SOROT 329

Janji Jokowi Disabotase RPJMN

Visi Pembangunan Indonesia
Sumber :
  • Antara/Andika Wahyu
VIVA.co.id -
Sejumlah orang bersenda gurau di depan sebuah rumah di Jalan Wolter Monginsidi, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rumah yang berhadapan dengan sebuah gerai Seven Eleven ini merupakan kantor Kemitraan, sebuah perkumpulan nonprofit yang menjadi penghubung antara kelompok-kelompok sipil dengan pemerintah. Meski terlihat santai, kantor ini sedang sibuk-sibuknya.

Sejak penghujung 2014, Kemitraan menjadi penjuru untuk membahas rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, sebuah dokumen yang melandasi semua program kerja Presiden Joko Widodo hingga lima tahun ke depan.

Eva Kusuma Sundari, penelaah resmi yang diminta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), mengajak beberapa organisasi sipil atau lembaga swadaya masyarakat menelaah dokumen rancangan RPJMN yang dibuat sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Strateginya partisipatif, tidak pakai expert team,” kata Eva. “Kami terima road map dari banyak kelompok kepentingan petani, lembaga swadaya masyarakat, birokrat, cendekia, agamawan, aktivis-aktivis, dan lain-lain,” kata Eva. Ini pertama kalinya, kelompok nonpemerintah dilibatkan dalam proses telaah.

“Di saat orang libur jelang akhir tahun, kami semua lembur,” kata Paring Waluyo, yang didaulat oleh kelompok yang menamakan dirinya “Jaringan Civil Society Pengevaluasi RPJMN” itu sebagai koordinator.

Mereka sibuk siang dan malam, karena, sesuai namanya, RPJMN memang mencakup segala program pemerintah dan berlaku sampai lima tahun ke depan. Lebih dari 50 orang aktivis terlibat dalam telaah ini. Mereka aktif berdiskusi dalam grup Whatsapp atau pun berkumpul di tempat tertentu.

Basis telaah yang mereka gunakan adalah dokumen Nawa Cita atau janji-janji Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selama kampanye. Jelas, RPJMN yang dirancang di masa SBY tidak sinkron dengan visi-misi pemerintahan baru.

Mereka Kecewa

“Hasil telaah kemudian kami berikan ke Bappenas,” kata Paring saat ditemui VIVA.co.id, Jumat 30 Januari 2015.

Namun, para aktivis ini tidak mengetahui apakah para pengambil kebijakan di Bappenas memperhatikan telaah mereka. Minggu kedua Januari 2015, Presiden Joko Widodo mengesahkan RPJMN 2015-2019 melalui Peraturan Presiden No 2 Tahun 2015.

Rapor Merah 100 Hari

Dan para aktivis ini kaget, tak banyak rekomendasi berdasarkan Nawa Cita diakomodasi dalam RPJMN. "Nawa Cita tidak muncul di RPJMN," kata Paring. Nawa Cita disabotase.

paring waluyo

Jakarta Diserbu Ratusan Mobil Modifikasi Keren

Paring Waluyo, koordinator “Jaringan Civil Society Pengevaluasi RPJMN”  Foto:  VIVA.co.id/Arfi Bambani


Jauh-jauh hari, saat masih menjabat Gubernur DKI  Jakarta, Joko Widodo sudah mengusulkan pajak ditangani badan tersendiri. Setelah terpilih, Jokowi menegaskan lagi soal perlunya otoritas pajak yang berada langsung di bawah Presiden.

Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto yang kemudian menjadi Sekretaris Kabinet, menyatakan ada dua opsi model lembaga itu. Pertama, Badan Otoritas Pajak; atau kedua, Badan Penerimaan Negara. Menurut Andi, banyak manfaat mengeluarkan kewenangan itu dari Kementerian Keuangan seperti yang berlaku selama ini.

“Ada potensi peningkatan rasio pajak dari 12,4 persen menjadi 13,5 persen pada tahun 2019,” kata Andi, 9 Oktober 2014.

Otoritas pajak tersendiri ini dicanangkan Jokowi untuk menggenjot penerimaan pajak. Agenda ini pun masuk dalam Nawa Cita atau sembilan agenda prioritas Jokowi bersama Jusuf Kalla. Tujuannya, tak lain, menargetkan tax ratio atau perbandingan penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 16 persen. Hingga 2014, tax ratio masih berada di bawah angka 13 persen.

“Namun, Badan Penerimaan Negara ini tak ada dalam RPJMN,” kata Paring. “Padahal Jokowi sudah berjanji akan meningkatkan tax ratio hingga 16 persen.”

Pelaporan SPT di Jakarta

Jokowi menegaskan perlunya otoritas pajak yang berada langsung di bawah Presiden. Foto: VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

Jaringan organisasi sipil ini berjibaku lagi menyisir dokumen RPJMN yang terdiri atas tiga buku. Temuan sementara, lebih dari separuh rencana pembangunan tak sesuai dengan Nawa Cita. Semuanya tersebar dalam 14 sektor. Ada empat model masalah yang ditemukan tim ini.

Pertama, indikator Nawa Cita dan RPJMN tidak sama. Kedua, Nawa Cita memiliki indikator, sedangkan RPJMN tidak punya. Ketiga, RPJMN punya indikator, sedangkan Nawa Cita tidak punya. Kemudian yang keempat, Nawa Cita memiliki indikator global, sedangkan RPJMN penuh dengan indikator detail tanpa ada yang global.

“Takutnya, RPJMN yang seperti ini akan menjadi project driven, tanpa sebuah tujuan besar,” kata Paring.

Contohnya, kata Paring. Nawa Cita memiliki sebuah indikator besar untuk menjadikan sektor usaha kecil menengah, koperasi dan ekonomi kreatif sebagai 60 persen PDB. Sementara itu, RPJMN tidak memiliki indikator besar itu, hanya terdapat indikator-indikator kecil seperti UKM mencapai 7,5 persen dari PDB, keanggotaan koperasi mencapai jumlah tertentu, dan lain-lain.

Dalam kerangka lebih besar, Paring menyoroti problem paradigmatik dalam RPJMN. Jargon Revolusi Mental yang dilontarkan Jokowi, menurut dia, tidak mewarnai RPJMN ini. Dia menyoroti, di sektor agama, justru tidak tampak visi Nawa Cita untuk mengakomodasi setiap penganut agama dan keyakinan.

“RPJMN terbatas pada agama formal dan itu pun jelas didominasi untuk (pembangunan) agama tertentu,” katanya.

Namun, Oktorialdi, Direktur Pengembangan Wilayah di Deputi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, membantah sinyalemen kelompok nonpemerintah ini. Okto menegaskan, RPJMN merupakan derivasi dari Nawa Cita.

“Saya tidak melihat itu, karena kami yang jungkir balik membuat itu. Kalau dibilang enggak sesuai itu mungkin mereka melihatnya dari sekilas,” katanya saat ditemui di kantornya, akhir Januari 2015.

Okto menjelaskan, Misi Nawa Cita itu tiga atau disebut Trisakti, yakni berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Trisakti itu dijabarkan menjadi tujuh misi. Kemudian tujuh misi diturunkan menjadi 9 agenda prioritas yang kemudian disebut Nawa Cita. Idealnya, RPJMN disusun berdasarkan Nawa Cita ini.

“Saya memperhatikan lama, setiap Nawa Cita itu ada rohnya. Contoh Nawa Cita 6, memperkuat bangsa. Paling utama itu membangun kawasan-kawasan industri. Tapi, tidak cukup. Kami akan membangun konektivitasnya, membangun skill-nya, kami kombinasikan fiskal intensifnya, akan membangun perizinan. Jadi membangun itu saja, banyak yang kami kerjakan,” kata Okto.

Okto menjelaskan, RPJMN tidak dirumuskan dalam waktu singkat. Dua tahun sebelum RPJMN diketok palu, Bappenas sudah melakukan kajian strategis untuk semua sektor. Setahun berikutnya, tersusun rancangan teknokratik RPJM.

“Caranya adalah kami mengelilingi Indonesia, tiap-tiap provinsi,” kata Okto.

jembatan selat sunda

Proyek Jembatan Selat Sunda yang tak masuk dalam RPJMN 2015-2019. Foto: Dok. PT. Bangungraha Sejahtera Mulia

Sebelum Jokowi terpilih, Bappenas sudah memiliki rancangan teknokratik RPJMN. Oleh karena itu, Bappenas mengakui rancangan teknokratik ini banyak dipengaruhi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang dirancang pemerintahan SBY periode kedua. Okto memastikan, setelah Jokowi terpilih, draf RPJMN disesuaikan.

“Menu yang sekarang kan Nawa Cita. Jadi, menu RPJMN yang banyak ini, kami sesuaikan dengan menu Nawa Cita itu,” kata Okto.

Eva Kusuma Sundari mengakui RPJMN teknokratis yang dirancang sebelumnya masih sarat nuansa MP3EI. Namun, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menyatakan, ada beberapa sektor MP3EI yang sebangun dengan Nawa Cita.

“Misal di tata ruang, pertanahan dan agraria serta di maritim, namun ada yang berbeda paradigma seperti di isu perempuan, agama, sehingga program-program dan indikatornya berbeda arah dengan Nawa Cita," kata dia.

Saat RPJMN sudah disahkan pun, Eva mengakui masih ada ketidakselarasan. Eva menyatakan, Bappenas memang harus menyusun versi teknokratik sebelum Pemilihan Presiden selesai. Kemudian, ketika presiden baru sudah dilantik, waktu transisi untuk penelaahan kembali RPJMN sangat pendek, sehingga koreksi tidak maksimal.

Solusinya, kata Eva, kini lembaga-lembaga pemerintah tetap harus menyandingkan Nawa Cita dengan RPJMN dalam rencana kerjanya.

Namun, Paring dan kawan-kawan merasa solusi ini belum cukup. Puluhan aktivis organisasi nonpemerintahan dari beragam sektor ini akan menghubungi Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, meminta agar RPJMN yang disahkan Presiden ditinjau kembali. “Paralel nanti kami berusaha menemui Presiden,” kata Paring.

Dan sembari itu, jaringan yang meliputi antara lain Kemitraan, Elsam, Infid, Ecosoc Rights, dan Migrant Care ini akan juga mencermati turunan berikut dari rencana pembangunan yakni Rencana Kerja Pemerintah, Program Legislasi Nasional, dan Daftar Isian Pagu Anggaran yang bersifat tahunan.

“Jangan sampai arahan RPJMN yang sudah terdeviasi ketika diturunkan ke bawah, akan mengalami deviasi lagi,” kata Paring. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya