SOROT 318

Belajar Toleransi dari Kampung

warga bergotong royon membangun gardu
Sumber :
  • VIVAnews/Ochi April

VIVAnews - Hari masih pagi. Jam di tangan masih menunjuk angka delapan. Udara di kaki Gunung Merapi masih terasa dingin. Namun, sejumlah pria beragam usia sudah sibuk di pinggir jalan.

Ada yang sedang memotong kayu. Ada yang sedang menghaluskan papan. Sementara, yang lain tampak sibuk menata genteng di atas bangunan berbentuk joglo yang hampir jadi tersebut.

Di sisi bangunan, tampak tumpukan kayu dan tangga yang masih terpasang. Juga meja kecil dengan kue dan minuman di atasnya. Bendera merah putih berkibar persis di depan bangunan.

Orang-orang ini merupakan warga Desa Girikerto, Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka sedang membangun pos ronda. Kesibukan mereka langsung terlihat, karena pos ronda itu dibangun tepat di pinggir jalan arah masuk ke desa terakhir di kaki Gunung Merapi ini.

Sekilas, tak ada yang istimewa dengan bangunan seluas 3x4 meter ini. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, bangunan ini tepat menghadap gereja dan tak jauh dari masjid desa.

"Kami sedang membuat pos ronda. Karena pos yang lama harus dipindah. Alhamdulillah bisa di sini lokasinya, dekat dengan masjid dan gereja," ujar Nurhuda, salah seorang warga yang ikut bekerja membangun pos ronda saat ditemui VIVAnews, Rabu 12 November 2014.

Ia menjelaskan, selain untuk menjaga keamanan, pembangunan pos ronda tersebut merupakan salah satu cara warga merawat kebersamaan. Pasalnya, agama yang dianut warga desa beragam. Juga ada yang menganut aliran kepercayaan.

Itu diamini Yohanes Kawidi, warga desa lain yang ikut serta membangun pos ronda. Menurut dia, warga desa terbiasa hidup rukun dan senantiasa bekerjasama tanpa melihat agama dan keyakinan mereka.

Buktinya, ia tetap bisa bekerja bareng Nurhuda, meski tetangganya itu beragama Islam. Sementara, ia memeluk Katolik.

"Saya beragama Katolik. Tapi saat melakukan kegiatan pembangunan untuk desa, kami sudah tidak membawa atribut agama," ujarnya saat ditemui di tempat yang sama.

Tak hanya dari sisi pengerjaan. Kerukunan dan kebersamaan juga tampak dari bahan bangunan yang digunakan untuk membangun pos ronda. Hampir semua material dan bahan bangunan merupakan swadaya masyarakat.

Misalnya, kayu berasal dari gereja Paroki Somohitan. Sementara, genteng merupakan sumbangan dari warga desa yang beragam Islam.

Merawat Keberagaman

Warga Desa Girikerto memang dikenal toleran. Desa yang dihuni sekitar 2.670 kepala keluarga (KK) ini saling menghormati dan menjaga toleransi.

Penduduk yang memeluk agama Islam masih dominan di desa ini, disusul Katolik, Kristen, aliran kepercayaan Saptodharmo dan Hindu. Di desa sentra salak pondoh ini ada gereja yang cukup besar, yakni Gereja Santo Yohanes Rasul Somohitan. Tak jauh dari gereja tampak berdiri kokoh Masjid Al huda.

Romo Suyatno Hadiatmojo, pastur yang pernah memimpin Paroki Somohitan mengatakan, warga Desa Girikerto memang selalu hidup rukun dan tak pernah mempersoalkan agama dan keyakinan orang lain. Contohnya seperti dalam pembangunan gardu ronda.

Saat bekerja, tak ada lagi sekat dan pembeda. Semua warga berkumpul dan bekerja, tak ada yang membawa atribut agama.

“Baik Kristen, Katolik, Muhammadiyah, NU semua kerja bareng. Mereka tak pernah repot dengan perbedaan agama,” ujar pria paruh baya yang biasa disapa Romo Yatno ini kepada VIVAnews, Selasa 11 November 2014.

Membangun gardu ronda hanya salah satu bukti kuatnya kerukunan dan semangat toleransi antarwarga. Romo Yatno menjelaskan, saat masih bertugas di Girikerto, ia bersama warga sempat membangun empat jembatan.

Menurut dia, jika dirupiahkan pembangunan fasilitas umum itu bisa mencapai Rp1,4 milyar. Namun, warga bahu membahu, bekerjasama membangun secara swadaya. Dan itu bisa terwujud karena semangat kebersamaan antarwarga.

“Jembatan ini tidak punya agama. Jembatan berguna untuk umum, bukan hanya orang Islam yang boleh lewat. Kristen, Katolik, Hindu, Budha boleh lewat,” ujarnya menambahkan.

Selain membangun fasilitas umum, kerukunan dan kebersamaan juga terjaga dengan kerelaan warga membantu tetangganya yang berbeda agama dan keyakinan. Misalnya saat perayaan hari besar agama.

Saat Hari Raya Idul Fitri ada acara ‘nyadran’ yang dikerjakan bersama. Sebaliknya, warga yang beragama Islam menjadi panitia saat umat Kristiani merayakan Natal.

“Pas Syawalan, Katolik yang jadi panitia supaya yang muslim bisa merayakan lebaran,” ujar Romo Yatno menjelaskan.

Tak hanya itu, gereja dan warga yang menganut Kristiani juga tak segan mengulurkan tangan jika ada pesantren yang meminta bantuan. Sebaliknya, warga muslim juga berbondong-bondong turun tangan memberi bantuan saat ia akan membangun gereja.

Warga yang notabene memeluk keyakinan berbeda tersebut rela bekerja bakti membangun kembali gereja yang rusak akibat gempa.

Hal senada disampaikan Nurhuda. Saat umat Kristiani merayakan Natal, ia bersama warga lain yang beragama Islam menjaga keamanan gereja.

Pun saat umat Kristiani akan membangun gereja. Ia bersama warga turut membantu.

“Bangun gereja melibatkan warga muslim. Saat ngecor masjid kami melibatkan warga Katolik juga.”

Warga mengatakan, kerukunan itu sudah terjadi turun temurun. Menurut Nurhuda, warga sudah terbiasa hidup bersama sejak lama, hampir tak ada konflik dan gesekan di desanya.

Satu sama lain saling menghargai dan menghormati dari anak-anak hingga yang orang dewasa. Warga menilai, agama adalah urusan pribadi.

"Warga tidak pernah mempermasalahkan soal agama. Intinya adalah menghargai agama masing-masing," ujarnya.

Yohanes Kawadi menambahkan, toleransi di desanya memang sangat dijaga. Sedari kecil, warga sudah diajarkan dan ditanamkan ketaatan mengenai toleransi beragama.

Menanamkan toleransi dan menghormati keberagaman agama dan keyakinan diutamakan di dalam keluarga. Dari lingkungan keluarga itu akhirnya merembet ke lingkungan hingga dukuh dan desa.

“Dari keluarga ini membesar ke RT, RW hingga desa. Selain itu, jika ada pertemuan selalu diselipkan agar warga selalu menjaga kerukunan beragama,” ujarnya.

Kawadi menjelaskan, guna menjaga kerukunan, setiap sebulan sekali ada kegiatan yang melibatkan warga.

"Setiap sebulan kami ada pertemuan RT yang berkumpul bersama tokoh dari agama Islam, agama Katolik dan lainnya. Di sana kami rembuk warga."

Hal itu diamini Arif Kurniawan. Salah satu ketua RT di Desa Girikerto ini mengatakan, warganya sangat toleran.

Ia mencontohkan, jika akan melaksanakan kerja bakti di hari Minggu, mereka akan menunggu ibadah di gereja selesai. Selain itu, jika ada perayaan agama warga saling membantu.

“Kami ada kegiatan bersama untuk menyatukan warga namanya selapanan. Kalau satu RT malam Sabtu wage, di sana dibahas semua,” ujarnya kepada VIVAnews, Rabu 12 November 2014.

Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) DIY, Abdul Muhaimin mengatakan, warga Desa Girikerto bisa menjaga kerukunan karena adanya semangat dan pemikiran yang sama.

"Pendekatan di sana (Girikerto) sangat tepat, yaitu pendekatan kemasyarakatan dan budaya. Masyarakat diajak bersama-sama mengadakan kegiatan budaya.

Dengan kegiatan itulah masing-masing melepas dari agama mana, dan itu jadi pemersatu,” ujarnya kepada VIVAnews, Rabu 12 November 2014.

Kepala Desa Girikerto Sumaryanta mengakui hal itu. Kegiatan kebudayaan seperti Merti Desa menjadi salah satu pemersatu warganya.

"Dengan rukunnya warga dalam menjaga perbedaan, akan terasa nyaman dalam berkehidupan. Misalnya kami datang ke gereja ya seperti rumah sendiri, begitu juga sebaliknya," ujarnya kepada VIVAnews saat ditemui di Girikerto, Rabu 12 November 2014.

Rukun untuk Membangun

Desa Girikerto terletak di sisi barat Gunung Merapi. Ini merupakan desa terakhir di kaki gunung berapi ini.

Sesekali gunung ini mengeluarkan lava pijar, lahar dan awan panas yang sering disebut dengan Wedhus Gembel. Secara berkala gunung ini mengalami erupsi dan warga di sekitar gunung ini harus mengungsi, tak terkecuali warga Girikerto.

Kondisi ini semakin menguatkan ikatan warga desa. Misalnya pada erupsi 2010 lalu. Warga bergotong royong membangun posko bantuan bagi warga yang menjadi  korban erupsi.

Posko didirikan di kompleks gereja Paroki Somohitan. Nurhuda mengatakan, ikatan antarwarga semain kuat karena mereka tinggal di daerah rawan bencana.

Saat Merapi mengalami erupsi, warga saling membantu tanpa memandang agama. Warga tidak pernah mempersoalkan bantuan tersebut berasal dari mana.
"Ya karena kami merasakan suka dan duka bersama-sama saat erupsi Merapi.

Tidak lagi memandang kamu Katolik, kamu Islam atau kamu Hindu. Semua menyatu dan senasib sehingga menjadikan kami semakin kuat," ujarnya menjelaskan.

Tak hanya itu, dengan kerukunan yang senantiasa terjaga, warga juga bisa hidup aman dan tenteram. Selain itu pembangunan di desa juga makin maju karena warga bersedia bahu membahu dan bergotong royong.

Wakil Denmark Kandaskan Sabar/Reza di Semifinal BWF World Tour Finals 2024

Namun, kerukunan ini bukan tanpa ancaman. Sesekali sejumlah pendatang mencoba merusak harmoni, mencekoki warga dengan pemahaman dan ajaran yang berbeda.

"Kami diamkan saja. Kami kompak jika ada yang mencoba mengganggu. Akhirnya mereka sendiri yang keluar dari desa ini. Karena masyarakat sudah membentengi dirinya sendiri."

Rachmat Irianto Tampil Apik di Posisi Bek Sayap, Begini Respons Pelatih Persib

Nurhuda mengatakan, kerukunan akan berjalan jika orang tidak mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan. Sayangnya, selama ini elit politik menjadikan agama sebagai komoditas politik sehingga memicu konflik dan perpecahan.

“Belajarlah dari kami. Jangan merasa paling benar sendiri, karena agama adalah milik Tuhan,” ujar Nurhuda menutup wawancara.

PPP Gagal Masuk ke Parlemen, Romahurmuziy Serukan Pengurus Pusat "Taubatan Nasuha"

Dan pemuda ini kembali bekerja, bergabung bersama para warga lain menyelesaikan pembangunan pos ronda. (ren)

Menteri Budaya Fadli Zon (Doc: Menbud)

Menteri Kebudayaan Isyaratkan Pelajaran Sejarah Kembali Diwajibkan di Sekolah

Menteri Kebudayaan menyebut bahwa ada harapan dari masyarakat dan lembaganya bahwa pelajaran sejarah kembali diwajibkan di sekolah dari tingkat SD sampai SMA.

img_title
VIVA.co.id
14 Desember 2024