- VIVA.co.id/Mohammad Zumrotul Abidin
VIVA.co.id - Suatu malam, di Jalan Tol Surabaya-Gempol, suporter klub Persebaya Surabaya tawur dengan suporter Arema Malang. Bonek dan Aremania perang batu. Lalu lintas terhenti, macet tak terhindarkan, mengular sampai ke Tanjung Perak, kawasan pelabuhan.
Di tengah situasi ramai itu, muncul seorang perempuan paruh baya. Perempuan berjilbab itu tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah massa yang tawuran.
"Anak-anakku, tolong hentikan (tawuran). Saya Wali Kota Surabaya. Ayo kalian cepat pulang biar saya yang atasi masalah ini, jangan sampai ada korban lagi," kata perempuan yang ternyata adalah Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.
Risma tak sendirian saat itu, ditemani ajudannya yang bernama Febri. Dia menerobos massa tawuran berusaha melerai, begitu yang diceritakan Risma kembali kepada VIVA.co.id, di ruang kerjanya, Kamis 16 April 2015.
Aksi nekat Risma itu tak berhasil. Tak kehilangan akal, ia berlari ke dalam sebuah masjid yang berada tak jauh dari lokasi. Risma pun meminjam pengeras suara masjid, meminta kedua belah pihak agar menghentikan tawuran.
Emosi kedua kelompok itu akhirnya bisa reda. Risma kemudian bergabung dengan kelompok Bonek yang masih berkerumun di jalanan. Dia menemui sejumlah pentolan Bonek yang ada di lokasi. Tiba-tiba saja, tabung-tabung gas air mata berterbangan ke arah Risma dan kelompok Bonek.
"Saya lari ke sebuah (kantor) bank dekat Sukomanunggal. Bonek-bonek itu melindungi aku, mengajak lari. ‘Ayo lari, Bu’," ujar Risma.
Reda, Risma kembali turun ke arah jalan tol, bersama-sama kubu Bonek. Nahas, polisi kembali menembakkan gas air mata ke arah kubu Bonek karena melihat massa itu berusaha mendekat ke arah kubu Aremania. Polisi tak tahu bahwa di kubu Bonek terdapat wali kota yang hendak mendamaikan kedua kubu.
"Saya kira mau diapakan, ternyata ditembak gas air mata lagi. Kebetulan ada poliklinik, saya masuk di situ. Saya kena (gas airmata) waktu itu. Anak-anak bonek ada yang bawa pasta gigi. Saya ditawari, terus saya bilang, apa iya saya pakai itu. Terus saya minta obat di klinik," tutur Risma menceritakan kembali kejadian itu.
Dan malam itu, akhirnya bentrokan berakhir tanpa korban jiwa.
Itulah gaya perempuan pertama menjadi Wali Kota Surabaya itu dalam mengatasi. Langsung, tegas, mendobrak pakem namun penuh kasih sayang.
Dia kerap ikut patroli malam hari, mengurai kemacetan, mengatasi banjir, hingga memimpin langsung penutupan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara yakni Dolly. Baginya, inilah konsekuensi menjadi pemimpin Surabaya sejak dilantik 28 September 2010 silam.
Jalan Hidup
Dia sendiri tak pernah membayangkan akan memimpin kota terbesar di Indonesia itu. Saat lulus dari SMA Negeri 5 Surabaya, dia diminta orangtuanya kuliah di jurusan arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS). Dia memendam cita-citanya sejak kecil ingin menjadi dokter, terinspirasi dari sakit asma yang diidapnya sejak kanak-kanak. Pertimbangan orang tua waktu itu sederhana, setelah lulus cepat bisa dapat pekerjaan. Ternyata benar, sebelum lulus dari ITS, dia sudah bisa bekerja mengerjakan proyek-proyek dari pemerintah kota.
Setelah lulus dari kampus yang mempertemukannya dengan pria yang kemudian menjadi suaminya, Djoko Saptoadji, itu, Risma mendaftar sebagai pegawai negeri sipil. Diterima, namun dia ditempatkan di Bojonegoro, Jawa Timur. "Baru setelah lima tahun berjalan, aku bisa pindah ke Surabaya," kata perempuan yang dilahirkan di Kota Kediri, Jawa Timur, 20 November 1961, itu.
Sebagai PNS, Risma pernah menjadi Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah di Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Dinas Bangunan, Kepala Cabang Pertamanan, Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, dan puncaknya menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bapekko).
Setiap ditempatkan di bidang apa pun, Risma berusaha menyelesaikan dengan baik. Saat menjadi Kabag Penelitian dan Pengembangan, dia menciptakan sistem online untuk lelang pengadaan barang dan jasa, tergolong yang pertama di Indonesia. "Sistem online ini bisa mencegah terjadinya praktik KKN, karena transparan bisa diakses semua orang," katanya.
Ketika menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya, dia berhasil mengubah wajah Kota Surabaya menjadi lebih hijau, bersih dan indah. Tiap pagi, dia keliling kota mengawasi langsung para pasukan kuning atau resminya petugas kebersihan membersihkan jalan.
Tak Kenal Politik
Saat menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan itulah orang-orang menggadang-gadangnya untuk menjadi calon wali kota. Akhirnya Risma maju menjadi calon wali kota, didampingi incumbent Wali Kota Surabaya Bambang DH yang sudah dua kali menjabat sehingga “mengalah” sebagai calon wakil wali kota. Pasangan ini didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Pemilihan di tahun 2010 ini diikuti lima pasangan calon. Pemilihan ini melaju ke babak kedua; antara Arif Afandi-Adies Kadir yang diusung Demokrat dan Golkar melawan Risma-Bambang DH yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Babak kedua ini akhirnya sampai disengketakan di Mahkamah Konstitusi. MK memutuskan harus digelar pemilihan ulang di 5 kecamatan dan 2 kelurahan. Kemenangan Risma-Bambang DH tak terelakkan.
Risma tak pernah menyangka bakal menang karena pengalaman politiknya sedikit. “Sungguh, semua itu di luar perkiraanku. Tetapi sebagai bentuk tanggungjawab, aku harus menjalankan amanah yang diberikan masyarakat kepadaku," kata Risma.
Pada awal memimpin warga Surabaya, dia banyak merenung dan bertanya-tanya apakah dia sanggup memimpin Kota Surabaya yang terkenal keras, sementara dia hanya seorang wanita. Apalagi, belum apa-apa, di awal pemerintahannya, ia sempat diancam akan dilengserkan melalui hak angket DPRD Surabaya.
Memang, setelah dilantik 28 september 2010, Risma langsung tancap gas. Program pertama yang digenjotnya di bidang pendidikan. Risma berupaya agar biaya pendidikan di Surabaya sejak SD sampai SMA, gratis. Bantuan Operasional Siswa (BOS) yang hanya untuk tingkat SD dan SMP digenapkan sampai tingkat SMA. Dia juga melancarkan program Bantuan Operasional Pendidikan Dearah (Bopda), baik untuk sekolah swasta maupun negeri.
Dia juga menerapkan pemberian bantuan bagi anak tak mampu dengan kuota 5 persen per sekolah. Anak dari golongan miskin, selain bebas biaya pendidikan, juga mendapat bantuan pribadi. Tak ada alasan kurang biaya lagi bagi anak-anak Surabaya untuk tidak sekolah.
Setelah pendidikan dirasa aman, Risma kembali ke aktivitasnya sebelum menjadi wali kota: membenahi kota. Dia bertekad mengubah Kota Surabaya yang panas menjadi lebih asri dan manusiawi. Ruang terbuka hijau diperbanyak. Pemerintah Surabaya telah membebaskan 12 hektare lahan menjadi ruang terbuka hijau. Ada empat lapangan sepak bola dan sebelas lapangan futsal yang dibangun dalam setahun. Kini ada 98 ruang terbuka hijau yang terdapat fasilitas lapangan sepak bola dan futsal.
Dalam mengurangi genangan dan banjir, Risma rutin mengecek berapa lama genangan bertahan dan tingkat kedalamannya. Untuk pengelolaan sampah, dia mengajak masyarakat berpartisipasi memilahnya. Setiap kecamatan memiliki relawan green and clean untuk membudayakan memilah sampah. Sampah organik pun diolah menjadi pupuk kompos.
Pemerintah Kota mendorong warganya untuk menanam sayuran dengan mesin hidroponik. "Kami menyediakan bibit sawi, cabai dan tomat. Buat sayuran sendiri. Alhamdulillah, ini bisa mengontrol perekonomian warga karena di kota besar kebutuhan yang sering melonjak adalah sayur dan daging," ucapnya.
Untuk pembangunan drainase dan air bersih, Risma terus mengupayakan sumber daya lokal. Awalnya dia ditawari peranti lunak (software) untuk air mancur senilai Rp2 miliar oleh perusahaan Singapura, tapi dia tolak. Risma memilih buatan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya yang lebih murah.
"Bisa dilihat, di depan Balai Kota ada air mancur yang biasa dipakai anak-anak kecil mandi. Airnya bersih," katanya.
Risma berupaya agar biaya pendidikan di Surabaya sejak SD sampai SMA gratis. Foto: VIVA.co.id/Mohammad Zumrotul Abidin
Penghargaan
Di masa kepemimpinannya, Kota Surabaya meraih empat kali piala adipura berturut-turut yaitu tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014 untuk kategori kota metropolitan. Selain itu, kepemimpinan Tri Risma juga membawa Surabaya menjadi kota yang terbaik partisipasinya se-Asia Pasifik pada tahun 2012 versi Citynet atas keberhasilan pemerintah kota dan partisipasi rakyat dalam mengelola lingkungan.
Pada Oktober 2013, Kota Surabaya di bawah kepemimpinannya memperoleh penghargaan tingkat Asia-Pasifik yaitu Future Government Awards 2013 di 2 bidang sekaligus yaitu data center dan inklusi digital menyisihkan 800 kota di seluruh Asia-Pasifik.
Taman bungkul yang pernah dipugarnya pun meraih penghargaan The 2013 Asian Townscape Award dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai taman terbaik se-Asia pada tahun 2013.
Pada Februari 2014, Tri Rismaharini dinobatkan sebagai Mayor of the Month atau wali kota terbaik ketiga di dunia untuk bulan Februari 2014 atas keberhasilannya selama memimpin Kota Surabaya sebagai kota metropolitan yang paling baik penataannya.
Pada Februari 2015, Tri Rismaharini dinobatkan sebagai wali kota terbaik ke-3 di dunia atas keberhasilannya mengubah wajah Kota Surabaya dari yang kumuh penataannya menjadi kota yang lebih hijau dan tertata rapi. Risma dianggap sebagai figur enerjik yang antusias mempromosikan kebijakan sosial, ekonomi dan lingkungan secara nasional maupun internasional serta dinilai berhasil memanfaatkan lahan mati dan menyulapnya menjadi taman kota.
Risma juga dipuji karena keberaniannya menutup kawasan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara yaitu Gang Dolly, serta respons cepatnya dalam menangani korban insiden AirAsia QZ8501.
Puncaknya, Maret 2015, nama Tri Rismaharini masuk dalam jajaran 50 tokoh berpengaruh di dunia versi majalah Fortune. Risma disetarakan dengan tokoh-tokoh seperti CEO Facebook Mark Zuckerberg dan Perdana Menteri India Narendra Modi.
Menurut Fortune, Risma berhasil melakukan banyak terobosan luar biasa di Surabaya tentang lingkungan, dan ia juga dinilai telah berhasil mengubah kota besar dengan jutaan penduduk yang sarat polusi, kemacetan, dan kekumuhan menjadi kota metropolitan yang tertata, kaya akan taman lanskap dan ruang hijau lainnya. Risma juga dinilai berhasil mengubah banyak lahan pemakaman gersang menjadi ruang penyerapan air sehingga dapat menangkal banjir.
Tempaan Masa Kecil
Di balik kiprahnya sebagai Wali Kota Surabaya, ibu dua anak ini memiliki kisah hidup yang cukup menarik. Ririn, nama kecilnya, dibesarkan di tengah keluarga yang berkecukupan secara ekonomi. Ririn merupakan anak ketiga dari lima bersaudara buah perkawinan pasangan M. Chuzaini dan Siti Mudjiatun.
M Chuzaini, ayah Risma, adalah PNS di kantor pajak. Di sela-sela kesibukan sebagai PNS, ayahnya juga memiliki usaha sampingan memasok bahan-bahan pokok seperti beras, gula, dan jagung. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Risma sudah diajarkan kegiatan ekonomi dengan dilibatkan dalam usaha dagang toko kelontong milik keluarganya itu.
"Bapak sering memintaku membantu menghitung pemasukan dan pengeluaran barang di toko, mengantar barang-barang ke pelanggan naik becak, dan masih banyak lagi," kata Risma.
Risma menyebut ibunya seorang yang lembut, sementara bapaknya seorang yang keras dan berdisiplin tinggi. Ayah Risma juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ayahnya menyiapkan satu rumah khusus untuk dijadikan tempat tinggal sekitar 40-50 anak yatim-piatu.
"Anak-anak ini sehari-harinya diasuh Bapak. Bersama mereka pula aku berkumpul dan bermain setiap hari," katanya.
Namun Risma sakit-sakitan saat kecil sehingga tidak banyak bermain layaknya anak-anak pada umumnya. Salah satu penyakit yang paling menganggunya adalah asma. Dia tak boleh terlalu capek agar penyakit asmanya tak kambuh.
Namun, Risma tak mau larut dengan penyakit asma yang dideritanya. Dia justru menyibukkan diri dengan kegiatan yang mengutamakan kemampuan fisik seperti menari dan atletik. Berkat keseriusan berlatih tari, Risma memiliki kemampuan menari di atas rata-rata anak-anak lain. Ketika masih duduk di kelas 3 SD, dia sudah bisa melatih kakak-kakak kelasnya menari.
"Tak hanya itu, di waktu-waktu tertentu aku kerap menerima undangan menari di berbagai tempat di Kediri, misalnya mengisi acara 17 Agustus-an," katanya.
Saat di SMA 5 Surabaya, Risma sibuk berlatih atletik. Pernah dalam satu perlombaan lari, dia mendapat peringkat dua hanya kalah dari Heny Maspaitella yang kemudian terus meroket jadi pelari nasional. "Bahkan ketika bersekolah di SMAN 5 Surabaya, pihak sekolah sampai memberikan dispensasi khusus dan memperbolehkan aku masuk kelas jam 10.00, karena pagi harinya aku harus berlatih lari terlebih dahulu," Risma.
Risma mampu mengatasi penyakit asmanya karena suka naik gunung saat menjadi mahasiswa. Selain suka naik gunung, ketika masih duduk di SMAN 5 Surabaya, dia merupakan atlit lari andalan Kota Surabaya.
Risma dan Keluarga
Risma dikaruniai dua anak, Fuad Nenardi dan Tantri Gunarmi. Dalam mendidik anak, Risma dan suaminya menerapkan disiplin tinggi juga prinsip kejujuran. Selama menjadi walikota Surabaya dia mengaku, hubungan dengan keluarga dia jaga dengan kualitas komunikasi.
"Anak-anak saya sudah biasa. Yang penting kualitas komunikasi selalu dirawat. Sejauh apapun jarak, komunikasi selalu intens. Kalau di rumah saya godain," katanya.
Dia juga sadar memang tidak bisa seperti rumah tangga yang lain. "Ini pilihan. Saya pun tidak memilih untuk jadi seperti ini," katanya.
Saat dia bimbang, suaminya selalu memberi semangat untuk terus maju karena kesempatan membantu orang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. [aba]