- VIVA.co.id/Tasya Paramitha
VIVA.co.id - Senyuman bahagia terlihat jelas di wajah Budi, Agung dan Hasan yang siang itu sedang sibuk memilah jeruk jenis Baby Jawa sesuai ukuran. Di halaman rumah Suprapto, salah satu petani jeruk di Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mereka mengelompokkan jeruk baby super, ukuran terbesar, di satu keranjang yang sama. Total ada lima ton jeruk hasil panenan hari itu.
Tiga pemuda itu gembira, karena jeruk panenan akhir tahun dihargai lebih mahal dibanding jeruk awal tahun. Puluhan keranjang berwarna merah siap untuk diangkut ke dalam mobil ekspedisi, dan dikirim ke pembeli di Solo malam itu juga.
"Bulan ini harga dari petani untuk jeruk super bisa sampai Rp8.000 per kilogram. Waktu panen raya bulan keempat sampai ketujuh harganya Rp6.000 per kilogram. Harga akan dipuncaknya saat bulan ke-12 nanti, bisa sampai Rp9.000 per kilo,” kata Agung, buruh petik sekaligus pemilik lahan jeruk berusia 25 tahun, Selasa 27 Oktober 2015.
Ranumnya harga jeruk disebutnya berlangsung sejak dua tahun terakhir. Agung mengingat tahun ini harga semakin stabil lantaran tak ada lagi jeruk impor yang masuk di pasaran.
Kondisi itu berbeda dengan tahun 2012 lalu. Waktu itu harga jeruk anjlok sampai Rp1.500 per kg, hancur dengan serbuan jeruk super impor. "Kami tak bisa menjual di harga bagus karena mereka berani jual murah dan barangnya banyak," Agung bercerita kondisi tiga tahun silam.
Saat itu jeruk impor super bisa dihargai Rp6.000 per kilo, sementara jeruk lokal ada pada harga normal Rp7.000 per kilo di saat yang sama, "Katanya buah impor sengaja dibatasi sekarang, dampaknya ya sangat bagus harga buah lokal bisa tinggi dan pasar lokal sangat banyak,” lanjut pemuda yang ikut bertanam jeruk sejak SMP itu.
Kini Agung mengaku sering kewalahan menerima permintaan, sehingga ia harus menyusun strategi. "Misalnya bulan ini pesan dua ton, kami kirim 1,5 ton saja. Alasannya ongkos kirim naik jadi modalnya tak cukup, baru bulan depan kami tambah pasokan. Biasanya pembeli mau tambah harga dan kami juga bisa cari pembeli lain,” kata Agung.
Bagi buruh petik sekaligus petani, kondisi itu berdampak pada pemasukan yang diterima. Agung mengaku upah petiknya meningkat sejak satu tahun terakhir. "Sekarang setiap petik per lima ton dibayar Rp200 ribu, dulu kurang dari itu. Sehari kami bisa petik hingga 20 ton,” katanya. Honor tersebut akan dibagi Agung dengan tujuh rekannya sesama buruh petik lain.
Kepala Desa Selorejo Bambang Sponyono menyebut ada sekitar 260 hektare lahan jeruk dengan produksi jeruk per hektar mencapai 40 hingga 50 ton jeruk. Sementara jumlah lahan jeruk di seluruh Kecamatan Dau mencapai 1.025 hektare.
Petani yakin jumlah lahan jeruk terus meningkat setelah pemerintah semakin membatasi jeruk manis impor. Petani terpacu untuk menyisihkan uang setiap panen, dan membeli lahan baru untuk terus bertanam jeruk. "Itu tahun lalu, tahun ini pasti bertambah lagi."
Suwaji, salah satu petani jeruk teladan di Selorejo memperkirakan panen per tahun minimal bisa mencapai 40 juta ton. Asumsinya setiap hektare ada 1.000 pohon dan setiap pohon bisa berbuah minimal 40 kilo, tinggal dikalikan dengan luas lahan sekitar 1.025 hektare.
Untuk menekan buah-buah impor yang masuk ke Indonesia, pada tahun 2012 lalu, pemerintah sebenarnya telah memperketat peraturan, baik itu pintu masuk maupun persyaratannya. Dengan adanya kebijakan ini, maka setiap buah-buahan yang masuk ke Indonesia diselektif dengan lebih ketat dan harus memiliki persyaratan-persyaratan yang legal. Sejak adanya kebijakan itu, dilaporkan bahwa impor buah di Indonesia mengalami penurunan sekitar 52 persen.
Namun, untuk mengurangi membanjirnya buah-buahan impor yang masuk di Indonesia tidak cukup hanya memperketat peraturan-peraturan buah-buah impor. Tetapi harus dibarengi dengan tindakan-tindakan yang solutif, komprehensif, dan dilakukan secara konsisten. Untuk itu, ada banyak cara yang sebenarnya dapat dilakukan pemerintah guna mengurangi impor buah-buahan.
"Katanya pemerintah membatasi buah impor, jadi apel kami juga tak banyak saingan. Kalau apel di Jawa Timur hanya ada di Batu, Tumpang (Kabupaten Malang dan Nongkojajar (Pasuruan),” kata Soma, petani dan buruh petik apel di Kota Batu, Malang Kamis 29 Oktober 2015.
Dia mengingat, apel lokal sempat 'menangis' ketika kran buah impor dibuka besar-besaran. Merahnya apel Ana kalah dengan apel merah berlabel impor yang harganya selisih Rp1.000 lebih murah dibanding lokal. Selain itu, bentuk apel impor yang berkilau, lebih besar dan lebih baik, selalu memikat hati pembeli. Meskipun soal rasa, Soma percaya, buah lokal lebih segar, manis dan bergizi.
"Impor itu sudah diberi lapisan lilin dan kandungan airnya tidak sebanyak buah lokal. Jadi rasanya tidak segar dan kalau makan kulitnya harus dikupas. Tapi karena lebih murah dan bentuknya bagus, kami jadi kalah bersaing,” katanya.
Beruntung masa lalu itu tidak terulang lagi di beberapa tahun terakhir. Tak banyak lagi buah impor membanjiri kios dan lapak buah di pinggir jalan atau di pasar tradisional lainnya. Imbasnya, bahkan upah buruh pun mengalami peningkatan selama satu tahun terakhir.
"Setelah panen kan selalu dirempesi (digugurkan daun di pohon), upah buruh rempesi itu sekarang Rp27 ribu, sudah naik. Dulu Rp25 ribu untuk kerja dari pukul 06.00 sampai 12.00 siang. Semoga bisa naik lagi, karena kebutuhan sehari-hari semua naik,” Soma berharap.
Pada tahun 2013 lalu, data Dinas Pertanian setempat menyebut jumlah petani di Batu sebanyak 17.358 rumah tangga, menyusut jika dibandingkan data tahun 2003 sebanyak 19.326 rumah tangga. Di kurun waktu yang sama, luas lahan pertanian juga menciut 11,5 persen. Pada 2003 luas lahan pertanian mencapai 2.681 hektare, sepuluh tahun kemudian menyusut dan tersisa 2.373 hektare.
“Lahan apel sudah semakin sulit, banyak yang berubah jadi vila. Untuk beli lahan lagi juga susah karena harga tanah semakin tinggi, bisa sampai Rp2 juta per meter,” kata Sasmito, petani sekaligus penjual buah apel Batu.
Walaupun buah impor tak lagi gencar, petani masih harus bersaing dengan buah lokal lain. Petani apel Batu harus bersaing dengan sesama produk apel lokal lain. Jika kualitas mereka kalah tentu pasar lebih memilih apel yang lebih baik dengan harga yang sama.
Perlindungan Petani Lokal
Pada September 2012, pemerintah menetapkan kebijakan pembatasan pintu masuk untuk produk hortikultura yang mulai berlaku sejak 28 September 2012.
Kebijakan ini merupakan penundaan atas penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30/M-DAG/PER/5/2012 tentang (Permendag) tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang sedianya ditetapkan mulai berlaku 15 Juni 2012.
Dengan ketetapan ini pemerintah menutup beberapa pelabuhan impor produk hortikultura, sehingga impor hanya boleh masuk ke wilayah pabean Indonesia melalui empat pintu masuk yaitu, Pelabuhan Belawan, Tanjung Perak, Makassar dan Bandara Soekarno-Hatta.
Berdasarkan peraturan itu memang terlihat adanya keinginan pemerintah untuk melindungi kepentingan konsumen terutama terkait pengendalian hama penyakit dan juga keberadaan petani buah lokal.
Pengetatan impor barang hortikultura, termasuk buah perlu dilakukan guna melindungi petani dalam negeri. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk menjadikan buah lokal menjadi tuan di rumah sendiri. Anggota Komisi IV DPR RI Zainut Tauhid mengatakan semestinya memang ada kebijakan seperti itu.
"Ada mestinya. Kita kan punya Undang-Undang Hortikuktura, yang di situ ada pembatasan-pembatasan impor buah-buahan. Tapi selama ini pada aspek pengawasannya sangat lemah sekali," kata Zainut ketika berbincang dengan VIVA.co.id, Kamis 29 Oktober 2015.
"Kasihan petani-petani kita banyak hasil panennya yang tidak layak jual karena kekurangan pengetahuan pasca panen dan manajemen distribusi pendingin berantai agar panennya bisa tahan lama," tuturnya. Karena itulah, kualitas buah impor masih jauh lebih baik dari pada buah lokal. Selain tahan lama, rasa juga lebih manis dan terjamin mutu kesehatannya.
Pemerintah juga dinilai kurang mengembangkan penghasil sentra buah lokal yang berskala komersial sehingga menunjang petani Indonesia akibatnya hasilan petani buah lokal menjadi kurang baik.