Sumber :
- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVAnews
- Ratusan warga saling berhadap-hadapan. Mereka bersiap untuk berperang. Begitu aba-aba diberikan, mereka kemudian langsung bertempur. Saling lempar antar kelompok yang berhadapan. Namun, amunisi mereka bukan peluru yang biasa digunakan tentara.
Mereka menenteng ketupat. Bukan pula mereka tengah tawuran. Ratusan warga Desa Adat Kapal, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, tengah melaksanakan tradisi perang ketupat yang sudah dilakukan turun temurun.
Tak ada rasa marah, apalagi dendam. Sebaliknya, senyum ceria terpancar dari para peserta. Uniknya, mereka seperti berperang sungguhan, ada yang menyerang, ada pula yang bertahan. Ribuan ketupat melayang di udara. Tak sedikit peserta yang terkena ketupat.
Tradisi ini tentu saja menjadi minat perhatian wisatawan. Meski hanya digelar selama 15 menit, atraksi itu menarik perhatian warga untuk menyaksikan lebih dekat tradisi ini.
Tak hanya tradisi, keindahan alam Bali memang menjadi daya tarik wisatawan, domestik hingga mancanegara. Sepuluh tahun terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), industri pariwisata terus berkembang.
Wisatawan asing semakin meningkat. Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) pada 2010 tercatat 7 juta, atau naik menjadi 8,8 juta pada 2013. Pertumbuhan rata-ratanya sebesar 8,5 persen.
Pada Januari-Agustus 2014, wisman yang tercatat sebanyak 6,155 juta dengan pertumbuhan 9,1 persen.
"Selama tiga tahun, kinerja pariwisata dan ekonomi kreatif cukup baik. Ini menjadi basis yang kuat untuk membangun pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai basis perekonomian Indonesia ke depan," kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu.
Tak hanya itu, sektor pariwisata 2011-2012 tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan nasional selama dua tahun terakhir. Disebutkan, kontribusi produk domestik bruto (PDB) pada 2012 dan 2013 masing-masing mencapai 4 persen dan 3,9 persen.
Lalu, bagaimana di sektor perdagangan? SBY akan segera lengser dari jabatannya sebagai orang nomor 1 di Indonesia yang menjabat sebagai presiden selama dua periode. Serah terima jabatan antara SBY dan presiden penggantinya dijadwalkan pada 20 Oktober 2014.
Menurut data yang diterima
VIVAnews
dari Kementerian Perdagangan, neraca perdagangan selama sepuluh tahun, 2004-2014, mengalami naik turun.
Baca Juga :
Mobil Ini Pimpin Pasar LCGC di Indonesia
Baca Juga :
Kecelakaan, Legenda PSM Makassar Meninggal Dunia
Selama 2013, neraca perdagangan merosot hingga US$369,18 miliar. Selanjutnya selama Januari-Juli 2014 neraca perdagangan mencapai US$206,984 miliar atau turun 5,05 persen dibandingkan Januari-Juli 2013 yang sebesar US$217,984 miliar.
Belanja negara naik empat kali lipat
Dalam pidato kenegaraan terakhir pada 15 Agustus 2014, Presiden SBY memaparkan pembangunan di Tanah Air yang diklaim menggembirakan.
Pada 2004, total belanja negara mencapai Rp427,2 triliun, sedangkan pada tahun ini, angka tersebut mencapai Rp1.876,9 triliun. Artinya, dalam sepuluh tahun belanja negara meningkat sekitar empat kali lipat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi 5 persen pada 2004 dan terjaga pada kisaran rerata 5,8 persen dalam periode 2005-2013.
Tak hanya itu, pada 2014 Bank Dunia mengumumkan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 besar ekonomi dunia berdasarkan metode perhitungan Purchasing Power Parity.
SBY menuturkan, dengan pertumbuhan 5,8 persen pada 2013, Indonesia tetap mampu menempatkan sebagai negara dengan pertumbuhan tertinggi kedua di antara negara-negara G-20.
Selain itu, dalam sejarah, pada masa pemerintahan SBY, pertama kalinya Indonesia masuk dalam kelompok negara G-20, masuk 20 besar ekonomi tertinggi dunia. Pencapaian ini dijadikan tonggak prestasi karena sebelumnya Indonesia tidak pernah masuk kelompok elite dunia ini.
Di Asia, kondisi Indonesia sejak 2004 dianggap setara dengan Jepang, Korea Selatan, India, dan Tiongkok. Di dunia, Indonesia disetarakan dengan Amerika, Uni Eropa, Kanada, dan negara besar lainnya.
Seperti diketahui, pada 2010, Japan Credit Rating Agency Ltd menaikkan peringkat utang valas jangka panjang senior Indonesia di level investment grade menjadi BBB- dari BB+, sedangkan peringkat utang lokal jangka panjang senior menjadi BBB dari BBB-. Outlook dari peringkat tersebut adalah stabil.
Menurut keterangan pers JCR, perbaikan peringkat utang ini mencerminkan sejumlah hal. Pertama, stabilitas sosial politik Indonesia yang membaik, seiring dengan kemajuan dalam demokratisasi dan desentralisasi.
Kedua, prospek pertumbuhan ekonomi berkelanjutan didukung oleh permintaan domestik yang solid. Ketiga, beban utang publik semakin berkurang sebagai hasil dari pengelolaan fiskal yang bijaksana. Keempat, ketahanan terhadap guncangan eksternal semakin kuat menyusul kenaikan akumulasi cadangan devisa dan peningkatan kapasitas pengelolaan utang luar negeri.
Kelima, adanya upaya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono membuat kerangka untuk menangani masalah-masalah struktural seperti pembangunan infrastruktur.
Namun, SBY juga meneruskan tradisi pelimpahan utang yang dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin di Indonesia sebelumnya. Dalam 10 tahun terakhir masa kepemimpinannya, utang luar negeri pemerintah bertambah gemuk menjadi Rp2.531,8 triliun dari sebelumnya pada 2004, di awal kepemimpinannya diwarisi utang oleh Presiden Megawati Soekarnoputri sebesar Rp1.299,5 triliun.
Kepada
VIVAnews
, Ketua Koalisi Anti-Utang, Dani Setiawan mengaku, tidak heran dengan fakta bertambahnya utang pemerintah di era SBY.
"Jadi, utang itu kontraktual, tidak mengenal rezim. Bahkan, utang zaman kolonial yang dilakukan Soekarno, dilanjutkan oleh Soeharto itu mengulang kembali hingga pemerintahan SBY," ujarnya.
Kondisi itu, menurut Dani, karena tidak ada suatu skenario atau sikap yang tegas dari SBY untuk menginstruksikan jajarannya di pemerintahan, memangkas habis utang yang saat ini melilit hingga ke urat nadi perekonomian Indonesia.
Dani mengatakan, kondisi itu diperburuk dengan penggunaan pembiayaan yang ditarik untuk kegiatan tidak produktif, banyak utang baru yang diambil pemerintahan SBY hanya untuk gali lubang dan tutup lubang utang sebelumnya.
"Pembangunan yang dibiayai oleh utang utamanya infrastruktur, banyak sekali kendala yang dihadapi. Dan tidak sepenuhnya bisa diserap APBN. Jadinya mubazir, karena harus bayar komitmen fee, utangnya banyak tapi tidak digunakan," tambahnya.
Dani memaparkan, di era SBY, tradisi “ngutang” Indonesia lebih dipoles sedemikian rupa, sehingga semakin menarik bagi kreditor asing. Porsi penarikan utang dari pinjaman luar negeri, baik multilateral maupun bilateral perlahan-lahan dikurangi dan di konversi melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, sejak 2004 hingga 2014, porsi penerbitan SBN terus meningkat ketimbang pinjaman luar negeri. Pada 2004, penarikan SBN tercatat sebesar Rp662 triliun, sedangkan pinjaman luar negeri sebesar Rp637 triliun. Untuk tahun ini, porsi SBN sudah meningkat hampir tiga kali lipat, yaitu Rp1.857,7 triliun ketimbang pinjaman luar negeri sebesar Rp647,07 triliun.
Kenapa melonjak? Menurut Dani, karena tingkat suku bunga SBN yang diterbitkan lebih besar ketimbang negara-negara maju.
"Saat Menkeu Sri Mulyani misalnya, menerbitkan SBN dengan yield 11 persen di tengah suku bunga utang Amerika 0,5 persen," tambahnya.
Lunasi utang ke IMF
Namun, di balik dari besarnya warisan utang SBY tersebut, ada pula prestasi yang ditorehkannya dalam pengelolaan utang luar negeri Indonesia, salah satunya Indonesia terbebas dari lilitan utang dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Pada 2006, utang yang ditarik pada zaman krisis 1998 itu, dilunasi SBY empat tahun lebih cepat dari jatuh tempo pada 2010.
Prestasi lainnya yang dilakukan adalah membuat rasio utang Indonesia berada di posisi aman terhadap PDB. Rasio utang ada masa krisis 1998 mencapai 85 persen dari PDB, hingga 2004 terus mengalami penurunan menjadi 57 persen, dan selama 10 tahun pemerintahan, rasio utang Indonesia berhasil ditekan menjadi 25,6 persen terhadap PDB.
Bahkan, dalam kesempatan berbeda, kepada
VIVAnews
, Direktur Strategi dan Portofolio Utang, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan, Scenaider Siahaan, mengatakan, jika dibandingkan dengan negara-negara maju di G-20 rasio utang Indonesia temasuk yang terkecil, ketimbang Amerika Serikat yang ada di kisaran di atas 100 persen terhadap PDB dan Jerman di kisaran 80 persen terhadap PDB.
"Dibanding negara G-20, rasio utang Indonesia terhadap PDB itu sehat sekali," tambahnya.
Pengelolaan utang pun, menurut dia, saat ini sudah lebih baik. Pemerintah memastikan penarikan utang tidak melebihi kebutuhan dan alokasi telah ditetapkan di APBN. Profil risikonya juga diperhitungkan secara matang, hal tersebut terlihat dengan saat ini lebih diprioritaskannya penarikan utang jangka panjang, dengan pertimbangan memberi ruang untuk penguatan fiskal pemerintah.
Subsidi BBM
Scenaider mengakui, pada era Presiden SBY, terjadi pembengkakan utang luar negeri pemerintah. Kondisi tersebut terlihat dari rasio pembiayaan utang untuk menutupi kekurangan anggaran belanja atau yang dikenal defisit anggaran. Setiap tahunnya cenderung mendekati batas atas ketentuan aturan keuangan negara sebesar 3 persen terhadap PDB.
"Misalnya tahun ini tambahan utang itu hampir 2,4 persen dari PDB, harusnya hanya di kisaran 1,3-1,5 persen terhadap PDB. Supaya anggarannya tetap, keseimbangan primernya harus positif, jangan negatif. Itu yang harus dijaga," ujarnya.
Alasannya, dia melanjutkan, tidak lain karena beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) di APBN semakin besar setiap tahunnya. Salah satu opsi yang dilakukan untuk meringankan beban itu adalah penarikan utang luar negeri.
"Besar bengkaknya defisit karena belanja subsidi BBM, ya mudah-mudahanan itu yang tidak terjadi lagi di masa depan," kata Scenaider.
Mengenai anggaran subsidi BBM, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani menjelaskan kepada
VIVAnews,
mengapa setiap tahunnya semakin menyandera anggaran pemerintah. Salah satunya karena nilai tukar rupiah pada periode 2004 hingga 2011 rata-rata di bawah kisaran Rp10.000 per dolar AS.
Sementara itu, pada 2012 ke atas, rupiah terus melemah. Pemerintah juga menetapkan itu sebagai salah satu dalam asumsi makro. Dengan perhitungan tersebut, anggaran subsidi yang tadinya sebesar Rp69 triliun pada 2004 untuk mensubsidi 55 juta kilo liter, membengkak menjadi Rp246,5 triliun pada 2014 dengan kuota lebih sedikit yaitu 46 juta kilo liter.
"Harga keekonomian dengan subsidi kan sekarang gapnya sudah semakin jauh. Dulu misalnya 2008 hanya Rp3.000 per liter subsidinya, sekarang bisa Rp4.000-5.000 per liternya," ungkapnya.
Tantangan lainnya dalam pengelolaan anggaran subsidi BBM pada masa SBY, menurut dia, terus meningkatnya permintaan masyarakat akan BBM bersubsidi, akibat meningkatnya kendaraan pribadi. Di satu sisi hal tersebut mencerminkan keberhasilan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, di sisi lain, kondisi itu semakin membebani anggaran subsidi BBM.
Canangkan MP3EI
SBY juga mencanangkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Tetapi, di ujung pemerintahaannya saat ini masih seumur jagung. Jika dilanjutkan masih banyak segudang pekerjaan rumah yang harus dikebut pemerintahan baru hingga 2025.
Kitab pembangunan versi SBY yang diluncurkan pada 2011 lalu ini, berisi daftar proyek bernilai sekitar Rp4.000 triliun yang berpotensi di Indonesia hingga 2025.
Proyek-proyek tersebut tersebar di enam koridor ekonomi yaitu, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara serta Papua dan Kepulauan Maluku.
Sekretaris Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI), Lucky Eko Wuryanto, kepada
VIVAnews
berkesempatan merefleksikan tiga tahun perjalanan MP3EI. Khususnya, berkaitan dengan hambatan dan tantangan serta harapan bagi pemerintahan baru nanti.
Secara garis besar, menurut dia, MP3EI tidak hanya harus dilanjutkan, tapi juga diperluas cakupannya. "Saya pikir kalau beliau (Joko Widodo) wise, artinya MP3EI tidak hanya butuh dilanjutkan, tapi juga harus diperluas lagi. Kami sekarang bangun semangatnya," ujarnya.
Menurut dia, semangat yang dibangun adalah percepatan pembangunan yang merata di seluruh Indonesia, agar kue ekonomi yang ada, dirasakan oleh semua rakyat hingga ke pelosok daerah terpencil yang ada.
Karena itu, kata Lucky, proyek-proyek yang menjadi prioritas merupakan proyek yang sudah pasti dapat direalisasikan. Hal itu tidak hanya mencakup infrastruktur, tapi juga kawasan-kawasan ekonomi baru di enam koridor yang telah diidentifikasi potensi perkembangannya.
Dalam perjalannya selama 3 tahun, banyak tantangan yang dirasakan, salah satunya, bagaimana mengakselerasi birokrasi yang harus dilalui untuk dapat menggarap sebuah proyek. Birokrasi yang berbelit kadang membuat sebuah proyek mandek dan akhirnya tidak direalisasikan.
Permasalahan regulasi, misalnya dari sisi perizinan, pembebasan lahan hingga insentif untuk proyek yang akan dikerjakan terus mengalami perbaikan. Namun, hal itu saja belum cukup, harus ada semangat percepatan yang dimiliki aparat pemerintah yang menangani hal tersebut.
"Memang, yang masih lambat itu kecepatan proses itu sendiri, tata ruang, perizinan, responsif dari aparat yang seharusnya cepat, saat ini belum cepat," tambahnya.
Dalam hal ini, dia berharap, Presiden terpilih, Joko Widodo, menempatkan orang-orang yang profesional untuk mengurusi birokrasi investasi di masa depan. "Karena itu perencanaannya sudah ada, tinggal implementasinya," imbuhnya.
Masalah percepatan ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Chairul Tanjung selaku Ketua Harian KP3EI, di akhir pemerintahan SBY telah mempercepat pemancangan tiang pertama beberapa proyek strategis. Dengan harapan proyek tersebut dapat segera terwujud dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur, lanjut Lucky, proyek-proyek yang ada dalam MP3EI jika terealisasi, merupakan salah satu peluang Indonesia lepas dari jebakan kelas menengah yang saat ini mengancam.
Dengan pemerataan ekonomi di seluruh kawasan, kelas menengah di Indonesia dapat lebih produktif dan akhirnya mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. (art)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya