- Irwandi Arsyad - VIVA.co.id
VIVA.co.id - Hari masih pagi. Jam di tangan masih menunjuk pukul sembilan. Namun, puluhan orang dengan keranjang dan ganco di tangan sudah tampak berkerumun di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Mereka terlihat asyik bercengkerama sambil menyesap kopi dan mengisap rokok di tangan. Ada juga yang sedang menikmati sarapan. Sesekali, terdengar tawa renyah mereka memecah kesunyian.
Tiba-tiba, para pemulung ini berhamburan. Mereka berlarian demi melihat sejumlah truk mendekat. Puluhan orang beragam usia ini langsung menyambut gundukan sampah yang ditumpahkan dari truk. Suara denting ganco membentur besi atau benda keras langsung terdengar.
Mereka terlihat sibuk mengaduk-aduk tumpukan sampah, mencari barang-barang yang masih bisa dijual. Tak jauh dari mereka, mobil backhoe terlihat hilir mudik memindahkan dan meratakan sampah.
Para pemulung ini sudah bisa bernapas lega. Sebab, truk-truk yang membawa sampah dari DKI Jakarta sudah bisa beroperasi seperti sedia kala. Sebelumnya, ratusan truk yang membawa sampah DKI tertahan dan terpaksa kembali lagi, karena diadang dan dilarang melintas oleh warga Cileungsi, Bogor, Jawa Barat.
“Aksi penolakan ini bukan baru kali ini terjadi,” ujar Iril Ahada, salah seorang warga Cileungsi, saat ditemui VIVA.co.id, Kamis, 12 November 2015.
Ia mengatakan, aktivitas truk sampah yang tak teratur sangat mengganggu kenyamanan warga. "Apalagi, ceceran sampahnya di jalanan. Truk-truk itu aktivitasnya dari pagi sampai sore, kaya enggak kenal waktu," dia menambahkan.
Iril dan warga lain sudah lama mengeluhkan kondisi itu. Warga juga sudah mengadukan masalah itu ke pemerintah setempat. Namun, laporan mereka tak mendapat respons yang baik dan dianggap angin lalu.
"Tidak pernah ada tanggapan serius. Dari dulu kami sudah melakukan berbagai upaya penolakan dengan mengadu ke pemerintah setempat. Tapi, enggak ada hasilnya," ujarnya mengeluh.
Tak hanya meninggalkan bau busuk, truk yang melintas di Jalan Raya Cileungsi dan alternatif Cibubur ini juga diyakini sebagai penyebab rusaknya jalan. "Kalau bicara kesehatan jelas sangat berdampak. Udara busuk yang berasal dari ceceran sampah truk, bisa mengganggu pernapasan,” tuturnya.
Hal senada disampaikan Wanardi (50). Warga yang tinggal tak jauh dari TPST Bantar Gebang ini mengatakan, bau sampah sudah menjadi bagian dari kehidupan warga di Kelurahan Ciketing Udik sejak 27 tahun lalu. Menurut dia, jika warga ditanya setuju atau tidak kampungnya dijadikan tempat pembuangan sampah, mereka pasti menolak.
"Pada umumnya kami sebetulnya menolak mas. Siapa sih yang mau kampungnya jadi tempat buang sampah, nggak mungkin ada kan," ujarnya saat ditemui VIVA.co.id, Kamis, 12 November 2015.
Menurut dia, banyak alasan mengapa warga menolak keberadaan TPST Bantar Gebang. Selain bau busuk sampah, juga gangguan kesehatan dan tercemarnya air tanah.
"Dampaknya banyak mas. Untuk air tanah, sebagian warga tidak menggunakan air tanah, melainkan membeli air galon untuk minum. Ada lagi dampak lain, saat terjadi kebakaran sampah, banyak warga yang mengalami gangguan pernapasan," ujar pria yang sehari-hari bekerja di Cikarang ini.
Meski demikian, warga yang tinggal sekitar 800 meter dari TPST Bantargebang ini tak bisa menolak keberadaan TPST tersebut. Sebab, Pemkot Bekasi telah menjalin kerja sama dengan daerah yang membuang sampah ke kampungnya itu. Dia memilih patuh dan taat, asalkan ada kompensasi untuk masyarakat.
"Kami menyadari Pemerintah Kota Bekasi telah menjalin kerja sama dengan DKI Jakarta. Sebagai warga yang baik, saya dan insya Allah warga sekitar menerima keberadaan TPST Bantar Gebang, asalkan kesejahteraan kami diperhatikan," kata dia.
Senada dengan Wanardi, warga Ciketing Udik lainnya, Tarpan (46), mengaku, bau sampah yang menyengat di sekitar TPST Bantar Gebang sudah tak dihiraukan warga. Mereka sudah terbiasa dengan bau sampah tersebut. Bahkan, warga sekitar ada yang ikut memanfaatkan TPST sebagai tempat untuk mengais nafkah.
"Kami di sini sudah terbiasa. Kalau menolak mana mungkin, toh kami juga memanfaatkannya," kata Tarpan saat ditemui VIVA.co.id di rumahnya, Kamis 12 November 2015.
Menurut Ahok, secara tidak langsung, mereka justru membantu dia dan menyatakan bahwa PT Godang Tua Jaya (GTJ) selaku pihak pengelola telah melakukan wanprestasi. Dengan itu, ia bisa membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaan tersebut.
Direktur Utama PT Godang Tua Jaya, Rekson Sitorus, mengklaim, selama ini telah mematuhi perjanjian kerja sama dengan Pemprov DKI. Misalnya, soal pengomposan dan sejumlah kewajiban lain. "Sampai sekarang, GTJ masih on the track sesuai kontrak," kata Rekson, Senin, 9 November 2015.
Rekson menyesalkan pernyataan Ahok yang menuding perusahaan yang ia pimpin mengalirkan dana ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi. "Itu pernyataan yang menyakitkan," ujarnya.
Menurut dia, perusahaannya tak pernah memberikan aliran dana kepada siapa pun, termasuk anggota DPRD. Karena itu, pihaknya siap diaudit oleh lembaga pemerintah.
"GTJ tak pernah memberikan suap terhadap siapa pun," dia menambahkan.
“Kisruh yang terjadi awalnya soal perjanjian kedua daerah soal operasional truk sampah yang melintas di jalan Kota Bekasi yang ternyata termasuk dari isi perjanjian keduanya. Kami tak mengetahuinya dan bukan urusan kami. Kami cuma mengelola sampah milik DKI Jakarta sesuai perjanjian. Untuk pemerintah Kota Bekasi kami tidak pernah ada perjanjian.”
Mengolah Sampah Sendiri
Pakar tata kota, Suryono Herlambang, menyarankan, Pemprov DKI memiliki TPST sendiri, tak tergantung daerah lain. Menurut dia, masing-masing kota administratif harus memiliki tempat pengolahan akhir sampah. Pengelolaan sampah di DKI harusnya lebih maju.
“Jadi, seharusnya Jakarta sudah menerapkan konsep zero waste, yaitu penerapan prinsip 3R, reduce, reuse, dan recycle,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 12 November 2015.
Menurut dia, persoalan sampah di DKI tak lepas dari manajemen dan teknologi. Semestinya, pemerintah kota memberikan insentif yang besar kepada kecamatan yang mau mengolah sampah atau menggalakkan kebijakan zero waste.
“Dari sampah itu kiranya bisa diolah menjadi kertas, kertasnya bisa buat tiket busway atau hasil daur ulangnya bisa dikonversi untuk membiayai layanan public service,” kata dia.
Suryono mengatakan, pemutusan kontrak dengan GTJ tak menyelesaikan masalah, selama DKI belum memiliki TPST sendiri atau teknologi pengolahan sampah yang baik.
“Seumpama memutus kontrak, selama DKI belum punya tempat pembuangan sampah terakhir, tetap akan dibuang ke TPST Bantar Gebang, cuma beda operator,” ujarnya.
Ahok bisa meniru negara-negara maju dalam mengelola dan mengolah sampah. Misalnya, kalau sudah tak bisa diolah, dibakar, dijadikan sumber energi, atau dijadikan kompos seperti yang dilakukan Singapura dan Eropa.
“Sebenarnya sampah kan bisa dijadikan sumber ekonomi yang bagus. Plastik, kaca, metal, kalau dipisahkan sejak awal kan bisa menguntungkan,” kata Suryono.
Ahok mengatakan, Pemprov DKI Jakarta sebenarnya sudah lama ingin membangun Intermediate Treatment Facilities (ITF) guna mengolah sampah. Namun, rencana tersebut terhambat. Ahok curiga di Dinas Kebersihan DKI Jakarta sengaja menghambat proyek tersebut.
“Saya curiga, ada permainan di oknum kebersihan. Makanya, kami ganti kan,” ujarnya.
Menurut Ahok, ITF sudah akan dibangun sejak zaman Jokowi. Namun, rencana itu gagal terus. “Saya nggak tahu itu ada motif apa. Tapi, kalau gagal terus kan saya harus kirim sampah ke Bantar Gebang,” ujarnya.
Ahok juga mengaku heran karena Pemprov DKI tak bisa membuang sampah ke Ciangir. Padahal, lahan yang dibeli Pemprov DKI itu peruntukannya memang untuk membuang sampah.
“Kami jadi dibuat tergantung kepada Bantar Gebang dan Godang Tua. Giliran mau diputus pasti ada masalah. Makanya, saya minta teliti uangnya (tipping fee) ngalir ke mana saja selama ini,” kata dia.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Adjie, mengatakan, Pemprov DKI segera membangun ITF agar bisa mengolah sampah sendiri. “Bahasanya incinerator,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 12 November 2015.
Menurut dia, seiring dengan keluarnya SP 1 hingga ditutupnya Bantar Gebang, Pemprov DKI harus menyiapkan lokasi lain yang bisa mengurangi volume sampah. Sesuai master plan, pada 2015 dan 2016 di Bantar Gebang itu seharusnya sudah tinggal 250 ton per hari. Tapi, kondisi sekarang masih 6.300-6.500 ton. Hal ini terjadi karena ITF belum jalan. “Programnya terputus. lelangnya dibatalkan,” dia menambahkan.
Ia mengatakan, Ahok meminta agar ITF dibangun tahun ini. Untuk itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan Jakpro dan menyiapkan dokumen lelang. “Membangun ITF itu paling cepet dua tahun sampai infrastruktur jadi. Jadi, enggak bisa cepet-cepet tahun ini bangun tahun ini selesai, enggak bisa,” ujar Isnawa.
Selain menyiapkan incinerator, Pemprov DKI juga akan mulai mengelola sampah sendiri. Untuk itu, Dinas Kebersihan sudah meminta agar disiapkan anggaran.
“Saya minta dana tipping fee dialihkan untuk swakelola Bantar Gebang. Saya harus mempersiapkan personel, yang kerja di situ nanti 444 orang harus digaji. Saya harus siapkan sarana prasarana, truk, alat berat. Pokoknya saya menggerakkan supaya TPST Bantar Gebang terus berjalan,” ujarnya menambahkan.
Dinas Kebersihan juga akan melakukan peremajaan kendaraan. Tiap truk sampah akan dipasang GPS yang tersambung dengan smart city dan control room di Dinas Kebersihan. “Nanti, 352 truk ini akan mengoptimalkan penanganan sampah. Awal Januari kami sudah tidak sewa truk dengan swasta. Kami full kekuatan sendiri untuk penanganan sampah,” kata dia.
Hari beranjak siang. Namun, puluhan pemulung masih terlihat bertahan. Guna menahan terik Matahari, mereka membuat bedeng sederhana dengan atap kain ala kadarnya. Mereka terus berkerumun dan berlarian tiap kali ada truk sampah yang datang. Sementara itu, ratusan truk sampah hilir mudik, bergantian datang ke TPST Bantargebang. (art)