- xl
Perempuan itu menembus kelengangan Jakarta. Maklum, di tahun 1996, Jakarta belum terlalu sibuk seperti sekarang. Aktivitas mulai berkurang pada jelang tengah malam. Karenanya, perjalanan malam itu cukup leluasa. Dalam benak wanita itu hanya satu: agar masyarakat lancar berkomunikasi tanpa gangguan sinyal pemancar.
"Waktu itu saya melakukan drive test measurement jaringan. Di tahun itu, belum ada automatic measurement , semua masih manual. Jadi, kita harus cek ke lapangan untuk memastikan jaringan," kenang Dian Siswarini, yang kini menjadi Presiden Direktur dan Chief Executive Officer
Peran ganda
Dian sadar benar bahwa menjadi profesional perempuan sukses bukanlah perkara mudah. Dalam kehidupan dunia yang dibangun dengan konsep laki-laki, perempuan 'dipaksa' mengerjakan tugas domestik.
Itu sebabnya, perempuan punya tantangan lebih besar saat punya keinginan untuk sukses di bidang karier. Peran ganda harus di jalani. Ya sebagai istri sekaligus ibu, juga sebagai profesional di kantor.
Maka, ibu tiga anak ini harus pandai-pandai membagi waktu. Terutama, saat dia masih aktif di lapangan. Bila ingin lembur, biasanya Dian pulang jam 5 sore dan kembali beraktivitas pukul 21.30.
Namun, sebelum subuh berkumandang, Dian berusaha sudah sampai rumah. "Ketika mereka (suami dan anak) bangun, saya sudah ada di rumah, melayani mereka,” kata istri Adji Rukmantara ini.
Keberadaannya sebagai profesional, tak membuat Dian menafikkan tugasnya sebagai ibu. Dia selalu berusaha untuk senantiasa memaksimalkan waktu dengan keluarga.
Misalnya, sarapan bersama keluarga. Pada kesempatan itu, mereka sekeluarga akan bertukar cerita.
"Saya sampai kantor harus jam 07.30 WIB. Tujuannya apa? Kalau saya datang lebih pagi, bisa pulang cepat," ujar Dian memberi tips.
Dahulu, Dian biasa pulang pukul 18.30 WIB, setelah semua pekerjaannya rampung. Kecuali, kalau ada rapat.
"Kuncinya, saya pikir ada tiga. Time management, good plan, dan fokus," katanya.
Kepiawaian mengatur waktu juga membuat Dian berhasil memberikan ASI eksklusif untuk ketiga anaknya. "Malah anak-anak saya mendapatkan ASI sampai usia dua tahun," kata ibu dari Amyra Meidiana (21), Farhan Ariana Rahardian (17), dan Rizki Aulia Muhammad (12) ini.
Untuk urusan ASI, Dian punya cara tersendiri. Saat dia mendapatkan izin cuti, Dian membuat bank ASI. "Saya peras ASI, lalu saya taruh dalam botol-botol," kata dia.
Demi anak-anaknya mendapat ASI eksklusif, Dian pindah rumah. Dari semula di Bekasi, dia boyongan ke kawasan Tebet. Tujuannya, agar dekat dengan kantor. Jadi, sewaktu anak-anaknya masih kecil, Dian menyempatkan waktu untuk pulang saat jam makan siang.
"Nyusuin yang masih kecil, makan siang bareng. Itu saya lakukan sampai anak-anak SD," kata dia.
Sempat ingin sudahi karier
Posisi puncak Dian di operator telekomunikasi dengan 59,6 juta pelanggan itu, memang sudah dia impikan sejak lama. Impian itu semakin terasa nyata saat banyak orang juga memprediksikan hal yang sama.
Sejak Dian diangkat sebagai Deputy CEO oleh RUPSLB awal Januari lalu, seluruh tugas CEO telah ia jalani. Padahal, waktu itu posisi CEO masih dijabat Hasnul Suhaimi. Makanya, tidak banyak yang terkejut ketika Dian akhirnya benar-benar menakhodai XL Axiata.
Namun, perjalanan Dian tidaklah semulus bayangan orang. Bahkan, Dian pernah sempat ingin menyudahi kariernya. Dia sempat terguncang saat mendengar keputusan dokter bahwa anak keduanya menderita autis.
“Usianya masih 1,5 tahun, waktu itu. Kakak ipar saya yang dokter melihat gejala itu di anak saya,” kata dia.
Jelas saja, Dian syok. Hingga punya pikiran untuk berhenti kerja. Namun, niatan itu dicegah suaminya. "Kamu kan mau jadi number one di perusahaan,” ujar Dian mengenang ucapan suaminya kala itu.
Dukungan penuh keluarga kembali memompa semangat Dian. Dia, suami dan orangtua serta saudaranya bergantian mengurus Farhan. Dian mendapat tugas mengurus Farhan dari jam 7-8 pagi. "Kalau weekend, sepenuhnya saya,” kata dia.
Tiap akhir pekan, barulah Dian mengantar Farhan bertemu dokter terapi di Bandung. Namun, perjalanan Jakarta-Bandung yang memakan waktu lima jam (saat itu belum ada tol), dianggap tidak efisien. Akhirnya, Dian memfungsikan salah satu ruang di rumahnya untuk tempat terapi.
Mengenai hal ini, Dian sama sekali tidak bercerita dengan teman-teman kantornya. Dia beralasan, tidak ingin mendapat perlakuan istimewa.
"Saya tidak ingin, ketika mereka tahu masalah saya, treatment mereka ke saya jadi berbeda,” kata dia.
Saat Dian menjalani masa-masa berat itu, untungnya XL kurang bergairah. Pada rentang waktu 1998-2000, nyaris tidak ada pengembangan. "Jadi, blessing juga sih,” kenangnya. Kini, Farhan telah pulih seperti anak kebanyakan.
Dian pun lebih leluasa menjalankan perannya sebagai dirijen perusahaan telekomunikasi. Cita-citanya untuk menjadikan masyarakat nyaman berkomunikasi bisa lebih cepat ia wujudkan.
"Yang sudah kita lakukan adalah membuat masyarakat mendapatkan kesetaraan informasi. Orang berdagang, belanja, belajar, dan memberikan kursus dari internet. Itu manfaat terbesar yang dirasakan masyarakat dari perusahaan telekomunikasi seperti XL," ujarnya.