SOROT 352

Mudik Seru Jalur Pantura

Bangunan Museum Ranggawarsita, Semarang
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA.co.id - Jutaan kendaraan, baik sepeda motor, mobil, hingga bus, rutin menyerbu Jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) setiap tiba musim mudik Lebaran. Ini rute favorit para pemudik.

Kota-kotanya menarik untuk disinggahi. Kulinernya pun sangat atraktif untuk dicicipi.

Berbagai objek wisata tersebar di kota-kota jalur Pantura. Mulai dari bangunan lama yang kaya akan sejarah, hingga wisata religi dengan akulturasinya yang unik.

Pesona alamnya pun tak boleh diremehkan. Beberapa kota di Jalur Pantura mempunyai pemandangan yang elok. Lanskap gunung dan pantai sebagai latar belakang siap memanjakan mata para pemudik.

Jangan lupakan juga wisata edukasi. Deretan museum siap membawa Anda dan keluarga menjelajahi ‘masa lalu’ dan memperkenalkan ragam budaya di bumi Nusantara.

Setelah menyegarkan mata, tak ada salahnya memanjakan lidah Anda. Jika kebetulan waktu sudah menunjukkan berbuka puasa maka kuliner khas setempat bisa menjadi pilihan untuk mengisi perut. Atau Anda bisa mencicipi aneka kuliner lezat ini usai bersilaturahmi saat Lebaran.

Kuliner di Jalur Pantura memang memiliki kekhasan tersendiri. Di sepanjang jalur ini, Anda akan menemukan berbagai jenis sate yang tentunya memiliki cita rasa yang khas masing-masing.

Hidangan lainnya yang juga mendominasi kota-kota di Jalur Pantura adalah soto. Setiap kota mempunyai soto andalan yang pamornya tak terbantahkan lagi.

Apa saja objek wisata dan tempat kuliner menarik di Jalur Pantura? VIVA.co.id merangkumnya.

1. Purwakarta

Situ Wanayasa siap manjakan pemudik di tengah kemacetan

Dahulu, Situ Wanayasa hanya menjadi tempat singgah untuk beristirahat para pengendara yang melalui jalur ini. Namun kini banyak pengunjung yang sengaja datang ke Situ Wanayasa, untuk berwisata atau bahkan hanya sekadar duduk meresapi sejuknya hembusan angin.

Suasana danau yang terletak 23 kilometer dari pusat kota Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, itu cukup tenang. Ditambah lagi udara yang segar dan pemandangan alam yang cukup memanjakan mata.

Pemandangan Situ Wanayasa di Purwakarta

Pemandangan Situ Wanayasa di Purwakarta. Foto: VIVA.co.id/Jay Ajang Bramena

Situ Wanayasa memiliki luas sekitar tujuh hektare, dikelilingi pohon-pohon, bukit-bukit hijau, air danaunya bersih dan alami. Di tengah danau tersebut terdapat satu pulau kecil yang terdapat pohon-pohon pinus berlatar belakang Gunung Burangrang.

Daerah sekitar Situ Wanayasa memiliki ketinggian sekitar 600 meter dari permukaan laut dengan temperatur udara rata-rata berkisar antara 17 sampai dengan 20 derajat celsius.

Kebanyakan pengunjung datang ke sini bersama keluarganya untuk sekadar makan bersama di tengah-tengah pulaunya. Banyak juga pasangan muda-mudi yang mengisi liburan mereka di sini. 

Biasanya mereka menikmati keindahan panorama Situ Wanayasa dengan menaiki sepeda air bersama pasangannya. Dan, serunya juga ada pengunjung yang sengaja datang hanya untuk memancing ikan.

Tampak di sekeliling situ ini pedestrian yang tertata apik. Warga sekitar biasanya menggunakan pedestrian sebagai trek jogging. Tidak heran setiap pagi akhir pekan lokasi ini selalu dipenuhi oleh warga yang sedang berolahraga.

Situ Wanayasa berada di jalur wisata Purwakarta–Wanayasa–Jalan Cagak (Subang)–Bandung. Jadi, jika dari Jakarta dan ingin merasakan sensasi lain perjalanan ke Bandung sangat tepat bila memilih untuk melalui jalur ini.

Selain bisa mengunjungi Situ Wanayasa, perjalanan juga akan mengasyikan karena udaranya sejuk, pemandangan alam yang menakjubkan dan hamparan sawah yang luas tersaji sempurna.

Sentra Keramik Plered yang terlupakan

Plered sudah lama dikenal sebagai daerah penghasil keramik.  Tepatnya di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Purwakarta,  Jawa Barat, berbagai bentuk dan ukuran keramik dibuat. Mulai dari yang kecil, sedang, hingga berukuran besar dengan berbagai aneka desain.

Beragam model guci juga tersedia di sini. Namun sayang, komoditi yang semestinya menjadi wisata altenatif ini semakin lama semakin sepi pengunjung.

Keramik yang dihasilkan Plered biasanya dijual ke beberapa kota lain, termasuk Jakarta. Sebagian bahkan menembus pasar ekspor ke sejumlah negara di daratan China, maupun Eropa, seperti Belanda dan Rusia.

Bila berkunjung langsung ke lokasi pembuatan keramik plered, selain dapat menyaksikan langsung pembuatan keramik, pengunjung juga bisa mendapatkan harga yang boleh dibilang cukup murah. Ada yang dijual mulai dari harga Rp5.000, sampai ratusan ribu rupiah.

Berbagai jenis kermaik dipajang di Sentra Keramik Plered, Purwakarta

Berbagai jenis kermaik dipajang di Sentra Keramik Plered, Purwakarta. Foto: VIVA.co.id/Jay Ajang Bramena

Seperti keramik jenis pot dengan model sederhana misalnya, hanya dijual Rp5.000, sedangkan pot ukuran sedang berbentuk buah-buahan dijual dengan kisaran harga Rp6.000, sampai Rp7.000. Begitupun dengan celengan, mulai dari yang berbentuk hewan dan buah, hanya dijual seharga Rp8.500.

Di Plered, kegiatan pembuatan keramik bukan hanya budaya turun-temurun, tetapi sudah menjadi mata pencarian masyarakat sehari-hari. Namun, seiring persaingan bisnis keramik lokal, dari daerah lain, kunjungan ke sentra pembuatan keramik di Plered terus menurun.

Bahkan produk modern yang terus gencar membanjiri pasar dalam negeri membuat usaha keramik semakin lesu.

"Sekarang sudah sepi, enggak seperti dulu. Barang yang kita produksi kini sulit untuk dipasarkan sehingga modal kita sulit kembali. Kalau mau produksi lagi ya modalnya sulit," kata salah seorang pengrajin keramik di Plered, Wawan.

Plered terletak tidak terlalu jauh dari pusat kota Purwakarta. Jika ditempuh dengan kendaraan, hanya membutuhkan waktu antara 30 sampai 45 menit. Kemudian bila pengunjung datang dari Jakarta, bisa juga mengambil akses jalan dengan keluar di Pintu Tol Jatiluhur.

Sejarah Plered dan keramik memang tidak dapat dipisahkan dan sudah ada sejak jaman Neolitikum. Pada zaman tersebut, sudah ada penduduk yang berdatangan ke daerah Cirata menyusuri sungai Citarum.

Dari hasil penggalian di daerah Cirata ditemukan peninggalan dari batu, kapak persegi, alat untuk menumbuk dan alu dari batu, termasuk ditemukan belanga dan periuk dari tanah liat. Selain itu ditemukan juga adanya panjunan (anjun) tempat membuat keramik.

Asal muasal nama Plered mempunyai beragam versi. Di antaranya nama tersebut berasal dari masa tanam paksa ketika pada waktu tersebut daerah ini menjadi tempat penanaman kopi yang hasilnya diangkut menggunakan pedati-pedati kecil yang ditarik oleh kerbau (disebut Palered).

Sate Maranggi yang termahsyur

Di tengah perjalanan arus mudik, tak lengkap rasanya jika tak mencicipi kuliner khas daerah yang dilalui. Bagi pemudik yang melintas di jalur utama Pantai Utara, Pantura, tak ada salahnya menikmati sate maranggi sebagai makanan khas dari daerah Purwakarta, Jawa barat.

Di wilayah ini, sate maranggi tak sulit didapat, mengingat hidangan tersebut kini telah diusung sebagai ikon Purwakarta. Dari sekian banyak lokasi yang menjual sate maranggi, mulai dari pedagang keliling, warung  nasi hingga rumah makan, salah satu yang terkenal adalah Rumah Makan Sate Maranggi Cibungur, yang berada di ruas jalan utama Purwakarta - Cikampek, Kecamatan Bungursari, Purwakarta.

Di rumah makan yang berdiri sejak  1991 ini, Anda bisa mendapat beragam sajian sate maranggi, mulai dari maranggi daging sapi, maranggi daging kambing atau domba, hingga sate maranggi ayam, atau Anda bisa memesan sesuai dengan selera.

Sate maranggi di tempat ini mempunyai kekhasan rasa ketika dibandingkan dengan sate maranggi di tempat lain. Sebab, selain menggunakan resep andalan, Sate Maranggi Cibungur juga memiliki bumbu ajaib yang diberi nama bumbu khusus rempah 12.

Selain dagingnya yang sangat empuk, rasa Sate Maranggi Cibungur juga memiliki cita rasa yang tinggi. Apalagi di tempat ini, Anda akan menemukan sate maranggi yang dipadu dengan sambal tomat, yang sangat menggugah selera.

Hidangan sate maranggi di Rumah Makan Sate Maranggi Cibungur, Purwakarta

Hidangan sate maranggi di Rumah Makan Sate Maranggi Cibungur, Purwakarta. Foto: VIVA.co.id/Jay Ajang Bramena

“Sekarang sate maranggi kan semakin dikenal. Jadi omzet penjualan juga terus naik. Tiap harinya bisa menghabiskan tidak kurang dari 700 kilogram daging, yang datang juga makin banyak, ” kata pemilik rumah makan Sate Maranggi Cibungur, Yeti.

Rumah makan Sate Maranggi Cibungur awalnya hanya usaha sampingan mengingat sebelumnya di tempat itu, terlebih dahulu lebih dikenal sebagai warung Es kelapa Muda yang telah dirintis oleh orangtua Yeti sejak 1975. Namun seiring waktu, usahanya terus meningkat hingga menjadi rumah makan sate yang paling banyak dikunjungi.

Di rumah makannya itu, menurut Yeti, sate maranggi dipatok dengan harga Rp35.000 per porsi, dengan rincian 10 tusuk sate, beserta sajian pendamping sebagai bumbu, berupa bumbu kacang dan kecap, serta sambal tomat khas Cibungur. Harga tersebut belum termasuk nasi timbel dan minuman berupa es kelapa muda.

Selain sate maranggi, tempat makan ini juga menyajikan masakan lain. Mulai dari ayam, ikan bakar, hingga berbagai sop dan soto.

Saat ini, keberadaan rumah makan Sate Maranggi Cibungur juga semakin diuntungkan, seiring dengan selesainya pembangunan ruas jalan Tol Cikopo – Palimanan (Cipali). Sebab, dengan adanya akses jalan bebas hambatan itu, masyarakat atau pelangganya akan semakin mudah untuk datang ke rumah makan tersebut, mengingat posisi rumah makan yang hanya berjarak dua kilometer dari pintu masuk dan keluar gerbang tol Cikopo

Menurut budayawan Sunda, yang juga sebagai Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi,  nama sate maranggi tidak lepas dari asal mula awalnya sate itu berada. Pada awalnya nama sate maranggi tercetus dari nama seorang penjual sate, bernama Mak Ranggi yang berjualan sate di daerah Cianting, Purwakarta.

Saking terkenalnya sate dari Mak Ranggi saat itu, sampai akhirnya nama sate asal Purwakarta itu diberi nama Maranggi.

“Pada ratusan tahun lalu, Mak Ranggi sangat dikenal akan kelezatan satenya hingga menjadi buah bibir, sehingga dengan tidak sengaja, ketika menyebutkan sate pasti diakhiri dengan sebutan Maranggi,” ujar Dedi.

2. Cirebon

Menilik kendaraan antik di Keraton Kasepuhan

Setelah Purwakarta, jalur mudik berikutnya yang sudah pasti dilalui oleh banyak pemudik adalah Cirebon. Jika hari masih terang, cobalah singgah ke salah satu objek wisata di daerah ini. Salah satunya adalah Keraton Kasepuhan.

Di Keraton Kasepuhan terdapat kereta kencana ‘Singa Barong’. Kendaraan dari abad ke-15 ini sudah menggunakan roda empat dan ditarik menggunakan hewan.

“Dibuat oleh putra asli Keraton. Kereta ini fungsinya untuk kirab. Ditarik oleh empat ekor kebo bule,” ujar pemandu wisata Keraton Kesultanan Cirebon, Elang Herianto.

Elang menuturkan bahwa kereta kencana ‘Singa Barong’ pernah diteliti oleh para ahli dari Belanda pada tahun 1991. Para ahli berpendapat bahwa kereta kencana itu telah memiliki teknologi yang cukup canggih pada masanya.

Kereta kencana ?Singa Barong? di Keraton Kasepuhan, Cirebon

Kereta kencana ‘Singa Barong’ di Keraton Kasepuhan, Cirebon. Foto:
VIVA.co.id/Al Amin

Sebagai contoh, kereta ‘Singa Barong’ memiliki warna yang sempurna karena dilapisi serbuk intan, emas. Selain itu, kendaraan tersebut juga mempunyai suspensi sempurna yang dapat meredam guncangan kereta saat melalui jalanan berbatu atau rusak.

"Kereta ini juga memiliki kemudi yang menggunakan sistem hidrolik, sehingga mudah dikemudikan oleh kusirnya. Bahkan kedua sayap yang dimiliki oleh kereta ini dapat bergerak, seperti kepakan saat kereta berjalan," ucap Elang.

Sementara itu,  wajah kereta kencana ‘Singa Barong’ merupakan perwujudan tiga binatang yang digabung menjadi satu, yakni gajah dengan belalainya, bermahkotakan naga dan bertubuh hewan burak.

Belalai gajah melambangkan persahabatan dengan India yang beragama Hindu, kepala naga melambangkan persahabatan dengan China yang beragama Buddha, dan badan burak lengkap dengan sayapnya, melambangkan persahabatan dengan Mesir yang beragama Islam.

Dengan segala kenyamanan yang dimilikinya, pada masa kesultanan dahulu, kereta kencana ‘Singa Barong’ dijadikan sebagai kendaraan dinas Sultan untuk berkunjung ke wilayah pemerintahannya hingga ke pelosok daerah.

Saat ini, kereta kencana ‘Singa Barong’ sudah tidak lagi digunakan dan disimpan di dalam museum Keraton Kasepuhan sejak tahun 1942, beserta benda-benda pusaka milik keraton lainnya.

Sedapnya nasi jamblang dalam balutan daun jati

Jika Anda berkunjung ke Cirebon, jangan lupa mencicipi kuliner khasnya. Selain terkenal dengan udang rebon, Cirebon juga terkenal dengan makanan andalannya, seperti nasi jamblang.

Salah satu tempat yang kerap jadi destinasi adalah warung Nasi Jamblang Mang Dul yang berlokasi di Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo No. 58, Kota Cirebon.

"Pertama kali jualan tahun 1960, berada di lapangan bola terus pindah di sebelah dekat mal. Dan akhirnya pindah ke sini sejak tahun 1995," ucap Suyanto, salah seorang karyawan yang sudah bekerja selama 20 tahun di warung tersebut.

Nasi jamblang merupakan makanan khas Cirebon yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Nasi jamblang merupakan nasi yang dibungkus dari daun jati, karena dibungkus dengan balutan daun jati membuat nasi tersebut beraroma sedap.

"Nasi jamblang ini dimakan dulu waktu zaman kerja paksa karena dahulu juga enggak ada piring. Kalau dahulu kan kenapa pakai daun jati, biar enggak bocor dan aroma nasi juga bisa harum," katanya.

Nasi jamblang di warung Nasi Jamblang Mang Dul, Cirebon

Nasi jamblang di warung Nasi Jamblang Mang Dul, Cirebon. Foto:
VIVA.co.id/Al Amin

Makanan berbungkus daun jati ini bisa disantap dengan berbagai aneka macam lauk pauk, seperti tahu bacem, perkedel jagung, satai usus, cumi, pepes udang, satai, kentang, rajungan, tahu isi, kerang, dan masih banyak yang lainnya.

Saat datang di warung Nasi Jamblang Mang Dul, VIVA.co.id berkesempatan mencicipi racikan khas masakan warung nasi yang selalu ramai tersebut. Rasa nasi putih dan bumbu masakannya membuat lidah bergoyang.

Warung ini lebih ramai jika Anda berkunjung pada malam hari. Tapi, jangan harap Anda bisa menemukan sayur di sini, sebagaimana bisa ditemukan di warung tradisional lainnya, seperti sayur asem, lalapan, sayur lodeh, atau oseng-oseng kangkung. Di sini yang ada hanya sayur tahu. Maka satu-satunya kuah adalah kuah tahu tersebut.

3. Tegal

Gedung SCS, saksi bisu sejarah perkerataapian masa Hindia Belanda

Memasuki wilayah Tegal, luangkan waktu menjelajahi kota yang satu. Memang tak banyak objek wisata di lokasi ini. Namun jika Anda mau menelaah lebih jauh sesungguhnya banyak bangunan lama kaya akan sejarah.

Tengok saja di depan Stasiun Kereta Api Tegal di, Jl. Pancasila No 2, Tegal. Di sana terdapat sebuah bangunan  yang dahulunya  merupakan kantor pusat SCS (Samarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij/Perusahaan Perkeretaapian Semarang-Cirebon).

Menilik sejarahnya, perkeretaapian di Hindia Belanda dimulai tahun 1864. Jalur kereta api pertama antara Semarang dan Tanggung sejauh 26 kilometer mulai dibangun pada tanggal 17 Juni 1864.

Pembangunannya diprakarsai oleh  oleh “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij” (NV NISM)  dipimpin oleh JP de Bordes. Diresmikan oleh Gubernur Jenderal HIndia Belanda , LAJ Baron Sloet van den Beele. Layanan kereta api dimulai 10 Agustus 1867.

Tegal dilewati oleh jalur kereta api yang dibangun oleh Semarang -Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) sepanjang 373 kilometer.  Tahun 1897, SCS membeli Stasiun Tegal yang dulunya milik Java Spoorweg Maatschappij (JSM).

Perusahaan ini membuka jalur Semarang-Cirebon yang dilakukan pada tahun 1897. Pada waktu yang bersamaan SCS membangun jalur Losari-Cileduk-Mundu.

Kantor SCS Tegal

Gedung Samarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) di Tegal. FOTO: VIVA.co.id/Dody

Pada tahun 1916 SCS membuka jalur Pekalongan-Wonopringgo. Tahun 1918, Henricus Maclaine Pont (1885 – 1971) mendapat proyek untuk merancang kantor pusat SCS di Tegal. Proyeknya sekaligus dengan renovasi stasiun Tegal yang dibangun tahun 1897.

Henricus Maclaine Pont juga merancang kampus TH Bandung (sekarang ITB). Henricus Maclaine Pont lulusan TU-Delf dan merupakan kakak kelas Thomas Karsten, ahli tata kota dan arsitek yang terkenal dari Semarang.

Dia juga yang mengundang Thomas Karsten untuk datang ke Hindia Belanda untuk membantunya. Pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya tanggal 10 September 1945, gedung ini menjadi saksi pergerakan orang-orang Tegal dalam memerangi penjajahan yaitu dengan mengibarkan bendera Merah Putih yang pada saat itu dilarang dikibarkan.

Konon, pada saat pengibaran bendera, gedung ini dikibarkan dan dijaga ketat oleh M. Yunus dan rekan rekan Pekerja KA dengan pengawalan rakyat Kota Tegal dengan bersenjatakan alat pertanian dan senjata seadanya.

“Kantor SCS saat ini dalam kondisi kosong dan dipagari seng. Dahulu sebelum kosong, pernah digunakan sebagai kampus sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di Tegal,”ujar Aziz Hidayatullah, budayawan Tegal.

Di atas Menara Waterleiding Tegal bisa melihat laut biru

Sejak zaman Belanda, layanan air bersih untuk keperluan minum atau yang lain disediakan oleh pemerintah kota. PDAM atau Perusahaan Daerah Air Minum sudah ada sejak penjajahan Belanda yaitu sekitar pada tahun 1920-an.

Perusahaan ini diberi  nama Waterleiding.  Sedangkan pada pendudukan Jepang perusahaan air minum dinamai Suido Syo.

Salah satu objek penanda dari adanya layanan air bersih ini adalah adanya menara air atau menara waterleiding. Keberadaan menara air yang cukup tinggi dan bentuknya yang unik bisanya menjadi penanda dari sebuah kota disamping objek-objek yang lain. Menara air ini terdapat di beberapa kota di Indonesia termasuk kota Tegal.

Menara Waterleiding terdapat  di alun-alun kota Tegal. Menara ini dibangun tahun 1931 oleh Pemerintah Belanda di Jl. Pancasila. Lokasinya di derah lama di Tegal, Jl Pancasila, tidak jauh dari Stasiun Tegal dan Gedung SCS.

Tinggi Waterleiding ini adalah 42 meter yang terbagi menjadi lima lantai. Jumlah lantai bisa terlihat dari luar. Naik ke lantai pertama dan kedua menggunakan tangga spiral dengan anak tangga lumayan kecil. Tangga tersebut terdapat pembatas tepi sebagai pengaman, jika lelah bisa berpegangan pada pembatas itu.

Di lantai tiga hingga lantai empat menggunakan tangga vertikal yang setiap lantainya berjarak enam meter. Lantai terakhir atau lantai lima, kondisinya sangat berbeda dengan lantai sebelumnya. Lorong vertikal yang sedang menuju ke atas tidak terlalu lebar, panjangnya sekitar 16 meter.

Menara Air Tegal

Menara Waterleiding di alun-alun kota Tegal. FOTO: VIVA.co.id/Dody

Menara ini dicat warna biru cantik sehingga menarik untuk dipandang. Dahulu menara ini pernah dicat dengan warna-warna yang lain. Kondisinya  sangat terawat, jadi aman untuk dikunjungi.

Sampai di atas, jika melihat ke sebelah utara, terhampar pemandangan pantai Alam Indah. Laut yang berwarna kebiruan terlihat dari atas.  Melihat ke bawah, terlihat suasana sekitar Alun-alun.

Menara ini memiliki sejarah menarik bagi warga Tegal. Dahulu ketika memasuki jam berbuka puasa, akan terdengar sirine khas sebagai pertanda berbuka puasa . Sirine berbunyi dari atas ledeng air terdengar sampai beberapa kilometer.

Seiring kemajuan zaman, sirine itu tergusur oleh kemajuan teknologi seperti radio dan televisi. Sekarang kisah sirine itu tinggal kenangan. “Saya ingat ketika kecil masih sempat menyaksikan bunyi sirine sebagai pertanda buka puasa,” ujar Aziz.

Sauto Tegal, rasanya gurih, asam dan segar

Sauto adalah soto versi Tegal,  sering dicampur tauco, namanya jadi sauto. Dalam sauto terdapat akulturasi kuliner Jawa dan Tionghoa.

Tampilannya sama seperti soto yang biasa ditemui di kota mana pun di Nusantara. Kuah bening berwarna kecoklatan dengan segala isian soto ditampung di sebuah mangkuk bulat.

Rasanya gurih dan segar dengan tambahan tauco, ada sentuhan rasa asam dan aroma eksotik khas tauco. Tentu saja, bumbu beraroma tajam seperti tauco ini tidak disukai semua orang. Bagi yang tidak suka tauco, warung soto akan menyajikan soto standar tanpa tauco .

Sekali mencicipi bisa membuat ketagihan. Rasa asam dan bau tauco yang menyengat tidak begitu terasa, justru nikmat di lidah. Rasa dasar tauco yang cenderung asam, membuat sebagian orang yang sama sekali belum pernah menikmati sauto tauco mengerutkan dahi. Akan terbayang rasa asam dari tauco.

Sauto Tegal

Hidangan Sauto Tegal

Biasanya di warung soto, sauto tauco dengan berbagai pilihan daging pelengkap. Dulu mungkin sauto tauco identik dengan daging babat, tetapi kini sudah bervariasi baik dengan daging ayam, babat maupun daging sapi.

Untuk membuat sauto tauco ada resep rempah-rempah yang dicampurkan didalam tauconya. Tauco dibeli di pasaran, namun ketika akan dibuat makanan, tauco tersebut dimasak dan dicampur bumbu.

Inilah yang membuat rasa sauto tauco nikmat. Ditambah dengan sayuran seperti tauge yang sudah direbus, potongan daun bawan dan daging sesuai selera seperti babat, ayam atau daging sapi, semakin menambah nikmat.

Kuahnya lezat dan ditambah sambal jadi tambah nikmat. Lalu rasa tauconya sangatlah kuat dan memang jadi terasa nikmat.

Suwiran ayamnya juga cukup banyak. Ada yang unik di soto ini yaitu potongan usus ayam goreng kering yang dicampur ke dalam soto ini. Jadi pas kita menyeruput kuahnya maka ada rasa garing pada usus goreng ini.

Selain khas dengan tauconya, sauto disajikan dengan mangkuk kecil yang membuat seluruh isi sauto nampak memenuhi seluruh mangkuk. Untuk bisa menikmati semangkuk sauto tauco baik dengan daging babat, ayam maupun campur, harganya  Rp12.000. Bisa ditambah dengan es teh maupun minuman lainnya.

Ada beberapa penjual  sauto yang terkenal. Warung Moro Tresno atau lebih dikenal dengan Sauto Pasar Senggol karena terletak di kawasan Pasar Senggol Alun-alun Tegal. Pak Daan Jenggot Jl. Talang No. 100, Tegal (Jalan menuju Slawi). Almira Lesehan, pemiliknya Madi, lokasinya di Jalan Gurami 5 Tegal, di seberang soto tauco ini ada klenteng besar.

Sate kambing tirus ‘balibul’  Tegal  yang empuk di mulut

Jika perut masih belum kenyang, Anda bisa mencicipi kuliner khas Tegal lainnya. Di kota Tegal terdapat kawasan penjual sate kambing yang dikenal dengan nama sate tirus. Lokasinya di  daerah Debong Lor, Tegal, ini nama asli dari kelurahan.

Namun daerah ini lebih terkenal dengan sebutan Tirus. Kompleks Tirus hanya berjarak empat kilometer dari pusat kota Tegal. Puluhan penjual sate berjejeran berjualan di daerah ini,

Sate kambing Tegal terbuat dari daging kambing muda yang biasanya berumur di bawah lima bulan (balibul) sehingga dagingnya empuk dan beraroma khas. Daging kambing muda ini diiris kecil dan ditusuk dengan tusukan bambu dan dibakar. Karena menggunakan daging kambing muda, maka tidak perlu terlalu banyak olesan bumbu saat dibakar.

Daging kambing muda sangat gurih, sedikit manis dan tak kenyal alias lembut saat dimakan. Ciri khas sate Tegal yaitu dibakar setengah matang. Satu porsi sate kambing untuk satu orang berisi 12 tusuk, plus bumbu kecap manis yang dihidangkan dengan bawang merah, tomat dan cabe hijau.

Sate Kambing Tegal

Hidangan Sate Kambing Tegal. FOTO: VIVA.co.id/Dody

Bumbu sate memakai kecap, lombok, dan bawang merah. Selain sate ada sop yang menyegarkan, gulai kambing dengan kuah kentalnya membuat sedap di lidah.

Tirus konon merupakan nama seorang pengusaha kaya asal Belanda, Van Tirus. Beberapa hektare tanah miliknya di Tegal kemudian lebih dikenal sebagai daerah Tirus.

Berawal dari warga setempat bernama Sakya yang mencoba mengolah sate Tegal. Ia lantas membuka warung makan Sate Tirus. Sakya sang pemilik warung kini berganti nama menjadi Yahya setelah pulang menunaikan ibadah Haji tahun 1997. Warung ini terletak di Jl. Kapten Soedibyo No. 5 Tegal.

Pria yang kini berusia 75 tahun adalah sebagai pelopor penjual sate di Kompleks Tirus. Awalnya, Sakya tak berniat membuka warung sate kambing tapi warung tegal (Warteg) pada tahun 1980. Sate kambing hanya sampingan.

Justru sate kambingnya malah laku keras. Hal ini membuat H. Yahya memutuskan hanya menyediakan masakan daging kambing mulai  tahun 1985. Sop, gulai dan asem-asem adalah menu utama.

Ia mewariskan resep kepada delapan orang anaknya. Semuanya berjualan sate kambing. 

Tercatat memilki sembilan warung, termasuk milik sang H Yahya. Di warung ini ada tujuh kursi panjang yang mampu menampung pengunjung sebanyak 50 orang. Luas bangunannya hanya 45 meter persegi, bangunan  belum direnovasi sejak berdiri tahun 1980. 

Jam buka warung ini dari pukul 08.00 hingga 22.00. Harga lima tusuk sate kambing sekitar Rp15.000, nasi putih Rp4.000, dan es teh manis Rp3.000.

4. Semarang

Masjid Agung Jawa Tengah, perpaduan tiga arsitektur maha indah

Jika Anda menginjakkan kaki di Semarang saat waktu salat maka tak ada salahnya menunaikan ibadah di salah satu masjid terbesar di Kota Lumpia tersebut. Bernama Masjid Agung Jawa Tengah, objek wisata religi ini berupa bangunan megah nan unik.

Berlokasi di jalan Gajah Raya, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Masjid Agung Jawa Tengah layak menjadi destinasi wisata saat mudik Lebaran. Keunikan Masjid Agung Jawa Tengah adalah bentuk bangunan yang merupakan perpaduan gaya aritektur Arab Islam, Jawa dan Romawi.

Keunikan bangunan itu bisa dilihat dari bentuk tiang dasar masjid yang bermotif batik, khas arsitek Jawa Tengah. Untuk ciri khas Arab Islam dapat kita lihat pada halaman masjid yang terdapat enam payung hidrolik raksasa.

Di mana payung itu dapat membuka dan menutup secara otomatis seperti yang ada di Nasjid Nabawi, Madinah. Untuk gaya arsistektur khas Romawi bangunan Masjid Agung Jawa Tengah, dapat dilihat dari desain interior dan warna yang melekat pada bagian sudut-sudut masjid.

Suasana di luar Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang

Suasana di luar Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang. Foto: VIVA.co.id/Dwi Royanto

Diresmikan sejak tahun 2006 lalu, Masjid Agung Jawa Tengah merupakan masjid termegah di Indonesia. Pernah juga dinobatkan sebagai masjid terbesar se-Asia Tenggara.

Polda Metro Larang Takbiran Keliling di Jakarta

Pasalnya, selain dipergunakan untuk untuk tempat ibadah warga muslim, Masjid Agung Jawa Tengah juga juga dijadikan kegiatan wisata. Berdiri di atas tanah seluas lebih dari 7.500 meter persegi, Masjid Agung Jawa Tengah bahkan mampu menampung sekitar 16.000 jemaah.

Selain bangunan utama masjid, juga terdapat  berbagai fasilitas lain. Seperti ruang akad nikah, auditorium, perpustakaan, penginapan, museum budaya Islam, kafe, toko cenderamata, kereta kelinci, tempat bermain anak-anak, dan menara Al-Husna yang memiliki pemandangan terbaik di Kota Semarang.

Ngebut, Bus Mudik Tujuan Wonosobo Terjun ke Sawah

Di masjid ini juga terdapat Alquran raksasa hasil karya tulisan tangan asli H Hayatudin, seorang penulis kaligrafi Alquran yang berasal dari Wonosobo. Ada juga peninggalan beduk raksasa yang dibuat oleh ulama besar tanah Jawa.

Memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri, masjid andalan Jawa Tengah ini akan rutin digunakan untuk berbagai kegiatan ibadah, seperti salat tarawih, buka bersama dan salat Id.

Imbauan Mudik Kapolri, Cek Kondisi Kendaraan

Bagi pengunjung yang ingin memasuki area Masjid Agung Jawa Tengah tidak dipungut biaya. Namun, jika Anda ingin memanfaatkan teropong di menara hanya dikenakan biaya Rp500 dan tiket masuk Al-Husna Rp3.000 dari pukul 08.00 - 17.00 WIB, sedangkan pukul 17.00 - 21.00 WIB akan dikenakan biaya Rp4.000.

Biasanya, pengunjung kawasan Masjid Agung Jawa Tengah akan meningkat pada saat hari libur, khususnya libur Lebaran. Tak hanya pengunjung domestik, pengunjung mancanegara kerap singgah melihat kemegahan arsitektur Masjid Agung Jawa Tengah Semarang ini.

Menjelajahi Masa Lalu di Kota Lama

Sebagai kota tua di Jawa Tengah, Semarang memiliki sejarah panjang. Hal itu dibuktikan dengan peninggalan besar selama ratusan tahun berupa Kota Lama Semarang.

Lokasi yang pernah menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda pada masanya tersebut kini menjadi buruan wisatawan domestik maupun mancanegara untuk kegiatan berlibur.

Tak terkecuali musim libur Lebaran, sejumlah bangunan di Kota Lama Semarang selalu menjadi favorit warga Jawa Tengah yang mudik di kampung halaman.

Selain keindahan, wisata di pusat kota berjuluk Lumpia itu hingga kini masih menyimpan segudang cerita.

Kota Lama Semarang merupakan citra visual yang menyajikan kemegahan arsitektur Eropa di masa lalu. Bagunan-bangunan kuno nan eksotis dan megah era Kolonial Belanda itu kini masih terawat dengan baik oleh pemerintah terkait.
Kawasan Kota Lama Semarang mendapat julukan sebagai Little Netherland.

Sebab, lokasinya yang dikelilingi kanal-kanal dengan bangunan berlanggam Eropa menjadikan kawasan ini mirip sebuah kota layaknya berada di sebuah miniatur negeri Belanda.

Di antara bangunan-bangunan kuno itu antara lain;  Gereja Blenduk, Gedung Marabunta, Stasiun Tawang, Polder Tawang, Gedung Marba, Kantor Pos Pusat, Samudera Indonesia, Lawang Sewu, Djakarta Lloyd dan juga Titik Nol KM Semarang.

Bangunan Gereja Blenduk di Kota Lama, Semarang

Bangunan Gereja Blenduk di Kota Lama, Semarang. Foto: VIVA.co.id/Dwi Royanto

Selain bangunan itu, sejumlah bangunan kecil-kecil lain di Kota Lama juga masih banyak mempertahankan bentuk asli. Satu dari bangunan tua Kota Lama, Gereja Blenduk mungkin salah satu yang menjadi favorit dan populer di kalangan wisatawan.

Sebab, bangunan yang berusia lebih dari dua setengah abad itu kini masih berdiri kokoh dengan sejarah yang melingkupinya. Gereja Protestan yang memiliki nama asli 'Nederlandsch Indische Kerk' itu hingga kini masih digunakan sebagai tempat ibadah. Bahkan bangunan unik itu menjadi 'Landmark' Kota Lumpia Semarang.

Menurut sejarahnya, penamaan Gereja Blenduk karena bangunan atap berbentuk kubah berwarna merah bata. Arsitektur kubah itu sendiri terbuat dari perunggu serta dua menara kembar di depannya.

Karena bentuknya yang berbentuk cembung itu lah mengapa masyarakat pribumi saat itu menyebutnya dangan nama Gereja Blenduk.

Di sekeliling Gereja Blenduk, pengunjung bisa melihat gedung kuno yang menjadi kantor asuransi pada zaman Belanda yakni Gedung Jiwasraya. Bagi para penggemar kuliner, ada kawasan wisata kuliner yakni Restoran Ikan Bakar Cianjur yang menjadi favorit warga.

Masih di kawasan Kota Lama, pengunjung bisa singgah Gedung Marabunta yang memiliki ciri khas ornamen semut raksasa di atapnya. Selain itu juga ada bangunan kuno pabrik Rokok Praoe Lajar dengan arsitektur indi berwarna merah putih yang masih terawat dengan baik hingga kini.

Anda yang mudik dengan moda transportasi kereta, Stasiun Tawang bisa dijadikan salah satu tempat wisata favorit keluarga. Sebab hingga kini, stasiun itu masih tetap mempertahankan gaya arsitek asli pada zamannya.

Kiranya, berbagai objek wisata di pusat Kota Semarang itu akan menjadi pilihan menarik Anda untuk mengisi libur mudik lebaran. Tak hanya strategis, wisata Kota Lama Semarang bahkan diperuntukkan secara gratis bagi para pengunjung lokal maupun mancanegara.

Serunya wisata edukatif Museum Ranggawarsita

Para pemudik yang menghabiskan waktu libur Lebaran di Semarang, Jawa Tengah, museum Ranggawarsita tepat untuk menjadi tempat singgah. Sebab, museum yang menjadi kebanggaan warga Jawa Tengah ini memiliki puluhan ribu koleksi benda sejarah yang pantas menjadi wisata edukatif.

Lokasi museum sangat strategis dan hanya berjarak  empat kilometer menuju pusat Kota Semarang, tepatnya di Jalan Abdurahman Saleh No.1 Semarang. Jika Anda pemudik dari Jakarta dan melawati jalur Pantura, sampai di bundaran Kalibanteng (fly over Kalibanteng) akan terlihat bangunan museum Ranggawarsita dengan plang yang cukup besar.

Anda yang hendak mudik menggunakan jalur udara dan singgah di Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang, lokasi museum bahkan hanya berjarak satu kilometer dari bandara. Sehingga, lokasinya sangat sentral di Kota berjuluk Lumpia ini.

Berdiri di lahan seluas dua hektare, museum Ranggawarsita memiliki sekitar 50 ribu koleksi benda sejarah yang berada di empat bangunan. Benda-benda koleksi itu bahkan terawat secara apik, baik di dalam ruangan maupun luar ruangan.

Koleksi peninggalan sejarah yang tersimpan antara lain; numismatika, arkeologi, geologi, koleksi emas, sejarah, etnografi, keramik, heraldika, koleksi seni, dan teknologi. Koleksi itu menunjukkan sejarah panjang tanah Jawa seiring perkembangannya.

Bangunan Museum Ranggawarsita, Semarang

Bangunan Museum Ranggawarsita, Semarang. Foto: VIVA.co.id/Dwi Royanto

Semua koleksi itu tentunya menjadi daya tarik wisatawan baik lingkup lokal maupun nasional. Fungsi lain museum Ranggawarsita adalah sebagai sumber referensi para pelajar maupun tokoh pegiat sejarah.

Sejak diresmikan pada tanggal 5 Juli 1989 silam, pengelolaan museum terus mengalami pembaharuan. Hal itu dibuktikan dengan terbukanya museum tak hanya sebagai wisata sejarah, namun juga menjadi central kegiatan dan sarana bermain anak muda yang mengasyikkan.

Selain pameran rutin koleksi sejarah antar museum di Jawa Tengah, museum Ranggawarsita juga sering dijadikan arena berbagai kegiatan para pelajar dan mahasiswa.

Catur (38), salah satu petugas pengelola museum mengaku, pada momen Lebaran, museum Ranggawarsita  akan libur pada H-1 Lebaran dan dibuka kembali untuk umum pada H+2 lebaran. Khusus moment libur lebaran, tiket masuk museum bahkan tetap terjangkau seperti hari-hari biasa.

Untuk tiket masuk pengunjung usia dewasa adalah Rp4.000, anak-anak Rp2.000, wisatawan domestik dan wisatawan asing adalah Rp10.000. "Kita buka mulai pukul 08.00 WIB hingga 15.00 WIB, " ujar dia.

Nah, bagi Anda yang hendak memanfaatkan waktu libur mudik Lebaran, tak ada salahnya jika mengunjungi museum Ranggawarsita di Kota Lumpia Semarang ini.

Soto Bangkong, kuliner ‘nostalgia’ khas Semarang

Mudik di Kota Semarang jangan lewatkan untuk menikmati hidangan Soto Bangkong. Selain menjadi ciri khas daerah ibukota Jawa Tengah, kuliner berkuah kental ini kerap menjadi ajang bernostalgia warga keturunan asli Semarang.

Alasan yang paling masuk akal kenapa soto Bangkong menjadi teman bernostalgia, karena usia soto ini telah ada sejak sebelum era kemerdekaan. Biasanya, tiap Lebaran datang, warga keturunan asli Semarang yang kini mengadu nasib di kota/negara lain kerap datang untuk merasakan ciri khas rasanya.

Sholeh Soekarno (99), selaku perintis pertama Soto Bangkong mengungkapkan, awalnya soto miliknya sudah dirintis oleh sang ayah bernama Soetorejo pada masa penjajahan Belanda. Sholeh dan ayahnya biasanya berjualan keliling saat usianya masih kecil.

"Dulu bapak (Soetorejo) ikut orang Belanda. Saat Jepang tahun 1942 datang ke Indonesia saya lalu pulang ke kampung di Klaten. Karena saat itu perang masih berkecamuk, " ujar Sholeh kepada VIVA.co.id saat ditemui di warung miliknya.

Pasca kemerdekaan, Sholeh pun kembali ke Semarang dan merintis kembali soto peninggalan ayahnya. Meski harus berjalan kaki selama tiga hari tiga malam dari Klaten menuju Semarang, akhirnya Sholeh pun memulai usahanya jualannya kembali.

Hidangan khas Semarang, Soto Bangkong

Hidangan khas Semarang, Soto Bangkong. Foto: VIVA.co.id/Dwi Royanto

Tahun 1952, ia mulai berjuan soto dengan mikul angkring keliling di tiap sudut kota. Dahulu, Sholeh biasa mangkal di samping pos polisi di pojokan Jl. Brigjend Katamso Semarang.

Wilayah itu akrab disebut dengan Bangkong dan akhirnya pembeli memberi nama soto milik Sholeh dengan sebutan Soto Bangkong.

Berbekal ketekunan, pada tahun 1957, Sholeh mampu mendirikan kios kecil sebagai tempatnya berjualan soto. Saat itu lokasi yang dibuat adalah izin menempati tanah milik negara.

Kini kios tersebut telah berkembang besar dan dikenal dalam lingkup nasional. Bahkan sejumlah wisatawan asal negara lain seperti Malaysia, Singapura dan turis Eropa tiap kali singgah di Semarang tak melewatkan menikmati Soto Bangkong.

Soto Bangkong memiliki kuah khas yang bening agak kecokelatan. Tiap satu porsi Soto Bangkong berisi suwiran daging ayam kampung, irisan tomat, bihun, taburan daun bawang, tauge, taburan bawang putih goreng, dan seledri. 

Untuk nasi, Anda bisa meminta untuk dicampurkan dalam soto ataupun terpisah.
Soto Bangkong dihidangkan dalam mangkuk kecil namun tinggi seperti mangkuk yang digunakan soto Kudus, hanya saja ukuran mangkuk Soto Bangkong sedikit lebih besar.

Sebagai teman menikmati soto Bangkong, tersedia aneka lauk seperti sate daging ayam yang dipotong tipis, sate kerang, sate telur, tempe, tahu dan perkedel kentang.

Di warung soto Bangkong, rombongan juga bisa memesan fasilitas musik Jawa Karawitan Ngesti Pandowo yang berada di lantai dua warung. Soto Bangkong buka mulai pukul 07.00 hingga pukul 21.00 WIB. Harga satu porsi soto bangkong Rp13.000 per mangkuknya.

Ramainya Soto Bangkong bahkan kini telah dibuka cabang di wilayah Srondol Jl Setia Budi Semarang. Omzet per hari Soto Bangkong pun bervariatif. Di hari biasa Rp5 juta, bulan puasa Rp3 juta dan momen Lebaran bisa mencapai Rp50 juta.

Leker Paimo, camilan lezat di pinggir jalan

Siapa sangka menikmati kuliner enak harus pergi ke restoran mewah. Di Kota Semarang, bahkan banyak dijumpai kuliner lezat yang mangkal dipinggir jalan, Leker Paimo salah satunya.

Jangan salah, kue Leker Paimo ini tak sembarangan kue biasa. Sejak puluhan tahun silam, warga Kota Semarang dan bahkan wisatawan asing telah mengenal Leker Paimo yang mangkal di depan SMA Kolase Loyola Semarang ini.

Dinamakan Kue Leker Paimo karena sang peracik makanan berbahan tepung itu bernama Paimo. Uniknya, melalui tangan dingin Paimo ini, makanan yang berbahan dasar tepung terigu justru menjadi camilan bergengsi meskipun tetap dibuat dan disajikan dengan cara sederhana.

Kue Leker hasil olahan Paimo menyajikan leker yang lezat dengan inovasi berbagai rasa. Jika biasanya kue Leker banyak ditemui dengan rasa pisang, cokelat dan keju saja, tapi Kue Leker Paimo menghadirkan rasa lain yakni karamel, pisang cokelat, pisang cokelat keju, hingga mayonaise serta sosis mozzarella yang biasa ditambahkan pada pizza.

Warung kue Leker Paimo khas Semarang

Warung kue Leker Paimo khas Semarang. Foto: VIVA.co.id/Dwi Royanto

Meski berjualan di pinggiran jalan, tapi kuliner yang satu ini tak pernah sepi pelanggan. Para pembeli bahkan rela berdesak-desakan di emper jalanan untuk mendapatkan jatah antrean racikan kue pak Paimo ini. Pembeli yang datang pun bervariatif, kebanyakan bahkan mereka yang memakai mobil.

Keunikan dan ciri khas rasa kue Leker ini bahkan mampu melayani pelanggan melalui berbagai pesanan. Leker Paimo juga sering menerima pesanan untuk acara ulang tahun maupun pernikahan.

Saking terkenalnya, kuliner Semarangan ini pernah juga menerima pembuatan langsung di luar negeri. Bahkan gerobak yang digunakan untuk membuat kue ini sempat dibawa langsung ke luar negeri.

Untuk harga yang ditawarkan pun cukup bervariatif sesuai dengan jenis Kue Leker yang dipesan. Mulai harga minimal Rp5.000 sampai dengan belasan ribu.

Leker Paimo semula berjualan di daerah Karanggeneng, kemudian pada tahun 1993 dia pindah ke Jl Karanganyar di depan SMA Loyola, tak jauh dari Asem Asem Koh Liem. Paimo melayani pelanggan dari pukul 09.00-18.00 WIB dan hanya tutup di hari Minggu.

Lumpia, oleh-oleh favorit dari Semarang

Kuliner Lumpia Semarang tentunya tak asing di telinga masyarakat Indonesia. Hidangan yang terbuat dari rebung atau tunas bambu muda itu kini telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda.

Sebagai makanan khas Kota Semarang, Lumpia telah akrab di tiap lidah warganya. bahkan menu yang cocok dijadikan sebagai oleh-oleh atau cemilan khas Semarang yang higienis itu kini sudah diakui Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat pemberian label sertifikasi halal, khususnya kepada Lumpia Delight Semarang.

Meliani Sugiarto selaku chef sekaligus penggagas Lumpia Delight mengatakan, awal sejarahnya, Lumpia dipelopori oleh pasangan suami isteri Tjoa Thay Joe dan Mbok Wasi selaku pendiri Lumpia Semarang pada tahun 1870. Terus diwariskan hingga sekarang, akhirnya kuliner perpaduan Jawa-China itu terus mengalami penyempurnaan tanpa mengurangi khas rasanya.

Hidangan Lumpia hasil karyanya merupakan perpaduan resep warisan empat generasi keluarga Lumpia Semarang dan dua generasi keluarga Lumpia Mataram. Perpaduan resep itu kemudian ia sempurnakan dalam sajian Lumpia Delight.

Oleh-oleh khas Semarang, Lumpia Delight

Oleh-oleh khas Semarang, Lumpia Delight. Foto: VIVA.co.id/Dwi Royanto

"Asal nama Lumpia Delight karena saya rasa Lumpia khas Semarang ini bisa bersaing dengan produk-produk mancanegara, seperti KFC, Mc Donald dan produk lain," kata dia kepada VIVA co.id.

Keunikan rasa Lumpia Delight tentunya tak lepas dari pengalaman panjang perempuan yang populer dengan nama Cik Me Me itu. Sebagai putri bungsu sang maestro chef Tan Yok Tjay, Cik Me Me telah bergelut dengan Lumpia sejak usia remaja.

Sejak tahun 1965 dia bahkan sudah kerap ikut jualan lumpia dengan mendorong gerobak bersama ayahnya di wilayah Mataram, Semarang.

Melalui keuletan dan ketekunan, akhirnya  pada tahun 1997, Cik Me Me telah terampil meracik sendiri lumpia hingga kini menjadi sebuah brand baru bernama Lumpia Delight. Bergelut selama 17 tahun dengan makanan berbahan dasar rebung muda itu, Cik Me Me terus memberikan inovasi hidangan Lumpia yang semakin akrab dengan pembeli, baik lingkup lokal maupun nasional.

Beberapa varian hasil racikan Lumpia Delight antara lain; Lumpia Original dengan khas rasa rebung dan udang telur ayam, Lumpia Crab (kepiting), Lumpia fish kakap dan varian terbaru Lumpia Delight yakni Lumpia Kajamu (kambing jantan muda).

Lumpia Delight bahkan bisa menjadi sahabat pemudik. Selain cita rasa yang tiada tandingannya, harga berbagai varian lumpia  tergolong sangat bersahabat dengan kantong anda. Untuk lumpia original hanya Rp12.000 per bungkus, lumpia plain Rp8.000 dan spesial Rp18.000.

"Di bulan Ramadhan ini, kami Lumpia Delight menggelar sebuah tradisi budaya dengan promo beli satu gratis satu. Itu sebagai tanggung jawab moral kami sebagai pewaris lumpia Semarang yang telah menjadi brand budaya kota ini," ujar Cik Me Me.

Kini kios Lumpia Delight yang beralamat di Jl. Gajah Mada 107 Semarang itu tak pernah sepi pembeli. Uniknya Lumpia Delight yang buka mulai pukul 05.00-22.00 WIB tersebut tak mengenal hari libur selama satu tahun penuh.

Nah, tak ada salahnya, jika inovasi makanan khas Lumpia ini menjadi menu spesial para pemudik yang hendak berlibur maupun hanya sekadar singgah di Kota Semarang.

5. Kudus

Masjid Menara Kudus dan Mitos Pejabat Tak Jujur

Rute wisata ziarah ke Demak dan Kudus  diawali dari masjid Agung Demak, makam Sunan Kalijaga di Kadilangu,  makam Sunan Muria, makam Sunan Kudus dan masjid Menara Kudus.

Masjid Menara Kudus terletak di desa Kauman, Kecamata Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Masjid ini didirikan pada tahun 1549 M atau 956 H.

Pendirinya adalah Syekh Jafar Sodiq yang lebih dikenal sebagai Sunan Kudus. Masjid Menara Kudus, demikian orang-orang menyebut. Awalnya masjid ini diberi nama “Masjid Al Aqsha”.

Mengunjungi menara Kudus paling nyaman adalah jika menggunakan motor. Sebab, bisa parkir persis di samping lokasi masjid. Sementara tempat parkir mobil agak jauh, sehingga cukup merepotkan.

Semua bus harus parkir di sebuah terminal parkir yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Menara Kudus. Dari sana tersedia tiga jenis angkutan yaitu ojek, becak dan angkot untuk menuju ke lokasi. Namun tidak bisa memilih salah satu dari tiga jenis angkutan yang dikehendaki.

Pengelola di sana memberlakukan waktu bergilir di antara ojek, becak dan angkot. Alasannya untuk memberikan keadilan atau pemerataan pendapatan di antara mereka.

Menara Masjid Kudus di Desa Kauman, Kecamata Kota, Kabupaten Kudus

Menara Masjid Kudus di Desa Kauman, Kecamata Kota, Kabupaten Kudus. Foto: VIVA.co.id/Dody

Rasa capek akan terbayar begitu melihat masjid  yang memiliki menara  istimewa. Bentuk menara ini mengingatkan pada bentuk candi Majapahit di Jawa Timur.

Regol-regol serta gapura bentar yang terdapat di halaman depan, serambi, dan dalam masjid bercorak kesenian klasik Jawa Timur. Menara Kudus merupakan bangunan kuno hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam.

Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 meter. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah.

Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang.

Selain itu terdapat tempat wudu yang unik, dengan panjang 12 meter, lebar 4 meter, dan tinggi 3 meter. Bahan bangunan dari bata merah, lantainya ubin keramik.

Bentuk bangunan persegi panjang, dengan delapan jumlah pancuran dengan arca yang diletakkan di atasnya. Ini mengadaptasi dari keyakinan Buddha, Delapan Jalan Kebenaran atau Asta Sanghika Marga.

Di belakang masjid terdapat kompleks makam,  makam Sunan Kudus dan Para ahli warisnya, tokoh lainnya seperti Panembahan Palembang, Pangeran Pedamaran, Panembahan Condro, dan lain-lain.

Di balik keindahannya, Masjid Menara kudus menyimpan misteri yang cukup menarik. Menurut penuturan warga sekitar, ada semacam mitos yang berkembang di sini, yaitu apabila ada pejabat yang tidak jujur yang melewati lorong gapura Masjid Menara Kudus, maka pejabat tersebut dapat kehilangan jabatannya, apalagi pejabat tersebut masih mengenakan pakaian dinas.

Cerita ini berawal dari kesaktian Sunan Kudus dan ketidaksukaannya pada pejabat  yang tidak jujur. Sehingga waktu itu pejabat yang tidak jujur dapat disingkirkan, rakyat dapat hidup  makmur.  Kepercayaan ini diyakini sampai sekarang.

Maka, apabila ada seorang pejabat yang kebetulan ingin salat di Masjid Menara Kudus, maka biasanya  ganti pakaian dahulu, masuk tidak lewat depan namun lewat belakang masjid.

Gading gajah purba di Situs Patiayam

Patiayam adalah situs purba di Pegunungan Patiayam, Dukuh Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Sekitar 1.500 fosil ditemukan di Patiayam. Situs Patiayam merupakan bagian dari Gunung Muria. Luasnya 2.902,2 hektare meliputi wilayah Kudus dan beberapa kecamatan di Pati.

Situs purbakala Pati Ayam terletak di sisi timur Kab. Kudus dan berbatasan dengan Kab. Pati. Tidak sulit menemukan situs pubakala ini. Dari jalan raya Pantura arah Kudus-Pati, kurang lebih 15 kilometer dari Kota Kudus, terdapat baliho petunjuk arah Situs Purbakala Pati Ayam di kiri jalan.

Jarak dari jalan raya hanya 500 meter masuk wilayah desa Terban. Museum cagar budaya situs purbakala Pati Ayam berada di depan balai desa Terban. Tiket masuk sebesar Rp.5000.

Fosil-fosil purba ini sudah ditemukan oleh warga desa Terban sejak awal tahun 1980-an. Mereka menemukan tulang-tulang yang sudah membatu dengan ukuran luar biasa.

Warga desa menemukan ladang mereka yang berada di lereng-lereng pegunungan Pati Ayam. Sejak 22 September 2005, situs Patiayam ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Tahun itu dilakukan penggalian oleh dinas purbakala Jawa Tengah. Mereka temukan fosil tulang paha manusia purba.

Situs Patiayam di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus

Situs Patiayam di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Foto: VIVA.co.id/Dody

Diperkirakan fosil tulang paha tersebut merupakan tulang manusia purba yang sezaman dengan fosil gading gajah purba (Stegodon). Hal ini berarti fosil tulang paha tersebut hidup pada masa Pleistosen-Pleistosen yang terdapat suatu masa hidup manusia purba Pithecantropus erectus dan Homo erectus.

Fosil yang menjadi kebanggan dari situs Patiayam yaitu penemuan gading gajah Stegodon trigonochepalus,  ukurannya yaitu sekitar tiga meter lebih. Kedua gading ini tidak berasal dari satu gajah walaupun panjangnya hampir sama tetapi lekung dan besarnya berbeda.

“Fosil gading gajah ini ditemukan di hutan petak nomor 21 Desa Terban Kecamatan Jekulo kabupaten Kudus. Sekarang, benda tersebut menjadi koleksi Museum negeri Ronggowarsito Semarang,” kata Yanti, petugas museum Patiayam.

Temuan lain adalah sisa-sisa manusia purba Erectus yang berupa satu  buah gigi prageraham bawah dan 7 buah pecahan tengkorak manusia, ditemukan oleh Dr. Yahdi Yain dari Geologi ITB Bandung tahun 1979.  Fosil-fosil yang ditemukan di Situs Patiayam ini menunjukkan bentang usia dari 1 juta tahun hingga 500.000 tahun yang lalu.

Selain fosil Stegodon trigonochepalus (gajah purba) terdapat pula Elephas sp (sejenis Gajah), Rhinocecos sondaicus (badak), Bos banteng (sejenis banteng), Crocodilus, sp (buaya), Ceruus zwaani dan Cervus/Ydekkeri martim (sejenis Rusa) Corvidae (Rusa), Chelonidae (Kura-Kura), Suidae (Babi Hutan), Tridacna (Kerang laut), Hipopotamidae (Kudanil).

Temuan fosil-fosil di Patiayam memiliki keistimewaan daripada fosil temuan di daerah lain. Hal ini dikarenakan sebagian situs yang ditemukan bersifat utuh.
Secara morfologi situs Patiayam  merupakan sebuah kubah (dome) dengan ketinggian puncak tertingginya (Bukit Patiayam) 350 meter di atas muka laut.

Di daerah Patiayam ini terdapat batuan dari zaman Plestosen yang mengandung fosil vertebrata dan manusia purba yang terendap dalam lingkungan sungai dan rawa-rawa.

Tercatat beberapa penelitian yang dilakukan di situs ini sebelum kemerdekaan adalah oleh Van Es pada tahun 1931, setelah itu baru pada tahun 1978 dilakukan penelitian geologi oleh Sartono (Simanjuntak, 1984).

Penelitian oleh Van Es pada tahun 1931 menemukan sembilan jenis sisa fosil vertebrata,  kemudian pada tahun 1978 Sartono dkk. dalam penelitiannya melengkapi temuan Van Es dengan menemukan 17 spesies hewan vertebrata serta ditemukannya sisa manusia Homo erectus.

Selain ditemukan berbagai macam fosil-fosil manusia purba dan hewan-hewan purba, di Situs Patiayam juga ditemukan berbagai macam alat-alat batu manusia purba seperti Serut, Kapak Perimbas ( Chopper) ,dan Gigantolith.

Menyantap kuah hangat Soto Kudus

Soto kudus dalam penyajiannya memiliki tradisi dihidangkan dalam mangkuk kecil untuk satu porsi soto. Kuah Soto kudus cenderung lebih kuning dari soto semarang.

Seporsi soto ayam berisi nasi putih yang ditambahkan tauge, irisan kol dan seledri, suwiran daging ayam, bawang merah dan bawang putih goreng. Kemudian disiram kuah yang kuning agak keruh, karena kuahnya manggunakan santan.

Jika tidak suka soto dicampur nasi , kuah dan nasi bisa dipisahkan. Biasanya ayam yang digunakan adalah ayam kampung.  Makan soto  kurang lengkap kalau tanpa sate yang direbus, tidak dibakar.

Biasanya di atas meja juga disediakan aneka pelengkap, ada sate telur puyuh, perkedel, sate kerang, sate hati ampela, paru dan masih banyak yang lainnya.

Minuman yang ditawarkan berupa teh atau air mineral. Harga yang dipatok tergolong tidak murah untuk ukuran soto. Harga  soto ayam per porsi mangkuk kecil dihargai Rp11.000. Aneka sate dihargai Rp3.000-Rp4.000 per tusuknya.

Soto kudus ayam yang terkenal adalah Soto Ayam Pak Denuh. Soto ini dirintis oleh (alm.) Bpk. Denuh sejak tahun 1949, kini dikelola oleh puteranya, Tarman.

Soto Ayam pak Denuh ada di jalan AKBP Agil Kusumadya tempatnya yang luas dan nyaman. Soto ayam ini juga telah memiliki cabang di daerah Taman Bojana dekat alun-alun dan di terminal bus Kudus.

Sedang soto kerbau berwarna bening, sedikit berminyak dan tarikan rasa asam jawa. Bumbu-bumbu yang digunakan pun bercitarasa Jawa, seperti penggunaan kemiri dan perasan jeruk limau.

Selain itu memakai serbuk koya dan bawang putih goreng. Serbuk koya adalah budaya kuliner tionghoa peranakan.

Soto Kudus dari daging kerbau

Soto Kudus dari daging kerbau. Foto: VIVA.co.id/Dody

Serbuk ini terbuat dari santan kelapa yang dikeringkan, berfungsi sebagai penyedap rasa dan penambah tekstur.  Bawang putih goreng dijadikan campuran.

Cara penyajianny juga sama, nasi langsung dicampur dengan kuah sotonya atau terpisah. Penyajian yang asli adalah nasi langsung dicampur dengan soto kerbau. Harga semangkuk soto kerbau Rp12.000.

Soto kerbau terdapat gambaran budaya Kudus yang berwarna, percampuran tradisi Hindu, Jawa, dan Tionghoa. Warisan budaya agama Hindu Jawa dengan simbol berupa daging kerbau.

Pada masa penyebaran agama Islam di daerah Kudus, untuk menghargai dan menjunjung tinggi sikap menghormati antar pemeluk agama Hindu dan umat Islam, Sunan Kudus melarang sapi untuk dijadikan santapan. 

Sebagai gantinya adalah hewan kerbau. Penjual  Soto Kerbau yang paling lama di Kudus adalah Pak Rame di Taman Bojana Pujasera Simpang 7, Kudus. (ren)

Laporan: Jay Ajeng Bramena

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya