- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Raungan suara sirine terdengar cukup keras. Bersahutan memecah pagi itu di Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat. Beberapa mobil ambulans silih berganti melaju dalam kecepatan tinggi.
Mobil-mobil polisi dan pemadam kebakaran juga tampak memenuhi sekitar perlintasan kereta api listrik kawasan itu. Warga pun menyemut.
Dari balik garis polisi yang terbentang, petugas kepolisian, petugas medis, dan pemadam kebakaran tampak sibuk. Raut wajah mereka serius. Berbekal tandu, bersama petugas berseragam dari berbagi instansi, mereka bahu membahu mengevakuasi korban kecelakaan.
Tubuh bus terseret sekitar 200 meter dari pintu perlintasan kereta api. Kondisi bus Metro Mini itu hancur di bagian depan. Terjepit lokomotif kereta rel listrik itu.
Beberapa potongan bus bahkan menyerpih menjadi bagian kecil. Ban dan gardan terpisah. Begitu juga dengan pintu dan kursi-kursi penumpang yang tak lagi berada di posisinya.
Korban pun berjatuhan. Sebanyak 18 orang meninggal. Termasuk sang sopir, Asmadi. Pria asal Jalan Lingkaran Wage, Kelurahan Purwaningun, Kuningan, Jawa Barat itu meninggal setelah sempat mengalami luka serius.
Menurut polisi, berdasarkan keterangan saksi mata di lapangan, kecelakaan maut itu terjadi karena aksi nekat sang sopir. Beberapa menit sebelum petaka itu terjadi, Metro Mini yang dikemudikan pria 35 tahun itu menerobos palang pintu perlintasan kereta api yang sudah tertutup.
Asmadi tetap menginjak pedal gas Metro Mininya, meskipun sinyal tanda rangkaian kereta akan melintas sudah berbunyi. Dentuman keras seketika terdengar, saat lokomotif kereta menyambar Metro Mini nahas yang gagal melintasi rel itu. Suara besi pun berdecit keras berbaur dengan jeritan penumpang.
"Saat itu, kereta penumpang jurusan Kota menuju Stasiun Duri Tambora tersebut berusaha melintas di lintasan rel kereta api Jalan Tubagus Angke," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Mohammad Iqbal.
Masih Jadi Pilihan
Kecelakaan maut yang menelan korban 18 jiwa itu adalah satu dari sekian banyak kasus kecelakaan angkutan umum di ibu kota. Bus Metro Mini dan Kopaja merupakan dua moda transportasi yang sering disorot. Sebagian kecelakaan angkutan umum yang terjadi di Jakarta, banyak yang melibatkan keduanya. (Lihat INFOGRAFIK: )
Namun, bukan perkara mudah bagi masyarakat untuk melepaskan Metro Mini sebagai jasa angkutan untuk beraktivitas. Karena, selama ini, hanya Metro Mini yang memasang tarif murah.
Gadis belia bernama Dhinar ini misalnya. Sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, ia menjadi penumpang Metro Mini. Kebiasaan itu pun berlanjut hingga sekarang. Kini, Dhinar sudah melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta Utara.
"Dulu setiap pulang sekolah selalu naik Metro Mini. Armadanya banyak dan relatif murah," kata gadis berusia 22 tahun itu.
Selain tarif, luasnya jangkauan rute dan jumlah armada yang melimpah, menjadi salah satu alasan yang membuat Metro Mini masih menjadi primadona angkutan umum di Jakarta.
Hampir seluruh jalanan di ibu kota dilayani Metro Mini. "Nggak harus cari shelter untuk naik, dan rutenya banyak," kata Hendra, penumpang setia Metro Mini 52 jurusan Kampung Melayu-Cakung.
Bus berciri khas warna oranye itu sudah hadir dan setia mengantar warga Jakarta ke berbagai penjuru kota sejak 1962. Sejak saat itu, nyaris tak ada moda transportasi yang dapat menggantikan posisi Metro Mini sebagai angkutan umum bagi rakyat kecil.
Seiring berjalannya waktu, "sosok" Metro Mini seolah tak pernah tahu siapa pemilik dan ke mana pulangnya. Siang dan malam, di hampir setiap sudut ibu kota, di tepi jalan, lapangan kosong, terminal, hingga area parkir pusat perbelanjaan, tampak kehadiran Metro Mini ini.
Meski begitu, masih saja banyak orang yang tergiur dan mempertahankan usaha angkutan ini sebagai lahan bisnis menggiurkan. Salah satunya adalah Chaniago, pemilik sekaligus pengusaha Metro Mini S640 jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang.
Pria beranak tiga itu sudah menjalankan bisnis angkutan massal Metro Mini sejak tahun 1970, dan hingga kini masih setia menekuni bisnis ini.
"Dulunya saya itu kernet, lalu jadi sopir. Karena ada rezeki, sampai sekarang saya jadi pemilik beberapa Metro Mini," Chaniago bercerita kepada VIVA.co.id, Kamis 10 Desember 2015.
Chaniago memulai bisnis Metro Mini dengan modal nol rupiah. Ia bisa memiliki Metro Mini dengan cara mencicil dari pemilik awal.
"Kalau saya bilang, saya itu untung. Saya nggak bawa modal apa-apa dari kampung, tapi kini saya bisa punya rumah, punya Metro Mini," katanya.
Namun, bisnis Metro Mini ternyata tak segemerlap sejak kehadirannya puluhan tahun lalu. Sejak kehadiran berbagai moda transportasi modern dan terintegrasi, perlahan tapi pasti, bisnis Metro Mini menjadi suram.
Banyak sopir Metro Mini yang tak mau lagi menggantungkan hidupnya dari bus-bus tua itu. Karena, jangan kan bisa membawa pulang uang, untuk membeli bahan bakar dan setoran pun kini kadang harus nombok.
"Sebelum ada bus TransJakarta, kami bisa dapat uang lumayan banyak. Tapi, ditambah gojek, kini makin kurang," kata Jiung, sopir Metro Mini 75 jurusan Pasar Minggu-Blok M kepada VIVA.co.id, Kamis 10 Desember 2015.
Jiung menyetor ke pemilik sebesar Rp450 ribu. Sementara itu, untuk bahan bakar membeli sendiri. "Kalau tarikan lagi sepi bisa Rp400 ribu setorannya," ujarnya.
Melintas dengan kecepatan tinggi di jalanan, melaju zig zag, berhenti mendadak atau tiba-tiba menepi tanpa ada aba-aba lampu sein seolah jadi pemandangan biasa bagi Metro Mini.
Bahkan, menerobos lampu merah dan palang pintu perlintasan kereta api, juga masih dilakukan. "Lampu merah dan palang pintu kereta itu senjata untuk bisa jaga jarak," ujar Teguh, mantan sopir Metro Mini ini.
Ugal-ugalan di jalanan bukan sesuatu yang menakutkan ketika pedal gas telah diinjak dalam-dalam. Apalagi, Metro Mini lainnya kian merapat. Teriakan penumpang pun terkadang hanya terdengar sayup, karena terkalahkan deru bising suara mesin.
"Kalau sudah main (sebutan untuk ugal-ugalan) mana terdengar lagi penumpang teriak, kan suara mesinnya bising, apalagi di depan," kata Teguh.
Teguh mengaku, melajukan Metro Mini dengan kencang seolah jadi cara terakhir bagi para sopir Metro Mini untuk dapat mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya. "Ya, mau gimana lagi, penumpang harus didapat. Karena setoran juga besar," ujar pria berbadan kurus tinggi itu.
Namun, di balik semua itu, ada sebuah fakta yang mungkin jarang terungkap. Dari sekian banyak moda transportasi yang beroperasi di Jakarta, Metro Mini dirawat setiap hari.
Meskipun berbodi penyok, berkaca plastik, memakai ban gundul, tapi nyaris tak ada Metro Mini yang terbakar di jalanan, seperti moda transportasi kekinian, bus TransJakarta
"Setiap hari pasti dirawat, oli diganti. Sopir Metro Mini sadar diri, karena kan memang mobilnya tua. Kalau tidak dirawat pasti tidak bisa jalan," ujar Teguh.
Solusi Alternatif
Dengan penggabungan moda transportasi, Ahok ingin nantinya Metro Mini bisa jadi feeder bagi bus TransJakarta.
"Masyarakat bisa beralih. Kalau ada bus yang trayeknya sama, di situ ada Metro Mini, Kopaja, dan Metro Mini yang sudah gabung TransJakarta, mana yang dipilih? Pasti naik yang sudah gabung dengan TransJakarta," tutur Ahok.
Apalagi, jika TransJakarta bisa menyediakan bus dalam jumlah banyak. "Kalian pilih bus kami yang hanya bayar Rp3.500 ke seluruh Jakarta, atau naik Rp7.000 dengan Metro Mini?" tanya Ahok.
Akibatnya, tidak ada parameter-parameter, misalnya tentang kelayakan armada, pengemudi, dan sistem pelayanan kepada konsumen. Kalau tidak ada badan hukum atau perusahaan yang permanen, tidak bisa mengharapkan banyak untuk perbaikan pelayanan.
"Akan terus merosot saja pelayanannya, karena memang semau gue dia melayaninya," kata Tulus. Artinya, kalau tidak ada revolusi di hulu, tidak bisa berbuat apa-apa.