SOROT 373

Bahasa Daerah Tergerus Zaman

Sejumlah seniman tampil dalam pertunjukan ludruk khas Jawa Timur
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA.co.id - Daniel, seorang bocah berusia 7 tahun. Dia kerap diajak bicara dengan Bahasa Madura oleh ayahnya, Faidi.

Sayangnya, sang Ayah hanya bisa mengajak Daniel berbincang dengan bahasa Madura Kasar (enjhek-iyeh). Kalau pakai versi halus (enggih-bhunten), Faidi mengaku anaknya belum bisa menuturkan.

Di Kecamatan Gapura dan Sumenep pada umumnya, ungkap alumnus IKIP Sumenep itu, bahasa Madura tetap dipakai. Namun, serbuan ponsel pintar yang bisa mengakses informasi apapun, memengaruhi cara warga, terutama pemudanya, dalam berkomunikasi.

Mulai banyak digunakan bahasa-bahasa gaul yang dikenal dari percakapan-percakapan di luar bahasa Madura melalui akses internet dan sosial media.

Daniel mungkin masih lebih baik ketimbang Alkeys Akbar Arumi. Siswi kelas 2 SD Muhammadiyah Surabaya itu tak bisa sama sekali berbahasa Jawa atau Madura.

Meski tinggal di Surabaya dan memiliki orang tua asli Madura dan Tuban, bocah berusia 8 tahun itu mengaku tidak bisa berbahasa keduanya. Saat ditanya dengan bahasa Madura, Alkeys hanya tersenyum karena tak mengerti.

Pun saat disapa dengan menggunakan bahasa Jawa, meski mengerti sedikit, gadis berkerudung itu memilih menjawab pertanyaan dengan bahasa Indonesia. Zaki, ayah Alkeys, tidak menyalahkan dirinya maupun anaknya terkait dengan ketidakpahaman akan bahasa daerah itu.

Dia mengaku telah mengajarkan anaknya bahasa Jawa dan Madura di rumah namun lingkungan sekolah dan tempatnya bermain selalu saja bertutur dengan bahasa Indonesia.

“Anak saya kan sekolah di swasta, di situ semuanya pakai bahasa Indonesia. Akhirnya, banyak kosakata Jawa yang tidak diketahui," kata Zaki. 

Padahal, di rumah, Zaki dan istri terus berusaha menerapkan dan mengenalkan bahasa Jawa secara ketat kepada anak. "Tapi kesulitan karena anak terbiasa menggunakan bahasa yang bisa digunakan di lingkungan rumah saya,” kata pria kelahiran Mojokerto, yang juga alumnus Universitas Airlangga, Surabaya.

Miris memang. Padahal sebagai orang tua, mereka tahu pentingnya bahasa daerah sebagai identitas bangsa, sebuah bahasa Ibu yang menandakan darimana asal seseorang, sebuah penegas identitas.

Mulai Mengkhawatirkan

Enggannya masyarakat saat ini menggunakan bahasa daerah rupanya telah menjadi perhatian peneliti sejak lama. Bahkan sebuah penelitian yang dipaparkan situs Ethnologue tahun ini menyebutkan ada 700 lebih bahasa yang dituturkan oleh lebih dari 220 juta penduduk Indonesia.

Dari total 7.100 bahasa yang ada di seluruh dunia, 10 persennya ternyata ada di Indonesia. Dengan kondisi semakin kurangnya tuturan bahasa daerah, bukan hal yang mungkin jika semakin lama jumlah bahasa tersebut semakin menyusut.

Pakar bahasa dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof. Dr. Kisyani Leksono, mengatakan secara operasional ada lima tahapan daya hidup bahasa, dalam kaitannya dengan ancaman kepunahannya.

Pertama, bahasa berpotensi terancam punah karena generasi muda berpindah ke bahasa lain. Kedua, terancam punah karena generasi muda tidak menggunakannya.

Ketiga, lanjut Kisyani, sangat terancam punah karena hanya dituturkan oleh generasi yang berusia di atas 50 tahun. “Keempat, sekarat karena hanya dituturkan oleh generasi usia 70 tahun ke atas. Dan kelima, dikategorikan punah jika hanya ditutukan oleh satu penutur,” jelas Kisyani.

Dia mengakui belum tahu secara pasti berapa jumlah bahasa daerah atau etnis yang terancam punah. Masih diperlukan penelusuran secara saksama karena tidak mudah mendeteksi bahasa pencilan.

“Pernah dilakukan pemetaan bahasa daerah di Indonesia tapi macet sampai tahun 2008. Hasilnya, di Indonesia ditemukan 444 bahasa daerah,” kata Kisyani.

Sedangkan menurut penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), seperti dipaparkan oleh Obing Katubi, jumlah bahasa etnis Indonesia berada di posisi nomor dua setelah Papua Nugini. Indonesia memiliki 746 bahasa sedangkan Papua lebih dari 800.

Obing Katubi, Koordinator Penelitian Bahasa LIPI

Di Indonesia yang sudah teridentifikasi ada 746 bahasa etnis. FOTO: Agus Tri Haryanto/VIVA.co.id

“Mereka (Papua) sekitar 800 bahasa. Itu karena letak geografis Papua, bersekat-sekat, makin banyak rintangan," kata Obing.

139 Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah

Itu yang membuat semakin banyak bahasanya. Menurut Obing, di Indonesia yang sudah teridentifikasi ada 746 bahasa etnis.

Kemungkinan bertambah terbuka, karena semakin terbuka akses atau wilayah yang dulunya terisolasi, itu bisa membuat (bahasa) bertambah lagi,” ujar Obing, yang didapuk menjadi koordinator penelitian bahasa di LIPI.

Kamus Bahasa Jawa Standar Internasional Sudah Didigitalisasi

Keprihatinan PBB

Menurut laman Badan PBB Urusan Kebudayaan (Unesco), pakar bahasa Christopher Moseley, atas prakarsa Unesco, pernah menjelaskan jenis-jenis bahasa di dunia, mulai dari yang sudah punah, hampir punah, dan terancam punah. Ini disusun Moseley dalam publikasi bertajuk "Atlas of the World’s Languages in Danger."

Yang Punah Tak Tersisa

Dalam publikasi yang didukung pemerintah Norwegia itu menyebutkan ada 3.000 bahasa di dunia yang terancam punah. Lebih dari 100 bahasa terancam punah berasal dari Indonesia, dan puluhan lainnya (di Indonesia) masuk kategori ‘punah’.

Namun, Pusat Pengembangan Perlindungan Bahasa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mensinyalir, dari 700 bahasa di Indonesia, yang tersisa hanya sekitar 10 persen dalam beberapa puluh tahun mendatang. Tepatnya hanya sekitar 70 bahasa yang masih eksis.

Namun, yang perlu diperhatikan serius saat ini, kata Kisyani, ada bahasa yang digunakan oleh beberapa suku terasing dan terancam punah. Seperti bahasa orang laut, Punan, Taijo, To Seko, Tugutil, Marobo, Bahaam, Arfak, Bauzi, Mek, Dani, Arso, Senggi, Asmat, Enggano, Mentawai, dan Sakai.

Faktor Penyebab

Banyak faktor bahasa daerah terancam punah. Tapi, jelas Kisyani, yang paling mengemuka ialah adanya sikap negatif yang menganggap bahasa lain diasosiasikan lebih maju dan modern. Dalam hal ini, faktor lingkungan mempengaruhi.

Selain itu, terang Kisyani, menyangkut ketidaklancaran transmisi bahasa ibu atau daerah. Itu terjadi karena beberapa hal seperti perpindahan penduduk (emigrasi, transmigrasi); sikap bahasa yang negatif; penjajahan (daerah dan atau budaya); kawin campur; diskriminasi kultural; peperangan; pendidikan (tekanan dari sekolah); dan wabah penyakit.

Obing setuju dengan pendapat ini. Dalam penelitiannya selama 10 tahun ditemukan banyak wilayah, terutama di Indonesia Timur yang bahasa daerahnya tidak ditransmisikan dengan baik.

Balik lagi penyebabnya adalah kurangnya jumlah penutur. Misalnya, bahasa Kui di Alor, NTT yang penuturnya hanya 833 orang. Padahal maksimal seharusnya sekitar 4.000 penutur.

Bahasa Kui memiliki nasib yang sama dengan Kapua, Kao di Halmahera, Pagu di Halmahera Barat dan bahasa Kisar di pulau Kisar. “Kalau dikategorikan, semuanya masuk kategori terancam punah,” ujar peneliti berkacamata itu.

Berbeda dengan bahasa Jawa dan Bali yang masih bisa bertahan jangka panjang. Obing memperkirakan, bahasa Jawa masih dalam batas aman dari kepunahan karena penuturnya lebih dari 70 juta orang. Demikian juga dengan Bahasa Sunda dan Bali yang masih memiliki puluhan juta penutur.

“Dari hasil penelitian, bahasa Bali memiliki kesatuan dengan budaya dan agama. Itu memungkinkan bertahan jangka panjang. Bahasa bisa masuk ke dalam roh kebudayaan dan agama itu, menyatu, sangat langka," kata Obing.

Sedangkan bahasa Jawa penuturnya sangat hebat dan loyalitas tinggi. Banyak rekonstruksi pakai bahasa jawa.

"Tetapi potensi untuk punah ada kalau transmisi tidak berjalan. Itu memerlukan sekian generasi. Dua sampai tiga generasi bisa punah,” tutur Obing.

Meski banyak penutur, bukan berarti bahasa Jawa dan Bali tidak terancam punah. Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sugiyono, menyatakan jika tidak ada satupun bahasa yang luput dari kepunahan.

Hanya saja waktu yang menentukan. Dia meyakini hal ini karena saat ini banyak generasi muda yang sudah tidak lagi bisa berbahasa Jawa. Seperti halnya Alkeys dan Daniel yang tinggal di Surabaya.

