SOROT 336

Kembalinya Piringan Hitam

Jual piringan hitam di jalan surabaya
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Nadlir

VIVA.co.id - Piringan hitam dari berbagai musisi zaman dahulu tersusun rapi di atas rak kayu. Tampak sampul piringan hitam dengan wajah personel The Ventures dan Dara Puspita dalam kondisi apik. Warnanya memang sudah sedikit sirna. Itu karena termakan usia.

Datang dua anak muda berseragam putih abu-abu. Di dalam toko, mereka terlihat asyik mengamati piringan hitam satu per satu. Cukup lama keduanya menghabiskan waktu. Hingga akhirnya pergi berlalu.

Riwayat Alat Perekam

Terselip di ujung Jalan Surabaya, Jakarta, toko tanpa papan nama itu dikenal luas di kalangan pencinta piringan hitam. Tak hanya lanjut usia, piringan hitam atau vinyl juga kini diburu oleh anak-anak muda.

“Banyak ya. Itu karena teman jadi demen,” ujar Asrizal, sang pemilik toko.

'Kanker' Itu Bernama Pembajakan

Ketertarikan anak muda terhadap piringan hitam dewasa ini tak hanya membawa berkah bagi para penjual rekaman vinyl lawas. Sejumlah musisi dunia juga meraup pundi-pundi dengan melirik kembali piringan hitam sebagai medium hasil karya mereka.

Sebut saja Daft Punk, U2, Coldplay, John Mayer, Lady Gaga, Bjork, Fall Out Boy, Muse, Norah Jones, hingga yang terbaru penyanyi rap Eminem. Beranjak ke dalam negeri, ada White Shoes and The Couples Company, Sore, Superman Is Dead dan d’Masiv yang juga merilis album dalam format piringan hitam.

7 Tips Belanja saat Harbolnas, Hemat dan Cerdas Tanpa Boros!

Bagai kenikmatan tersendiri yang sulit diungkapkan dengan kata. Demikian vokalis d’Masiv, Rian Pradipta, menggambarkan perasaannya ketika membuka sampul dan menaruh jarum pada piringan hitam.

Kepada VIVA.co.id, Rian sendiri mengaku sudah empat tahun mengoleksi piringan hitam. Koleksinya kini sudah lebih dari 1.000. Semuanya disimpan di sebuah lemari khusus. Suara jernih adalah salah satu alasannya tertarik mengoleksi piringan hitam.

Sebagai kolektor, Rian lantas berpikir rasanya tak afdol kalau band yang ia gawangi, tak mengeluarkan album dalam bentuk piringan hitam.

Maka pada  Oktober 2014, ia bersama rekan satu bandnya, yang terdiri dari Dwiki (gitaris), Damar (gitaris), Rayyi (bass), dan Wahyu (drum sepakat merilis album keempat mereka, yang berjudul Hidup Lebih Indah dalam bentuk vinyl.

"Kami keluarkan album ini dalam dua jenis, CD dan piringan hitam. Yang CD, rilis tanggal 20 September 2014, sementara yang vinyl keluar 2 Oktober 2014," ucap Rian.

Sebelum diluncurkan, d’Masiv membuka pre-order album piringan hitam. Hal ini, kata Rian, untuk melihat keinginan pasar. Lewat sistem pre-order tersebut, D'Masiv menjanjikan banyak kelebihan ketimbang membeli album format CD.

"Kalau lewat pre-order, kita kasih tas eksklusif plus tanda tangan dari semua anggota band," ujar pria kelahiran 17 November 1986 ini.

Tak banyak band arus utama yang mau mengambil langkah seperti d’Masiv. Alasannya tentu karena terbentur masalah dana. Seperti diketahui, belum banyak studio musik lokal, yang bisa melakoni tugas pembuatan produk ini.

Imbasnya, d’Masiv sendiri harus membuat album piringan hitam tersebut  ke Jerman, dan ini artinya pengeluaran harus bertambah.

Namun, hasilnya di luar dugaan. Minat fans ternyata sangat bagus. Efeknya hampir separuh vinyl yang dibuat oleh label musik mereka, Musica Studio laris manis dipesan.

“Kita hanya buat 500 piringan hitam, dan saat pre-order ternyata sudah dipesan sampai 200 keping. Harganya Rp350 ribu, dan sekarang hanya tersisa sedikit," kata Rian bangga.

Nikmatnya berburu piringan hitam
Jika Rian baru empat tahun menjadi kolektor vinyl maka lain halnya dengan Arie Legowo, pria yang bekerja sebagai manajer A & R, di label musik Warner Music Indonesia. Arie mengaku sudah 10 tahun berburu piringan hitam.

“Sebenarnya saya suka vinyl gara-gara warisan dari kakek. Dia seorang kolektor tulen, sebuah hobi yang kemudian turun ke orangtua dan paman, dan sekarang jadi turun lagi ke saya,” ujar pria asal Ujung Pandang itu.

Arie Legowo, kolektor piringan hitam

Arie mengaku sudah 10 tahun berburu piringan hitam.

Sama seperti Rian, Arie kini sudah mengoleksi sekitar 1.000 piringan hitam.  Koleksi tersebut didapat saat ia traveling atau ketika dinas keluar kota dan luar negeri. Di sana, ia berusaha menyisipkan waktu berburu piringan hitam ke pasar loak.

 “Jadi, keseruan berburu piringan hitam itu ada di faktor kejutannya karena kita nggak akan pernah tahu, hari itu kita akan dapat barang bagus seperti apa, dengan harga berapa,” ujarnya antusias.

Sebagai contoh, saat ia pergi ke Palembang. Di sebuah pasar loak, Arie menemukan sebuah vinyl yang sangat langka dan susah sekali dicari. Ternyata, oleh sang penjual, piringan hitam itu hanya dibanderol Rp50 ribu.

“Padahal kalau yang nemu kolektor sejati, membayar jauh di atas itu pun mereka berani. Saya benar-benar kayak dapat durian runtuh saat itu,” ujar Arie.

Ia mengaku sering berburu vinyl sampai ke Singapura, Malaysia, dan Jepang. Piringan hitam termahal yang pernah ia beli di Negeri Sakura, senilai Rp1,5 juta.
Penikmat musik jazz ini mengaku memiliki banyak teman yang kebetulan punya hobi sama, senang berburu piringan hitam. Efeknya, ia jadi sering mendapat vynil dengan cara beli atau barter.

 “Koleksi saya rata-rata datang dari musik era 1970-an, juga western jazz. Ya itu tadi, karena saya orangnya nggak rapi, jadi ada yang tersebar di rumah, sementara yang lain tercecer di rumah sepupu, yang juga maniak vinyl,” katanya.

Bagian dari siklus hidup
Pengamat musik Bens Leo menjelaskan, Koes Plus, Bimbo, dan Lilies Suryani, adalah contoh nama-nama musisi lawas, yang dulu sempat merekam karyanya lewat piringan hitam.

Soal vinyl kini kembali digemari anak muda, Bens sendiri mengaku cukup kaget. Ia katakan, masih penasaran kenapa tiba-tiba vinyl kembali populer di Indonesia. Namun itulah siklus hidup, di mana semuanya bisa berkembang secara dinamis.

“Saya sendiri paham, kenapa orang jadi suka vinyl, karena cakram besar itu punya suara lebih bersih, sehingga enak didengar telinga,” kata mantan wartawan musik itu.

Ia katakan, di Irlandia peminat vinyl seimbang dengan peminat CD. Ini artinya, di sana para penikmat musik cukup kritis, karena mendambakan suara bening dari sebuah music player.

Bens sendiri menyayangkan kenapa saat ini Indonesia belum bisa menciptakan produk vinyl-nya sendiri. Alhasil, artis lokal harus terbang jauh ke Jerman untuk merilis album berbentuk piringan hitam.

Menurut Bens, Jerman memang sejak dulu memang yang dikenal sebagai penghasil piringan hitam. Buktinya, sejumlah negara di Eropa dan Amerika juga masih mengimpor vinyl dari sana.

“Di Indonesia yang pertama pakai vinyl itu band indie Superman Is Dead (SID), mereka merilis album berisi delapan lagu terbaik, yang dikoleksi dari tahun 1997 - 2009. Sejak itu, mulai beberapa musisi indie lain mengikuti jejak SID,” ujar  Bens.

Rezeki dari kolektor muda
Lalu, di mana saja lokasi kita dapat berburu vinyl yang langka? Di Jakarta, tempat pertama yang wajib disambangi adalah Jalan Surabaya, yang ada di Menteng, Jakarta Pusat. Di sana terdapat belasan pedangan barang antik, yang salah satunya, berjualan kaset lama dan piringan hitam tua, dengan kualitas baik tentunya.

Selain itu, Anda juga bisa berburu vinyl di Pasar Taman Puring, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tak jarang pula, pemburu vinyl mencari sampai ke Blok M Square, dan Pasar Santa, karena di sana juga ada pedagang musik jadul dalam format piringan hitam.

Jual piringan hitam di jalan surabaya

Tempat pertama di Jakarta yang wajib disambangi pemburu vinyl langka adalah Jalan Surabaya, yang ada di Menteng, Jakarta Pusat.

Asrizal, seorang penjual piringan hitam di Jalan Surabaya, Menteng, mengaku sudah berdagang  sejak tahun 2005. Pria 35 tahun ini meneruskan usaha dari orangtuanya.

Saat ditanya, apakah selama ini ia merasa kesulitan mendapatkan vinyl untuk dijual, pria itu tersenyum sejenak. Menurutnya, tak terlalu sulit mendapatkan piringan hitam. Sebab, cukup banyak orang yang datang untuk menjual koleksi vinyl mereka.

Tak hanya itu, ia juga mendapatkan barang jualan dari luar, karena kebetulan kakaknya tinggal di luar negeri. Meski terbuka untuk menerima vinyl yang dijual masyarakat, namun ia akui cukup selektif dalam soal membeli barang.

Asrizal hanya menerima vinyl kualitas bagus dari band yang jelas. Tujuannya, agar tak sulit dijual kembali. Ia  amat tertarik apabila ada orang yang menjual priringan hitam dari penyanyi lama dan banyak dipesan orang.

“Kalau harga jual beli cukup bervariasi, tergantung dari musisinya siapa. Range harganya antara Rp100 ribu - Rp200 ribu, tapi kalau yang langka banget, bisa sampai jutaan lho. Yang paling banyak diburu, cenderung ke musik rock lama, kayak album punya Godbless, Led Zeplin, dan The Beatlles,” ujar pria asal Padang ini.

Tentang fenomena banyaknya anak muda kini suka berburu vinyl, pria yang sering dipanggil Bang Rizal itu, mengaku senang karena pangsa pasarnya jadi melebar.

Ia jelaskan, kalau anak muda itu, biasanya suka karena awalnya diajak teman. Pertama-tama, ia cuka beli iseng, namun setelah di rumah mendengarkan dan tahu kualitas vinyl bagus, barulah mereka berburu piringan hitam sendiri.

Saat ditanya, berapa keuntungannya dalam sebulan, Rizal kembali tertawa. Meski menolak menyebut angka pasti, namun ia memberi kisi-kisi, penghasilannya cukup bagus. Namun karena ini produk klasik, jadi kadang sulit diprediksi, kapan momen rezeki besar datang. “Terkadang suka mendadak,“ katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya