- VIVA.co.id/Rochimawati
VIVA.co.id - Tangan Ayu Kusumawardani tampak cekatan. Sigap bergerak menempatkan nasi putih, kubis, tauge, hingga sohun dalam sebuah piring kosong. Sejumput bawang goreng serta daun seledri ditambahkan dalam racikannya.
Kuah yang telah diisi daging sapi pun disiramkan di atasnya. Hasilnya sepiring "soto sampah" terhidang. Cukup murah. Satu porsi soto sampah lengkap hanya Rp5.000.
"Dinamai soto sampah karena di dalamnya bisa ditambah dengan lauk atau gorengan yang ada. Jadi, terlihat penuh, soal kelezatan dijamin, karena yang pernah makan di sini pasti balik lagi," kata Ayu sambil melayani pelanggannya.
Warung soto sampah ini buka 24 jam. Selain soto, pembeli juga bisa memesan nasi rames dengan lauk sederhana seperti gorengan, telur dadar, dan sayur oseng-oseng.
Ya, sajian kuliner itu hanya ditemui di sekitaran Pasar Kranggan, Yogyakarta. Kota penuh nostalgia bagi yang pernah mengunjunginya. Selain budayanya, keramahtamahan penduduknya, kulinernya hingga keberagaman suku ada di Yogyakarta. Ibarat Indonesia mini, di sini lah tempatnya.
Salah satu yang tidak dilupakan adalah keberadaan pasar tradisional. Di Yogya, selain Pasar Beringharjo di Malioboro, Pasar Kranggan yang berada di Jalan Diponegoro itu juga sangat terkenal.
Selain karena lokasinya yang dekat dengan ikon Yogyakarta yaitu Tugu Pal Putih, di sekitar pasar yang baru direnovasi ini juga banyak tersedia kuliner khas Yogyakarta.
Suasana di salah satu sudut Pasar Kranggan di Yogyakarta. Foto: VIVA.co.id/Rochimawati
Menurut cerita, nama Pasar Kranggan diambil dari nama seorang pejabat keraton, Tumenggung Rangga Prawirasantika. Di masa penjajahan Belanda, penyebutan daerahnya "Raden Rangga" hingga kemudian menjadi "ke-rangga-an" yang berubah jadi Kranggan, namanya kini.
Di antara deras modernisasi berupa pusat perbelanjaan gedongan alias mal, Kranggan tetap gagah mengakar, mempertahankan citarasa tradisional. Seolah menjadi cerminan sejarah Ngayogyakarta Hadiningrat.Â
Alkisah, dulu Pasar Kranggan juga menjadi saksi betapa sahaja dan berwibawanya Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Diceritakan dalam buku "Tahta Untuk Rakyat", Sri Sultan pernah mengantarkan salah satu warganya ke Pasar Kranggan menggunakan mobil jip yang dia kendarai, namun menolak bayaran.
Sang warga, seorang wanita paruh baya, merasa dilecehkan dan marah-marah, karena si sopir tidak mau menerima upah ala kadarnya. Saat diberitahu bahwa "si sopir" adalah Sri Sultan, wanita itu jatuh pingsan, tak kuat menahan malu karena telah bersikap kurang ajar pada rajanya.
Kembali ke masa kini, keberadaan Pasar Kranggan yang telah puluhan tahun ini, menjadi salah satu urat nadi ekonomi rakyat di wilayah Yogyakarta. Di mana istilah pasar mewujud dalam bentuk denotasi, wadah interaksi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.
Geliat Kranggan sudah mulai terlihat sejak pukul 02.00 WIB dini hari, di mana hasil bumi dari seluruh Yogyakarta dan wilayah tetangga berdatangan masuk. Pedagang dan pembeli pun saling menawar dan berinteraksi serta bertransaksi tanpa memandang strata sosial, hingga Kranggan menutup pintunya, sekitar pukul 18.00 WIB.
"Saya biasa belanja di Pasar Kranggan, memang lokasinya agak jauh dari rumah. Tapi, pasar ini lengkap semuanya. Saya belanja untuk kebutuhan sehari-hari, saya ke sini dua hari sekali," kata Yanti, warga Jalan Jambon, Yogyakarta.
Wanita yang lebih suka berbelanja di pasar tradisional itu pun semakin betah setelah Kranggan direnovasi, menjadi lebih terang dan bersih. "Lebih suka belanja di pasar tradisional, selain boleh menawar, semua yang dijual seperti sayur, ikan dan daging masih segar," kata dia.
Pusat jajanan pasar
Selain sebagai pasar yang menawarkan hasil bumi, Pasar Kranggan juga sangat dikenal sebagai pusat jajanan pasar. Beragam camilan dengan berbagai rasa dan harga relatif murah bisa didapatkan di pasar yang konon termaktub dalam buku "Takhta Untuk Rakyat", yang mengisahkan kebersahajaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Ada sekitar 30 pedagang jajanan tradisional yang berada di Pasar Kranggan. Mereka mulai menggelar dagangannya sejak pukul 04.00 subuh.
"Sudah sejak 1981 jualan jajanan pasar. Awalnya ibu saya dan sekarang saya yang meneruskan," kata Mbak Yani, pemilik toko jajanan pasar berlabel "Slamet".
Panganan ringan tersebut kebanyakan kiriman dari pembuat kue di Yogya dan Magelang. Pembelinya pun beragam. "Biasanya buat rapat, arisan atau acara di sekolah dan kampus. Selain harga murah juga karena yang dijual macem-macem," kata Yani sambil melayani pelanggan.
Suasana di salah satu sudut Pasar Kranggan di Yogyakarta. Foto: VIVA.co.id/Rochimawati
Jadah manten, kipo, tiwul gula merah, risoles, lumpia, dadar gulung, wajik, dan lemper menjadi pilihan favorit pembeli di kiosnya. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp1.000 hingga Rp2.500.
Selain dikenal sebagai salah satu sentra jajanan tradisional, pasar yang berdiri di atas lahan seluas 7.400 meter persegi ini juga dikenal sebagai pasar yang menjual bunga tabur. Seperti kebanyakan pasar lainnya, bagian dalam Pasar Kranggan juga menjual beragam kebutuhan sehari-hari seperti buah, sayur, sembako, konveksi hingga perhiasan emas dan beragam kebutuhan lainnya.
Selain itu, di bagian depan Pasar Kranggan tepatnya di lantai dua, juga tersedia kios penjualan handphone dan warung kopi.
Tauhid Amanullah, pemilik kedai kopi Wikipedia yang berada di Pasar Kranggan mengatakan, keberadaan kedainya adalah untuk lebih mendekatkan masyarakat yang biasa ada di Pasar Kranggan dengan racikan kopi asli nasgitel, alias panas, legi (manis) dan kental.
"Tempat ini juga kami jadikan lokasi belajar dan bersosialisasi penikmat kopi," kata dia.
Kuliner malam
Selain aktivitas pagi hingga sore hari, di malam hari aktivitas lain bisa ditemui di sekitaran Pasar Kranggan. Dengan lokasi berada di daerah wisata utama, tentunya wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta tidak akan melewatkan segala sensasi kuliner.
Salah satu yang patut dicoba dan unik adalah "soto sampah" itu. Warung soto yang berada di Jalan Kranggan ini menjadi pilihan warga Yogyakarta dan wisatawan untuk menikmati soto.
Lokasinya berada di balik Pasar Kranggan. Kira-kira 100 meter utara Tugu Pal Putih, ada SPBU, warung soto sampah terletak di seberang SPBU tersebut.
"Warung sudah ada sejak 1979 dari saya belum lahir. Jadi turun-temurun. Dulu simbah saya awalnya yang buka warung ini, lalu orangtua saya dan dilanjutin ke anak-anaknya, salah satunya saya," kata Ayu saat ditemui VIVA.co.id. (art)