- ANTARA/Septianda Perdana
VIVA.co.id - Sarhan (33) tampak sibuk dengan cangkulnya. Mengenakan kaus oblong dan celana panjang yang sudah terlihat kusam, pria ini tekun membersihkan rumput yang menjalar di kebun kopinya. Ia terus mengayunkan cangkul di tangannya, membabat rerumputan. Sesekali, ia menunduk dan membungkuk untuk mencabut rumput yang melintang.
Hari beranjak siang. Namun, Sarhan tetap bertahan. Lumpur nyaris membungkus sepatu boot yang ia kenakan. Sisa air hujan sesekali menetes melalui ujung daun kopi, jatuh menyapa rambut kepalanya.
Ia tak hanya menyiangi rumput, namun juga menanam sejumlah sayuran di sela pepohonan. Sementara, di atas kepala Sarhan, buah kopi terlihat menyembul di antara dedaunan. Warnanya yang hijau kekuningan menandakan, ‘anak kesayangan’ Sarhan tersebut akan segera matang.
“Secara garis keturunan, saya memang dari keluarga petani kopi,” ujar Sarhan membuka percakapan, saat VIVA.co.id menyambangi kebun kopinya di Kampung Wih Nongkal, Kute Panang, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Rabu, 7 Oktober 2015.
Ia mengatakan, orangtuanya merupakan petani kopi. Sarhan sempat mencoba peruntungan dengan bekerja di sebuah lembaga sosial. Namun, ia tak kerasan. Akhirnya, ia melanjutkan profesi orangtuanya, menjadi petani kopi. Alasannya, profesi ini menantang dan kopi merupakan komoditi yang diperdagangkan di seluruh dunia serta dicari semua orang.
“Wilayah kita tinggal juga ideal untuk kopi, sehingga saya memilih kopi,” ujarnya menambahkan.
Berbeda dengan petani kopi kebanyakan, Sarhan tak menjual kopi merah atau yang sudah matang. Namun, ia menjual kopi yang masih mentah (green bean).
Menurut dia, harga jual antara biji kopi merah dan green bean selisih hingga 15 persen. "Saya memilih menjadi petani kopi, karena ingin memberikan contoh kepada petani tradisional di desa, agar kopi mendapat nilai tambah dengan menjual green bean, tidak lagi menjual kopi merah," ujar pria yang telah banyak belajar tentang pahit manisnya dunia pertanian di sebuah lembaga swadaya masyarakat.
Meski telah lama menjadi petani kopi, Sarhan mengaku penghasilannya belum bisa untuk mencukupi semua kebutuhan. Alasannya, ia hanya memiliki setengah hektare lahan. “Dengan luasan setengah hektare itu sebetulnya hanya pas-pasan. Untuk keluarga yang besar itu pasti kurang,” ujar pria yang hangat ini.
Tak hanya dia, banyak petani Kopi Gayo yang miskin. Menurut dia, hal itu terjadi salah satunya karena petani tak bisa mengelola keuangan guna membiayai pertanian. Banyak petani yang mengandalkan uang pribadi untuk mengolah kebun kopi. Mereka tak mau meminjam ke bank.
“Mereka meminjam uang kepada pembeli kopi. Sehingga luasan usahanya tidak berkembang, karena mereka gali lobang tutup lubang,” ujar Sarhan.
Menurut dia, para petani kopi di dataran tinggi Gayo masih banyak yang menggantungkan kehidupan kepada para tengkulak atau tauke yang nyaris ada di setiap kampung. Ketergantungan para petani kopi terhadap tauke di daerah berhawa sejuk ini tergolong tinggi, mengingat kopi bukan tanaman yang hasilnya bisa dipanen setiap bulan.
Penghasilan petani tidak tetap, sehingga mereka terpaksa meminjam uang kepada tauke untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Para petani ini akan membayarnya dengan biji kopi merah yang baru saja dipanen.
Penghasilan petani tidak tetap, sehingga mereka terpaksa meminjam uang kepada tauke untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Foto: ANTARA/Zulkarnain
Membantah
Tauke membantah tudingan sebagai pihak yang dianggap menyebabkan petani kopi terus dijerat kemiskinan. Salah satu tauke, Ruslan (40) mengatakan, nasib tauke juga tak jauh berbeda dengan para petani.
Menurut dia, tauke juga ikut merasakan dampak harga kopi yang tak stabil. Tak sedikit tauke yang menutup usahanya dan gulung tikar karena didera kerugian. Selain itu, persoalan lain yang dihadapi para pengepul kopi ini adalah semakin menjamurnya para pemain baru.
"Sekarang siapa yang banyak duit yang diincar para petani," ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 7 Oktober 2015.
Menurut dia, tak semua petani menjual kopi merah kepada para tauke. Pasalnya, koperasi yang bergerak di bidang ekspor kopi sudah kian menjamur, sehingga sebagian petani memilih menjual langsung ke koperasi.
"Kalau menjual kepada kami, atau kepada koperasi tidak untung dan tidak rugi, sama saja, jual ke koperasi untung, jual kepada kami para tauke juga untung.”
Hal senada disampaikan Sekretaris Eksekutif Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Miftakhul Kirom. Ia membantah jika petani kopi miskin karena permainan harga para pedagang. Karena, saat ini perdagangan kopi sangat terbuka. Bisnis kopi secara umum mengacu kepada harga terminal, arabica di AS, dan robusta di London.
Ia menilai, saat ini para petani memiliki posisi tawar yang kuat. Pasalnya, ada sejumlah jenis kopi yang hanya ada di daerah tertentu. “Petani punya itu dan secara umum masyarakat sudah menghargai itu dan mau membeli kopi dengan harga yang tinggi,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 8 Oktober 2015.
Menurut dia, yang menjadi persoalan jika permintaan turun. Karena hal itu akan berdampak langsung terhadap petani. “Karena dalam jalur mata rantai itu patokannya terminal itu. Kalau lagi turun ya ikut turun, dan sebaliknya.”
Bisnis kopi secara umum mengacu kepada harga terminal, arabica di AS, dan robusta di London. Foto: ANTARA/Gatot Arifianto
Upaya Pemerintah
Pemerintah Daerah mengakui, sumbangan para petani kopi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) cukup signifikan. Kabid Produksi dan Perlindungan Tanaman Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Tengah Sulwan Amri mengatakan, keberadaan petani kopi berkontribusi pada pendapatan daerah.
Pasalnya, kopi merupakan salah satu komoditas unggulan dan menjadi sumber penghidupan masyarakat di Aceh Tengah. “Kalau tidak salah, hampir 90 persen penduduk Aceh Tengah menggantungkan hidupnya dengan berkebun kopi,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 8 Oktober 2015.
Menurut dia, pada tahun 2014, wilayah ini telah memproduksi kopi sekitar 26.000 ton. Ia mengatakan, para petani di Aceh Tengah pada umumnya menanam kopi jenis arabika. Karena, tanaman kopi di lahan pertanian yang berada di ketinggian 1200 Mdpl tersebut, hampir 90 persen adalah kopi arabika, sedangkan sisanya adalah jenis kopi Robusta.
"Kopi jenis robusta mungkin hanya di bawah seribu hektar, dan itu tidak lagi ditemukan di perkebunan kecuali ada di beberapa daerah seperti di Kecamatan Ketol, Kampung Bergang dan Karang Ampar, sebagian di Kecamatan Linge dan Kecamatan Silihnara,” ujarnya.
Ia mengatakan, kopi green bean asal Aceh Tengah telah diekspor dengan tujuan negara-negara besar di benua Asia, Eropa bahkan negara-negara di benua Amerika. Hal ini tentu mengerek pendapatan pemerintah Aceh Tengah. "Paling tidak pos-pos retribusi penerimanya akan meningkat,” ujarnya.
Sulwan tak membantah, meningkatnya ekspor dan penjualan Kopi Gayo tak berbanding lurus dengan kesejahteraan para petani. Ia berdalih, hal itu terjadi karena produksi kopi dari para petani tak optimal. “Dilihat dari produktivitas kopi di tingkat petani, untuk Aceh Tengah masih di bawah standar potensi, hanya 725 kilogram perhektar dalam satu tahun,” ujarnya.
Untuk itu, pemerintah daerah akan mengupayakan menambah produksi di atas jumlah tersebut. "Kita terus berupaya untuk meningkatkan produksi di tingkat petani. Karena, kalau produksinya meningkat, petani kita harapkan sejahtera.”
Pemkab Aceh Tengah mengklaim, program-program yang mereka lakukan bertujuan meningkatkan taraf hidup petani. Sejumlah program yang sudah dilakukan di antaranya, pemberian pupuk organik, intensifikasi kopi dan kegiatan lain, baik yang menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Tengah serta Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA).
Meningkatnya ekspor dan penjualan Kopi Gayo tak berbanding lurus dengan kesejahteraan para petani. Foto: ANTARA/Ampelsa
Sulwan menjelaskan, sebenarnya program pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup petani kopi cukup banyak. Namun, mereka terkendala karena keterbatasan dana. Akibatnya, pemerintah hanya memilih sejumlah kegiatan prioritas, seperti rehabilitasi, mengganti atau melakukan peremajaan tanaman kopi.
Selain itu, pemkab juga berusaha mendapatkan varietas yang lebih baik serta pemanfaatan lahan yang lebih efektif. “Kita juga melakukan pembinaan terhadap kelompok tani melalui Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) yang dilandasi oleh kemitraan, agar para petani bisa mandiri, dengan benar-benar mencari mitra positif yang saling menguntungkan, dengan harapan nilai tawar petani semakin baik.”
Miftakhul Kirom menyampaikan pendapat serupa. Sekretaris Eksekutif Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) ini mengakui, dana pemerintah untuk memberdayakan petani kopi terbatas. Menurut dia, AEKI sudah menyampaikan kepada pemerintah supaya memberikan perhatian kepada petani kopi. Karena, kopi Indonesia sudah dikenal di dunia.
“Kendala kita karena permintaan kopi semakin tinggi, baik di luar maupun dalam negeri, namun tingkat produktifitas kopi kita masih rendah,” ujarnya.
Ia berharap, dengan meningkatnya permintaan akan menambah pendapatan petani. Sebagai gambaran, selama ini dalam 1 hektare hanya menghasilkan 750 kg, dengan meningkatnya produktivitas menjadi 1 ton atau 1,5 ton, petani akan memperoleh pendapatan yang besar. “Itu yang kita dorong ke pemerintah supaya berikan perhatian lebih ke petani.”
Harapan yang sama juga disampaikan Sarhan. Petani kopi ini mengakui, pemerintah memang sudah melakukan sejumlah program, seperti pelatihan kelompok tani. Namun menurut dia, program itu masih sebatas seremonial.
“Tetapi edukasi terhadap peningkatan taraf hidup petani tidak begitu besar. Sebagai petani saya merasakan, di setiap akhir tahun pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk bibit, pengendali hama ataupun pupuk, tetapi jumlahnya sangat terbatas,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah melalui dinas terkait harus intensif mendampingi petani dan itu tidak hanya menjadi program akhir tahun.
Iwan SP (Aceh Tengah)