- REUTERS/Darren Whiteside
VIVA.co.id - Wajah Sri Wahyuni tampak datar. Dia melihat dengan tenang banjir yang mengitari rumahnya di Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Kadang, tak ada hujan pun, air menggenang di jalanan dekat rumahnya. Dia sudah pasrah banjir menjadi teman hidup di kampung yang berbatasan dengan Teluk Jakarta itu.
Warga di kelurahannya sebenarnya belum pasrah. Bersama-sama mereka mengadakan pompa air untuk menyedot air keluar dari kelurahan mereka, dikirimkan ke kali terdekat. Namun jika sudah disatroni hujan, pompa air pun tak berguna banyak. Paling tidak, air semata kaki menimpa perumahan mereka.
"Sejak saya kecil, tahun 70-an sudah (kena) banjir,” kata Sri. “Di sini daerahnya rendah, dekat laut, kalau nemuin banjir itu tiap hari tergenang walau sedikit-sedikit, dulu setiap hari banjirnya segini," kata Sri kepada VIVA.co.id.
Salim, Ketua RT 5 RW 8, Kelurahan Penjaringan, mengatakan fenomena rob di Penjaringan salah satunya akibat tak adanya daerah resapan. Dulu ada daerah resepan, namun karena kepentingan bisnis, area itu akhirnya disulap jadi sentra bisnis hingga kini.
Kemudian, drainase yang buruk, kali yang tak pernah dikeruk, proses daur air pun mandek. Air dari selatan Jakarta bertumpuk di Penjaringan.
Namun Raden Mulyono Rahadi Prabowo, Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), berpendapat siklus cuaca saat ini memang fluktuatif, tapi wajar. Memang ada fenomena variabilitas cuaca tiap hari yang tinggi; hari ini hujan, hari berikutnya cerah, dan lusanya cuaca berubah lagi.
Belum lagi, geografi Indonesia yang berpulau-pulau diapit samudera-samudera besar. BMKG pun kesulitan menempatkan jaringan pengamatan di semua titik strategis.
Mulyono menegaskan prediksi cuaca BMKG tak mungkin presisi sepenuhnya alias 100 persen benar. BMKG mengukur kualitas prediksi cuacanya sekitar 80-90 persen. "Sedang jika pada masa ketika fluktuasi cuaca tinggi biasanya menurun hanya mencapai 70-80 persen keakuratannya seperti musim hujan saat ini," jelasnya.
Standar teknologi BMKG, kata dia, sudah cukup, sesuai dengan standar internasional. “Alat kita sama seperti yang dipakai di negara-negara lain," katanya.
Gerakan Global
Namun, bagi Greenpeace, dunia saat ini sudah menghadapi perubahan iklim. Arif Fiyanto, Koordinator Tim dan Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia, menyampaikan, adaptasi atas perubahan iklim mendesak, karena berbagai dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan di beberapa wilayah Indonesia. Upaya mitigasi belaka tak cukup, menurut Greenpeace.
Perubahan iklim diawali dengan kenaikan temperatur bumi, mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan berkepanjangan, penyebaran penyakit wabah berbahaya, banjir besar, dan gelombang badai besar.
Situs Greenpeace menyebutkan aktivitas pelepasan karbondioksida ke atmosfer dengan menggunakan bahan bakar fosil berdampak pada selimut alami dunia. Akibatnya suhu iklim dunia makin naik karena sinar matahari tidak dapat dipantulkan kembali dari permukaan bumi.
Menurut data panel ahli internasional untuk mengkaji aspek-aspek ilmiah tentang perubahan iklim (PICC), mengutip situs WWF Indonesia, kenaikan temperatur global semenjak tahun 1901 mencapai 0,89 derajat celcius. Di kawasan Asia tenggara, kenaikan temperatur kisaran 0,4 hingga 1 derajat celcius. Kenaikan di wilayah ini untuk jangka menengah (2046-2065) mencapai 1,5-2 derajat celcius.
Kenaikan temperatur paling tinggi terkonsentrasi di di daerah-daerah bagian Barat Laut yaitu di negara-negara seperti Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Untuk jangka panjang (2081-2100), kenaikan temperatur akan berada di rentang 2-4 derajat celcius yang akan menyebar ke seluruh daratan secara merata.
Sayangnya, kata Arif, Indonesia belum serius melakukan pencatatan data terkait perubahan iklim ini. Tanpa data, sangat sulit untuk menyusun peta kerentanan dampak-dampak dari perubahan iklim, dan strategi nasional untuk mengatasi perubahan iklim.
Adaptasi dan Intervensi Teknologi
LIPI pelan-pelan mengumpulkan data terkait perubahan iklim. Ketua LIPI Iskandar Zulkarnain mendesak pemerintah lebih menggalakkan adaptasi atas perubahan lingkungan itu. Fakta perubahan iklim tak bisa ditolak, sudah terjadi secara global.
Adaptasi itu, kata dia, untuk menekan risiko pada masyarakat yang berpotensi mengalami kerugian atas perubahan lingkungan yang makin tak menentu itu. Ia mencontohkan, untuk nelayan, pemerintah sebenarnya bisa menyiapkan teknologi budidaya ikan.
"Nah itu bentuk dari adaptasi, kita tidak melawan alam, tetapi kita melakukan intervensi teknologi, supaya kemudian pertanian kita bisa tahan menghadapi perubahan iklim. Jadi, kuncinya itu adalah adaptasi terhadap perubahan iklim itu," katanya.
Pemerintah juga diminta untuk gencar memantau variabilitas iklim agar antisipasi perubahan iklim bisa lebih baik. Keakuratan prediksi cuaca bisa menjadi panduan mengantisipasi cuaca ekstrem. Ya, iklim berubah, manusia pun harus siap berubah menghadapinya. (aba)