- Reuters
VIVA.co.id - Aroma kopi langsung tercium saat membuka pintu salah satu kedai kopi di Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu, jarum jam menunjuk pukul 19.20 WIB.
Suasana di kedai tersebut mulai ramai. Hampir seluruh pengunjung beragam usia terlihat santai. Di meja mereka terhidang beberapa cangkir kopi. Alunan musik nan lembut, ditingkahi suara mesin pembuat kopi, menjadi selingan malam itu.
Kini, penikmat kopi tak sulit mencari tempat nongkrong. Sejumlah kedai kopi kian menjamur di Jakarta.
Tidak hanya di ibu kota, kota-kota lain di Indonesia mulai marak berdiri kedai kopi. Dari yang hanya berlabel warung kopi berharga murah, hingga kedai kopi kelas atas.
Di Yogyakarta misalnya. Warung kopi dan kedai kopi selalu dipenuhi pengunjung. Dari yang hanya duduk di trotoar jalan hingga kafe dengan fasilitas Wi-Fi dan pendingin ruangan.
Bagi sebagian orang, menyeruput secangkir kopi sudah menjadi rutinitas. Alasannya beragam, dari mengusir rasa kantuk hingga memberi semangat sebelum memulai aktivitas.
Kopi saat ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Konsumsi masyarakat terus meningkat. Kopi tak sekadar menjadi konsumsi, namun sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat.
Kafe dan kedai kopi tak hanya diminati kelas ekonomi menengah ke bawah. Namun, juga kelas ekonomi menengah ke atas. Kafe-kafe kopi tak lagi tempat minum semata.
Para eksekutif muda dan sosialita pun memanfaatkannya untuk membicarakan kontrak bisnis dan memperluas jaringan usaha.
Kopi saat ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Konsumsi masyarakat terus meningkat. Foto: Reuters
Kopi Lokal
Perilaku minum kopi yang sudah ada sejak zaman dahulu, semakin membuat bisnis kopi bergeliat. Dengan melihat prospek yang menjanjikan dari "si Hitam ini, makin banyak yang ingin meraih pendapatan dari bisnis ini.
"Saya memulai bisnis kafe kopi belum lama, tepatnya 7 April 2015," kata Jody Bany Wicaksono, manajer Filosofi Kopi Cafe, saat ditemui VIVA.co.id, Rabu 7 Oktober 2015.
Ide berbisnis kedai kopi ini muncul dari syuting film. Cerita film hampir sebagian besar di kedai kopi. Proses syuting pun dilakukan di lokasi itu.
"Nah, dari sana akhirnya kepikiran kenapa tidak sekalian buat coffee shop. Kan, udah sewa tempat, desain interior, dan segala macam," tuturnya.
Jody mengakui, bisnis kedai kopi tengah naik daun. Sayangnya, kopi di dalam negeri kurang dihargai. Alasan ini yang mendorong Jody mendirikan kedai kopi yang cukup idealis.
"Kami hanya jual kopi Indonesia. Kami ingin membangkitkan kecintaan ke kopi Indonesia," ujarnya.
Mempertahankan kopi lokal ini menjadikannya berbeda dengan lainnya. Meskipun, Jody juga tidak menutup kemungkinan mendatangkan kopi dari luar negeri. "Supaya orang bisa bandingin kopi mana yang lebih enak," kata dia.
Sementara itu, bagi Andanu Prasetyo, pemilik kedai kopi Toodz House di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, kedainya memang sengaja dibuat dengan konsep kafe. Kedai yang berdiri sejak 2010 itu melayani pengunjung dengan deretan menu kopi dan makanan.
"Waktu kuliah, kebetulan saya pernah riset tentang coffee shop. Lalu, keluarga dapat tawaran lahan di Cipete. Jadi, saya memaksimalkan apa yang saya punya saat itu," ujar pria yang akrab disapa Tyo kepada VIVA.co.id, Kamis, 8 Oktober 2015.
Kala itu, Tyo yang masih menjadi mahasiswa di Prasetiya Mulya Business School tanpa ragu-ragu belajar cara membuat kopi secara otodidak. Lima tahun terjun di bisnis kedai kopi, Tyo mengatakan usahanya tidak serta merta menguntungkan.
"Kalau dikatakan menguntungkan sih menguntungkan. Tapi, saya merasa informasi tentang kopi belum merata. Ekspektasi konsumen beragam dan pengetahuan tentang rasa asam dan pahit kopi belum banyak yang tahu," ungkap Tyo.
Meski, ia tak menampik bahwa budaya minum kopi di Indonesia kian berkembang. Semakin banyak orang yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kopi. Terutama kopi Indonesia.
