- VIVA.co.id/Zahrul Darmawan
VIVA.co.id - Siang itu, panas tak begitu terik. Seorang lelaki gempal memarkir gerobak pada sebuah bedeng di kawasan Depok, Jawa Barat. Cukup cekatan, lelaki itu menurunkan barang dari gerobak beroda tiga tersebut.
Tak tampak raut lelah di wajahnya. Justru, senyumnya mengembang ketika melihat angka pada timbangan. Aneka barang bekas yang ia kumpulkan seharian cukup untuk membuat dapurnya mengepul.
"Ya lumayan, dapat Rp10 ribu sampai Rp20 ribu," ujar lelaki yang minta dipanggil Sam itu, sambil memasukkan lembaran uang ke kantong celana pendeknya yang dibasahi keringat.
Sam hanyalah salah satu pemulung yang memasok barang bekas ke pengepul. Dari pengepul, barang-barang bekas itu nantinya "dilempar" lagi ke pengepul yang lebih besar hingga berakhir di perusahaan peleburan.
"Barang-barang ini nantinya dikirim ke pabrik pengolahan," ujar Agustiawan atau akrab disapa Umar, pengepul barang bekas yang menerima barang dari pemulung seperti Sam.
Pengepul menyetor barang bekas. (VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin)
Menurut Umar, tiap hari ada sekitar 18 pemulung yang menyetor barang bekas ke bedengnya. Dalam sebulan, di bedeng seluas 1.006 meter persegi itu, Umar mampu mengumpulkan puluhan ton barang bekas.
"Per bulan barang yang dikumpulkan bisa mencapai 40 ton, omzetnya puluhan juta rupiah. Saya terima bersihnya Rp12 jutaan, itu sudah dipotong biaya sewa lahan Rp8,5 juta," ujar Umar mengalkulasi bisnis yang ia tekuni dengan modal awal Rp5 juta itu.
Di bedeng Umar, satu kilogram kertas dari majalah, koran, atau kardus dihargai antara Rp1.700 hingga Rp1.800. Sementara itu, untuk besi, harga per kilogramnya di kisaran Rp3.300. Umar tak menyebutkan spesifikasi besi bekas tersebut.
"Di sini saya yang mengatur harga. Nah, harga di pabrik beda lagi. Harga pabrik tergantung pabriknya," kata Umar.
Harga beli pengepul seperti Umar, memang mau tak mau, harus mengikuti harga dari pengepul yang lebih besar lagi. Umar hanya mengambil margin beberapa ratus rupiah. Misalnya, saat Umar membeli besi bekas dari pemulung seharga Rp3.000. Biasanya, harga beli pabrik di kisaran Rp3.700 per kilogram.
Margin keuntungan yang diambil Umar lumayan menggiurkan. Silakan hitung bila dalam satu bulan dia mampu menjual hingga 40 ton.
Sirkulasi uang di bisnis barang bekas memang tak boleh dianggap main-main. Bila pengepul sekelas Umar saja mampu memutarkan uang hingga puluhan juta rupiah per bulan, bagaimana dengan pemain-pemain besar barang bekas?
Ambil contoh, besi bekas atau yang lebih dikenal dengan sebutan scrap. Biasanya, scrap ini berbentuk lempengan besi berukuran 1x1 meter. Salah satu pemain scrap menaksir, besi bekas ini punya nilai pasar sebesar Rp500 miliar per bulan.
"Itu hanya untuk Jabodetabek, belum pasar scrap yang ada di Surabaya atau Sumatera. Mungkin bisa triliunan per bulan," ujar Beni Muchtar, pemilik CV Metal Recycling Indonesia (MRI).
Taksiran Beni tersebut didasarkan pada jumlah peredaran besi dari kapal, pabrik, atau konstruksi yang tak terpakai lagi. Selain, tentu saja, besi bekas dari para pengepul pemulung.
Beni menyebut, salah satu perusahaan otomotif terbesar di Indonesia, tiap bulan "membuang" besi senilai antara Rp5 miliar hingga Rp10 miliar. Belum lagi, pasokan besi dari sisa konstruksi maupun kapal bekas.
Kisah pencincang kapal
Cerahnya prospek bisnis ini yang mampu menyeret Beni ke kubangan besi tua. Peraih gelar Sarjana Teknik Metalurgi, Universitas Indonesia ini mengaku tak memiliki garis keturunan pebisnis besi tua.
Awalnya, sekitar tahun 2007, Beni diajak salah satu teman dekatnya yang berasal dari Jawa Timur. Setelah merasa cukup kenal dengan industri ini, lelaki kelahiran 5 Juli 1986 tersebut mantap terjun ke bisnis scrap.
"Apalagi, dekan di fakultas dulu bilang kalau bisnis ini cukup bagus," ujar Beni.
Keyakinan bapak dua anak ini pun makin bertambah. Jadilah tahun 2009 ia mendirikan MRI.
Beni memfokuskan diri pada besi tua (scrap), aluminium, kuningan, tembaga, dinamo, dan sebagainya. Mangsa utama MRI adalah kapal-kapal bekas, selain rongsokan dari pabrik.
Namun, Beni mengatakan bisnis besi tua punya keunikan. Meski prospeknya bagus, kalau tak hati-hati, bersiaplah rugi. Sebab, untuk menaksir kapal bekas perlu keahlian khusus.
Sebelum mencincang, pemain scrap harus bisa memperkirakan bobot serta kualitas besi dari kapal. "Paling mudahnya, dilihat dari panjang-lebar-tinggi, dan sisanya rahasia perusahaan," ujar Beni, tak ingin rahasia dapurnya terbongkar.
Menurut pengalaman Beni, bila bobot kapal di bawah 1.000 ton, bisa dicincang dalam waktu tak lebih dari sebulan. "Biasanya, kapal dibelah menjadi tiga bagian. Lalu, dipotong-potong dalam ukuran 1x1 meter," ujar dia.
Untuk mencincang kapal, Beni merangkul tenaga dengan sistem borongan, untuk efisiensi ongkos produksi. Sebab, Beni hanya perlu membayar Rp500/kg/orang. Satu kapal biasanya dicincang oleh 15 orang. Untuk mencincang kapal, sedikitnya perlu 20 tabung oksigen ukuran 50 kg dan dua tabung elpiji 12 kg tiap hari.
Per kilogram scrap, dijual Beni ke pabrik peleburan antara Rp2.500 hingga Rp5.000. Beni mengaku bisa mengantongi margin keuntungan antara 30 hingga 40 persen.
Namun, itu baru scrap saja. Sangat dimungkinkan Beni mendapat keuntungan dari barang bekas lain saat mencincang kapal. Misalnya, baling-baling kuningan, lilitan dinamo, logam, atau mesin. Keuntungan tambahan ini justru yang biasanya bernilai lumayan besar.
Dalam satu bulan, MRI berhasil mencetak 500 hingga 600 ton scrap. Selain dari kapal, biasanya MRI dapat pasokan scrap dari pengepul. Tiap minggu, pemulung menyetor scrap ke MRI sedikitnya 5 ton.
Beni mengaku tiap bulan bisa menghasilkan omzet antara Rp3 miliar hingga Rp5 miliar. "Masih kecil sekali dibanding senior-senior bisnis scrap," ujar Beni, yang memiliki warehouse seluas 3.000 meter persegi di Jalan Cilincing Lama Kali Drain No 50, Jakarta Utara ini.
Menurut Beni, pemain besar yang sudah lebih dulu bercokol bisa mengantongi omzet hingga puluhan bahkan ratusan miliar per bulan.
Data Asosiasi Industri Baja dan Peleburan Besi menyebut Indonesia masih kekurangan bahan baku untuk pembuatan baja. Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), Hidayat Triseputro, mengatakan, kebutuhan pembuatan baja sebesar dua kali lipat kapasitas produksi.
"Kapasitasnya 9 juta ton per tahun untuk peleburan baja. Bahan baku perlu dua kalinya," ujar dia saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 23 Januari 2015.
Namun, industri peleburan anggota IISIA, hanya mampu memproduksi di kisaran 7 juta ton per tahun. Artinya, industri ini terpaksa harus mengimpor scrap dari Eropa, Afrika, India hingga Amerika Serikat.
"Pasar Maling"
Wajar bila Beni menganggap kecil omzet lima miliar rupiah. Terlebih, fakta bahwa kebutuhan scrap di Indonesia mencapai belasan juta ton per tahun. Bila diambil harga tengah Rp3.500/kg scrap, nilai pasar scrap Tanah Air kira-kira Rp52,5 triliun per tahun. Dengan asumsi kebutuhan scrap 15 juta ton.
Itu baru pasar scrap saja. Bagaimana dengan pasar barang bekas pakai. Padahal, barang bekas bukan saja besi tua. Taruh contoh, mal rongsokan milik Nurkholis Agi. Mal tersebut menjajakan barang bekas pakai mulai perkakas elektronik, furnitur, hingga perlengkapan olahraga.
Sedikitnya ada 30-40 ribu item produk yang terpajang di mal itu. Mal barang bekas pakai yang ada di Jalan Bungur Raya, Depok, Jawa Barat ini mampu meraup omzet Rp100 juta per bulan.
Penggagas Komunitas Memberi, Yuswohady, menilai kecerdasan konsumen dan perubahan gaya hidup turut mendongkrak pasar barang bekas pakai ini.
"Konsumen sudah pintar, mereka pilih barang bagus yang murah. Masyarakat kelas menengah kita mulai cinta lingkungan. Bagi mereka, beli barang baru berarti sampah bertambah," kata dia.
Dia memperkirakan pasar barang bekas potensinya cukup besar. Meski demikian, dia belum bisa mengestimasi besarannya. Memang, sejauh ini belum ada studi yang bisa menaksir nilai pasar barang bekas pakai.
Sebab, hampir di tiap kota di Indonesia, terdapat pusat penjualan barang bekas atau sering disebut "pasar maling". Silakan sebut pasar barang bekas di kota Anda. Dan, bila berminat hitung saja putaran uang di sana. (art)