- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id - Sore itu, sekitar pukul 16.00 WIB, Jumat 15 Mei 2015, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, bersama banyak orang menyambangi Safe House SOS Children. Rumah Aman untuk anak itu terletak di kawasan Cibubur, Jakarta Timur.
Menteri Khofifah datang tidak sendiri. Dia bersama rombongan. Termasuk banyak awak media massa. Menteri dan rombongan bermaksud melihat langsung kondisi D, bocah 8 tahun, dan keempat saudara perempuannya.
Bocah-bocah itu merupakan korban penelantaran dan dugaan kekerasan kedua orangtua mereka di Cluster Nusa Dua Perumahan Citra Gran, Bekasi, Jawa Barat.
Saat Menteri dan rombongan datang, sejumlah bocah penghuni Safe House terlihat asyik bermain. Mereka berkelompok. Sebagian besar anak laki-laki asyik main sepakbola di lapangan tengah pendopo. Kelompok anak perempuan tengah serius melatih tari.
Sisanya, sibuk bermain sendiri. Ada yang main boneka, ada juga yang main pistol air. Sesekali, tatapan para anak ini mengarah ke Menteri Khofifah dan rombongan. Tampak wajah mereka bingung ketika melihat Menteri dan rombongan, seolah penasaran, siapakah gerangan yang datang ini.
Tidak sedikit dari mereka yang memilih tidak ambil pusing. Tetap fokus pada permainannya.Tak lama setelah melihat suasana penampungan yang berdiri di lahan satu hektare itu, Khofifah didampingi Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda, dan sekitar lima orang, bergegas masuk ke dalam sebuah ruang utama. Lokasinya di pinggir lapangan bola. Di situ terlihat, mereka bertemu dengan D dan keempat saudarinya.
Sampai di lokasi ini, awak media dilarang ikut masuk ke dalam. Alasannya, D dan adiknya yang masih di bawah umur, masih trauma.
Aksi Menteri Khofifah mendatangi Rumah Aman rupanya membuat sejumlah pejabat tak mau ketinggalan. Mereka juga datang langsung ke lokasi. Peristiwa ini pun tak luput dari publikasi media massa.
Anggota Komisi VIII DPR Desi Ratnasari, Sabtu 16 Mei 2015, menyusul mengunjungi Safe House Cibubur. Artis lawas itu datang membawa beberapa kantung belanjaan. Isinya, sepatu, baju, celana dan popok. Ditemani para pengelola Safe House, artis senior itu bertemu dengan D dan empat saudarinya.
Kemudian, Senin 18 Mei 2015, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, datang juga ke Rumah Aman. Menteri Yohana ditemani Sekretaris Jenderal KPAI, Erlinda, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dan Direktur Nasional SOS Children, Greg Hadi Nitihardjo.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, menyambangi Safe House SOS Children. FOTO: VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
Rumah Aman Tak Lagi Aman
Kedatangan para pejabat itu dikritisi Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai. Semendawai sangat menyesalkan Rumah Aman yang seharusnya steril, justru dikunjungi banyak orang dan dipublikasi besar-besaran.
Sekilas Rumah Aman yang berdiri sejak 1984 itu memang tampak seperti perumahan biasa. Tapi,rumah ini merupakan tempat paling aman bagi anak-anak telantar dan korban kekerasan orangtua.
Sesuai namanya, tempat itu seharusnya tidak boleh diketahui banyak pihak. Hal ini penting demi keselamatan orang-orang yang sedang dilindungi negara. "Rumah Aman seharusnya tidak mudah dikunjungi dan diekspose," kata Semendawai saat berbincang dengan VIVA.co.id.
Semendawai menegaskan, institusinya sangat mendukung evakuasi anak-anak korban kekerasan orangtua ke Rumah Aman. Tujuannya, agar mereka mendapat penanganan yang baik dan tidak lagi menjadi korban. Namun, tidak untuk dikunjungi, apalagi dipublikasikan.
Sikap para pejabat tersebut dinilai sudah melanggar pasal 41 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Ketentuan pidana terkait pihak yang memberitahukan keberadaan Rumah Aman yang sedang ditempati korban, dapat dipidana hingga 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
"Safe House itu sesuai ketentuan Undang-Undang, harus dirahasiakan. Tidak boleh sembarangan orang berkunjung. Mengetahui saja tidak boleh, apalagi berkunjung. Petugas harus merahasiakan Rumah Aman ini. Oleh karena itu, perlu ada standar keamanan yang ketat untuk Rumah Aman," kata Semendawai.
Semendawai berharap semua pihak yang saat ini menangani korban,harus menjaga kerahasiaan Rumah Aman sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini untuk kepentingan anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
"Bukan hanya akan membahayakan si korban yang sedang ditampung di situ, tapi juga korban-korban lain atau akan membahayakan korban-korban yang akan datang," kata Semendawai.
Dicontohkannya Rumah Aman bagi saksi dan korban yang ditangani LPSK saat ini, tidak sembarang orang berkunjung. Apalagi dipublikasikan, tidak pernah. Kalau ada pihak kepolisian ingin memeriksa, saksi yang dilindungi dibawa ke tempat lain. Pemeriksaan tidak di Safe House, karena Safe House harus steril.
Namun Khofifah berkelit. Kata dia, kedatangannya ke Safe House adalah salah satu tugas dan fungsinya sebagai Menteri Sosial.
"Sekarang kalau kami enggak datang, salah enggak? Jadi kalau saya datang sebagai Mensos, itu sebagai tugas dan fungsinya. Kalau Mensos tidak datang apa pendapat anda?” kata Khofifah. Ia menunjuk peran media soal publikasi Rumah Aman.
Rumah Aman yang menampung 163 anak itu berada di bawah Yayasan Ria Pembangunan, kata Khofifah memang tidak rahasia-rahasia banget. Sebab anak tetap harus diberi kesempatan bersosialisasi dan membangun kembali ke dunianya oleh yayasan yang menjadi mitra Kemensos itu.
Kalaupun kemudian banyak pejabat yang datang, hal itu menjadi poin penting sebagai bentuk perhatian mereka terhadap anak-anak korban kekerasan. Langkah ini sekaligus jadi pembelajaran yang baik bagi para orangtua. Sebab maraknya kekerasan terhadap anak di Indonesia, menurut Khofifah, tak lepas dari minimnya edukasi terhadap masyarakat. Terutama para orangtua.
Selanjutnya... Siapa yang Harus Melindungi?
***
Dr. Sarlito memberikan keterangan kepada Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa ditemani Sekjen KPAI Erlinda di rumah aman Komisi Perlindungan Anak Indonesia. FOTO: VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
Siapa yang Harus Melindungi?
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab keberlangsungan hidup berbangsa dan negara, mereka harus mendapat kesempatan yang luas untuk tumbuh kembang secara optimal. Baik fisik, mental maupun sosial.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi, pemerintah Indonesia menjamin perlindungan dan pemenuhan hak anak yang diatur dalam beberapa peraturan. Seperti, UUD 1945, peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional maupun internasional, juga meratifikasi konvensi internasional tentang hak-hak anak yang diimplementasikan dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kasus penelantaran dan kekerasan yang dialami lima anak di Cibubur, dan terkini, kasus Engeline di Bali, kembali membuka mata betapa perlindungan terhadap anak-anak menjadi harga mati. Anak Indonesia masih terancam.
Kementerian Sosial mencatat sedikitnya ada 1.500 anak Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Sebagian besar mereka berusia antara 13 tahun sampai 17 tahun. Dengan rincian, ada 900 ribu anak laki-laki dan 600 ribu anak perempuan.
Namun data yang masuk ke Kementerian sebetulnya lebih dari itu. Data per Desember 2014, kurang lebih anak yang mengalami kekerasan mencapai 4,1 juta jiwa. Kasus tersebut meliputi anak-anak jalanan, anak yang ditelantarkan, termasuk di dalamnya anak yang mengalami kekerasan seksual.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak telah jelas menyebutkan bahwa tugas perlindungan anak yang pertama adalah orangtua. Jika orangtua tidak memahami proses membangun tanggung jawab dari anak-anak yang dilahirkan, maka hal itu akan menjadi pintu masuk terjadinya kekerasan, penelantaran, dan kemungkinan terjadinya kasus seperti yang dialami Engeline.
Dari berbagai kasus yang ada, Menteri Khofifah melihat masyarakat banyak yang meremehkan kasus kekerasan anak. Menurutnya, wajar sikap masyarakat seperti itu, karena memang hukuman bagi para pelaku sangat rendah dan tidak menimbulkan efek jera. Oleh karena itu, dia berharap, hukuman bagi para pelaku kekerasan terhadap anak dimaksimalkan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak juga mengatur dengan jelas bahwa yang tahu penelantaran anak, mengetahui anak perlu kebutuhan khusus dan mengetahui adanya kekerasan anak, tetapi hanya diam, bisa dikenakan sanksi pidana dan denda.
Khofifah juga menyoroti soal kurangnya pengetahuan masyarakat terkait pengangkatan anak. Padahal, menurutnya, tata cara adopsi anak telah jelas diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 dan dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
Peraturan tersebut dengan tegas menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak. Selain itu, pengangkatan anak juga tidak boleh memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut telah diatur juga mengenai sanksi bagi yang tidak mengikuti aturan dalam proses pengangkatan anak.
Sementara itu, Sekjen KPAI, Erlinda, mengatakan aturan mengenai perlindungan anak di Indonesia sudah cukup baik. Namun, aturan main di lapangan yang masih belum jelas.
"Sebenarnya rancang bangun sudah bagus, tapi saat di lapangan inilah tugas dan fungsi kita masing-masing ini belum jelas sepertinya. Padahal secara di kebijakan itu sudah jelas bagaimana-bagaimananya, tapi saat di lapangan, kita melihat semacam, sistem perlindungan anak itu seperti apa sih? Kita masih seperti meraba-raba,” ujar Erlinda saat berbincang dengan VIVA.co.id.
Amanat perlindungan anak ada dua. Pertama, menciptakan anak unggulan. Kedua, penanganan anak yang terkena hukum agar kembali ke keluarga. Namun faktanya, kekerasan terhadap anak makin bertambah.
Erlinda menilai, yang paling mungkin untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak adalah ketika Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dimandatkan sebagai Kementerian sendiri, bukan Menteri Negara.
“Sejajar dengan Kementerian Agama dan kementerian lainnya, tidak jadi strata tiga. Kalau sekarang kan strata tiga. Kalau sudah menyatu, kemungkinan prediksi kami bahwa upaya perlindungan anak ini bisa all-out. Tidak hanya pencegahan, tapi pre-prevention. Sebelum terjadi kita ngapain dulu,” kata Erlinda.
Sayangnya, aturan perlindungan anak masih kurang sosialisasi. Bahkan, jika disurvei secara besar-besaran, Erlinda yakin hanya sedikit masyarakat yang paham apa itu perlindungan anak.
"Pernahkah mendengar UU Perlindungan Anak? Dari situ kita sudah paham kekerasan akan berasal dari mana. Dan yang paling utama, mindset kebanyakan orangtua-orangtua atau orang dewasa, masih menganggap anak-anak ini sebagai anak yang dewasa mini, yang tidak mempunyai hak," kata Erlinda.
Selanjutnya... Negara Belum Hadir
***
Negara Belum Hadir
Sayang meski berbekal aturan dalam UU, Ketua Komisi VIII DPR Saleh P Daulay, menilai negara belum hadir dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak. Kata Saleh, kematian Engeline yang diduga dibunuh orang-orang terdekatnya, sebagai contoh bahwa peran negara tidak maksimal.
"Pemerintah belum mengalokasikan anggaran yang cukup untuk urusan ini. Kementerian Negera Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja hanya mendapat proporsi APBN sebesar Rp217 miliar. Itu sangat tidak cukup untuk mengurusi puluhan juta anak Indonesia," kata Saleh kepada VIVA.co.id.
Kasus terakhir yang menimpa bocah Engeline, jelas membuka tabir bahwa ada yang salah dan belum dipahami publik. Padahal ada aturan, hingga Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ada juga tata cara mengadopsi anak, tapi justru kekerasan masih saja terjadi.
Saleh menilai kekerasan yang masih terus terjadi pada anak salah satunya disebabkan faktor ekonomi. Faktor inilah yang sering membuat orangtua, selain menyerahkan ke keluarga mampu untuk diadopsi, juga dimanfaatkan untuk mencari nafkah seperti mengemis.
Tingkat pendidikan orangtua juga turut menyumbang terjadinya kekerasan pada anak. Pendidikan yang rendah, berpengaruh pada motivasi orangtua terhadap nasib anak di masa depan.
"Pasangan yang broken home sering sekali bertengkar. Tidak jarang pertengkaran itu diakhiri dengan KDRT. Kadang-kadang, anak-anak yang ada di sekitar mereka jadi sasaran kemarahan orangtuanya," kata politikus Partai Amanat Nasional itu.
Ini bukti penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak saat ini tidak maksimal. Tidak tersosialisasikan dengan baik, sehingga masyarakat tidak paham tentang bahaya melakukan kekerasan terhadap anak.
Aturan yang sudah ada ini seharusnya disosialisasikan secara masif, sehingga masyarakat bisa mempelajarinya dengan baik. Satu lagi yang terpenting adalah, kehadiran negara untuk memberikan perlindungan kepada anak. Menyampaikan kepada masyarakat, betapa pentingnya generasi penerus, guna keberlangsungan bangsa. Cara ini penting agar kasus kekerasan pada anak tidak terulang lagi.
Pemerintah harus melakukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Kementerian PPPA, menurut Saleh, tidak akan sanggup menyelesaikan masalah ini sendiri. "Mereka sangat memerlukan bantuan dari kementerian dan lembaga lainnya. Presiden perlu memimpin langsung rapat-rapat koordinasi. Kalau presiden sudah turun tangan, para menteri pasti akan bersungguh-sungguh."
Sementara Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Fernandez Hutagalung berpendapat untuk menahan laju kekerasan pada anak, perlu adanya perhatian khusus dari seluruh pihak. Bukan hanya pemerintah, peran masyarakat juga sangat penting.
"Jika dibiarkan, ini akan menjadi permasalahan sosial yang makin tak bisa dihindari. Dengan kasus Engeline diharapkan semua orang mulai membuka mata dan hati agar bersedia lebih peka kepada anak-anak,” ujar Fernandez kepada VIVA.co.id, Selasa 16 Juni 2015.
Pemerintah sendiri saat ini, kata Fernandez, mulai meningkatkan kebijakan, sosialisasi, dan implemantasi agar hukum di Indonesia tidak berjalan di tempat. Terutama karena adanya budaya malu dan tidak berani mengakui fakta peristiwa kekerasan yang dialami anak. Ini menjadi masalah besar.
Proses hukum yang rumit dan berbelit-belit, penanganan yang kerap tidak manusiawi, dan hukuman yang minim, membuat kasus-kasus kekerasan anak tenggelam selama bertahun-tahun dan membiarkan para korbannya tumbuh tanpa intervensi psikologi yang tepat.
Kebijakan Berbasis Anak
Sekjen KPAI Erlinda berpendapat kini saatnya pemerintah membuat kebijakan berbasis anak. Partisipasi anak selama ini kurang dimasukkan ke dalam kebijakan-kebijakan kementerian. Kalaupun ada kebijakan yang berpihak pada anak, tidak dijalankan secara maksimal.
Contohnya, Kementerian Lingkungan Hidup bisa saja melibatkan anak menjadi agen atau duta lingkungan hidup. Bagaimana anak dibukakan pikirannya terhadap lingkungan, melihat bagaimana kondisi hutan dan laut saat ini seperti apa.
Hal serupa juga bisa dilakukan di Kementerian Agama, yaitu soft course calon pengantin soal perlindungan anak. Kemendikbud juga punya tugas dan fungsi yang sangat besar, misal melalui pendidikan di sekolah, diciptakan suasana belajar yang menyenangkan, menciptakan kreativitas, menciptakan karakter unggul, tanggung jawab, dan jujur.
Yang pasti, penanganan kekerasan terhadap anak harus berbasis pada sistem. Baik pusat maupun daerah, harus terkoordinasi dengan baik. Kementerian Sosial misalnya. Ketika memiliki dinas-dinas sosial di daerah, harus jelas strukturalnya seperti apa.
Sampai saat ini, Erlinda mengakui masih sering terjadi tabrakan antar lembaga dalam menangani kasus yang menimpa anak. Karena itu perlu ada perbaikan sistem.
"Misal ada penelantaran anak, siapa yang berhak eksekusi dari orangtua. Apakah KPAI atau Kemensos. Kita masih suka bingung. Polisi bilangnya delik aduan. Kalau KPAI yang eksekusi, nanti dibilangnya pelanggaran hak," ujar Erlinda.
Sekjen KPAI Erlinda mengakui masih sering terjadi tabrakan antar lembaga dalam menangani kasus yang menimpa anak. Foto: VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi