- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id - Hari masih pagi. Lereng Gunung Cikurai masih gelap tertutup kabut. Namun, puluhan pria beragam usia sudah sibuk bekerja. Ada yang sedang mengaduk pasir bercampur semen. Ada yang sedang memotong dan menghaluskan kayu. Juga ada yang mengusung batu. Suara mesin penghalus kayu memecah kesunyian lereng gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat ini.
Bangunan setengah jadi berdiri di tengah mereka. Bangunan ini tampak sederhana dengan dinding dan lantai terbuat dari kayu ala kadarnya. Genting warna coklat yang tampak masih baru menutup bangunan seluas 100 meter persegi ini. Udara dingin seolah tak dirasakan para pekerja. Mereka hilir mudik, terus bekerja menyelesaikan bangunan yang berdiri di tengah ladang ini.
Puluhan orang ini merupakan warga Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Garut. Mereka sedang membangun sekolah untuk anak-anak mereka secara swadaya. Warga bekerja secara sukarela, tak ada upah atau bayaran untuk mengganti waktu dan tenaga. Alih-alih meminta bayaran, warga justru menyediakan lahan dan bahan bangunan.
“Kami membangun sekolah ini secara swadaya. Tak ada sepeser pun uang pemerintah ada di sini,” ujar Hasanudin (43) kepada VIVA.co.id, Rabu, 14 Januari 2015. Ayah tiga anak ini mengatakan, bangunan berbentuk panggung yang akan dijadikan sekolah tersebut murni hasil jerih payah dan keringat warga. Menurut dia, warga ‘patungan’ untuk membeli lahan dan bahan bangunan.
Bangunan sekolah ini sudah dikerjakan selama dua puluh hari. Mereka bekerja siang malam secara bergantian. Meski tak dibayar, warga tampak bekerja dengan antusias dan riang. Lagu berbahasa Sunda yang mengalun dari pengeras suara yang ada di depan bangunan menambah semarak suasana. Hasanudin mengatakan, warga bekerja keras membangun sekolah setingkat SMP. Karena, banyak anak-anak di desanya yang putus sekolah karena keterbatasan biaya.
Ia menuturkan, di Kecamatan Cilawu memang ada SMP. Namun, banyak yang tak mampu sekolah di sana karena keterbatasan biaya. Sebab, selain jauh, sekolah milik pemerintah tersebut sering menarik iuran ini itu yang memberatkan warga. Akibatnya, banyak anak yang putus sekolah. “Sekolah ini dibangun untuk menampung anak-anak yang putus sekolah itu.”
Banyaknya anak-anak putus sekolah dibenarkan Saedin (52), salah seorang warga. Ia mengatakan, beberapa anaknya terpaksa putus sekolah karena tak punya biaya. Menurut dia, SMP negeri tempat anaknya sekolah sering menarik pungutan dengan berbagai cara dan alasan. Akibatnya, beberapa anaknya terpaksa berhenti di tengah jalan. Beruntung ada SMP Al Bayyan yang didirikan secara swadaya oleh masyarakat sejak tiga tahun lalu. Anaknya bisa melanjutkan sekolah di SMP yang sedang ia siapkan bangunannya bersama warga desa yang lain.
Sekolah ini dibangun secara swadaya. Tak ada sepeser pun uang pemerintah ada di sini. Foto: VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
SMP Al Bayyan
Sambil menunggu bangunan sekolah itu rampung, siswa-siswi sekolah terpaksa menuntut ilmu di saung yang didirikan orangtua mereka. Puluhan remaja berseragam putih biru tampak khusyu. Mereka duduk melingkar menghadap meja kayu berbentuk bundar. Di depan mereka, seorang guru sedang menjelaskan tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Ya, ruangan sempit berdinding anyaman bambu dan berbentuk panggung ini merupakan ruang kelas sementara siswa kelas 3 SMP Al Bayyan, sekolah besutan warga. Tak ada yang istimewa di ruang kelas ini. Hanya ada papan tulis dan meja tanpa kursi. Namun, anak-anak ini tampak antusias belajar konstitusi.
Tak berselang lama. Anak-anak ini berhamburan ke luar ruangan. Mereka langsung menuju kebun yang tepat berada di depan ruang kelas. Salah satu dari mereka tampak membawa cangkul dan langsung bekerja. Sementara yang lain menanam sejumlah benih sayuran. Beberapa di antaranya menyiangi rumput. Ada beragam tanaman di kebun yang tak seberapa luas ini. Ada cabe, daun bawang, selada, kacang panjang, pepaya juga sawi. Siang itu, siswa SMP Al Bayyan belajar pertanian.
"Jarak tanam harus benar ya. Jangan lupa sediakan saluran air di sela-sela tanaman," ujar Deni (24), guru mata pelajaran pertanian kepada anak didiknya yang asyik bekerja. Tak lupa Deni juga meminta agar mereka menggemburkan tanah dan memupuk tanaman secara benar. "Gunakan pupuk organik ya. Agar kita tidak merusak alam," ujarnya menambahkan.
Deni merupakan, satu dari 23 guru yang mengajar di SMP Al Bayyan. Ia mengajar sejak sekolah ini berdiri. Ia tak menerima gaji, honor apalagi tunjangan. Sebaliknya, Deni harus merogoh koceknya untuk mengisi tangki motor jika hendak mengajar. Sebab, ia harus menempuh perjalanan sekitar satu jam jika hendak ke sekolah ini.
Ia mengaku memilih mengajar di sekolah ini meski ditawari mengajar di sekolah lain dengan iming-iming gaji dan beragam tunjangan. Alasannya, ia ingin membangun desa dan membantu pendidikan anak-anak tak mampu. “Saya pernah merasakan bagaimana sulitnya mengakses pendidikan,” ujar lulusan MTs Sururon ini dengan berkaca-kaca.
Ia mengatakan, MTs Sururon tempatnya mengenyam pendidikan tak menarik biaya sepeser pun dari siswa. Selain itu, di sekolah tersebut ia dididik untuk mengembangkan desa dan perduli dengan sesama. Karenanya, ia merasa bertanggung jawab dengan pendidikan anak-anak petani desa yang tak mampu dari segi biaya. "Komitmen saya membangun desa dengan memajukan pendidikan," ujar sarjana pertanian ini menambahkan. Dua kali dalam sepekan Deni datang ke SMP Al Bayyan. Untuk menutupi kebutuhan harian, ia mengerjakan sejumlah penelitian.
Deni tak sendiri, Ridwan Saefudin (43) juga tak menerima upah dan gaji. Guru yang merangkap kepala sekolah ini hampir datang tiap hari ke sekolah dengan biaya sendiri. Mantan rocker yang biasa disapa Inceu ini merupakan salah satu pendiri sekolah setingkat SMP yang concern pada pertanian ini. Ia mengatakan, SMP Al Bayyan merupakan hasil kerja keras warga secara swadaya. "Tujuannya untuk membangun kemandirian desa," ujarnya menjelaskan.
Selain kurikulum pemerintah, SMP Al Bayyan juga mengembangkan kurikulum sendiri yang menekankan pada pertanian. Hal ini dilakukan agar para siswa memiliki kemampuan bertani. Seperti ‘kakak’nya, MTs Sururon, sekolah ini juga menekankan agar siswa mengembangkan desa. "Mereka boleh sekolah setinggi langit, tapi mereka harus kembali untuk membangun desanya."
Rohaini, salah seorang siswi kelas 3 SMP AL Bayyan mengatakan, sekolahnya berbeda dengan sekolah lain. Menurut dia, siswa bisa lebih dekat dengan guru. Selain itu, ia mendapatkan banyak pengetahuan dan keterampilan tentang pertanian. Ia tak malu meski sekolahnya jelek dengan fasilitas terbatas. "Untuk apa sekolah megah jika tak berguna bagi masyarakat," ujar anak yang bercita-cita menjadi petani ini. Seperti siswa lain, keinginan Rohaini sederhana. Ia hanya ingin membela dan memimpin masyarakat.
Lihat VIDEO-nya di
Saedi berharap, sekolah ini dapat meningkatkan pendidikan dan taraf hidup masyarakat. Ia tak ingin anak-anaknya hidup susah dan miskin seperti dia. Harapan senada disampaikan Hasanudin. Ia tak ingin anak-anaknya tak berpendidikan sepertinya. Ia ingin, anak-anak di desa Sukamukti bisa mengenyam pendidikan dengan baik agar bisa membangun desa dan mengembangkan pertanian. Karena itu ia dan warga lain rela berkeringat dan berdarah-darah membangun sekolah.