Pengingat Identitas

Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah melalui Kemendikbud merencanakan konservasi dan revitalisasi bahasa daerah. Selain berupaya menambah jumlah pengguna dan frekuensi penggunaan, ujar Sugiyono, pemerintah juga akan melakukan pendokumentasian kekayaaan bahasa daerah.

Selain di Jakarta, mereka mengaku telah memfasilitasi revitalisasi dan konservasi di Padang dan Toraja.

“Kami melakukan penelitian, pencatatan, penyusunan kata dan tata bahasa, sehingga kalau punah, kita punya data dan rekamannya. Kedua, menyangkut transmisi ke generasi muda," kata Sugiyono.

Memang sudah ada muatan lokal di sekolah, tapi ternyata itu tidak efektif karena hanya mengejar nilai, tidak terbawa sampai lingkungan.

Makanya kami revitalisasi lagi, agar muatan lokal bahasa daerah diterapkan dari sekolah di kehidupan sehari-hari. Salah satunya melibatkan orang tua di rumah. Itu yang kita lakukan dua tahun belakangan ini,” papar Sugiyono.

Sedangkan LIPI mengaku telah bekerja sama dengan Pemda setempat untuk membuat dokumentasi digital berupa perekaman audio visual yang salah satunya akan berakhir menjadi kamus bahasa dan budaya. Mereka juga telah membuat sanggar bahasa dan budaya di masing-masing wilayah yang bahasanya terancam punah.

Salah satu yang sudah dijalankan adalah sanggar bahasa Pagu di Halmahera Barat, didukung ketua adatnya yang sangat aktif meskipun perempuan, serta perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah tersebut.

Sayangnya, menurut pegiat bahasa daerah, Awaludin Rusiandi, upaya pemeliharaan bahasa daerah belum maksimal, apalagi dalam pelajaran Muatan Lokal. Menurut Awaludin, upaya pemeliharaan bahasa daerah harus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga masyarakat.

Awaludin Rusiandi, Pegiat Bahasa Jawa Timur

Upaya pemeliharaan bahasa daerah belum maksimal, apalagi dalam pelajaran muatan lokal. FOTO:VIVA.co.id/Nur Faishal

Pengajaran bahasa daerah di sekolah tidak hanya secara teori, tapi juga harus aplikatif. Begitu juga di lingkungan keluarga, bahasa daerah harus diterapkan dalam bahasa sehari-hari, tidak hanya diajarkan.

Bisa jadi, apa yang dipaparkan Awaludin telah lebih dulu dipaparkan oleh masyarakat di Maluku. Di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya misalnya, telah memiliki tradisi sendiri untuk merawat bahasa lokalnya.

Salah satu pemuka masyarakat Pulau Kisar, Rony Samloy, mengaku di Pulau Kisar yang ditempati 12 desa, ada dua bahasa yang dipakai. Yakni bahasa Meher dan bahasa Maarou.

Bahasa Meher ditutur warga desa Wonrelli, Lebelau, Pura-pura, Yawuru, Meseapi, Woorono, Romlehen Utara, Romlehen Selatan, Numaha, Sumpali, Papula, Kiouw,  sementara Maarou hanya dipakai warga Desa Woirata Timur dan Barat.

Bahasa Meher memiliki dua tutur bahasa berbeda, satu untuk aktivitas keseharian dan di ruang publik, satunya lagi dipakai untuk forum resmi, semisal terang kampung (kawinan), nikah adat, pemakaman jenazah, dan kaur nauk (pengesahan anak sulung laki-laki ke dalam marga). " Itu merupakan media bagi orang Kisar melesatarikan bahasa mereka," ungkap Rony.

Sedangkan di Maluku Tengah, ada bahasa lokal Hatuhaha yang dipakai masyarakat dari lima desa adat, yakni Desa Rohomoni, Desa Kabauw, Desa Kailolo dan Desa Pelauw serta Desa Hulaliu yang mendiami Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah.

Di desa-desa tersebut, masyarakatnya masih menggunakan bahasa lokal, baik dalam aktivitas sehari-hari ataupun dalam rapat pemerintahan desa. Sekretaris Desa Rohomoni, Mohammad Yasin Sangadji, mengatakan, untuk menjaga dan merawat bahasa yang mereka pakai, supaya tidak punah dan bisa ditutur setiap generasi, pihaknya pernah mengusulkan penerapan mata pelajaran bahasa Hatuhaha di sekolah, akan tetapi usulan itu sulit karena tidak ada bahan ajar.

Oleh karena itu diputuskan untuk menggunakan bahasa Hatuhaha dalam pendidikan informal dan kegiatan sehari-hari.

“Dalam aktivitas keseharian,  tidak ada yang menggunakan Bahasa Indonesia, terkecuali ada tamu dari luar desa yang berkunjung,” ujar Sangadji.

Kebijakan masyarakat seperti ini memang menjadi ujung tombak bagi lestarinya bahasa daerah di Indonesia, yang menjadi penegas identitas sebagai bangsa dengan beragam suku dan budaya.

Soe, e'patotu um diri, Ehe nala illang iaele. Dari Bahasa Hatuhaha, itu berarti "Bahasa menunjukan siapa dirimu, jangan sampai hilang." (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya