- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Bangunan warna krem itu tampak lengang. Sepintas, tak terlihat adanya aktivitas yang berlangsung di bangunan tiga lantai yang beralamat di Jalan Garut nomor 2, Bandung, Jawa Barat, itu.
Namun, di salah satu ruangan, sejumlah orang terlihat meriung. Sesekali, terdengar tawa dan canda mereka. Pria dan wanita beragam usia tersebut merupakan para pengajar di Rumah Belajar Rancagé. Siang itu, mereka sedang membicarakan soal proses belajar mengajar di bimbingan belajar ini.
Direktur Rumah Belajar Rancagé, Ferli Septi Irwansyah (28) terlihat sibuk dengan komputernya. Jarinya menari di atas keyboard. Sementara itu, matanya menatap layar monitor. Meski demikian, sesekali, dia menanggapi kelima rekannya yang sedang diskusi di ruangan yang sama.
Jam yang menempel di dinding ruangan sudah menunjuk angka 11. Namun, belum ada tanda-tanda aktivitas belajar mengajar di ruangan seluas lapangan bulu tangkis ini.
“Semua kegiatan belajar mengajar dilakukan setiap pukul empat hingga enam sore,” ujar Ferli kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 Desember 2015.
Ia mengatakan, kegiatan belajar mengajar di Rumah Belajar Rancagé sudah berlangsung sejak tempat les yang mengajarkan Bahasa Sunda ini diresmikan bersama Perpustakaan Ajip Rosidi pada 15 Agustus 2015. Ruang belajarnya terletak di lantai dua, di seberang perpustakaan yang berisi 40 ribu buku.
Sebagian besar buku merupakan koleksi pribadi Ajip Rosidi yang diboyong dari tempat tinggal sastrawan dan budayawan ini di Magelang, Jawa Tengah.
Terdapat enam ruangan yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Keenam ruangan tersebut diberi nama sesuai dengan judul pupuh. Seperti, Durma, Maskumambang, Pucung, Kinanti, Dandang Gula. Pupuh adalah peribahasa dalam Bahasa Sunda yang dinyanyikan.
“Penamaan ruang kelas itu, biasanya dijelaskan oleh para pengajar,” Ferli menambahkan.
Ferli menjelaskan, Rumah Belajar Rancagé bukan tempat les biasa. Menurut dia, lembaga yang ia pimpin memasukkan Bahasa Sunda sebagai salah materi yang diajarkan. “Ini satu-satunya tempat bimbel yang memberikan pelajaran Bahasa Sunda pada para siswanya,” ujarnya bangga.
Menurut dia, pelajaran Bahasa Sunda sengaja diberikan kepada para siswa, lantaran Rumah Belajar Rancagé memiliki visi dan misi yang sama dengan Yayasan Kebudayaan Rancagé. Yakni, menyemarakkan kembali kebudayaan dan Bahasa Sunda melalui dunia pendidikan.
Salah satunya mengisahkan berbagai cerita rakyat yang inspiratif dalam Bahasa Sunda kepada anak didik. Kemudian, berinteraksi dengan menggunakan Bahasa Sunda, hingga menempelkan berbagai poster dan pengetahuan dalam Bahasa Sunda di beberapa dinding ruangan.
Ia mengatakan, ada sekitar 50 siswa yang bergabung di Rumah Belajar Rancagé. Mereka berasal dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
Menurut Ferli, selain melalui bimbel, mereka juga melakukan sejumlah cara untuk melestarikan bahasa dan budaya Sunda. “Salah satu cara yang dilakukan untuk menarik minat masyarakat dalam melestarikan kebudayaan Sunda adalah dengan mengadakan seminar. Kegiatan tersebut terbuka untuk umum dan digelar setiap satu bulan sekali di lantai tiga Perpustakaan Ajip Rosidi,” tuturnya.
Berjuang Lewat Budaya
Upaya serupa dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Wakil Ketua LKB, Yahya Andi Saputra (53), mengatakan, lembaga yang berdiri sejak 1977 tersebut terus berusaha merawat dan melestarikan Bahasa Betawi. Caranya, mereka rajin mengumpulkan dialek dan kosa kata dalam Bahasa Betawi mulai dari jampe-jampe, istilah perdagangan, perdukunan, pertanian, dan segala macam istilah, dari manusia lahir hingga dikubur.
