- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Pagi itu, Senin 18 Mei 2015, Dewi Septiani kaget bukan kepalang. Ada yang aneh dari beras yang dimasaknya. Lebih satu jam, beras yang diolahnya tak jua menjadi bubur. Bulirannya justru semakin membesar dan tak menyatu dengan air.
Waktu memasak pun dia perpanjang jadi dua jam. Air juga ditambahkan. Tetap saja tidak matang. "Baunya aneh, dan terasa getir," kata Dewi saat ditemui VIVA.co.id di kediamannya, Perumahan Mutiara Gading Timur, Bekasi, pekan ini.
Keanehan juga dia temui pada beras yang dimasaknya menjadi nasi uduk. Nasi matang, tapi lembek. Sebagian masih neretes dan berbentuk buliran beras yang membesar. Saat dicoba, rasanya juga getir di mulut.
Tak hanya itu, sang adik, Putri Novaliani, sempat mual dan mulas setelah mengonsumsi nasi dari beras yang sama. Rasanya sama, getir meski sudah matang.
Karena keanehan pada beras yang diolahnya itu, Dewi memutuskan tidak berjualan. Takut, pelanggan yang makan akan keracunan.
Suami Dewi, Sudarwanto (43 tahun), lalu menyarankan agar menukarkan beras dengan yang baru. Tapi, Dewi berpendapat, kalau ditukar juga akan sama. Sebab, beras yang didapat dari toko yang sama.
Dewi mendapatkan beras itu saat berbelanja di Pasar Tanah Merah. Pasar itu terletak di Perumahan Mutiara Gading Timur, Mustikajaya, Kota Bekasi. Hari itu, Rabu 13 Mei 2015, Dewi membeli beras enam liter, dengan harga per liternya Rp8.000.
Setelah kejadian itu, dia kemudian teringat, ketika di Sukabumi, sempat menonton tayangan soal beras sintetis yang berasal dari China. Tayangan itu ditonton lewat YouTube. Dalam tayangan itu, kata Dewi, beras berbahan plastik sudah menyebar di Asia Tenggara.
Seketika itu, dugaan Dewi mengarah ke sana: beras yang dibelinya adalah beras plastik. Karena keingintahuannya yang kuat, Dewi melakukan uji coba sederhana dengan setrika panas. Betapa terkejutnya Dewi, butiran beras yang ditempelkan ke setrika panas itu, menempel.
Dugaannya semakin kuat. Dewi kemudian berinisiatif mengirimkan email ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dia melaporkan peristiwa yang dialaminya.
Karena surat elektroniknya belum ditanggapi dengan segera, Dewi lantas mengunggah temuannya itu ke akun media sosialnya. Facebook, Twitter, dan Instagram.
"Suami saat itu sempat bilang, hati-hati. Tapi saya bilang, ini untuk kebaikan semua. Saya juga upload contoh beras yang tidak layak," kata Dewi.
Tak butuh waktu lama, boom, pemberitaan beras plastik mengemuka. Media massa ramai-ramai mengangkat pengalaman Dewi. Tajuk berita beras plastik jadi headline media nasional.
Serupa beras asli
Secara fisik, Dewi kembali menceritakan, beras yang dibelinya sama seperti beras pada umumnya. Tapi, berdasarkan informasi dari YouTube, dia melihat beras yang dibelinya itu tampak seperti beras plastik.
Bila dilihat di bawah sinar Matahari, beras yang diduga palsu itu terlihat lebih bening. Cara membedakan beras itu juga didapatnya melalui situs web berbagi video tersebut.
Bahkan, setelah dugaan beras plastik di Bekasi itu jadi pemberitaan, ada seorang tetangga datang ke rumah Dewi membawa beras. Tetangga itu juga merasa ada keanehan pada berasnya.
"Saya sama dia beli di tempat yang sama. Terus, saya tes pakai setrika panas. Hasilnya, beras meleleh. Makanya, di situ saya yakin kalau ini mengandung plastik. Kalau beras biasa harusnya enggak meleleh," kata Dewi.
Dewi mengaku tidak takut dengan peristiwa yang dialaminya. Bahkan, kata Dewi, warga sekitar justru mendukungnya. Katanya, warga merasa terbantu dengan pengalaman Dewi. Mereka akan lebih berhati-hati dalam membeli beras.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran Dewi. Dia kasihan dengan pedagang beras langganannya. Sebab, akibat peristiwa yang dialaminya, toko beras "S" ditutup oleh pihak berwajib.
"Saya juga yakin dia korban. Ya, saya sih inginnya toko 'S' dibuka lagi, kasihan. Saya yakin dia tidak salah,” ujar Dewi.
Kini, setelah menemukan beras seperti itu, Dewi lebih hati-hati ketika membeli beras. Dia belum berani ke pasar karena tekanan psikologis. "Sekarang suami yang ke pasar kalau mau beli beras,” tuturnya.
Imbasnya, setelah marak pemberitaan, warung Sarapan Pagi "Ibu Dewi" yang menjual nasi uduk dan bubur, sudah sepekan lebih ditutup. Selain karena ingin menenangkan diri, Dewi kini juga sibuk melayani panggilan ke sejumlah televisi untuk wawancara.
Meski, belakangan, dari hasil uji laboratorium, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan tidak ada beras plastik yang beredar di tengah masyarakat. Hasil uji laboratorium terhadap sampel beras plastik negatif mengandung bahan tersebut.
"Hasil uji telah diumumkan oleh Kapolri, Menteri Perdagangan, dan saya sendiri. Masyarakat diimbau tenang sebab tidak terbukti (ada beras plastik)," kata Kepala BPOM, Roy Sparringa, di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Rabu 27 Mei 2015.
Uji laboratorium BPOM dilakukan terhadap 25 sampel beras dari luar Jabodetabek. Hasil uji tersebut juga dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan Polri yang hasilnya juga negatif mengandung plastik.
"Hasil Kementerian Pertanian negatif, Polri negatif, Kementerian Perdagangan negatif. Ada 25 sampel di luar Jabodetabek dan menunjukkan hasil yang negatif," kata dia.
Roy mengatakan, lembaganya juga menerima hasil uji laboratorium dari Badan Pengkajian dan Penelitian Teknologi (BPPT). Namun, hasil uji lab 25 sampel beras plastik itu tidak mengandung unsur polimer.
"Tambahan lagi, kami ada sentra polimer di BPPT dan baru diterima juga hasil yang sama bahwa beras itu negatif mengandung polimer. Jadi, masyarakat diimbau tenang," ujarnya.
Terlepas dari hasil uji lab soal dugaan beras plastik, sepenggal kisah Dewi, bukan pertama dan terakhir. Pengalaman Dewi menambah daftar panjang cerita mengerikan soal pangan yang beredar di Tanah Air.
Makanan aman bagi kesehatan seakan jadi barang langka. Masyarakat dijejali makanan mengandung zat kimia berbahaya. Sebut saja, formalin dan boraks.
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam formalin terkandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air. Biasanya ditambah metanol hingga 15 persen sebagai pengawet.
Barang ini biasa digunakan sebagai bahan perekat untuk kayu lapis dan disinfektan untuk peralatan rumah sakit serta untuk pengawet mayat. Formalin dilarang keras digunakan untuk pengawet makanan.
Bahaya formalin jika terhirup, mengenai kulit dan tertelan, bisa menyebabkan luka bakar, iritasi pada saluran pernapasan, reaksi alergi, dan bahaya kanker pada manusia. Bila tertelan sebanyak dua sendok makan saja atau 30 ml, bisa menyebabkan kematian.
Sementara itu, boraks adalah senyawa berbentuk kristal, warna putih, tidak berbau dan stabil pada suhu tekanan normal.
Boraks merupakan senyawa kimia berbahaya untuk pangan dengan nama kimia natrium tetrabonat (NaB4O7 10H2O). Dapat dijumpai dalam bentuk padat, dan jika larut dalam air akan menjadi natrium hidroksida serta asam borat (H3BO3).
Boraks atau asam borat biasa digunakan sebagai bahan pembuat detergen, bersifat antiseptik dan mengurangi kesadahan air. Bahan berbahaya ini haram digunakan untuk makanan.
Bahaya boraks jika terhirup, mengenai kulit dan tertelan bisa menyebabkan iritasi saluran pernapasan, iritasi kulit, iritasi mata, dan kerusakan ginjal. Jika boraks 5-10 gram tertelan oleh anak-anak bisa menyebabkan shock dan kematian.
Belum lama ini, publik juga sempat digegerkan dengan penggerebekan pabrik kerupuk yang menggunakan boraks. Tak hanya boraks, pengusaha nakal juga bahan kimia lain seperti pewarna dan gula sintetis. Agar terlihat jernih, air untuk adonan kerupuk dicampur tawas.
Ada lagi kikil dicampur formalin di Kalideres, Jakarta Barat. Pabrik yang menyuplai makanan ringan di Jakarta Barat itu digerebek polisi beberapa waktu lalu. Ditemukan ratusan kilogram kulit sapi maupun kerbau dalam kondisi terendam di bak-bak penampungan dengan air keruh dan bau menyengat.
Es batu yang biasa dikonsumsi masyarakat, juga tak lepas dari bahan kimia berbahaya. Penambah cita rasa segar pada minuman itu dicampur dengan formalin, kaporit, soda api, tawas, dan anti foam.
Bahan dasar pembuatan es balok ini pun menjijikkan; pakai air kotor Kalimalang. Air keruh Kalimalang dibawa menggunakan truk tangki dan dikirim ke pabrik pembuatan di Jakarta Timur untuk dioplos dengan zat-zat kimia tersebut.
Tak hanya makanan produksi lokal. Pangan impor pun tak lepas dari bahan kimia berbahaya. Beberapa waktu lalu, buah impor mengandung lilin dan formalin membanjiri pasar Tanah Air. Bak keranjang sampah, Indonesia jadi pasar impor buah tidak layak konsumsi.
Ratusan ton buah yang tidak layak konsumsi di negara lain, masuk dengan leluasa ke Indonesia. Agar terlihat menarik dan layak, buah dicampur zat pewarna dan formalin.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, melihat, hingga saat ini, pemerintah, terutama lembaga pengawasan makanan, masih belum maksimal menjalankan fungsinya untuk melindungi masyarakat dari makanan berbahaya.
Tulus tidak tahu masalah yang dihadapi pemerintah dan lembaga pengawasan, sehingga masih banyak makanan mengandung zat berbahaya beredar di tengah masyarakat.
“Pemerintah masih banyak kedodoran. Terutama makanan non kemasan. Lembaga terkait belum maksimal dalam melakukan pengawasan. Padahal pengawasan bisa dilakukan secara reguler untuk memeriksa,” ujar Tulus kepada VIVA.co.id, Jumat 29 Mei 2015.
Menurut Tulus, jika pengawasan tidak dilakukan dengan baik, masyarakat sebagai konsumen akan terus menjadi korban.
Penggerebekan pabrik kerupuk yang menggunakan boraks dan juga bahan kimia lain seperti pewarna dan gula sintetis. Foto: VIVA.co.id / Muhammad Iqbal
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang bertanggung jawab? Lalu, apa langkah pemerintah menyikapi maraknya makanan berbahaya di tengah masyarakat. Terlebih menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.
“Saya kira masyarakat tenang saja. Saya yakin, ini terjadi pada tempat yang tidak menyebar luas (beras plastik). Kami juga menginstruksikan tim ketahanan pangan untuk mengecek. Sekali lagi, ini ada hikmahnya. Kami minta kepada masyarakat harus lebih mencintai produk dalam negeri,” ujar Menteri Pertanian, Andi Amran, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 26 Mei 2015.
Amran menjamin, dalam menyambut bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri, stok pangan nasional dalam keadaan aman. Khususnya beras. “Insya Allah aman,” kata Menteri.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian, Yusni Emilia Harahap, kepada VIVA.co.id, Kamis 28 Mei 2015, menjelaskan soal maraknya makanan berbahan kimia berbahaya.
Menurut Yusni, maraknya makanan berbahaya di tengah masyarakat disebabkan sistem keamanan dan pengawasan pangan yang belum kuat. Makanan yang akan beredar, kata Yusni, seharusnya sudah melewati sistem pengawasan.
Di Indonesia, kata Yusni, sistem keamanan pangan terdiri atas pre-market (persetujuan pemberian izin edar) dan post-market (pengawasan setelah edar).
Sebelum makanan beredar, sudah harus terdaftar, tersertifikasi, dan lolos tes kelayakan.
“Mulai dari mana dan bagaimana pengolahannya. Ada formalin atau zat berbahaya nggak, bagaimana packing house-nya. Itu bisa kita evaluasi sesuai kaidah-kaidahnya. Lalu, kemudian masuk ke post-market, beredarlah makanan itu. Itu juga kembali dilakukan pengawasan yang reguler,” ujar Yusni.
Kata Yusni, ada delapan unit eselon satu lintas kementerian/lembaga yang memiliki peran dalam pengawasan makanan yang beredar di masyarakat. Delapan unit itu, menurut Yusni, sudah terintegrasi dan terikat oleh Memorandum of Understanding (MoU).
“Dikoordinasi oleh Kemendag melalui Dirjen Standardisasi Perlindungan Konsumen. Lalu, di Kementan ada dua ditjen yang terlibat, yakni Badan Karantina Pertanian dan Ditjen Pengolahan Pemasaran Hasil Pertanian. Dari lembaga lain juga ada, termasuk Bea Cukai, dan BPOM,” ujar Yusni.
Menurut Yusni, untuk menghindari makanan berbahaya bagi masyarakat, pihak-pihak terkait harus maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Terutama, otoritas keamanan pangan di daerah. Jika otoritas ini kuat, sumber dayanya maksimal, sarana dan prasarana memadai, termasuk laboratorium lengkap, makanan berbahaya bisa diminimalisasi.
“Jangan ada peristiwa baru pada bergerak. Jadi, sistem itu yang harus dibangun secara kuat. Nggak bisa ada kasus kita baru bereaksi. Intinya, semua lembaga di daerah seperti gubernur, harus ikut serta,” kata Yusni.
Kementerian Pertanian, kata Yusni, terus berusaha maksimal untuk melindungi masyarakat dari makanan berbahaya.
“Dengan peran semua pihak, semua pengontrolan dan pengawasan bisa lebih ketat, sehingga orang-orang yang memanfaatkan untuk mengambil peran tidak bertanggung jawab bisa diminimalisasi,” kata Yusni.
Sementara itu, berdasarkan data World Health Organization (WHO) yang dirilis Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), menunjukkan bahwa bahaya yang disebabkan oleh penyakit karena makanan menjadi ancaman global.
WHO memperkirakan ada sekitar dua juta korban, terutama anak-anak, meninggal setiap tahunnya akibat makanan yang tidak aman.
“Di Indonesia, berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM selama periode tahun 2009-2013 diasumsikan bahwa dugaan kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan yang terjadi per tahunnya sebanyak 10.700 kasus dengan 411.500 orang sakit dan 2.500 orang meninggal dunia," tulis Biro Hukum dan Humas Badan POM.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kasus KLB keracunan pangan tersebut diperkirakan mencapai Rp2,9 triliun.
Permasalahan keamanan pangan menjadi perhatian serius. Jika tidak, seluruh generasi Indonesia akan terkontaminasi zat berbahaya dalam tubuhnya. Menurut BPOM, hal itu menjadi isu lintas sektor dan tanggung jawab bersama. Bukan hanya BPOM.
“Badan POM tidak dapat melakukan pengawasan keamanan pangan ini secara single player. Permasalahan keamanan pangan bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, melainkan juga para pelaku usaha dan peran serta masyarakat. Mari bersama kita pastikan produk makanan yang beredar di masyarakat terjamin keamanan, mutu, dan gizinya,” sebut BPOM.
Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, mengatakan bahwa Kementeriannya juga akan menertibkan peredaran makanan dan minuman olahan yang membahayakan kesehatan manusia.
"Kami akan menertibkan makanan berbahan formalin. Misalnya sekarang ada bihun berformalin, kami akan mengecek di mana saja dia mendistribusikannya," kata Rachmat, di Jakarta, Rabu 27 Mei 2015.
Kementerian Perdagangan, lanjut Rachmat, menggandeng Kementerian Pertanian, BPOM, Polri, pemerintah daerah, dan instansi lainnya untuk memantau dan mengawasi pangan, baik pangan segar maupun pangan olahan. Terlebih, menghadapi Ramadan dan Idul Fitri.
Namun, pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, juga mengingatkan, persoalan di Indonesia tidak hanya beras, karena hampir semua komoditas juga penting. Untuk itu, pemerintah harus segera bergerak, karena ketika keresahan dibiarkan, itu sangat buruk. (art)