Itu sebabnya, Tyo juga membuka kedai kopi lain. Lokasinya persis di seberang kedai kopi pertamanya. Dinamakan Toko Kopi Tuku. Usahanya yang baru berjalan empat bulan itu memiliki konsep kedai kopi yang lebih kental dibandingkan Toodz House.
Tak hanya menjual aneka menu kopi, namun juga biji kopi dan kopi yang telah disangrai. Berbeda dengan Toodz House yang pangsa pasarnya merupakan anak-anak muda dan dewasa, segmen konsumen yang dibidik Toko Kopi Tuku jauh lebih luas.
Konsumen bisa memilih kopi seduh biasa hingga kopi dengan tingkatan tertentu. "Jadi, konsepnya bukan kafe yang orang bisa nongkrong," ujar dia.
Beberapa jenis kopi lokal yang ada di kedainya antara lain Musara, Sunda Arumanis, Sumedang Kareumbi, Flores Bajawa, Bali Kintamani, dan Robusta Java. Namun, di Toko Kopi Tuku, varian kopi lokal yang tersedia jauh lebih beragam. Untuk kopi impornya, Tyo menyediakan kopi dari Kenya, Afrika.
Setiap harinya, Toodz House kedatangan 100-200 konsumen. Sementara itu, Toko Kopi Tuku sebanyak 50-100 konsumen. Omzet usahanya juga terbilang cukup besar, yakni di atas Rp300 juta untuk Toodz House dan di atas Rp50 juta untuk Toko Kopi Tuku.
Budaya minum kopi di Indonesia kian berkembang. Semakin banyak orang yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kopi. Terutama kopi Indonesia. Foto: ANTARA/M Agung Rajasa
Terinspirasi Asing
Menjamurnya bisnis kedai kopi lokal itu tak dipungkiri terinspirasi usaha sejenis dari merek asing. Tidak heran bila kedai kopi asing yang masuk ke Indonesia telah mengangkat citra warung kopi.
Usaha yang selama ini dikenal sebagai bisnis yang menyasar kelas bawah, kini menjadi usaha yang mulai membidik kelas menengah atas. Semerbak "harumnya" bisnis kedai kopi menarik minat banyak pelaku usaha untuk mencicipinya.
Tidak hanya di kota besar seperti Jakarta, usaha kedai kopi telah merambah hingga ke daerah. Pelaku usaha lokal mengembangkan bisnis kopi dengan konsep dan harga yang terjangkau kocek masyarakat Indonesia.
Bahkan, saat ini banyak pebisnis kopi yang mulai menyasar kelas menengah ke bawah dengan pangsa pasar anak sekolah, mahasiswa, hingga karyawan kantor dengan penghasilan pas-pasan.
Jody Bany Wicaksono pun akan mengembangkan usahanya tersebut di tengah persaingan kedai kopi asing yang semakin menjamur.
"Kami sedang coba mengubah mindset masyarakat. Kami hadirkan kopi dari negeri sendiri. Nah, mengubah mindset orang dan kebiasaan orang untuk minum kopi lokal memang cukup sulit," tuturnya.
Andanu Prasetyo bahkan mengatakan, kopi yang dijual di dua kedai miliknya terdiri atas 90 persen kopi lokal dan 10 persen kopi impor. Ia punya alasan tersendiri mengenai hal ini.
"Orang Indonesia pasti bangga dengan kopi lokal. Tapi, juga harus lihat kopi lainnya," ujar Tyo, sapaan Andanu Prasetyo.
Semakin menjamurnya kedai kopi dan kafe di ibu kota saat ini tidak membuat Tyo khawatir mengenai ketatnya persaingan bisnis. Ia bahkan merasa belum terlalu tersaingi. Prospek bisnis kedai kopi ke depannya dinilai semakin cerah.
Sebagai pelaku bisnis kedai kopi, ia juga punya beberapa harapan pada industri kopi lokal. Ke depannya memang harus mengakurkan antara hulu dan hilir. Bagaimana hulu mau distribusi ke hilir, jadi tidak semua diimpor.
Selanjutnya, mengedukasi masyarakat Indonesia bahwa kopi itu bukan sekadar enak atau tidak enak. "Dengan begitu, mereka akan lebih menghargai kopi dan semakin menghidupkan industri kopi," ujar dia.
Bisnis kopi yang mulai "mengharumkan" pemilik kedai maupun warung kopi, ternyata belum menyentuh petani kopi. Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Jawa Tengah, Moelyono Soesilo, mengatakan, pertumbuhan konsumsi kopi Indonesia mencapai 5-6 persen.
Namun, pencapaian itu tidak diiringi kesiapan di tingkat hulu yaitu para petani. "Pemerintah mesti fokus ke perbaikan nasib para kelompok tani dan diarahkan untuk meningkatkan produktivitas," ujar Moelyono usai menghadiri perayaan Hari Kopi Internasional, 3 Oktober 2015, di Jakarta.
Ia menilai, bantuan yang diberikan pemerintah beberapa kali tidak tepat sasaran. Kementerian Perindustrian pun disebutnya pernah memberikan bantuan mesin sangrai (roasting) kepada petani kopi.
Dia menganggap, kebijakan ini aneh, karena seolah pemerintah mengarahkan para petani menjadi wirausaha.
"Pernah juga dinas-dinas meminta saya memberikan pelatihan barista (peracik kopi) kepada petani. Ini kan salah kaprah, akhirnya produksi kopi tidak maksimal,” tuturnya.
Hendra Hendarin, salah seorang pemilik kedai kopi kepada VIVA.co.id, berharap pemerintah, pengusaha kopi, dan lainnya turut berpikir bersama untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Selain itu, dia meminta pihak terkait memperhatikan faktor lingkungan.
"Harus memperhatikan sustainability, bertani yang menjadi sahabat dengan alam, kesejahteraan petani kopi harus menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan pengusaha kopi," ujar pemilik kedai kopi yang telah membuka kedainya di Hong Kong itu.
Yang lebih penting, kata Hendra, adalah bagaimana memberi pengetahuan kepada petani untuk berjuang dan memproduksi kopi yang baik dan sehat, serta berkualitas. "Itu dulu. Percuma jika regulasi bagus tapi kopinya nggak bagus. Ini akan sulit bersaing," ujarnya.
Sekretaris Eksekutif AEKI, Miftakhul Kirom, mengatakan, untuk bisnis kopi secara umum mengacu kepada harga terminal, Arabica di AS, dan Robusta di London.
"Itu general. Tapi, yang spesifik daerah penghasil kopi, itu punya bergaining yang kuat. Petani punya itu dan secara umum masyarakat sudah menghargai dengan mau membeli kopi dengan harga tinggi," kata dia.
Sementara itu, yang jadi kendala, menurut Miftakhul, adalah jika permintaan turun akan berdampak bagi petani. "Karena, dalam jalur mata rantai patokannya terminal itu. Kalau lagi turun, ya ikut turun dan sebaliknya," tuturnya.
Miftakhul mengakui jika dana pemerintah terbatas. Meskipun asosiasi mengatakan sudah berkali-kali menyampaikan ke pemerintah supaya memberikan perhatian kepada petani kopi.
"Kopi di Indonesia sudah dikenal di dunia. Kendala kita, meski permintaan kopi semakin tinggi, baik di luar maupun dalam negeri, tingkat produktivitas kopi kita masih rendah," kata dia.
Diharapkan, dengan meningkatnya permintaan, akan menambah pendapatan petani. Sebagai gambaran, selama ini, dalam satu hektare hanya menghasilkan 750 kilogram kopi. Dengan meningkatnya produktivitas menjadi satu atau 1,5 ton, petani akan mendapatkan pendapatan yang besar.
"Itu yang kami dorong ke pemerintah supaya berikan perhatian lebih ke petani, misalnya mengganti tanaman yang sudah tua, intensifikasi dalam bentuk pupuk," tuturnya.
Diharapkan, dengan meningkatnya permintaan, akan menambah pendapatan petani. Foto: REUTERS/OSMAN ORSAL
Genjot Pasar Ekspor
Kementerian Perdagangan mengakui, maraknya kedai kopi saat ini bisa berdampak positif terhadap penyerapan kopi di Tanah Air.
"Kalau saya lihat, konsumen bertambah banyak dan penyerapan kopinya sangat banyak. Adanya kedai kopi sangat positif untuk penyerapan kopi," kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag, Nus Nuzulia Ishak, ketika ditemui VIVA.co.id di Jakarta, Kamis 8 Oktober 2015.
Selain diserap pasar domestik, kopi Indonesia pun diekspor ke luar negeri. Kemendag mencatat pada 2010, ekspor kopi sebesar US$941 juta dan meningkat pada 2014 senilai US$1,03 miliar.
Pada periode 2010-2014 ada peningkatan ekspor sebesar 6,32 persen. Pada periode Januari-Juli 2015, ekspor kopi tercatat sebesar US$680,7 miliar dan meningkat 28,57 persen dari periode Januari-Juli 2014 yang senilai US$529,47 miliar.
Nus mengatakan bahwa Indonesia masih mendatangkan kopi. Pada 2014, impor kopi tercatat US$46,77 juta dan meningkat 20,42 persen terhadap impor tahun sebelumnya yang sebesar US$38,84 juta. Pada periode Januari-Juli 2015, impor kopi tercatat US$14,49 juta dan turun 62,16 persen dari periode Januari-Juli 2014 yang sebesar US$38,32 juta.
Berdasarkan data di atas, neraca perdagangan kopi Indonesia pada 2014 surplus US$992,4 juta, sedangkan pada peiode Januari-Juli 2015 surplus US$666,25 juta.
"Kita surplusnya untuk kopi," kata dia.
Menurut dia, ada lima negara tujuan ekspor kopi Indonesia terbesar, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Malaysia, dan Italia. Pada 2014, ekspor kopi ke Amerika Serikat sebesar US$295,99 juta, Jepang US$101,37 juta, Jerman US$84,73 juta, Malaysia US$60,85 juta, dan Italia sebesar US$60,64 juta.
Selanjutnya, negara pemasok kopi ke Indonesia pada 2014 adalah Vietnam US$31,54 juta, Brasil US$6,34 juta, Italia US$1,92 juta, Malaysia US$1,61 juta, dan Amerika Serikat US$1,51 juta.
"Pada periode Januari-Juli 2015, ada beberapa negara yang ekspor kopi Indonesianya meningkat, seperti Thailand sebesar 347 persen, Aljeria 284,1 persen, Filipina 485,88 persen, dan Afrika Selatan 375,73 persen," kata dia.
Nus mengatakan bahwa diversifikasi pasar ekspor kopi cukup banyak. Pemerintah pun menggenjot ekspor kopi dengan cara mengikuti pameran-pameran berskala internasional.
Pemerintah pun ingin menggeser posisi Brasil. "Brasil itu eksportir kopi terbesar, sedangkan Indonesia terbesar ke-7," kata dia.
Ia mengatakan, kopi yang berasal dari Indonesia merupakan kopi non roasted yang masih berupa biji kopi (bean), dengan nilai sekitar US$1,03 miliar pada 2014, kopi panggang (roasted) dan kopi yang berbentuk keping sekitar US$250 ribu, serta kopi serbuk US$8 ribu.
Ada lima negara tujuan ekspor kopi Indonesia terbesar, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Malaysia, dan Italia. Foto: Antara/Moch Asim
Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan, Ari Satria, menjelaskan alasan kopi yang diekspor mayoritas masih berbentuk biji. "Kalau sudah roasted, nggak fresh. Mereka maunya dalam bentuk bean. Nantinya di-blend (misalnya) dengan hazelnut," kata dia.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Miftakhul Kirom menjelaskan, ekspor kopi Indonesia ada yang berbentuk kopi biji/olahan (green bean). Jumlahnya hampir di atas 70 persen tiap tahun.
Ekspor ini sangat berpengaruh terhadap ketersediaan bahan baku kopi dalam negeri. Ekspor green bean dimulai pada 2013 sebanyak 532 ribu ton. Pada 2014-2015, ekspornya menurun, karena produksinya juga turun.
Produksi pada 2013, rata-rata 740 ribu ton, dan dua tahun berikutnya, produksi hanya mencapai 550-600 ton. Ekspor pada 2014 mencapai 382 ribu ton, lalu 2015 meningkat sedikit sekitar 10 persen menjadi sekitar 420 ribu ton.
Ada juga ekspor kopi dalam bentuk instant coffee. "Kami optimistis tiap tahun selalu meningkat. Catatan kami, pada 2012, instant coffee ekspornya sampai 71 ribu ton, lalu 2014 menjadi 92 ribu ton, dan 2015 yakin bisa mencapai 100 ribu ton," ujar Miftakhul.
Miftakhul mengatakan, Indonesia sebagai produsen kopi terbesar ke-4 di dunia, volume hampir sama dengan Kolombia. Sayangnya, dalam dua tahun ini, Indonesia kalah dari Kolombia. Peringkat pertama sebagai produsen kopi masih dipegang Brasil disusul Vietnam.
Mayoritas kopi yang dihasilkan Kolombia adalah jenis kopi Arabica. Indonesia sebanyak 76 persen kopi yang dihasilkan jenis Robusta. Dan kebutuhan dan permintaan dunia 68 persen lebih ke Arabica.
"Dari sisi harga, Arabica memang jauh lebih mahal dari Robusta. Contoh harga Arabica, kisaran Rp40-45 ribu, sedangkan Robusta Rp24 ribu per kilogram. Basis Robusta di Sumatera, meliputi Lampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu," kata dia.
Sementara itu, untuk jenis Arabica, basisnya di Sumatera Utara dan Aceh. "Kopi Arabica kita sudah dikenal, karena memiliki ciri khas yaitu cita rasanya baik dan aromanya sedap," katanya.
Saat ini, jenis Arabica mulai ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Flores. Ada juga yang terkenal dengan Java Kopi di Jawa Tengah dan Toraja Kopi di Sulawesi. (art)