VIVAnews - Jam yang melingkar di pergelangan tangan Toto (34) menunjukkan pukul 19.50. Matahari sudah lama meninggalkan langit saat ia akhirnya tiba di rumah, setelah seharian berkutat melayani keluhan konsumen.
"Saya tadi mampir dulu mengisi bensin. Kebetulan tadi antreannya lumayan panjang. Padahal harga bensin sudah naik," ujar Toto pada tim VIVAnews setelah selesai memarkir mobil Low Cost Green Car (LCGC) yang baru dibelinya beberapa minggu lalu.
Seperti kebanyakan keluarga muda lainnya, Toto menjatuhkan pilihan pada mobil murah ramah lingkungan karena cukup terjangkau dan irit pemakaian bahan bakar.
Sejak resmi diperkenalkan 2013 lalu, penjualan mobil jenis LCGC memang menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bahkan menurut data yang dihimpun dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo), mobil jenis LCGC yang berhasil terjual hingga November 2014 ini adalah 159.905 unit, terbesar ketiga untuk pasar otomotif di Indonesia.
Ini menunjukkan, animo masyarakat Indonesia akan kendaraan yang murah meriah masih sangat tinggi. Padahal tadinya banyak yang meragukan mobil jenis ini akan bisa diterima dengan baik, karena mereka berasumsi, harga yang murah identik dengan kualitas rendah.
"Saya dulu pernah punya Toyota Starlet, tapi saya jual karena ingin ganti dengan yang baru. Kalau dibandingin dengan yang sekarang (Datsun Go+) sih tidak jauh beda. Malah lebih besar, jadi bisa nampung lebih banyak," kata Toto.
Sejak resmi diperkenalkan 2013 lalu, penjualan mobil jenis LCGC memang menunjukkan peningkatan yang signifikan. (foto: VIVAnews/Aries Setiawan)
Sisi Kelam Mobil Murah
Di balik suksesnya Honda, Toyota dan Datsun menjual produk murah di Indonesia, ternyata pendapat sebagian besar konsumen yang enggan membeli produk ini tidak seluruhnya salah. Salah satu buktinya adalah kurang mumpuninya tenaga mesin saat digunakan untuk menempuh jalur luar kota.
"Saya dulu punya Brio (Satya). Awalnya penasaran ingin tahu sebagus apa mobil itu. Kebetulan saya sering bolak balik Jakarta Bandung. Kalau pas nyetir sendiri sih tidak begitu terasa (tenaga mesin berat), tapi pas jalan dengan keluarga susah banget nanjaknya," ungkap Syahrul, mantan pengguna mobil LCGC yang kini mengendarai Nissan Grand Livina.
Selain itu, sisi keamanan mobil berukuran mungil ini juga tengah mendapat sorotan, setelah badan keselamatan internasional (Global New Car Assesment Program atau NCAP) menyatakan Suzuki Swift dan Datsun Go yang diproduksi di India gagal lolos uji tabrak. Hal ini disebabkan kedua mobil itu tidak dilengkapi dengan kantung udara atau airbag, sehingga saat terjadi tabrakan dari depan, pengemudi dan penumpang yang ada di kursi depan dapat terluka parah.
Ketua Global NCAP yang juga mantan presiden Federation Internationale de I'Automobile (FIA), Max Mosley, bahkan mengatakan sudah mengirimkan surat resmi kepada prinsipal Nissan di Jepang. FIA meminta agar dihentikan sementara penjualan Datsun dan merevisi desainnya agar bisa melindungi penumpang dengan lebih baik.
Namun Nissan Motor Indonesia, produsen Datsun untuk pasar dalam negeri, mengklaim desain Datsun Go dan Go+ yang dibuat di sini sudah memenuhi standar keselamatan yang dibuat pemerintah Indonesia.
"Pengujian yang dilakukan (Global) NCAP pada Datsun Go buatan India dilakukan di Jerman, dimana standar keselamatannya jauh lebih tinggi. Kita (Indonesia) punya standar sendiri," ujar Indriani Hadiwidjaja, Head of Datsun Indonesia.
Meski demikian, Indriani tidak menampik bahwa nantinya seri Datsun terbaru akan dilengkapi dengan tambahan fitur keselamatan. "Kita masih punya margin sedikit untuk menambah fitur itu, jadi ya mungkin saja," ujarnya.
Makin Kecil, Makin Kencang
Seperti konsep mobil LCGC yang mengusung mesin berkapasitas kecil untuk menekan konsumsi bahan bakar, tren otomotif dunia di 2015 juga mengarah ke jalur yang sama. Meski harga minyak dunia cenderung menurun di penghujung 2014 ini, namun banyak produsen otomotif yang mulai mencari cara agar produk yang mereka jual dapat menggunakan lebih sedikit bahan bakar.
Meski penggunaan energi alternatif sudah mulai ditawarkan, namun ada dua faktor yang membuat konsep ini belum bisa diimplementasi banyak negara. Faktor yang pertama tentu saja berkaitan dengan biaya produksi, dimana untuk bisa menghasilkan baterai atau tangki untuk menampung hidrogen tidaklah murah.
Namun andaikan hal ini bisa diatasi, pemerintah kota atau negara tersebut masih harus menyediakan infrastruktur penunjang seperti titik pengisian listrik dan hidrogen. Tentu bukanlah perkara yang mudah ataupun murah.
Satu-satunya cara yang paling ideal untuk menekan konsumsi bahan bakar (tanpa mengubah kebiasaan pengendara yang cenderung menekan pedal gas dalam-dalam saat melihat kondisi jalanan lengang) adalah dengan merancang mesin yang lebih kecil.
Namun seperti pada kasus mobil LCGC, mesin berkapasitas kecil identik dengan performanya yang buruk. Tentu produsen mobil tidak ingin mengulang masa lalu, dimana mesin-mesin yang mereka buat kurang optimal bila digunakan di jaman sekarang.
Jadi mereka harus bisa membuat sebuah mesin yang ukurannya mirip dengan mesin jaman dulu, namun memiliki performa layaknya mesin moderen. Dan hal ini sudah mulai dilakukan oleh setidaknya tiga produsen mobil, yaitu Volvo, BMW dan Ford.
Pada 2012 lalu, Ford mengenalkan teknologi terbaru dalam hal mesin, yang diberi nama EcoBoost. Prinsip dasar dari konsep ini adalah mesin yang memiliki performa layaknya mesin konvensional, namun lebih irit 20 persen dalam hal pemakaian bahan bakar dan emisi gas buang yang lebih rendah 15 persen.
Salah satu mesin Ford berteknologi EcoBoost yang banyak mendapat perhatian masyarakat adalah yang digunakan di Ford Fiesta 2014. Mesin berkapasitas 1.000cc ini memiliki jumlah silinder sebanyak tiga buah. Mesin tiga silinder ini dulu sempat populer di kalangan mobil kecil seperti Daihatsu Charade dan Suzuki Jimny.
Bahkan hingga kini, beberapa produsen otomotif masih menggunakan spesifikasi mesin bersilinder tiga, salah satunya adalah Mitsubishi Mirage. Namun berbeda dengan Mirage, mesin buatan Ford jauh lebih bertenaga. Hal ini dimungkinkan berkat optimalisasi mesin, seperti penggunaan injektor bahan bakar yang langsung terpasang di silinder dan pemanfaatan oli mesin untuk mendinginkan mesin.
Namun kunci utama tenaga mesin EcoBoost adalah penggunaan perangkat turbocharger. Alat ini berfungsi untuk menaikkan jumlah udara yang masuk ke dalam mesin. Dengan udara masuk lebih banyak dan cepat, tenaga mesin bisa lebih besar dan pembakaran dapat optimal, sehingga emisi gas buang menjadi sedikit berkurang.
Sebagai perbandingan, mesin Ford Fiesta konvensional berkapasitas 1.500cc mampu menghasilkan tenaga sebesar 110 daya kuda. Sementara itu mesin EcoBoost hanya berkapasitas 1.000cc, namun memiliki tenaga 118 daya kuda.
Menembus Target 20 Kilometer Per Liter
Sementara itu di sebelah utara Benua Eropa, Volvo juga tengah sibuk merancang mesin baru yang berbasis konsep desain Drive-E mereka. Seperti halnya EcoBoost, konsep ini mengutamakan keiritan bahan bakar dan rendahnya emisi gas buang.
Menurut rilis yang diterima
VIVAnews
, Volvo sudah dalam tahap finalisasi pembuatan mesin tiga silinder terbaru mereka. Pengalaman Volvo dalam hal mesin yang memiliki jumlah silinder berangka ganjil membuat mereka sangat paham dengan semua masalah yang mungkin timbul, seperti getaran dan efisiensi.
Perangkat turbocharger juga menjadi piranti standar pada mesin ini. Dengan kapasitas 1.500cc, Volvo mengklaim mesin ini bisa menghasilkan tenaga hingga 180 daya kuda, dengan penggunaan bahan bakar satu liter untuk tiap 24 kilometer.
Salah satu keunikan mesin ini adalah desain timing belt yang posisinya terendam di dalam bak oli mesin. Dengan cara ini, Volvo menjamin pemilik mobil tidak perlu mengganti suku cadang tersebut selamanya.
Seakan tidak ingin ketinggalan, pabrikan mobil asal Jerman, BMW, baru-baru ini juga meluncurkan mesin baru dengan konfigurasi tiga silinder. Berkapasitas 1.500cc dan memiliki tenaga 130 daya kuda, mesin ini dibuat untuk seri MINI dan seri BMW lainnya yang berpenggerak roda depan.
Pihak MINI Indonesia mengatakan bahwa dengan mesin baru ini, mobil MINI yang memiliki tenaga 136 daya kuda bisa menempuh jarak sejauh 21 kilometer hanya dengan satu liter bahan bakar.
Berdasarkan data yang didapat dari ketiga mobil, dapat disimpulkan bahwa dengan teknik efisiensi dan penerapan fitur canggih, mesin berukuran kecil masa kini dapat bersaing dengan mesin lama yang kapasitasnya jauh lebih besar.
Keuntungan lain yang didapat adalah konsumsi bahan bakar mesin berkapasitas kecil ini juga bisa mencapai angka 20 kilometer untuk tiap liternya, sebuah hal yang tidak mungkin dicapai oleh mesin berteknologi lawas.
Hal yang sama juga terjadi pada kendaraan jenis roda dua. Saat ini setidaknya ada dua produsen motor asal Jepang di Indonesia yang tengah mengembangkan teknologi baru dalam hal efisiensi bahan bakar dan performa yang maksimal.
Baik Honda maupun Yamaha kini sama-sama memiliki konsep desain baru yang diharapkan dapat memikat masyarakat untuk menggunakan produk buatan mereka.
Konsep yang ditawarkan Honda diberi nama enhanced Smart Power atau biasa disingkat eSP. Ada 10 bagian dalam konsep desain ini, meliputi komponen mesin dan transmisi. Inti dari konsep ini adalah memaksimalkan energi kinetik yang dihasilkan mesin dan mengurangi hilangnya energi tersebut akibat gesekan dan panas.
Beberapa langkah yang dilakukan Honda adalah dengan merancang ruang bakar lebih efisien, mengganti material piston dengan bahan yang lebih ringan, melapisi dinding silinder dengan tekstur kulit jeruk untuk bisa melepas panas lebih baik, dan merancang sistem pendinginan yang lebih maksimal melepas panas mesin dan transmisi.
Sementara itu langkah yang dilakukan Yamaha juga mirip, namun mengusung nama Blue Core. Menurut Assistant General Manager (GM) Marketing PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM), Mohammad Masykur, inti dari teknologi Blue Core ini adalah bagaimana mengembangkan mesin menjadi lebih efisien, tanpa mengurangi tenaga yang dihasilkan.
Ada tiga kunci utama teknologi Blue Core, yakni membuat bobot menjadi lebih ringan, pelepasan panas lebih baik dan mengoptimalkan pembakaran. Bobot motor bisa lebih ringan dengan cara mengubah desain sasis dan mengganti komponen mesin dengan bahan yang lebih ringan.
Pada beberapa tipe motor, kapasitas mesin bahkan sedikit diturunkan untuk mengurangi gesekan yang terjadi saat piston bekerja naik-turun. Meski kapasitas mesin dikurangi sedikit, namun karena gesekannya berkurang maka tenaga yang dihasilkan bisa saja tidak berubah, malah mungkin justru meningkat.
Pembakaran juga dibuat lebih sempurna dengan mengubah desain katup dan injektor bahan bakar. Dengan pembakaran yang mendekati sempurna, emisi gas buang yang dihasilkan juga semakin sedikit, sehingga lebih ramah ke lingkungan.
Terakhir, agar panas mesin dapat dilepas dengan cepat maka Yamaha mendesain sirip pelepas panas lebih banyak dan rapat. Selain itu, sistem pendinginan mesin yang menggunakan oli dan air juga makin disempurnakan agar energi yang dihasilkan mesin tidak banyak terbuang menjadi energi panas.
Dengan teknologi ini, Yamaha mengklaim mesin yang dirancang berbasis Blue Core akan lebih irit hingga 50 persen dibandingkan mesin konvensional.
Saat diuji oleh tim
VIVAnews dengan menggunakan motor Yamaha Mio 125 M3 Blue Core, tercatat satu liter bahan bakar Pertamax untuk jarak 82 kilometer. Namun angka ini didapat dengan teknik berkendara yang tidak sepenuhnya efisien, karena sesekali tuas gas dibuka cukup lebar untuk mendapat akselerasi.
Jika motor ini dikendarai dengan cara seefisien mungkin dan dilakukan di kondisi lalu lintas yang tidak padat, maka tidak mustahil angka 100 kilometer per satu liter dapat tercapai. Sebuah hal yang beberapa tahun lalu masih hanya ada dalam mimpi. (adi)
Ingin Bisnis Anda Sukses di Instagram? Gunakan 6 Tools Marketing Ini!
Temukan 6 tools Instagram untuk memaksimalkan strategi marketing bisnis Anda. Tingkatkan engagement, penjualan, dan interaksi dengan audiens lebih efektif!
VIVA.co.id
12 Desember 2024