Bahasa Betawi juga terancam punah. Salah satu penyebabnya adalah terjangan modernisasi dan globalisasi. FOTO: VIVA.co.id/Amal Nur Ngazis
“Itu yang sekarang sedang kami lakukan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta, Kamis, 3 Desember 2015.
Yahya menuturkan, upaya itu sengaja mereka lakukan karena tidak ada lembaga khusus yang merawat dan melestarikan Bahasa Betawi. “Di Jakarta mana ada balai bahasa, nggak ada cing. Alasannya, karena ente berada di tengah kota cing, dalem pusaran pusat,” ujarnya dengan dialek Betawi yang kental.
Menurut dia, seperti sejumlah bahasa etnis lain, Bahasa Betawi juga terancam punah. Salah satu penyebabnya adalah terjangan modernisasi dan globalisasi. Apalagi, masyarakat Betawi sebagian besar tinggal di Jakarta yang merupakan ibu kota negara.
Ia kemudian menunjukkan telepon genggamnya. “Ente pakai ginian nih (sambil menunjukkan telepon genggamnya) kan pakainya jempol atau like. Kalau pemerintah peduli pada beginian, pasti diganti dengan bahasa sini. Misalnya pakai pakai bahasa Jawe, Betawi jadinya 'saya suke', 'saya demen'. Harusnya begitu,” dia menambahkan.
Ia juga prihatin dengan penggunaan Bahasa Betawi yang tak sesuai pakem. Misalnya, yang digunakan dalam sinetron dan media sosial. “Bahasa Jakarta itu yang ente lihat di sinetron dan pantun yang anak-anak suka itu. Di dunia sosial itu, misalnya yang ngomong 'in', 'an', 'un' gitu ye. Terus yang Betawinya ini mengalami penurunan bahasa,” ujarnya prihatin.
Sementara itu, di sisi lain, anak-anak muda tak mengerti dengan kosa kata Bahasa Betawi yang benar. “Kalau misalnya saya ngomong tandang amat nih anak, atau ajer, mereka tanya, apaan tu bang. Itu sesama Betawi. Ngomong dengan seumuran ente itu, beda 10 tahun sudah bingung dia. Coba misalnya ambil itu di bleger, di plongkor itu mereka nggak tahu,” tuturnya menerangkan.
Menurut dia, selain tergerus arus globalisasi, salah satu penyebab menurunnya jumlah penutur Bahasa Betawi karena bahasa itu sudah jarang atau tidak digunakan di dalam rumah tangga. “Saya perhatiin di keluarga saya sendiri. Saya kan punya keponakan hampir ada 70-an, mereka sebagian besar panggil saya itu bukan encang atau encing, tapi panggil om,” dia mencontohkan.
Berangkat dari kondisi itu, lembaganya menggalakkan berbagai ajang kebudayaan guna melestarikan Bahasa Betawi. “Pertunjukan Lenong di kampung-kampung yang bisa semalem suntuk, mulai jampe-jampe, nenek, unduk-unduk, kaki unduk-unduk, daging ngungsir, itu jampe-jampe masih dibaca. Begitu juga topeng Betawi,” kata dia.
Menurut dia, di Jakarta banyak berdiri sanggar-sanggar yang berupaya merawat bahasa dan budaya Betawi. Ada grup sanggar lenong, sanggar topeng, sanggar tambrah, sanggar rebana ketriping, dan sanggar shohibul hikayat. “Banyak, ada 120-an sanggar, itu yang terdaftar di sini (LKB),” ujarnya.
Selain melalui budaya, LKB juga mendorong agar Bahasa Betawi menjadi muatan lokal yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Selain itu, ia meminta agar guru kesenian adalah orang Betawi. Alasannya, orang Betawi lebih tahu dengan kesenian sendiri.
“Misalnya, ada guru seni Betawi saya tanya, kalau main wakung-wakung, kripik jengkol gimana itu nyanyiinnya. Mereka nggak bisa,” ujarnya.
