SOROT 335

Sajian Kuliner Legendaris Pasar Besar

Pasar Besar Kota Malang
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dyah Ayu Pitaloka

VIVA.co.id - Warung tua itu tampak sederhana. Terletak di lantai dasar, tak jauh dari pintu masuk sebuah pasar. Menu yang tersaji masih sama. Soto, rawon, gulai, dan ayam lodho. Resepnya pun tak berubah.

“Bangku yang dipakai juga sama,” kata Yusuf generasi ketiga Haji Ridwan yang kini mengelola warung itu.

Haji Ridwan adalah seorang perantauan asal Madura. Dia mulai menjalankan warung sejak 1925, tepat setelah Pasar Besar selesai dibangun usai diambil alih Belanda. Dikenal dengan "Warung Lama", kelezatan ayam lodhonya makin kental di lidah warga Malang.

Yusuf yang kini berusia 63 tahun, mengaku bangga, lantaran resep ayam lodho itu telah mengisi salah satu menu di buku "100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia". “Itu fotonya,” kata Yusuf sambil menunjuk pajangan dinding berisi kliping koran pemberitaan tentang Bondan Winarno saat berada di warungnya.

“Ayam lodho di sini enak, rasanya mondo-mondo, pas di lidah,” kata Ary Bowo Sucipto, pengunjung warung itu, sambil menyeka bulir keringat di dahi.

Kelezatan ayam lodho warisan Haji Ridwan itu membuat Pasar Besar tak surut dikunjungi. Apalagi, Jalan Wiromargo di Kota Malang, yang tak jauh dari Pasar Besar selalu ramai dengan penjual aneka kelopak bunga.

Pasar Santa, Pasar untuk Semua

Pasar Besar Kota Malang

Pengunjung menikmati makanan di Warung Lama milik H. Ridwan di kompleks Pasar Besar Kota Malang. Foto: VIVA.co.id/Dyah Ayu Pitaloka

Pasar PIK: Tempat Belanja Bernuansa Singapura

Ada bunga sepatu, bunga cibung, pandan, melati, bunga sepatu, dan juga kenanga. Kesibukan aneka pedagang dan pembeli pun meluber di Pasar Besar, pasar tertua di Kota Malang.

Seperti daerah lama di Kota Malang, Pasar Besar dulu juga dikenal sebagai kawasan Pecinan, nama yang diturunkan dari kebiasaan, banyaknya warga Tionghoa yang bermukim dan berkumpul di situ. Seperti pula nama kawasan Embong Arab, Kayu Tangan, maupun Pecinan Kecil.

“Setiap Rabu Wage dan Jumat Kliwon, pasar bunga pasti ramai. Semua ke sini,” kata Wiji, pedagang bunga di pasar itu. 

Bunga aneka rupa lazim digunakan saat berkunjung ke makam kerabat pada Rabu Wage dan Jumat Kliwon. Wage dan kliwon merupakan dua dari lima nama hari pasaran, sesuai kalender Jawa.

Serunya Kuliner di Pasar Modern BSD City

Jalan Wiromargo atau Pecinan Kecil telah berubah fungsi menjadi pusat perdagangan kelopak bunga, sejak 25 tahun. Sementara itu, awalnya, jalan kecil di barat Pasar Besar itu lebih dikenal sebagai pusat tembakau, dan cikal bakal sejumlah pabrik rokok besar asal Malang. Salah satunya rokok Bentoel yang kini telah dimiliki British American Tobacco (BAT).

Di ruas jalan ini, selain terdapat pedagang bunga dan tembakau, terdapat pula Museum Bentoel, berupa rumah pendiri pabrik Rokok Bentoel, Ong Hok Liong, yang ditempati sejak 1930. Keturunan Tionghoa asal Bojonegoro itu masuk Malang dan menciptakan rokok merek Bentoel, nama salah satu ubi jalar, yang sangat dikenal di wilayah Kabupaten Malang.

Di dalamnya, pengunjung bisa melihat perjalanan Bentoel sejak 1930 hingga beberapa kali beralih kepemilikan, tanpa menghilangkan merek Bentoel. Ada pula sepeda kuno Sundap dan sepeda angin punya Ong Hok Liong yang digunakan berkeliling berjualan rokok, saat merintis usaha barunya.

Pasar Tertua
Pecinan Kecil adalah satu dari sejumlah wilayah yang mengelilingi Pasar Besar Malang. Pasar yang kini berada di Jalan Pasar Besar itu diperkirakan telah ada sejak 1800an. Kala itu, Belanda dan pedagang dari Etnis Tionghoa mulai percaya diri keluar dari wilayah benteng pertahanan mereka, di sekitar Celaket, atau sekitar Jalan Jaksa Agung Suprapto.

Sekitar tahun 1914, Pemerintah Belanda mulai mengambil alih Pasar Besar dan membangunnya dengan kondisi lebih baik.
 
“Dari laporan pemerintahan Wali Kota pertama Malang, Bussemaker, tahun 1919, disebutkan Belanda mengambil alih pasar. Artinya, Pasar Besar sebelum dibangun Belanda sudah menjadi tempat berkumpulnya pedagang Tionghoa dan etnis lain, selain warga Belanda,” kata Dwi Cahyono, Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah Jawa Timur, Kamis 12 Maret 2015.

Pada 1920, Belanda pun merenovasi pasar dengan membangun dinding beton di Pasar Besar. Pembangunan selesai 1924 dan pedagang semakin ramai berhimpun di Pasar Besar. Tak hanya etnis Tionghoa, ada pula etnis India, Arab, bahkan pedagang pribumi dari berbagai suku seperti Jawa, Bali, dan juga Madura.

Sejak 1930, menurut pria yang juga pemilik Museum Malang Tempo Doeloe ini, Kota Praja Malang mulai menambah sejumlah pasar baru yang dekat dengan permukiman Belanda setiap dua tahun sekali, seperti pasar Bunul, Oro-Oro Dowo, dan Kebalen. Sekitar tahun 1936, Kota Malang pun memiliki sejumlah pasar tambahan yang tak kalah besar, seperti Pasar Dinoyo dan Pasar Blimbing.

Namun, posisi Pasar Besar tetap istimewa, lantaran lokasinya yang tak jauh dari Stasiun Kereta Api Kota Lama. Dekat juga dengan Comboran, tempat berbagai kereta kuda membawa hasil bumi dari sekitar Malang berhenti, serta terminal oplet, tempat transportasi dalam kota berhimpun.

“Pasar Besar ini jadi sentra turunnya berbagai kebutuhan yang berasal dari Surabaya yang dikirim lewat Kereta Api, atau hasil bumi dari Tumpang, Sengguruh, Lawang, Singosari dan Dampit, yang dikirim menggunakan kereta kuda,” katanya.

Pasar Besar Kota Malang

Suasana di salah satu sudut Pasar Besar Kota Malang, Jawa Timur. Foto: VIVA.co.id/Dyah Ayu Pitaloka



Kuliner legendaris
Tuanya usia Pasar Besar membuat banyak kuliner menarik yang legendaris di dalam pasar besar. Selain Warung Lama, sedikit beranjak ke dalam Pasar Besar, masih di lantai dasar, terdapat warung dawet dan rujak Bu Ani.

Berbeda dengan Warung Lama, Warung Bu Ani tak menempelkan papan nama. Pembeli langganan dengan mudah bisa menjumpai Bu Ani lantaran sudah hafal letaknya. Namun, bagi calon pembeli baru harus sabar dengan banyak bertanya pada pembeli lain untuk menemukan warung itu.

“Saya ini meneruskan dagangan ibu saya, Bu Suwanah. Tapi, karena orang dulu manggil ibu saya pakai nama anaknya, jadi dipanggil Ibu Ani. Itu nama saya,” kata Ani.

Sama seperti Haji Ridwan, ibunya juga Madura yang merantau ke Malang. Sekarang, dari dawet itu, Ani mampu menyekolahkan enam anaknya hingga sarjana. Bungsunya, kini masih tahun akhir SMA.

“Dulu ramai sekali, sehari bisa 500 bungkus. Sekarang mungkin rezekinya sudah dibagi-bagi, sehari hanya 150 bungkus,” katanya.

Berbagai menu dawet seperti dawet sumsum, campur, bubur ketan, kacang ijo, serta rujak serbet dijual dengan harga Rp3.500 per bungkus. “Di pasar kalau mahal tidak laku,” katanya.

Layaknya kota kreasi Belanda, tempat berhimpun tak hanya berada di pasar besar saja. Di sekitar Pasar Besar pun berbagai tempat legendaris bermunculan, mengikuti karakter permukimannya.

Di Barat  Pasar Besar, tepatnya di belakang Alun-Alun Kota Malang di Jalan Kapten Piere Tendean, terdapat restoran Timur Tengah bernama Cairo. Restoran yang beroperasi tahun 1951 itu kini dijalankan anaknya, Abdul Latif.

Menunya, mengikuti selera penduduk Timur Tengah, berbagai olahan kambing, roti mariam, gulai kacang hijau, dan sop khas Timur Tengah, nasi marak.

“Daerah ini dari dulu permukiman Arab, sebutannya Embong Arab,” kata Abdul Latif.

Seperti siang itu, hampir separuh kursi yang terisi di dalam Cairo diduduki oleh warga Malang. “Kalau ke sini harus mencicipi nasi marak, rasanya khas dan pasti beda,” kata Edy Wahyono, seorang pengunjung yang siang itu membawa tiga rekannya.

Tepat di depan Pasar Besar, juga terdapat toko perhiasan legendaris, yaitu Toko Tio. Persis di Jalan Pasar Besar Nomor 75. Toko ini banyak terdokumentasikan dalam berbagai foto lawas Malang Tempo Doeloe, lengkap dengan papan nama toko dan bentuk toko yang tak mengalami perubahan.

Veronica Sri Astuti mengatakan, toko tempatnya bekerja itu sudah ada sejak ia kecil. Wanita berusia 58 tahun ini mulai bekerja di toko milik Ana Susantjo 35 tahun lalu. “Sejak kecil saya sering melewati toko ini, tidak pernah berubah sampai sekarang,” katanya.

Mungkin yang berubah hanya pemiliknya dan barang dagangannya. Pemilik sekarang generasi keempat Ana Susantjo.

Wanita kelahiran Sukun ini menceritakan awal dia bekerja, Toko Tio berkembang pesat. Langganan tetap kebanyakan para ekspatriat Belanda, Jerman, dan Jepang yang sedang bekerja atau berkunjung ke Malang.

Saat-saat itu, lokasi Tio yang dikelilingi berbagai tempat hiburan sangat mendukung dan memudahkan untuk dikunjungi siapa pun yang sedang berjalan-jalan di Pecinan.
 
Dulu, kalau mau nonton tinggal jalan ke Bioskop Ratna yang sekarang jadi Malang Plaza. Mau nonton wayang orang tinggal ke Gedung Flora yang sekarang jadi Rumah Makan Gloria di Jalan KH Agus Salim. Kalau mau ke pasar malam ada di daerah Jalan Ade Irma Suryani.

“Pecinan ini jadi pusat kota yang dekat dengan tempat mana pun,” kata nenek satu cucu ini.

Namun, keadaan mulai berubah tidak menentu sejak masa reformasi 1998.  Awalnya, pelanggannya orang asing yang kerja di PT Pindad, Pabrik Gula Krebet, Bendungan Karangkates, atau pelancong. Setelah reformasi banyak yang pulang, perdagangan lesu, dan sampai sekarang tetap kembang kempis.

Ingatan keadaan Pecinan saat reformasi tampak membekas di benak Sri. Menurut dia, pada masa-masa itu terhitung sebagai masa yang sangat tidak produktif.

“Kami sering mendadak tutup. Kalau dengar ada demo atau kerusuhan lain, pintu teralis langsung kami tutup. Takut saja kalau kejadian di Jakarta sampai terjadi di sini,” ujarnya.

Kini, teralis besi dan bangunan memanjang dalam Tio tetap berdiri seperti puluhan tahun lalu. Warna cat biru cerah membuat Tio mampu membaur dengan pertokoan di sekelilingnya serta megahnya Pasar Besar di hadapannya.  Pemiliknya memang tidak mau mengubah bangunan, karena sudah dikenal di mana-mana.

Ada pula warung Soto Lamongan dengan nama Soto Lonceng di Jalan Kyai Tamin, tepat di belakang Pasar Besar. Warung soto lebih dikenal dengan nama Soto Lonceng mengikuti nama kawasan Jalan Kyai Tamin yang dikenal dengan nama lonceng, penunjuk waktu yang dulu ada di pertigaan Kyai Tamin dan Jalan Martadinata.

Setiap pukul 12.00 siang, lonceng akan berbunyi pertanda waktu istirahat untuk daerah yang sangat sibuk, pecinan, dan pasar besar. "Loncengnya sudah lama tidak ada, tidak tahu sekarang ke mana," kata M Dwi Cahyono, akademisi Universitas Negeri Malang.

Kemasyhuran Pasar Besar bukanlah keniscayaan. Kini, ada 11 mal, ratusan ruko dan ratusan swalayan terus menjamur di berbagai sudut Kota Malang. Pasar baru di Blimbing dan Dinoyo pun tinggal menunggu waktu untuk segera beroperasi menjadi pasar super megah melebihi Pasar Besar.

Tanpa bantuan nyata dari Pemerintah Malang, Pasar Besar terancam ditinggalkan keramaian lantaran tak lagi punya daya tarik yang berbeda. Pasar Besar bisa jadi tinggal menunggu waktu, seperti kawasan ikon sejarah di Kota Malang lainnya, yang tak lagi mampu menarik banyak pengunjung. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya