- Dokumentasi Inceu
VIVA.co.id - Letak kampung itu terpencil. Tersembunyi di balik perbukitan. Berjarak 6 kilometer dari desa terdekat, akses menuju lokasi cukup terjal. Hanya jalan tanah bercampur bebatuan.
Kampung bernama Nagrog itu berada di wilayah pemerintahan Desa Sarimukti, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dari pusat kota Garut, jaraknya sekitar 25 kilometer.
Awalnya, daerah ini termasuk tertinggal, baik soal pendidikan maupun ekonomi. "Dulu untuk mencari calon kepala desa, harus menunggu hingga 3 tahun. Ini saking susahnya mencari warga di sini lulusan setingkat SMP," ujar tokoh warga setempat, Asep Miftah mengawali perbincangan dengan VIVA.co.id, Rabu 14 Januari 2015.
Jarak tempuh yang cukup jauh untuk menuju sekolah setingkat sekolah menengah pertama (SMP), membuat warga enggan meneruskan anak-anaknya untuk bersekolah lebih tinggi. Mereka harus puas dengan pendidikan terakhir setingkat sekolah dasar (SD).
Selain jarak tempuh jauh, kondisi perekonomian juga menjadi alasan sulitnya warga untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Hanya sebagian kecil anak yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga tamat SD.
Berangkat dari keprihatinan warga itu, sekelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi petani Serikat Petani Pasundan (SPP) berinisiatif mendirikan sekolah setingkat SMP. Dengan menggandeng Pondok Pesantren (Ponpes) Sururon, gagasan itu pun disambut antusias warga. Akhirnya, berdiri MTs Sururon.
"Proses berdirinya saya kurang tahu pasti. Tapi, memang didirikan berkat kerja sama antara SPP dan Ponpes Sururon yang dibantu masyarakat setempat," ujar Asep.
Yudi Kurnia, Direktur Yayasan Pegembangan Masyarakat (Yapemas), salah satu pendiri MTs Sururon, menjelaskan, pada rentang tahun 2000-2003, siswa dua SD negeri di Desa Sarimukti yang melanjutkan sekolah ke jenjang SMP hanya berkisar 2-5 orang.
Kondisi ini terjadi karena dari Desa Sarimukti ke SMP terdekat di Kecamatan Pasirwangi berjarak sekitar 10 km. SMP tersebut bisa ditempuh dengan menggunakan ojek dengan ongkos pulang pergi Rp12.000.
Sementara itu, penghasilan buruh tani warga Desa Sarimukti yang mencapai 80-90 persen dari keseluruhan warga, tiap hari hanya mendapatkan Rp12.000 untuk buruh laki-laki dan buruh tani perempuan Rp7.500.
“Jadi, kalau memaksakan untuk menyekolahkan anak ke SMP, penghasilan sehari-hari warga tidak akan cukup," ujar Yudi kepada VIVA.co.id.
Dalam perkembangannya, setelah 11 tahun berdiri, kini sekolah itu sudah banyak berubah. Sebagian besar anak yang dulu bersekolah di MTs Sururon, kini sudah lulus SMA maupun sarjana.
"Wah, kalau sekarang, warga Kampung Nagrog lulusan SMA dan sarjana juga sudah banyak. Ini berkat didirikannya MTs Sururon," tutur Asep.
Saat ini, MTs Sururon dikelola oleh Yayasan Bani Zain Sururon. Selain MTs, juga berdiri lembaga pendidikan lainnya seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Raudhatul Athfal, Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren Sururon dengan jumlah siswa dan santri Ponpes sekitar 500 orang.
Ketua Yayasan Bani Zain Sururon, yang juga Wakil Kepala Sekolah MTs Sururon, Nurdin, mengatakan, sekolah ini didirikan dengan harapan mampu menelurkan anak-anak petani yang lebih memiliki pemikiran maju. Mendasarkan pada keilmuan, dan bukan sekadar tradisi.
"Lulusan MTs ini, yang umumnya anak-anak buruh tani dan petani, kalaupun nantinya menjadi petani, bisa menjadi petani yang lebih maju dalam segala hal," kata Nurdin.
Uniknya, ketertarikan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di MTs Sururon bukan hanya dari warga setempat. Banyak pula siswa dari luar Kecamatan Pasirwangi, seperti Kecamatan Talegong dan Cisewu. Tak sedikit siswa barasal dari Sukabumi. Selain bersekolah, siswa yang datang dari luar kota biasanya turut menjadi santri di Ponpes Sururon.
Dana Masyarakat
Untuk mendirikan dan mengelola sekolah, menurut Nurdin, pada awalnya seluruh pembiayaan ditanggung masyarakat dan warga pesantren. Bahkan, para pengajar pun turut berswadaya menggalang dana untuk keberlangsungan kegiatan belajar mengajar.
Namun, kini MTs Sururon juga mendapatkan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS), walaupun jumlahnya jauh untuk mencukupi kegiatan belajar mengajar.
"Sementara, kami tetap berkomitmen tidak memungut biaya dari siswa. Selain dana BOS memang tidak ada sumber lain, kecuali dari orang tua siswa yang menyumbang secara sukarela," tuturnya.
Biaya operasional menjadi persoalan berikutnya. Serikat Petani Pasundan pun bertemu pengurus Organisasi Tani Lokal (OTL) di Garut. Kesepakatannya, untuk biaya operasional dibantu melalui sumbangan OTL, dengan menyisihkan sebagian hasil panen.
"Belum selesai di situ, banyak orang tua yang tidak percaya dengan MTs Sururon, sehingga kami dari SPP harus ekstra keras meyakinkan masyarakat agar mau menyekolahkan anaknya secara gratis," ujarnya. "Jadi, sejak berdiri pada 2003, kemudian pada 2005, masyarakat akhirnya percaya dan mau menyekolahkan anaknya ke MTs Sururon".
Sementara itu, kurikulum yang diterapkan di MTs Sururon merupakan kurikulum gabungan, antara lain kurikulum dari Kementerian Agama, muatan lokal, dan kurikulum pesantren yang dipadukan sesuai jam pelajaran.
Sistem pengajaran lebih berorientasi diskusi, dengan meja kursi siswa disusun melingkar. Bahkan, di beberapa ruangan justru kegiatan belajar mengajar dilakukan secara lesehan.
Metode diskusi ini cukup efektif. Siswa dapat menangkap pelajaran, dan sebaliknya mengajarkan siswa untuk tidak malu bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Pengajar dan siswa juga diposisikan layaknya kakak dan adik, sehingga keluh kesah siswa tanpa sungkan disampaikan kepada gurunya.
"Kadang-kadang para siswa curhat soal pribadi kepada gurunya. Ya, kami terima supaya mereka bisa menyelesaikan persoalan pribadi yang dihadapinya," ungkap Hamid Husaeni Al-Wafa, salah satu pengajar.
Pola tersebut yang membedakan MTs Sururon dengan lainnya. Selain itu, terdapat tambahan materi berupa teori bertani, sehingga saat pulang ke rumah masing-masing, siswa akan mempraktikkannya di rumah bersama orangtua.
Fasilitas belajar mereka pun sederhana. Latar belakang orang tua sebagai buruh tani, banyak siswa yang tidak melengkapi peralatan sekolah dengan seragam dan sepatu.
"Jangan sampai, alasan seragam atau sepatu, membuat siswa harus berhenti sekolah," kata Nurdin.
Diakui Nurdin, meski MTs Sururon belum banyak memiliki prestasi akademik akibat minimnya sarana dan prasarana, sekolah ini mampu berprestasi di antaranya di bidang seni pencak silat untuk tingkat Kabupaten Garut.
Tambahan materi berupa teori bertani, sehingga saat pulang ke rumah masing-masing, siswa akan mempraktikkannya di rumah bersama orangtua. Foto: Dokumentasi Inceu
Walaupun tenaga pengajar sukarelawan terdiri atas lulusan SMA dan sarjana, serta pembimbing Ponpes, mereka hingga saat ini tidak mendapatkan gaji atau honor.
"Kecuali, kami menyisihkan dari dana BOS untuk berbagi rezeki, meski nilainya jauh dari harapan," ujar Nurdin.
Hamid, salah satu pengajar sukarelawan di MTs Sururon itu, mengatakan, dia mulai mengajar pada 2009. Selepas menamatkan pendidikan SMA, dia langsung pulang kampung dan mengabdi menjadi tenaga pengajar sukarelawan di MTs Sururon.
Dia yang telah menyelesaikan studi S1 di Universitas Garut merupakan alumni MTs Sururon pada 2006. Selain dia, 9 orang temannya juga menjadi pengajar sukarela di MTs Sururon.
"Saya tidak sendirian, yang satu angkatan dengan saya juga ada yang mengajar di sini," ujarnya.
Alasan Hamid dan kawan-kawan rela tidak mendapatkan gaji atau honor selama mengajar, lebih sebagai bentuk pengabdian. Dulu saat bersekolah, dia juga tidak pernah dipungut biaya pendidikan, para pengajar terdahulu juga memberikan pelajaran berharga walaupun tak dibayar sepeser pun.
"Kalau dibilang balas jasa, ya sepertinya begitu, dari dulu sampai sekarang memang MTs Sururon tak memungut biaya kepada siswanya," tuturnya.
Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, Hamid aktif dalam berbagai kegiatan di desa seperti mengelola PNPM mandiri dan menjadi guru honorer di sejumlah sekolah lain.
Jiwa pengabdian kepada masyarakat memang ditanamkan di MTs Sururon. Pola itu mampu melecut semangat siswa untuk bisa menggapai cita-citanya hingga menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya. Yakub Hambali salah satunya. Dia mengaku nyaman dan betah bersekolah di MTs Sururon.
Yakub tak canggung untuk bergaul, selain pengajarnya cukup baik dan dekat dengan siswa. Siswa lainnya, Ali Nurdin, mengatakan, dia bersekolah di MTs Sururon karena jarak dari rumah sangat dekat, juga gratis.
Namun, keduanya ternyata memiliki tekad yang sama, walaupun cita-cita keduanya berbeda. Yakub bercita-cita menjadi artis, sedangkan Ali berharap bisa jadi dosen.
"Ya, kami ingin mengangkat harkat dan martabat keluarga, walaupun kami anak buruh tani," ujarnya.
Ali berharap pemerintah melirik sekolahnya dan membantu meningkatkan fasilitas belajar mengajar yang masih minim. “Supaya kami bisa sama dengan siswa sekolah lainnya," kata Ali.
Namun, dengan segala keterbatasan itu, Yudi mengatakan, pada 2006, salah satu siswanya tercatat memiliki nilai tertinggi di Jawa Barat untuk mata pelajaran Matematika, serta mampu meluluskan tujuh orang siswa ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA waktu itu). Walaupun, saat itu para siswa berat dengan persoalan pembiayaan yang sangat minim.
Ketujuh siswa tersebut, pada tahun kedua di SPMA, ternyata berprestasi dan mendapatkan beasiswa dari sekolah serta menjadi Duta Olimpiade Nasional dengan hasil menjadi juara kedua nasional untuk diskusi pembangunan pertanian. Mereka pun menjadi juara pertama untuk lomba pembuatan mikro organik (pupuk organik baru) di Kalimantan.
"Ini yang menjadi kebanggaan kami, para siswa dengan segala keterbatasan fasilitas ternyata mampu berprestasi," kata Yudi. "Padahal, target awal kami dengan mendirikan MTs Sururon adalah agar warga Desa Sarimukti minimal memiliki ijazah setingkat SMP".