata Direktur Sigab, Yogyakarta, Joni Yulianto, Kamis 17 Desember 2015.
Pada tahap awal, inisiasi desa inklusi, menurut Joni, banyak resistensi dari para perangkat desa. Namun, setelah ada penjelasan dan sosialisasi, resistensi itu berkurang. Bahkan, para kepala desa dan perangkatnya melibatkan Sigab dan para difabel di desa untuk ikut berkontribusi dalam pembangunan desanya.
"Kepala desa dan perangkat mulai terbuka, bahkan mengakui adanya kelompok difabel di desanya bisa diajak bekerja sama untuk pembangunan desanya," ujarnya.
Keterbukaan pemahaman perangkat desa akan masyarakat difabel ini yang menguatkan Sigab untuk mengembangkan lebih banyak lagi desa inklusi di DIY. Karena, banyak warga difabel yang sama sekali belum disentuh oleh pemerintah desa.
"Ketika pemahaman kepada difabel oleh perangkat desa semakin membaik, maka kebutuhan pemenuhan kebutuhan fisik kepada difabel akan mengalir begitu saja," tuturnya.
Apalagi, dia melanjutkan, saat ini desa sudah mendapatkan kucuran dana desa, sehingga dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum yang berpihak kepada kaum difabel di desanya.
Joni menjelaskan, dukungan Pemkab Sleman terkait penandatangan MoU dengan Sigab untuk pengembangan desa inklusi, serta komitmen dari Bupati Kulonprogo, Hasta Wardoyo terhadap pengembangan desa inkluasi, menjadi angin segar bagi Sigab untuk menginisiasi desa inklusi lainnya di DIY.
Inisiasi desa inklusi, menurut dia dimulai dari pemerintahan yang dekat dengan rakyat, yaitu di tingkat desa. Bukan tuntutan masalah fasilitas yang harus disediakan desa bagi difabel. Namun, memberikan pemahaman bagi para perangkat desa, pentingnya difabel di desa tersebut karena bisa memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan desa.
***
Belum semua terbangun
Namun, infrastruktur ramah difabel di sebagian desa inklusi belum terbangun. Wahyu Adi Nugroho, petugas penilai kebutuhan difabel dari Desa Gulurejo dan Sidorejo, mengatakan, infrastruktur fisik di dua dari enam desa inklusi di Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulonprogo, belum terealisasi. Seperti akses di setiap balai desa maupun toilet ramah difabel.
Karena, saat ini baru dalam proses sosialisasi dan juga pemberian perspektif mengenai difabel bagi para perangkat desa. Namun, perkembangan cukup signifikan, dengan terbentuknya kelompok difabel di setiap desa.
Mereka pun bisa memberikan kontribusi pemikiran guna pembangunan di desanya masing-masing. "Saat ini sudah ada kantor sekretariat di 6 desa yang dijadikan pilot project desa inklusi," jelasnya.
Nugroho yang juga kepala Dusun Sinden, Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah ini menjelaskan. Di enam desa yang dijadikan percontohan terdapat sekitar 600 difabel yang perlu mendapatkan fasilitas yang dapat disiapkan oleh pemerintah desa seiring adanya dana desa yang cukup besar.
"Ada beberapa desa yang menganggarkan dana desa untuk pembangunan infrastruktur yang ramah terhadap difabel, meski program tersebut belum terlaksana tahun ini," tuturnya.
Sarjiyo, salah satu penyandang difabel sekaligus ketua kelompok difabel Desa Sidorejo mengakui, hingga saat ini untuk fasilitas infrastruktur bagi difabel di kantor desa dan puskemas belum ada. Namun, para difabel sudah mulai dilibatkan dalam kegiatan desa seperti adanya musyawarah perencanaan dan pembangunan desa.
Â
"Para difabel sudah diajak oleh pemerintah desa untuk turut mengajukan program yang diinginkan seperti pembuatan ramp, toilet untuk difabel, dan lain-lainnya," kataya.
Adanya rintisan desa inklusi, kata Sarjiyo, menumbuhkan kesadaran dan cara pandang masyarakat yang berbeda terhadap para difabel. "Masyarakat sudah mendudukkan difabel sama dengan masyarakat yang tubuhnya sempurna. Kami tidak lagi menjadi golongan masyarakat 'kedua'," katanya.
Sarjiyo menjelaskan, jumlah difabel di Desa Sidorejo saat ini mencapai 40 orang dan tergabung dalam Forum Difabel Sidorejo. Forum itu nantinya akan menjadi senjata bagi difabel untuk berjuang mendapatkan hak yang sama.
"Tapi, yang jelas, saat ini perjuangan kami adalah jangan disebut orang cacat, namun orang difabel. Karena, istilah cacat menyebabkan para difabel minder, tidak percaya diri dan akhirnya dijadikan warga yang selalu harus dikasihani," ungkapnya.