“Nah, kita kepengen ada kurikulum mulok (muatan lokal) yang wajib ditambah SDM yang menguasai. Kalau dia orang dari luar mau mengabdi di sini, ya kita tatar dulu.”
Gerilya di Dunia Maya
Keprihatinan yang sama juga dirasakan Abdi Gunawan Djafar (28). Arsitek ini mengaku cemas dan khawatir dengan isu akan punahnya Bahasa Gorontalo. Ia mengaku mendengar kabar itu pada 2009. Berangkat dari keprihatinan itu, Abdi kemudian membuat akun Twitter dengan Bahasa Gorontalo.
Tak hanya itu, dia selalu berkicau dengan Bahasa Gorontalo. “Saya memanfaatkan media sosial seperti Twitter untuk menyebarkan kosa kata dan kalimat berbahasa Gorontalo serta membuat meme berbahasa Gorontalo atau flashcard berbahasa Gorontalo untuk membuat orang tertarik mempelajari Bahasa Gorontalo,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 Desember 2015.
Abdi juga mencari dan memasukkan sejumlah kosa kata baru dalam kamus Bahasa Gorontalo-Indonesia. Selain itu, Abdi membuat tulisan-tulisan berbahasa Gorontalo. Tulisan itu ia kirim ke media online atau wikimedia berbahasa Gorontalo.
Suasana di salah satu kampung di Gorontalo. Pegiat tertarik melestarikan Bahasa Gorontalo karena bahasa merupakan identitas.
“Dengan demikian, saya dapat memperkaya tulisan berbahasa Gorontalo di internet. Kata-kata atau tulisan berbahasa Gorontalo juga dapat dicari secara online,” dosen Universitas Negeri Gorontalo ini menambahkan.
Ia mengaku mulai aktif memasarkan Bahasa Gorontalo sejak 2010. “Saat saya mulai melakukan usaha ini, belum ada individu, kelompok atau instansi yang melakukan langkah-langkah penyelamatan Bahasa Gorontalo dari kepunahan,” ujarnya mengenang.
Abdi mengaku tertarik melestarikan Bahasa Gorontalo karena menurut dia, bahasa merupakan identitas. “Jadi, sudah sewajarnya bagi putra daerah untuk merawat bahasa daerahnya sendiri. Sayangnya, sepengetahuan saya, belum ada yang memanfaatkan media sosial untuk melestarikan bahasa daerah, untuk itu saya berinisiatif melakukan ini,” ujarnya.
Senada dengan Yahya, Abdi juga menilai, selain globalisasi, salah satu penyebab punahnya bahasa daerah adalah rendahnya pendidikan bahasa daerah di keluarga dan sekolah. Menurut dia, banyak orangtua yang menganggap pendidikan bahasa daerah tidak terlalu penting, khususnya mereka yang tinggal di kota.
Bagi mereka, menyiapkan anaknya dengan pendidikan untuk menghadapi era modern yang maju lebih penting dibanding menanamkan nilai-nilai budaya lokal. “Bahasa daerah juga jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari, di tempat kerja bahkan di dalam rumah bersama keluarga. Padahal, pembelajaran awal itu dimulai dari dalam keluarga itu sendiri,” dia menjelaskan.
Untuk itu, ia mengusulkan agar bahasa daerah dimasukkan dalam segala aspek kehidupan, seperti lingkungan, pendidikan, dan lainnya dengan lisan atau tulisan. “Misalnya kita gunakan bahasa daerah secara lisan atau tertulis di papan penunjuk jalan, tempat sampah, iklan, pemberitahuan untuk umum, media massa, media sosial, media elektronik dan lain-lain,” katanya menyarankan.
Menurut dia, dengan seringnya orang-orang melihat tulisan berbahasa daerah, mendengar orang-orang berbahasa daerah setiap hari, budaya bahasa daerah akan lestari di mana-mana.
“Saya mencoba melestarikan bahasa daerah melalui Twitter dengan harapan agar menjadi pemicu bagi siapa pun untuk menggunakan bahasa daerah baik di media sosial dan lain-lain,” tuturnya. (art)